بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB TIGA.
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
3.
KHALWAT DAN ‘UZLAH
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy
(21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk Islam tahun 7 H.
Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa
Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam
mencari penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa
bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam
peperangan, ia memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan
jihad; atau seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak
gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan shalat, membayarkan
zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada
urusan dengan sesama manusia kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah
sifat orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang
orang yang ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat
diperlukan bagi murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan
diri pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita
ruhani. Sikap seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari
manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya
(dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka), bukan bahwa ia akan terhindar
dari kejahatan mereka. Sikap pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang
rendah dirinya sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa bahwa
dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang yang mengganggap dirinya tiak
berharga adalah rendah hati, dan orang yang menganggap dirinya lebih bergarga
ketimbang orang lain adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata
kepadanya : “Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing
penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah
menjauhkannya dari mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh.
Sementara syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan
dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik
jubah Anda?” Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda
salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya
kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena
saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus
mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak
menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan yang
dapat diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya
berada di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi
sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri
lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang
‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama
makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku
memakai pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang
seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya
mendengar ia berkata : “Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau
datang dari jarak yang jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya
peristiwa bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari diri
Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam
mimpi, lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab :
“Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar
bagi seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya
supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan,
terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan
terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak demikian,
maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke dalam cobaan atau
petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat
pada ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan
sewaktu akan pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia
dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang
terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan
kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy
menjawab : “’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil
menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri
dari dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan
mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali
dengan memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali
menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak
menemukan sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan
selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat
Anda dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi
munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti
orang yang menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih
mudah diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul
asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama manusia ada baiknya,
tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah
sahabat orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ...
rusak, wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa
pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah
berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul
dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa
menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui
Malik Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya,
“Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap
bahwa seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan
agamanya sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri
dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang
bijak adalah yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang
yang sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti
kita, bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani
demikian : “Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak,
hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya :
“Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku!
Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain.
Seseorang yang belum menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi
mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang
telah Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku
dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah
swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau
sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda merasa akrab?” Ia menjawab
: “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”,
Berkenaan makna ucapannya itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry :
“Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda sanggup
memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak :
“Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama
manusia sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan
hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya
intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat
kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah
mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :