بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Tasawuf dan Etika Pembebasan
Setiap kata ”Pembebasan” muncul, selalu terbayang soal belenggu,
penjajahan, tekanan, beban, derita, dan sejumlah situasi buruk atau pun kebudayaan yang menekan mentalitas manusia.
Seluruh usaha intelektualisme maupun gerakan psikologi pembebasan
terus berupaya menyelesaikan belenggu-belenggu kemanusiaan ini, dan
hanya berakhir dengan beberapa penyelesaian:
Pseudo Solution atau penyelesaian
yang semu, karena hanya menyentuh aspek pinggirian eksistensi manusia
itu sendiri. Lalu diikuti oleh cara-cara instan, semacam ”pemadam
kebakaran” belaka.
Penyelesaian egoistis, yang mengeksplorasi kemampuan, kekuatan,
kehebatan dan eksistensi ”keakuan” sebagai perlawanan atas penderitaan
yang selama ini ada. Lalu muncul jargon psikologis, ”Aku Bisa...!Aku
Berdaya...!Aku Mampu....Aku Hebat!”. Solusi ini menimbulkan kekuatan
egois yang luar biasa, tetapi dengan karakter arogansif, diktator,
opressif, dan pengabaian nilai-nilai Ketuhanan.
Solusi passif, pembiaran atas masalah dengan asumsi akan selesai dengan sendirinya.
Dalam gerakan pemikiran dan dakwah agama, seringkali bentuk-bentuk pembebasan dimunculkan melalui:
Perlawanan yang frontal dan radikal terhadap apa pun yang berbeda dan mengancam.
”Pelarian-pelarian semu” pada agama, dengan bersembunyi dibalik
”takdir, Kebesaran Tuhan, Kehendak Tuhan, dan sebagainya...” tanpa
proses edukasi dan pemahaman apa yang disebut dalam firman Allah Swt
”Larilah kalian kepada Allah Swt...”
Agama dijadikan lahan industri ekonomi sebagai cara membebaskan diri
dari himpitan sosial dan ekonomi, dan malah berakhir dengan ”tragedi
industri agama” yang memuakkan. Kasus ”Islam Tontonan” dibanding
”Tuntunan” menjadi reprensentasi paling sederhana.
Agama dijadikan solusi pembebasan, tetapi tidak pada akar fundamental
agama maupun hakikat kemanusiaannya, sehingga interaksi agama dan
manusia hanyalah interaksi dari kulit ke kulit.
Agama tidak dimaujudkan dalam keutuhan beragama, tetapi
elemen-elemen agama malah dijadikan sejumlah poitensi konflik untuk
saling dibenturkan.
Dalam proses pembebesan sedemikian
rupa, posisi manusia, agama dan Allah Swt, bukannya hadir dalam bentuk
interaksi yang beradab, tetapi malah berada dalam posisi saling
menuding. Dan itulah sekulerisme paling maniak dalam kehidupan beragama
kita.
Dalam tataran keagamaan (Islam), proses pembebasan dijadikan bagian
paling fundamental dalam kehidupan. Dan karena itulah dimunculkan
hubungan-hubungan Ketuhanan yang bersentuhan langsung dalam eksistensi
diri manusia: yang terdiri dari aspek lahiriyah, aspek bathiniyah, dan
aspek rahasia bathin.
Reposisi yang tegas disampaikan oleh Rasulullah saw, melalui ajaran
Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga aspek yang sangat berpengaruh dalam
peradaban ummat Islam sepanjang masa, dan kelak jugamempengaruhi
proses-proses konflik dan damai dalam dinamika sejarahnya.
PEMBEBASAN ESENSIAL
Salah
satu nilai esensial dalam praktek pembebasan, adalah pembebasan dari
perbudakan segala hal selain Allah swt. Dalam sebuah ayat Surat
Al-Fatihah “IyyaKa Na’budu wa-IyyaKa Nasta’iin” (Hanya kepadaMu kami
menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan).
Kata “Na’budu” (Kami menyembah), bukan A’budu (saya menyembah) sudah
menunjukkan bahwa wujud kehambaan kita, adalah totalitas diri kita,
lahir, batin, rahasia batin dengan seluruh elemennya yang dimunculkan
dengan kata “kami”.
Statemen final dari kehambaan kita dalam IyyaKa Na’budu, sebagai
pengabaian atas segala perbudakan selain kepada Allah Swt, yang kelak
dalam dunia Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Hikam karya
Ibnu Athaillah as-Sakandary, ”Mathlabul ‘Arifin, ash-Shidqu
fil-‘Ubudiyah wa-Iqomatu Huquq ar- Rububiyyah” (yang dicari oleh para
arifun adalah benar dalam menjalankan kehambaan dan menegakkan Hak-hak
Ketuhanan).
Karena itu, posisi “wa-IyyaKa Nasta’in” (hanya kepadaMu kami memohon
pertolongan) adalah manifestasi dari wujud penegakan Hak-Hak Ketuhanan
dalam kepribadian sang hamba.
Dengan bahasa lain yang senada, Ibnu Athaillah as-Sakandary,
menyebutkan dalam bahasa tugas, yaitu “Tahaqququl ‘Ubudiyah”
(mewujudkan kehambaan) dan “Ta’alluq bir-Rububiyah” (menggantungkan
diri pada Sifat Ketuhanan), bukan mewujudkan Sifat Ketuhanan.
Sejumlah Sufi juga menegaskan:
IyyaKa Na’budu adalah kefanaan hamba, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Baqo’Nya Allah swt.
IyyaKa
Na’budu, adalah jika engkau tak mampu melihatNya maka Dialah yang
Melihatmu, dan wa-IyyaKa Nasta’in jika engkau menyembah seakan-akan
engkau melihatNya.IyyaKa Na’budu adalah Mi’raj, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Rahmatan Lil-‘Alamiin.IyyaKa
Na’budu adalah ibadah dan ‘ubudiyah (hendaknya menyembah dan menuju)
wa-IyyaKa Nasta’in adalah ‘abudah, hendaknya engkau Musyahadah dan
Ma’rifah.IyyaKa Na’budu adalah Taraqqy (menanjak ke Ilahi), dan wa-IyyaKa Nasta’in adalah Tanazzul (turun bersama Allah Azza wa-Jalaa).
Penafsiran ayat di atas tentu akan terus memanjang tiada akhir, karena sifat absolutnya Ketuhanan Allah Rabbul’ Izzah.
Namun, ada beberapa tonggak penyangga yang bisa mengokohkan kehambaan
kita, agar pembebasan sejati maujud dalam kenyataan sehari-hari: Ada
sepuluh penyangga ‘ubudiyah kita yang disebut oleh Ar-Rifa’I dalam
Haalatu Ahlil Haqiqah ma’aLlah.
Pertama, Al-I’tisham Billah fii Kulli Syai’: Berkait pada Allah Swt dalam segala hal.
Kedua, Ar-Ridho ‘AniLlah fii Kulli Syai’: Ridho apa pun dari Allah dalam segala hal.Ketiga, Ar-Ruju’ IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembali pada Allah dalam segala hal.Keempat, Al-Faqru IlaLlah fii Kulli Syai’: Butuh pada Allah dalam segalanya.Kelima, Al-Inabah IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembalinya hati pada Allah dalam segala hal.Keenam, Ash-Sahbru ma’aLlah fii Kulli Syai’: Sabar bersama Allah swt dalam segala hal.Ketujuah, Al-Iqitha’ IlalLah fii Kulli Syai’: Memutuskan diri, jiwa hanya untuk Allah dalam segala hal.Kedelapan, Al-Istiqomah BiLlah fii Kulli Syai’: Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.Kesembilan, At-Tafwidh IlaLlah fi Kulli Syai’: Menyerahkan urusannya kepada Allah dalam segala hal.Kesepuluh, At-Tasliim Lillah fii Kulli Syai’: Menyerahkan total dirinya pada Allah dalam segala hal.
Kesepuluh penyangga ‘Ubudiyah
inilah yang kemudian bisa dissimpulkan dalam pandangan Ibnu Athaillah
as-Sakandary, pada hikmah utama beliau “I’timad BiLllah” (Mengandalkan
Allah Ta’ala).
CAHAYA PEMBEBASAN
Apa
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari siklus
kemakhlukan dan semesta ini. Proses-proses hubungan manusia dengan Allah
Ta’ala, dirinya dan alam semesta, jika tidak dipancari Cahaya Allah
Swt, akan memperpuruk kegelapan kita, akibat Hijab (tirai) yang menabiri
kita dengan Allah Swt. (Walaupun hakikatnya tirai itu tidak ada, namun
imajinasi dan nafsu kita yang menciptakan tirai itu seakan-akan ada).
Tanpa Pencahayaan Ilahi, proses pembebasan hanyalah khayalan tentang
pembebasan itu sendiri. Disinilah perlunya Pendidikan Ruhani (Tarbiyah
Ruhiyyah) yang dibangun melalui Thariqat Sufi, dengan cara dan metode
yang yang sangat khas, agar proses pembebasan dari belenggu semesta
terwujudkan, dan sukses dalam wushul (sampai) pada Allah Azza wa-Jalla.
Karena itu para Ulama Sufi juga membangun paradigma dan sistematika
pendidikan ruhani ini, agar memudahkan proses-proses tercapainya
keutuhan Islam, Iman dan Ihsan. Imam Al-Ghazaly membangun sistematika
yang cukup bagus dalam Al-Ihya’ maupun dalam Kitab al-Arba’in fi
Ushuliddin, dengan membagi 40 wacana pendidikian spiritual yang
sederhana dan luar biasa.
Al-Ghazali misalnya membuat silabus yang cukup bagus dengan 40 prinsip utama:
Sepuluh prinsip pertama: Ilmu dan Akidah: tentang Dzat Allah Swt;
Taqdis Allah Swt; Qudrat; Ilmu; Iradat; Sama’ dan Bashar; Kalam; Af’al;
Yaumul Akhir; dan Kenabian.
Sepuluh prinsip kedua: Amal-amal Lahiriyah: Shalat; Zakat dan
Sedekah; Puasa; Haji; Membaca Al-Qur’an; Dzikrullah; Mencari Rizki yang
Halal; Mememnuhi Hak Sesama Muslim dan Pergaulan Sosial; Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar; dan Mengikuti Jejak Nabi Saw.
Sepuluh Prinsip ketiga: Penyucian Hati dari Akhlaq Tercela: Makan
rakus; Bicara Kotor; Amarah; Kedengkian; Bakhil dan Cinta Harta; Ambisi
dan Gila Tahta; Cinta Dunia; Takabur; Takjub Diri; dan Riya’.
Sepuluh Prinsip keempat: Tobat; Khauf; Zuhud; Sabar; Syukur; Ikhlas
dan Jujur; Tawakkal; Cinta; Ridho terhadap Qodho’; Mengingat Mati dan
Hakikat Mati serga Ragam Siksa Ruhani.
Pada prinsipnya, menurut para Sufi,
hakikat siksaan adalah Hijab itu sendiri. Karena itu dalam, simpul
kali ini kami sampaikan ungkapan hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandary:
”Semesta secara total adalah gelap gulita.Yang meneranginya adalah
tampilnya Allah Swt dibalik alam ini. Siapa yang memandang alam semesta
(lahir maupun batin, langit maupun bumi, dunia maupun akhirat, pent)
namun tidak menyaksikan Allah Swt di baliknya, atau di sisisnya, atau
sebelumnya atau sesudahnya, maka ia benar-benar kabur dari wujud
cahaya-cahaya, dan terhijab dari matahari ma’rifat olerh mendung-mendung
semesta.”
KHM L HAKIM, MA.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :