بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
HAKIAT CINTA
Al-Rahman adalah cinta Allah yang dilimpahkan
bagi segenap makhluk-Nya tanpa pilih bulu, sedangkan al-rahim adalah cinta yang
diberuntukkan bagi orang yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Dari
kata-kata al-rahim inilah kata-kata rahim dalam bahasa Melayu/Indonesia
berasal. Cinta Tuhan kepada orang mukmin yang taqwa dan beramal saleh merupakan
cinta yang istimewa dan wajib diberikan sebagaimana cinta seorang ibu kepada
anak kandungnya.
Cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud batinnya itu
dipandang oleh para sufi sebagai asas kejadian atau penciptaan alam semesta,
sebab tanpa al-rahman dan al-rahim-Nya tidak mungkin alam dunia yang begitu
menakjubkan dan penuh kenikmatan ini dicipta oleh Yang Maha Kuasa yang
sekaligus Maha Pengasih dan Penyayang. Selain itu cinta juga merupakan asas
bagi perkembangan dan pertumbuhan, serta perluasan dan pertahanan dari
keberadaan makhluq-makhluq – terutama manusia.
Ahli-ahli
tasawuf juga percaya bahwa cinta merupakan asas dan dasar terpenting dari
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam, ketaqwaan dan
keimanan seseorang akan rapuh. Hilangnya cinta dalam segala bentuknya dalam
diri sebuah umat akan membuat peradaban dan kebudayaan dari umat tersebut akan
rapuh dan mudah runtuh.
Di lain hal dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta melengkapi jalan ilmu
atau pengetahuan. Peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan berkembang
subur apabila hanya didasarkan pada ilmu beserta metodologi dan tehnologi yang
dihasilkan dari ilmu. Cinta menyempurnakan jalan ilmu, sebab cinta merupakan
dorongan terpendam dalam diri manusia untuk selalu mencari yang sempurna dalam
hidupnya. Dorongan menimbulkan kehendak, hasrat dan kerinduan mendalam, dan
dengan demikian cinta menggerakkan manusia berikhtiar sekuat tenaga dengan
segala kemampuan yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang dilengkapi jalan cinta
juga membuat seseorang mampu mencapai makrifat (ma`rifa) atau kebenaran
tertinggi yang merupakan rahasia terdalam dari ajaran agama.
Ibn `Arabi menuturkan tentang jalan ilmu dan jalan cinta sebagai berikut, “Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan
intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta
serta teori belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai
konsep-konsep intelektual melampaui batasnya, maka ia disebut intelektualisme.
Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan
emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang
tinggi. Namun orang yang memiliki ilmu ini tidak dapat memanfaatkan untuk
keperluan hidupnya sendiri. Inilah yang disebut emosionalisme. Yang ketiga
ialah pengetahuan nya yang disebut Pengetahuan tentang Hakikat.
Pengetahuan ini membuat manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar,
mengatasi bayasan-batasan pikiran biasa dan pengalaman empiris. Para sarjana
dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum
emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan
keduanya, atau memakai salah satu dari keduanya secara berganti-ganti. Akan
tetapi orang yang telah mencapai kebenaran ialah mereka yang tahu bagaimana
menghubungkan dirinya dengan hakikat yang terletak di balik kedua bentuk
pengetahuan ni. Itulah sufi sejati, orang yang telah mencapai makrifat dalam
arti sebenarnya.”
Cinta bagi Rumi memiliki arti sebagai “Perasaan sejagat”, “Sebuah ruh persatuan
dengan alam semesta”. Cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan yang melekat
dalam diri manusia, tabib segala kelemahan dan dukacita. Cinta juga adalah
kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta. Dan cinta púlalah
yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita. Makin seseorang
mencintai, makin larutlah ia terserap dalam tujuan-tujuan ilahiyah kehidupan.
Dalam tujuan-tujuan ilahiyah penciptaan inilah manusia memperoleh makna yang
sebenarnya dari kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang memberinya
kebahagian rohaniah yang tidak terkira nilainya.
Cinta juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan merubah keadaan jiwa
manusia yang negatif menjadi positif. Itulah antara lain yang diajarkan
Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M, ketika umat Islam di
Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling buruk dalam sejarah
klasiknya. Di sebelah barat Perang Salib yang telah berlangsung sejak akhir
abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum
Muslimin. Di sebelah timur bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan
anak-cucunya menyapu bersih dan memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam.
Puncaknya adalah serbuan besar-besaran Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari
Transoksiana pada tahun 1256 M. Kota Baghdad luluh lantak menjadi puing-puing
dan ratusan ribu penduduknya dibantai sehingga bekas ibukota kekhalifatan
Abbasiyah dan pusat utama peradaban Islam ketika itu berubah menjadi kota mati
untuk belasan tahun lamanya.
Akibat Perang Salib yang terjadi secara bergelombang dan serbuan tentara Mongol
yang menyapu bersih hampir seluruh negeri kaum Muslimin itu, tidak terkira
penderitaan yang dihadapi kaum Muslimin. Mereka seperti tak lagi berdaya dan
tak mampu membangun kehidupannya. Di tengah suasana yang diliputi keputus-asaan
yang mendalam inilah para sufi, ulama dan cendekiawan Muslim bangkit
mengajarkan pentingnya Cinta transendental yang memiliki kekuatan merubah jiwa
manusia dari negatif ke positif.
Dalam bukunya The Trumphal Sun: A Study of the Works of Jalaluddin Rumi (1980)
Annemarie Schimmel, salah seorang penulis Eropa terbesar abad ini mengenai
sastra sufi, mengatakan tentang peranan ahli tasawuf pada abad ke-13 sebagai
berikut, “Cukup mengherankan bahwa periode yang penuh bencana politik ini pada
saat yang bersamaan merupakan periode yang penuh dengan kegiataan keagamaan dan
tasawuf. Gelapnya kehdupan duniawi dijawab dengan maraknya kegiatan spiritual
yang entah apa tenaga pendorongnya. Nama sejumlah penyair, sarjana agama, ulama
besar, seniman kaligrafi terkemuka bermunculan, walaupun abad ini terutama
sekali merupakan zaman pemimpin tasawuf… Pendek kata, hampir di setiap pelosok
dunia Islam dijumpai wali-wali, guru keruhanian, penyair dan pemimpin besar
dalam ilmu tasawuf. Di tengah gelapnya kehidupan politik dan ekonom, mereka
tampil membimbing khalayak ramai menunju dunia yang tidak terganggu oleh perubahan,
menyampaikan kepada mereka rahasia cinta yang memang harus dicapai melalui
penderitaan, dan (mereka pula) mengajarkan bahwa kehendak Tuhan dan cinta-Nya
dapat tersingkap melalui bencana dan kemalangan…”.
Tentang cinta ilahiyah Syekh Ahmad Hatif menuturkan, “Belahlah hati atom: dari tengah-tengahnya kau akan menyaksikan bola
surya yang bersinar-sinar. Jika segenap yang kaumiliki diserahkan pada Cinta,
kau tak akan kehilangan sedikit pun dari yang kaumiliki. Jiwa berjalan melalui
panasnya api Cinta dan kau menyaksikan betapa jiwa berubah. Jika kau membuang
sempitnya dimensi hidup duniawi, dan berkeinginan menyaksikan ‘waktu’ dari
segala sesuatu yang tidak bertempar, kau akan mendengar dan menyaksikan apa
yang belum pernah kaulihat…Kau akan mencintai Yang Esa dengan hati dan jiwa,
sehingga dengan mata yang sebenarnya kau akan menyaksikan Tauhid…”
**
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :