بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Syeikh AbdulWahab Asy-Sya’rani
Perlu anda ketahui wahai saudaraku,
bahwa adab (etika) Seorang murid secara keseluruhan tidak dapat dihitung
jumlahnya, dan tidak dapat dijelaskan secara detail. Akan tetapi berikut akan
saya sebutkan sekilas tentang adab yang patut untuk dilakukan seorang murid.
Pada dasarnya, tugas seorang guru
terhadap murid hanyalah berusaha mengeluarkan untuk si murid apa yang masih
terpendam di dalam jiwanya, dan bukan yang lain. Sebab Allah Swt. telah
menebarkan pada setiap ruh (jiwa) sifat-sifat terpuji dan tercela yang
berhubungan dengan orang yang bersangkutan. Maka segala sesuatu yang diperintah
atau dilarang oleh sang guru mesti berkaitan dengan apa yang terpendam dalam
jiwa tersebut.
Seorang guru tidak akan memberikan
kepada Si murid apa yang di luar jiwanya. Sebab seorang murid pada tahap
pertama ibarat sebutir benih yang menyimpan segala rahasia, dimana benih itu
akan menjadi pohon kurma misalnya, atau jadi pohon yang lain. Perjalanan Si
murid dalam menempuh tarekat ini akan benar dan jujur atau akan menjadi
pendusta tergantung pada benih yang ada. Kalau si murid ini menjadi seorang
yang benar dan jujur, maka dari “batang pohon” itu akan mengeluarkan ranting
yang bakal berbuah, dimana buah tersebut akan menyenangkan semua orang yang ada
di sekitarnya, dan mereka pun makan dari buahnya, bahkan buahnya akan tersebar
ke seluruh penduduk daerah dan negerinya. Semua orang mengambil manfaat dari
pohon tersebut.
Kejujuran dan kebaikannya akan
tampak pada semua orang, baik di kalangan umum maupun tertentu, bahkan kalau
misalnya ia ingin menutupi kebaikannya agar tidak diketahui mereka, ia pun
tidak akan sanggup melakukannya. Begitu sebaliknya, jika ia seorang murid yang
bohong dalam cintanya terhadap jalan yang ia tempuh, maka “batang pohon”
kebohongan dan kemunafikannya akan bercabang, sehingga dirasakan oleh semua
orang yang ada di sekitarnya, tersebar ke seluruh daerah dan negerinya.
Kebohongan, kemunafikan dan pamernya akan kelihatan pada semua orang. Bahkan
kalau berpura-pura menampakkan kejujuran ia tidak akan sanggup melakukannya.
Sebab perbuatannya yang rendah akan
mendustakan segala pengakuannya, dan pada akhirnya semua aibnya akan terbuka
dan tersingkirkan dari jalan menuju Allah. Ia akan terlempar ke pemahaman
orang-orang awam, sebagai hukuman atas kebohongannya terhadap tarekat menuju
Allah Azza wa Jalla. Dan barangkali Allah pernah memberinya keharuman dan
kejujuran kemudian diambil kembali oleh Allah. Kemudian semua orang akan
berkata, “Si fulan telah terusir dari tarekat kaum fakir (sufi), sehingga tidak
ada semerbak keharumannya lagi.” Akhirnya ia hanya sekadar mengenakan serban
panjang, memelihara rambut hingga panjang, mengenakan pakaian wol (pakaian khas
kaum sufi), dan berhias dengan pakaian kaum sufi, sementara manusia melihatnya
telanjang dari adab, dan hampir semua perilaku negatifnya tidak bisa
dirahasiakan dan siapa pun.
Maka bangunlah segala perkara anda
atas dasar kejujuran dalam mencari tarekat (jalan menuju Allah), sebab kalau
tidak, maka anda akan dijauhi oleh tarekat sekalipun dalam waktu yang cukup
lama. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Jika anda telah tahu akan hal itu,
maka sekarang saya mulai berbicara, — dan hanya Allah Yang memberi pertolongan:
Diantara perilaku seorang murid adalah harus memiliki kejujuran dalam mencintai
seorang guru. Sebab gurulah yang akan menunjukkannya ketika ia sedang menempuh perjalanan
dalam hal-hal yang gaib. Ia ibarat seorang penunjuk jalan bagi jamaah haji
ketika di kegelapan malam. Tentu saja kecintaan itu mengharuskan seseorang
untuk selalu taat, demikian sebaliknya, tidak adanya kecintaan itu ditunjukkan
dengan selalu menyalahi dan menentang perintah guru. Maka barangsiapa menentang
orang yang menunjukkannya ia akan tersesat dan perjalanannya akan terhenti, dan
pada akhirnya akan hancur.
Kejujuran dalam mencintai seorang
guru hendaknya tidak ada yang sanggup memalingkannya, bahkan tidak ada pedang
dan segala yang menyakitkan sanggup mengusirnya. Ada diantara orang yang
mengaku dirinya jujur dalam mencintai guru dan saudara-saudaranya dalam
tarekat, bahkan katanya tidak ada yang sanggup memalingkannya sekalipun mereka
harus menjauhi dan tidak menyapanya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Berita
ini akhirnya tersebar ke semua orang, baik di kalangan orang-orang awam maupun
orang-orang tertentu. Suatu ketika ia berdiri dan melantunkan bait syair di
depan kaum fakir (sufi).
Andaikan mereka menyiksaku setiap
hari dan setiap malam
tanpa kesalahan apa pun tentu hal itu membuatku senang dan rela
Kemudian ada salah seorang dari para
murid yang cerdik membantahnya dengan mengatakan, “Anda berbohong!” Akhirnya ia
gundah dan pikirannya kacau lalu ia duduk. Apa yang ada dalam benaknya cukup
kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah
pembohong, lalu mereka berkata kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan
sebagaimana yang anda katakan tadi, sementara pikiran anda telah kacau hanya
karena omongan sebagian orang yang mengatakan anda adalah pembohong?! Apabila
anda tidak sanggup memikul satu beban saja, lalu bagaimana anda akan sanggup
memikul beban untuk selalu disiksa setiap hari dan setiap malam tanpa ada kesalahan
apa pun yang anda lakukan sebelumnya?! Akhirnya orang yang sekadar mengaku
jujur dalam cintanya ini beristigfar dan mengakui kebohongannya.
Maka benar-benar jujurlah —wahai
saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda akan mendapatkan segala kebaikan.
Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Dan diantara adab seorang murid,
hendaknya tidak ikut masuk ke dalam perjanjian (sumpah) seorang guru (tarekat)
sampai ia lebih dahulu bertobat dari segala dosa, baik dosa secara lahir maupun
batin. Misalnya menggunjing, minum-minuman keras, dengki, iri hati dan
lain-lain. Ia juga harus bisa rela terhadap semua lawan yang berusaha merampas
harga diri maupun harta. Sebab hadirat tarekat Galan menuju Allah) adalah
hadirat Allah Azza Jalla. Maka barangsiapa tidak menyucikan diri dari segala
dosa, baik lahir maupun batin, maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini.
Ia ibarat orang yang mau menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau
pakaiannya terdapat najis yang tidak bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh
dari air sehingga tidak bisa disucikan dengan air, tentu saja shalatnya tidak
sah. Demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi kotor
dengan dosa, maka ia tetap batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali.
Ia tidak akan sanggup mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju
tarekat Ahlullah sekalipun hanya selangkah, terkecuali sebelumnya telah
menyucikan diri dari segala dosa.
Poin ini rupanya banyak dilupakan
oleh sebagian besar orang. Mereka tergesa-gesa mengambil sumpah (janji) sang
murid, sementara pada diri sang murid masih banyak dosa, baik lahir maupun
batin, terutama yang menyangkut hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun
harga diri sehingga tidak akan ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya
pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan:
“Tarekat (jalan) orang-orang yang menuju kepada Allah adalah ibarat mau masuk
surga. Maka sebagaimana yang terdapat dalam Hadis sahih, tidak seorang pun dari
calon penghuni surga diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya
masih ada hak anak cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam
tarekat Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian definisi tobat adalah
kembali dan apa saja yang secara hukum (syariat) itu tercela menuju kepada apa
yang secara hukum itu terpuji. Sehingga masing-masing orang yang bertobat akan
memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Bisa jadi apa yang menurut seseorang
hal itu terpuji, tapi justru orang lain malah menganggapnya tercela, lalu
bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut orang pertama tersebut terpuji.
Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang yang baik (al-abrar) adalah
kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-mu qarrabin).”
Perlu anda ketahui, bahwa orang yang
selalu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan syariat, makan hal-hal yang
menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa bergelut dengan hal-hal yang
diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan tarekat menuju Allah, ibarat
jarak antara langit dengan bumi. Kemudian anda harus tahu, bahwa perilaku dari
nafsu adalah selalu mengaku dengan pengakuan palsu. Barangkali ia mengaku
benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi pengakuannya hanya kebohongan.
Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan kesaksian seorang guru akan
kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang diakuinya telah bertobat,
sampai pada akhirnya ia mencapai pada tingkatan bertobat dari tindakan lengah
dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun hanya sekejap mata. Kemudian dari
tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengagungkan
Allah Swt. untuk selama-lamanya, yang tidak pernah berhenti sekejap pun untuk
mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa yang kaum sufi katakan tentang
tingkatan-tingkatan tobat.
Pada awalnya bertobat dari segala
dosa besar, kemudian pada tingkatan bertobat dan dosa-dosa kecil, kemudian dan
hal-hal yang tidak disenangi secara syariat, kemudian meninggalkan hal-hal yang
apabila dilakukan akan melanggar keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi
melihat kebaikan-kebaikannya, kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat
dirinya termasuk kelompok kaum fakir sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang
Mahatahu.
Dan diantara perilaku seorang murid,
hendaknya selalu melakukan mujahadat (perjuangan spiritual) untuk memerangi
nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan pernah kompromi dengan nafsunya. Syekh
Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa menghiasi
lahiriahnya dengan mujahadat maka Allah akan menghiasi batinnya dengan musyahadat
(kesaksian diri kepada Tuhannya). Maka barangsiapa pada tahapan awal tidak
melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya, maka ia tidak akan bisa mencium bau
tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi ciri khas kaum sufi yang menempuh
tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba tidak mau memberikan hak tarekat
secara keseluruhan maka tarekat juga tidak akan memberinya sekalipun hanya
sebagian.
Abu Utsman al-Maghribi —
rahimahullah — mengatakan:
“Barangsiapa mengira, bahwa ia akan dibukakan sedikit dari tarekat Ahlullah
tanpa dengan mujahadat, maka ia benar-benar menginginkan hal yang mustahil.”
Abu Au ad-Daqqaq — rahimahullah —
mengatakan: “Barangsiapa di permulaannya tidak memiliki penyangga maka di
akhirnya tidak akan menemukan kedudukan.”
Hasan al-’Arar berkata: “Tarekat
kaum sufi ini dibangun atas tiga dasar: Seorang murid tidak makan kecuali bila
sangat membutuhkan, tidak akan tidur kecuali bila sudah terkalahkan oleh
kantuk, dan tidak akan berbicara kecuali bila secara hukum dianggap darurat.”
Ibrahim bin Adham — rahimahullah —
mengatakan: “Seseorang tidak akan mendapatkan tingkatan orang-orang saleh
sehingga pada dirinya terdapat enam hal: Selalu berjuang melawan nafsu, hina
karenanya, tidak tidur di malam hari, lebih suka sedikit dengan masalah duniawi,
senang ketika ditinggalkan dunia, dan memperpendek angan-angan.”
Sementara itu asy-Syibli —
rahimahullah — memukuli dirinya dengan potongan rotan bila rasa kantuk tiba,
sampai habis satu ikat ketika menjelang Subuh. Ia sering kali memberi celak
matanya dengan garam sehingga tidak bisa tidur. Ia juga sering memukulkan kedua
tangan dan kakinya ke dinding bila tidak menemukan alat untuk memukuli dirinya.
Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang berusaha menghalauku kecuali aku berhasil
menundukkannya.”
Hal-hal seperti ini tidak semestinya
seseorang melawan dan menyudutkan orang-orang yang melakukannya, karena hal ini
bagi mereka dianggap dari bagian mencari alternatif yang paling ringan
risikonya dari dua alternatif yang sama-sama berbahaya.
Mereka melihat, bahwa menanggung
penderitaan sakit di tubuh dianggap lebih ringan risikonya daripada menanggung
beban penderitaan karena lupa akan Tuhannya akibat tidur atau yang lain. Ini
sebaliknya pendapat yang dipilih oleh selain kaum sufi. — Dan hanya Allah Yang
Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus
dilakukan seorang murid, hendaknya tidak berbicara dan juga tidak diam kecuali
bila secara hukum dianggap darurat atau diperlukan. Mereka telah menganggap
bahwa sedikit bicara adalah salah satu dan sendi-sendi latihan spiritual (riyadhat).
Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan: “Apabila berbicara itu membuat anda
kagum, maka diamlah. Dan apabila diam itu membuat anda kagum maka berbicaralah.
Sebab pada pembicaraan terdapat bagian dan kepentingan din dan menampakkan
sifat-sifat terpuji.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. sering
kali meletakkan kerikil di dalam mulutnya, sehingga ia bisa mengurangi
berbicara. Ketika ia ingin berbicara yang tidak ada manfaatnya maka ia ingat
dengan kerikil yang ada di mulutnya. Konon katanya, ia meletakkan kerikil di
mulutnya selama setahun.
Rasulullah Saw bersabda: “Manusia
dijungkir-balikkan kepalanya di neraka hanya karena hasil panen lidahnya.”
Diantara perilaku yang harus
dilakukan para murid adalah sering kali merasakan lapar dengan cara yang
dibenarkan oleh syariat. Poin ini merupakan poin yang ditekankan dalam menempuh
tarekat. Sebagaimana Allah telah menjadikan wukuf di Arafah bagian rukun yang
terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji, maka Nabi Saw mengatakan, “Haji
adalah Arafah.” Maka orang-orang yang menempuh jalan Allah menjadikan lapar
adalah jalan menuju Allah.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.