بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
SYEIKH ABDUL MUHYI
PAMIJAHAN(1650-1730)
SILSILAH SYEH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN(1650-1730)
===============================================
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong,
Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar
agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali,
makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah,
adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel,
Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari
ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19
tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru
pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah.
Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran
martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau
wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh
Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya
penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh
Abdul Muhyi ke Jawa.
Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096
H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh
gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu
pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji,
Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan
Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang
tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat.
Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh
tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia
kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia
mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam
di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun
1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali
Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan
pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana
atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari
Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4
tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk
yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya
dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu
mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid
tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya
menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat
tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang
sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah
atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji
hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan
orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi
memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai
gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan
pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik
kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para
pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang
gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh
Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati
Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan
para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6
km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali
kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan
baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid
(sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan
pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya.
Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa
Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai
penjuru jawa Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan
untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah
putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa
sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten
yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang
Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram.
Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi
putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749)
ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah
Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari
pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya,
karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia
karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh
pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan
sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun
temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan
daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai
oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena
dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah,
jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru
kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi
ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya
sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah
sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon
dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji
Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa
Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat
Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda,
dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan
ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji
Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini,
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan
Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah
untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat
Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa
saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu
darinya.
Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang
Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah,
hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3) Wahidiyyah,
hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala
bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia.
Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam
menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama
menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran
Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan
Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara
keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu
meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan
martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan
manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya
termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba
mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan
konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian
aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia
agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan
Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.*** (Suplemen
Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal.
5-8.)
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.