بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
7.
D
I A M
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu
tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah
menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya :
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah
dengan rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman
dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya
apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di
dalamnya hukum syara’, perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi
di dalam sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para tokoh.
Begitu pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri
majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan
Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya)
lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29).
Allah swt. berfirman : “...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha
:108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam,
menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut
kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan
baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati
orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang
orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat
keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus pebuatannya
secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan
oleh-Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang
disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu
tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan
maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak
dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?”
Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah
:109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka
mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya
nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk
meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya.
Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia.
Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai
salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap
tinggal di rumah, ia memutukan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah,
sebab ia adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan
tidak memberikan komentar berkenan dengan masalah-masalah yang didiskusikan.
Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama
setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara
menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda , berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak
akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran
seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan,
meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi
meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan
diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri,
dijawabnya : “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa
lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara
hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan
bicaranya, maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara
berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu,
mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah
pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu orang yang paling
mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang patut
diikat berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu
bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua
bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq
r.a. adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah
pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di
Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka syria
dan Irak), biasa engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar
lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung.
Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau berbicara, dan
bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam, sehingga
engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat
menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran
murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan
mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman
mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang
seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih
layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya
bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak
menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah
sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari
al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan
dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia diam.
Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik
dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany
berkata : “Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku
tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam
karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali
seseorang gyang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah
swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari
mendengar pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar
yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah
menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang adalah karena ada jin yang
hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari
kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku
jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah
suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada
sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat
dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di
tempatmu!.”
Salah seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan
hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia
mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia
duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu
berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini
malah makan daging lebih dahulu.” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah
swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging
saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.”
(Qs. Al-Hujurat :12).
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa
ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana
kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam
menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada
yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, akan
menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi
seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si pembicara mengetahui
ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin
selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif
dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia
Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam
bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan diam bagi para
pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati
sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama
tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku.
Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak mendengar
kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda didiamkan,
maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah
menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum
terbebas dari kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan
susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah
tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju
kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan
binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa
memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi
sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :