بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Bagi murid-murid atau pengikut Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, figur
Kiyai Utsman tidak asing lagi. Karena di samping beliau sebagai mursyidnya,
juga penyusun silsilah thariqah yang paling banyak pengikutnya ini.
Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16
bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW
yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar
dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada
usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an.
Nasab beliau
Muhammad Utsman – Surati –
Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas
– Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido
Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro –
Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul
Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul
Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali
Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa
An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq –
Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib /
Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang
diasuh oleh Kiyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke
pesantren yang diasuh Kiyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang
tuanya, Kiyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH.
Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kiyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam
ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kiyai Romly At
Tamimi.
Mengenal thariqah
Perjalanan Kiyai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku.
Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi
juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal
tirakat, Yai Utsman tidak pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali
badannya sudah kurus benar. Sebab jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat
dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti
selama mondok dianggap aktifitasnya hanya makan dan minum saja, bukan mencari
ilmu.
Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai
Romly sebagi murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat
tugas dari kiyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH.
Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama
Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian
sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan
sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Kiai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kiai
Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan
Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa
mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada
saat itu berjumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat
Kedinding Lor, Kiai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa
tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun.
Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada
Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. QS. Al Mujaadalah {58] : 11
Babak kehidupan baru pun dimulai, setelah dirasa cukup dalam menimba ilmu dan
telah menjadi salah satu murid thariqah, Kiyai Utsman pulang kampung untuk
mengamalkan berbagai disiplin ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi meski
telah berada di lingkungan keluarga, Kiyai Utsman masih secara rutin hadir ke
Kiyai Romly untuk mengikuti majelis khususi dengan cara berjalan kaki, kadang
juga naik kendaraan dan itu dilakukan selama empat tahun. Selanjutnya atas
saran KH. Hasyim Asy’ari, Kiyai Utsman beserta keluarga pindah sementara ke
Peterongan agar lebih dekat dengan gurunya.
Diba’iat menjadi mursyid
Dalam pandangan Kiyai Romly, Kiyai Utsman selama mondok dan sebagai murid
Thariqah, memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh santri
lainnya. Seperti ketika Kiai Utsman berusia 13 tahun memiliki kemampuan melihat
Ka’bah di Makkah tanpa harus datang ke Masjidil Haram. Juga kemampuannya melihat
kepribadian seseorang menyerupai serigala, dan hewan sejenis tergantung
nafsunya masing-masing. Termasuk selama mondok di Rejoso ini Kiyai Utsman
sering dijumpai oleh Nabi Khidir as.
Kiyai Romly berpendapat bahwa untuk untuk meneruskan ajaran thariqah Qadiriyah
Wan Naqsabandiyah, diperlukan estafet kepemimpinan thariqah dalam hal ini
diperlukan seorang mursyid (guru) baru. Ini dimaksudkan agar ajaran thariqah
tetap langgeng sampai kiamat nanti. Diantara sekian murid (santri) yang menurut
pandangan Kiyai Romly memiliki kemampuan sebagai mursyid thariqah ialah Kiyai
Utsman.
Maka pada suatu hari tepatnya jam 2 dini hari Kiyai Utsman diminta menghadap
Kiyai Romly untuk diangkat menjadi Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah. Ketika Kiyai Romly melaksanakan perintah Allah dengan cara
mengusapkan tangannya di atas kepala Kiyai Utsman, maka seketika itu pula Kiyai
Utsman pingsan tidak sadarkan diri selama satu minggu, selama itu pula beliau
tidak makan tidak minum tidak tidur tidak mandi tidak buang air besar maupun
kecil juga tidak solat.
Setelah resmi menjadi mursyid, Kiyai Utsman atas saran Kiyai Romly diminta
tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian
Kiyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama
Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kiyai Utsman
pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang
keberatan, bahkan jika Kiyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian
masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kiyai Utsman
tetap memilih kembali ke Surabaya.
Istiqomah dalam perilaku
Kiyai Utsman sejak kecil hingga akan pulang ke rahmatullah selalu istiqomah
dalam perilaku. Perbuatan serta ucapan-ucapannya selalu meniru Rasulullah.
Semua menyaksikan bahwa seluruh waktunya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah.
Maka pantaslah jika kemudian Kiyai Romly memilih Kiyai Utsman sebagai
kholifahnya. Dalam hal ini Kiyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat
sebuah pabrik besar yang terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Kiyai
Utsman, itulah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabadiyah yang beliau asuh.
Karena saking cintanya kepada Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. Kiyai Utsman
kemudian merintis penyelenggaraan manaqiban dengan cara membaca sejarah singkat
Syech Abdul Qadir Al Jailani ra seorang ulama besar asal Timur Tengah. Kegiatan
yang merupakan rintisan ini ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari
Kiyai Romly Rejoso dan akhirnya Kiyai Romly menyetujui dan meminta untuk
diteruskan (dilanggengkan).
Salah satu kegemaran Kiyai Utsman ialah melakukan ziarah ke wali wali Allah
baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan karena dekatnya hubungan
beliau dengan para wali Allah, Kiyai Utsman menyemarakkan peringatan hari wafat
mereka, terutama wafatnya Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. sehingga tiada
terlewatkan setiap harinya di kota maupun di desa di Jawa Timur untuk
senantiasa menggelar manaqib.
Setelah Kiyai Utsman mendapat kepercayaan dari kiyai Romly sebagai kholifah
(mursyid thariqah), beliau di rumah Jatipurwo menggelar acara manaqiban selama
4 tahun yang hanya diikuti oleh 7 orang. Di tengah tengah memimpin istighotsah,
Kiyai Utsman .didatangi oleh seseorang yang tidak dikenal, kemudian menelentangkan
Kiyai Utsman dengan sebilah pedang di leher kiyai. Peristiwa tragis ini
kemudian disampaikan ke Kiyai Romly, dan beliau hanya menjawab “teruskan apa
yang telah kamu amalkan, pasti orang itu tidak berani lagi mengulangi perbuatan
yang sama”. Apa yang yang disampaikan oleh Kiyai Romly benar benar terjadi,
bukannya orang tersebut mengulangi lagi perbuatan yang sama, akan tetapi malah
menjadi pengikut Kiyai Utsman yang setia.
Beberapa karomah yang dimiliki Kiyai Utsman
KH. Ahmad Asrori Al ishaqi (salah satu putra Kiyai Utsman) menceritakan, ketika
ayahnda berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat ka’bah secara nyata dari
rumahnya Jatipurwo Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan
mimpi, tapi setelah berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan
sekedar mimpi, akan tetapi benar benar terjadi dan yang tampak hanyalah ka’bah
di Makkah. Kemudian Kiyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira
bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama
saja. Menurut Kiyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahndanya dan
sejak saat itu Kiyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya.
Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung
pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kiyai Utsman tidak berani mengatakan
terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pada saat bermukim di lereng gunung dekat Ngawi, Kiyai Utsman pernah bermimpi
ketemu Kiyai Hasyim Asy’ari Tebuireng dan berpamitan dengan Kiyai Utsman dengan
mengatakan “saya duluan Utsman !” ternyata pada esok harinya beliau mendengar
berita bahwa Kiyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia (pulang kerahmatullah).
Kiyai Muhammad Faqih Langitan Tuban pernah mengatakan bahwa Kiyai Zubeir Sarang
Rembang bermimpi ketemu Rasulullah SAW sedang menemui 2 orang laki laki dan
Rasulullah menyatakan kepada Kiyai Zubeir “keluargaku banyak tersebar di tanah
Jawa diantaranya ialah Romly dan Utsman”.
Salah seorang sopir Kiyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari
Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kiyai Utsman bensinnya
habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kiyai
memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh
tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kiyai, maka perintah itu
dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin
?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera
mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya
dengan bahan bakar teh.
Demikian sepenggal biografi ulama besar KH. Utsman Al Ishaqi asal Jatipurwo
Surabaya, yang kemudian nama beliau terpatri dalam nama Thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah Al Utsmaniyah. Sepeninggal Kiyai Usman, tongkat estafet mursyid
Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah diberikan kepada salah satu
putranya yakni KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi. Pengalihan tugas itu berdasarkan
wasiat Kiyai Utsman menjelang wafatnya. Kini dibawah kendali Kiyai Asori murid
murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah telah tersebar ke
seluruh pelosok tanah air, bahkan hingga manca negara dan timur tengah. Semoga
biografi Kiyai Utsman dapat diambil ibrahnya untuk pegangan hidup kita dalam
beribadah dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Amien Allahumma amin
!!!
Syech Ahmad Asrori al-Ishaqi Surabaya
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau
mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding
Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3
hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra
Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah
Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al
Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah
Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana –
Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen
– Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al
Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain –
Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib
Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al
Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As
Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi
Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting
dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak
negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di
belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung
Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan
Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid
bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian
sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan
sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis
di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum
akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai
Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir
semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih
membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak
pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang
berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia
beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang
tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu
pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori
mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang,
pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan
lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah
induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang
cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya
yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke
kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya
tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah
melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat
thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang,
dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap
bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang
tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia
sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak
tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna
binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias
berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada
malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan
disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun
militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah.
Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti
yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16
Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat
kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori
terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan
sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum
dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang
sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak
memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis
yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa
muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah
sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan
mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti
organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka
jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih
dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke
suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun
seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut
keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun,
dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan
ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia
seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.”
Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu
membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik.
Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa
melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu
yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu
laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga
kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata
“seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali
itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada
anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
SILSILAH THORIQOH QODIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH
41. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
40. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
39. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At
Tamimimiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
38. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso
Bertalqin dan berbai’at dari :
37. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Hasbullaah Madura
Bertalqin dan berbai’at dari :
36. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
35. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
34. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Murod
Bertalqin dan berbai’at dari :
33. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah
Bertalqin dan berbai’at dari :
32. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
31. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Utsman
Bertalqin dan berbai’at dari :
30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym
Bertalqin dan berbai’at dari :
29. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar
Bertalqin dan berbai’at dari :
28. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Yahya
Bertalqin dan berbai’at dari :
27. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
26. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
25. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
24. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
23. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
21. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki
Bertalqin dan berbai’at dari :
20. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz
Bertalqin dan berbai’at dari :
19. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani
Bertalqin dan berbai’at dari :
18. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok
Bertalqin dan berbai’at dari :
17. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy
Bertalqin dan berbai’at dari :
16. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
15. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi
Bertalqin dan berbai’at dari :
14. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy
Bertalqin dan berbai’at dari :
13. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
12. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi
Bertalqin dan berbai’at dari :
11. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi
Bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo
Bertalqin dan berbai’at dari :
9. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym
Bertalqin dan berbai’at dari :
8. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq
Bertalqin dan berbai’at dari :
7. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Imam Muhammad Baqir
Bertalqin dan berbai’at dari :
6. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
5. Al Arif Billaah Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anhu
Bertalqin dan berbai’at dari :
4. Al Arif Billaah Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhahu
Bertalqin dan berbai’at dari :
Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan Allaah kepada
sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
3. RosuulullaaHh Muhammad SAW
Bertalqin dan berbai’at dari :
2. Sayyidina Jibril Alaihis-salam
Bertalqin dan berbai’at dari :
1. Allah SWT
Meninggalnya KH Asrori Al Ishaqi (58), menjadi berita duka bagi keluarga besar
Pondok Al Fithrah dan jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Tanah Air.
Siapa sosok Kiai Asrori?
Kaum muslimin Indonesia berduka, tepat disaat menyambut Harlah Bangsa
Indonesia, telah berpulang kehadirat Allah SWT dengan penuh senyum, Mbah KH
Achmad Asrori Al-Ishaqi, tanggal 18 Agustus 2009 pada pukul 02.20 WIB.
Hadrotusy Syeikh Ahmad Asrory Al Ishaqi, Mursid Thoriqoh Qodiriyyah Wa
Naqshabandiyyah, wafat karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia
sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.
“Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun
penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat
Malang,” kata salah satu kerabat Djudjuk M Usdek Kariono kepada wartawan.
Bagi para santri dan petakziyah yang tidak bisa melihat dari dekat proses
pemakaman KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pihak ponpes menyiapkan beberapa televisi
yang ditempatkan di beberapa titik di kompleks ponpes itu.
Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh
para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan
Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir
kendaraan pelayat.
Tampak karangan bunga dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa
karangan bunga lainnya berasal dari Gubernur Jawa Timur, Sekretaris Pemkot
Surabaya dan para pengasuh pondok pesantren se Jawa Timur.
Presiden SBY sempat bertandang ke ponpes tersebut Rabu (28/1/2009) lalu. Di
ponpes itu SBY menyerahkan bantuan dan beasiswa bagi pondok pesantren di
Indonesia termasuk Assalafi Al Fithrah.
Jenazah Kyai ASRORI dimakamkan sebelum waktu sholat Dhuhur di lingkungan Pondok
Pesantren Kedinding Lor. Pemakaman Kyai Asrori dihadiri Muspida, KH ABDUR
RASYID pemimpin pesantren, WISNU BROTO Direktur Pendidikan Pondok Pesantren
Departemen Agama dan Kombespol RONNIE F SOMPIE Kapolwiltabes Surabaya.
KARANGAN bunga duka cita dari sejumlah tokoh penting masih berdiri kokoh di
pintu gerbang Pondok Assalafi Al Fithrah di Jalan Kedinding Lor 99 Kota
Surabaya. Ada karangan bunga dari Presiden SBY, Gubernur Jatim Soekarwo,
Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Kapolwiltabes Surabaya Kombespol
Ronny F Sompie, dan Wali Kota Surabaya Bambang DH.
Para petakziah pun terus berdatangan. Mereka langsung ziarah ke makam tokoh dan
mursyid jamaah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, KH Asrori Al Ishaqi, di
depan masjid pondok.
Gundukan bekas tanah galian makam masih terlihat basah. Hamparan karpet warna
hijau dan sejumlah sekatan kayu lapis bercat putih yang diposisikan sekitar 5
meter dari makam berdiri. Kayu ini untuk membatasi barisan depan peziarah
dengan lokasi makam Kiai Asrori.
Para pengurus atau pimpinan pondok pun masih larut dalam suasana duka. ”Masih
suasana duka, tak ada wawancara sampai tujuh hari sepeninggal Pak Kiai
(Asrori),” ujar seorang santri usai shalat zuhur, kepada Suara Merdeka.
Berdasar referensi tertulis, Kiai Asrori adalah anak KH Utsman Al Ishaqi,
sahabat KH Mustain Romli dari Pondok Darul Ulum Rejoso, Jombang. Nama belakang
Ishaqi pada Kiai Utsman dinisbahkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri,
karena Kiai Utsman dinilai masih ada jalinan keturunan dengan Sunan Giri.
Sebagai Mursyid
Kiai Asrori adalah anak Kiai Utsman dan memiliki 13 saudara yang kini tinggal 9
orang. Kiai Utsman meninggal pada Januari 1984 pada usia 77 tahun. Kiai Utsman
adalah santri KH Ramli Tamim, ayah KH Mustain Ramli.
Ketika Kiai Ramli Tamim masih hidup, ada 3 kiai yang dibaiat sebagai mursyid
(pimpinan tarekat) Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, yakni KH Utsman Al Ishaqi
Kedinding Lor Surabaya, KH Makki Karangkates Kediri, dan KH Bahri Mojosari
Mokojerto.
Berdasar buku ”Politik Tarekat” yang ditulis Mahmud Sujuthi (2001), sepeninggal
Kiai Utsman, estafet kepemimpinan lembaga tarekat dipimpin Kiai Asrori, saat
usia baru 30 tahun.
Di bawah kepemimpinan Kiai Asrori, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah
berkembang dan memperoleh apresiasi dari banyak umat. Ada kegiatan yang disebut
khususiyah yang dihelat tarekat ini yang dihadiri rata-rata 4.000 orang di
Pondok Al Fithrah.
“Yang menarik pengamal tarekat pimpinan Kiai Asrori adalah sebagian besar
karyawan swasta, PNS, ilmuwan, dan tokoh penting pemerintahan. Di kalangan
Tarekat Kedinding Lor yang berhak melakukan baiat kepada anggota baru adalah
Kiai Asrori saja selaku mursyid, tak ada khalifah atau badal atau wakil mursyid
sebagaimana tarekat Cukir Jombang dan Rejoso Jombang,” tulis Mahmud Sujuthi.
Sebagaimana anak kiai besar dan dihormati karena ilmunya yang tinggi, Kiai
Asrori dalam menimba ilmu dan pengetahuan agama mengembara dari satu pondok ke
pondok lainnya. Tapi, tempo mondoknya tergolong singkat. Kabarnya, Kiai Asrori
pernah nyantri di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang hanya setahun. Demikian pula
di Pondok Pare Kediri dan Pondok Bendo juga setahun.
Anak Macan
Yang menarik, ketika mondok di Pondok Rejoso Jombang, Kiai Asrori tak aktif
mengikuti ngaji. Namun itu tak membuat risau KH Mustain Ramli, pimpinan Pondok
Rejoso. “Biarkan saja, anak macan kan akhirnya jadi macan juga,” kata Kiai
Mustain Ramli.
Karena kepintarannya yang luar biasa, terutama di bidang ilmu agama, di
kalangan kiai dan santri pondok, Kiai Asrori dinilai memiliki ilmu laduni (ilmu
yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Dia memperoleh ilmu itu tanpa melalui
proses belajar-mengajar yang wajar sebagaimana dijalani santri pondok pada umumnya.
Selama menimba ilmu di Pondok Rejoso itu, Kiai Asrori mampu membaca dan
mengajarkan kitab Ihya’ Ulum Al-Din karya Imam Al Ghazali dengan sangat baik.
“Kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya,” ujar KH Utsman Al
Ishaqi sebagaimana dikutip dari buku “Politik Tarekat” karya Dr Mahmud Sujuthi.
Karena kepintarannya itu, tak ada keraguan sedikit pun pada Kiai Utsman untuk
menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan tarekat yang dipimpinnya kepada
anaknya, Kiai Asrori. Kendati Kiai Asrori bukan anak laki-laki tertua dari 9
bersaudara.
“Kiai Asrori ulama tarekat yang luar biasa dan istiqomah menjalankan perannya
itu dengan baik. Karena itu, semua fatwa dan pandangannya diikuti umatnya. NU
sangat kehilangan sepeninggal beliau,” kata Rois Syuriah NU Jatim, KH Miftakhul
Akhyar.
Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyah Kedinding Lor Surabaya di bawah pimpinan
Kiai Asrori termasuk 3 lembaga tarekat besar di lingkungan NU. Dua lembaga
tarekat lain adalah Tarekat Rejoso Jombang di bawah pimpinan KH Mustain Ramli
dan Tarekat Cukir Jombang dengan pimpinan KH Adlan Ali.
Hakikatnya, ketiga tarekat itu awalnya bersumber dari satu wadah, yakni Tarekat
Rejoso Jombang. Setelah KH Mustain Ramli merapat ke Golkar pascapemilu 1971 dan
mendukung partai itu pada pemilu 1977, terjadi pembelahan tarekat di kalangan
NU.
Yang berdiri berseberangan secara politik dengan Tarekat Rejoso adalah Tarekat
Cukir di bawah pimpinan KH Adlan Ali. Tarekat Cukir ketika itu dekat dengan
kalangan PPP dan Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Yusuf Hasyim
(Pak Ud).
Tarekat Kedinding Lor di bawah KH Utsman Al Ishaqi memisahkan diri dari Tarekat
Rejoso di bawah mursyid KH Mustain Ramli bukan karena pertimbangan politik
yakni masuknya Kiai Mustain ke Golkar. Tapi, karena Kiai Mustain menghapus KH
Utsman Al Ishaqi dari silsilah Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Rejoso.
Padahal, yang mengangkat Kiai Mustain sebagai mursyid adalah Kiai Utsman atas
permintaan Nyi Djah, bukan langsung dari ayahnya KH Ramli Tamim.
Pada era 1970-an, komunitas tarekat yang identik dengan kalangan NU itu menjadi
sasaran penguasa Orde Baru untuk dirangkul. Soeharto melalui Golkar berhasil
merebut dan mengambil hati KH Mustain Ramli yang memimpin Tarekat Rejoso.
Padahal, saat itu sebagian besar kiai, tokoh, dan warga NU merapat ke PPP.
Sebab, partai ini dinilai sebagai satu-satunya partai yang mewadahi dan
memperjuangkan aspirasi umat Islam dan berasas Islam pula.
Karena itu, kiai tarekat lain yang lebih dekat ke PPP mendirikan Tarekat Cukir
dengan tokoh utama KH Adlan Ali dan didukung Pondok Tebuireng. Dalam perspektif
politik, Tarekat Rejoso dan Cukir berada di posisi berseberangan. Di sisi lain,
Tarekat Kedinding Lor berada di titik netral. Tak terikat dengan partai mana
pun maupun menyandarkan diri di antara Tarekat Rejoso dan Cukir.
Dari sisi perilaku politik, Tarekat Rejoso bersifat adaptif kompromis, Tarekat
Cukir bersifat antagonis, dan Tarekat Kedinding Lor bersifat kooperatif. Selain
itu, dari sudut pola pemikiran, antara Tarekat Rejoso dan Kedinding sama-sama
bersifat rasionalistik, realistik, dan substantivistik. Sedang Tarekat Cukir
bersifat skripturalistik, idealistik, dan formalistik.
Cuma dari sisi afiliasi politik, antara ketiga tarekat itu berbeda-beda.
Tarekat Rejoso merapat ke Golkar, Tarekat Cukir bersandar ke PPP, dan Tarekat
Kedinding Lor berposisi netral. Karena sifat netralnya secara politik, Tarekat
Kedinding Lor di bawah pimpinan Kiai Asrori memiliki hubungan dan jaringan yang
luar biasa banyak dengan berbagai kalangan di tingkat nasional.
Kiai Asrori memiliki akses dengan pusat-pusat kekuasaan di Jakarta. Ketika Ibu
Tien Soeharto wafat dan diperingati 100 hari kematiannya, Kiai Asrori yang
memimpin tahlil akbar di Ndalem Kalitan Solo dan makam Astana Giribangun
Karanganyar, Jateng.
Tapi, Tarekat Kedinding Lor tak pernah mengarahkan jamaahnya untuk memilih
parpol tertentu pada pemilu, termasuk pada pileg dan pilpres 2009 lalu. Pondok
Al Fithrah, selain dikenal sebagai mursyid Tarekat Kedinding Lor Surabaya, Kiai
Asrori mewarisi peran ayahnya sebagai pengasuh ponpes. Pondok Assalafi Al
Fithrah yang didirikan tahun 1985 bersama 3 santri Pondok Darul Ubudiyah
Jatipurwo Surabaya, yakni Zainal Arief, Wahdi Alawy, dan Khoiruddin sekarang
mengalami perkembangan pesat.
Pondok Al Fithrah kini memiliki 2.600 santri dan santriwati. Dari jumlah itu,
1.209 santri bersifat menetap dan yang tak menetap sebanyak 1.391 santri.
Pondok yang berdiri di atas lahan 4 hektare lebih itu, memiliki lembaga
pendidikan di semua tingkatan, dari tingkat TK, MI, MTS, MA, dan STIU Al
Fithrah.
Ada sejumlah kegiatan unggulan Pondok Al Fithrah dibanding pondok salaf lainnya
di lingkungan NU. Di antaranya, jamaah maktubah, aura aurod, dan qiroatul
Alquran. (Ainurrohim-77)
dikutib sesuai aslinya dari Kitab
Al Khulashotul wa fiy-yah, fil Aadabi wa Kaifiy-yatidz-dzikri indas-saadatil
Qodiyiyyah Wan naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah
MENYATUKAN UMMAT LEWAT THARIQAH
“Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga
Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad
Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa
Timur.”
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota
Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan,
berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak
lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan
oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai
penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan
Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus
ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua
dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis
pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah
Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni
Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin dan
muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru tanah air
secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti
Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah dzikir,
Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro
RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk ummat asal
Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al
Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan di
pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang
biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan urusannya masing
masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan
ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama di Kota Pekalongan
dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI
Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah dengan busana putih
putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut asma Allah hingga ribuan
kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata
mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al
Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan
sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan agama
Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus
Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik Online. Maka,
tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti acara yang baru
pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia
menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh
tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang
panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup mewah.
Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya dan pihak
panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah
Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan
baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu
watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6
set sound system lokal dengan kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga
peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti acara demi acara dengan baik
dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system, acara tersebut dapat
didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah.
“Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan
di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk
mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di
Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena
kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih
lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan
dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan
berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari
kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan
jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan
Timur Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti
Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan,
Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi
Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya
setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya
sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika
masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”,
kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan
Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas
menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada
malam sebelumnya.
Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela
berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan
sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah
Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman
adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso,
Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates
Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in
(sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah
Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis
di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum
akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai
Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir
semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih
membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak
pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang
berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia
beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang
tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu
pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori
mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang,
pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan
lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah
induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang
cukup besar.
Hingga kini, murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak
lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan
tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para
selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah
sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing
dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat
thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang,
dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap
bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang
tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia
sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki
tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian
tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan
secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap
Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya
yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke
kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya
tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah
melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat
thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang,
dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap
bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang
tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia
sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak
tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna
binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias
berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada
malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan
disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun
militer.
Baiat thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet
tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya
melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga
mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari
Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan
seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi
tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah,
tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus
diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan)
sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai
sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan
jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau
mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah
membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid
yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian
dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah
Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat
kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara
terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi
mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan
rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa
Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran
untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa
kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi,
siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM
dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di
Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas
dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat,
bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati
suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran
radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan
serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu
lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab
Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu
Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal
tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi
penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah
bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami
oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori.
Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai
Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun
kedalaman keilmuan dan spiritualnya.
Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah
berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah
jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus
mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah
Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki
daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina
melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap
terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena
mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun
kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki
gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari
Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para
murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi
dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan
kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al
Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya.
Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis
Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan
lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah
apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan
jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang
sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota
Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al
Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan
dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori,
ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat
menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan
para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama
melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina
Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti
Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak
menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib
Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir
dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat
Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat
penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam.
”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara.
KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, meninggal dunia pada 26 Sya’ban 1430 H./18
Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, Kedinding Surabaya
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.