بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Jika ada seseorang yang
mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan
kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya, sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui
Rabb-Nya.”
1. Kisah pertama
pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan
sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah,
"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah
dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal
pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku,
akan bersama-sama masuk surga bersama aku".
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh
menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik
turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan
kepalanya dalam-dalam. syarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.
"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat
kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah
yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan
menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih
tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan
keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya.Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan
dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada
Fatimah,"Siapakah itu wahai
anakku?" "Tak tahulah aku ayah,
sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu,
Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu
bagian wajahnya seolah hendak dikenang
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan
kenikmatan sementara,dialah yang memisahkan pertemuan didunia. Dialah malaikatul maut" kata Rasulullah, Fatimah pun
menahan ledakan tangisnya. Malaikat
maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut
menyertai.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia
menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril,
jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah? " tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para
malaikat telah menanti ruhmu". "Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu"
kata Jibril.Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril lagi."Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir,
wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan
surga bagi siapa saja, kecuali umatMuhammad telah berada didalamnya,"
kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.Perlahan ruh
Rasulullah ditarik.
Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh.Fatimah
terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada
Malaikat pengantar wahyu itu."Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah
direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak
tertahankan lagi. "Ya Allah,dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada
umatku". Badan
Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segeramendekatkan
telinganya.
"Uushiikum bis shalati, wa maa malakat
aimanukum,peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di
antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling
berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya
ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii,
ummatii, ummatiii" - "Umatku, umatku, umatku"
Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta
sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa baarik wasalim 'alaihi
2. Kisah kedua
Bilal: Aku tidak Akan mengumandangkan adzan lagi
Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah
putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya
setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi
sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya: ”Mendekatlah kemari wahai
Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun
menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:”
Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali
lagi, maka diapun tertawa.
Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka
bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa
pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata:
”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku: ”Wahai Fathimah, aku akan
meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati
tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah,
adalah keluargaku yg pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun
tertawa.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain,
beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati
dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang
hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.
Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda:”
Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda:” Mendekatlah
kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah
radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau
seraya bersabda:” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka
diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih
diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam seraya berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk
menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun
sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai
Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai
Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu
antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.”
Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Bahkan aku memilih
Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul
A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah
yaitu :para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”
‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau
secara seksama, beliau berdo’a:
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq
al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta)
ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala
salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh
Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb
yang ridha dan tidak murka.”
Sayyidah ‘Aisyah berkata:”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh
aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata:”Aku tidak tahu
apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari
kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan:”
Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.”
Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin
Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke
kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu
berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan
pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa
alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yg paling
tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata:”Wahai
sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan
dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata:” Barangsiapa menyembah
Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang
menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan
mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk
menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah
orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha
ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63
tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi
kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung
yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih,
burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai,
angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan
seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai
rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria
yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.
Waktu shalat telah tiba.
Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang
biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah.
Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar
bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi
dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa
gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria
legam itu bergetar tak beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal
yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan
ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab.
Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi
seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri
kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi.
Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat
dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin
Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung.
Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan
yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang
berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut
menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk
selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu
persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu
anhu tahu.
Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat
mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya
di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya.
Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata,
“Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu
dengannya”.
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya,
seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.
Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya
berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda
Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak
adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.
Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat.
Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang
berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di
depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya
untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan
wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan
akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’
ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju
tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian
Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu
diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan
satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih
ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati
Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah
bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal
sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan
adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak
mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta
izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi
Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan
Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia
memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan
mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal
al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi
memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal
mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah,
dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan
azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu
Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota
Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga
kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu
dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu
alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria
yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh
harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus,
Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk
mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan;
berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang
mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya
menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan
pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk
bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali
menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.
Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak,
tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah.
Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai
Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu
besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang
dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali
mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan
kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang
legendaris itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
…
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali
itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan
senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama
masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati,
merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul.
Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para
jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin
menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju
masjid.
“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan
kaum muslimin meningkat dan membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah
kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang
perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah
bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :