بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Apa itu Insan Kamil?
Oleh: Prof
Dr Nasaruddin Umar
Insan
kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para
sufi,
khususnya Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan
kamil
tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan
ulama,
yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad
SAW.
Bagi para
sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri
Tuhan
paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah
SWT
memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan
(tafadhul)
atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut
istilah
Alquran.
Disebut
demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah
yang
paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk
lainnya
hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan
dengan
mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak
mampu
mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
Itulah
sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut
sebagai satu-satunya
makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti
dijelaskan
pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk
makrokosmos
dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada
unsur
mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga
unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya,
manusia
sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada
tingkat
lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut
miniatur
makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos
(al-insan
al-kabir).
Keparipurnaan
manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam
Alquran
disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin:
4) dan
satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan
(QS. Shad:
75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS.
Al-Baqarah:
31).
Dalam
hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia,
seperti,
Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan
Adam
sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis
itu
dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan
(tajalli)
Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi
nuskhah
atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah
al-kamilah.
Manusialah
satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan
sifat
Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah.
Malaikat
tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha
Pengampun,
Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat
tidak
pernah berdosa.
Tuhan
tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha
Penerima
Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa,
sementara
malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-
makhluk
Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama
dan sifat
Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan
kamil.
Kesempurnaan
lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia
mempunyai
perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek lahir dan batin.
Aspek
lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti
disimpulkan
Dr Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Aspek lahir
manusia
adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”
Kepaduan
dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep
khalifah
dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka
dapat
dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam
semesta
tunduk kepada anak manusia.
Namun,
perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun
Al-Jili
menyatakan tidak semua manusia berhak menyandang gelar ini.
Manusia
yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia
yang
didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya,
kata Ibnu
Arabi, tidak layak disebut insan kamil.
Hanyalah
mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya
benar yang
layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai
tingkat
kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia
dan tidak
layak memperoleh tugas kekhalifahan.
Perlu
ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada
kekuatan
akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada
kesempurnaan
dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan.
Manusia
menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang
dimilikinya.
Alam raya
tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal
pikirannya,
tetapi lebih pada kemampuan manusia mengaktualisasikan
dirinya
sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan
kerja
akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia
menyingkap
tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.
Kekuatan
intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat
daripada
akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis mampu
menjadi
insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan
panjang.
Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang
lebih
penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.
Modal
utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan
kecerdasan
logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga kualitas
insan
kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan
kamil,
selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu
kerusakan
alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga
belum
tentu mau tunduk kepada manusia.
Banyak
contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana
diperlihatkan
di dalam kisah-kisah umat terdahulu di dalam Alquran.
Umat Nuh
yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS.
11: 40).
Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa
mematikan
(QS 11: 94).
Umat Saleh
yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus
dan gempa
bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan
seksual
(QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa
Yaman,
Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka’bah
dihancurkan
oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).
Hujan
tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6:
99),
tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal
kehidupan
manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok
bumi (QS.
30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun
(QS. 77:
10).
Angin yang
tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan
(QS. 18:
45) dan mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil
ganas
meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16).
Lautan
tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-
tiba
mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).
Tadinya,
malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-
tiba
menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81).
Siang
tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika
berubah
menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif
(QS. 46:
35).
Kilat dan
guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam
proses
nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS. 13:
12)
tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva
(telur
hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani
(QS. 13:
12).
Disparitas
flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-
hukum
ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang menyalahi
pertumbuhan
deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi
komposisi
kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS.
7: 132).
Manakala
manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil,
pertanda
berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama masih
ditemukan
kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat
belum akan
terjadi.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :