بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Biografi
Singkat KH. R. Asnawi Kudus
A. Biografi Singkat KH. R. Asnawi Kudus
(1871-1947
Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah
haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi,
kemudian sesudah beliau menunaikan
ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang
terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah
Husnin seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu,
sedang ibunya bernama R.Sarbinah. KH.R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus
pada tahun 1281 H (+1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus
(Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali
yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung
Mataram.
Masa
Mudanya
Sejak kecil beliau diajar oleh
orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15
tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulung Agung Jawa Timur untuk mengaji
sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang
tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru
dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah
beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz
Termas dan Sayid Umar Shatha.
Menunaikan
Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan
sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mangajar dan melakukan tabligh
agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau
mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km
dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di
masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun
beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk
bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke
rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun.
Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk
ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di
Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah
suci untuk meneruskan cita-citanya.
Mukim
Di Tanah Suci
Semula beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin
dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau
pindah tempat di kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi
yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh
Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci,
disamping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih
mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para Ulama besar, baik
dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah.
Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang
ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri
Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid
Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam,
beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat
Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim
ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti
Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan.
Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir,
meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu
beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua
catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke
alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu
tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di
Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH.R.Asnawi lupa masalah apa
yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu,
tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum
kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk
diperkenalkan dengan KH.Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan
yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan
kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan.
Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan
dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap,
bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa”
(Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil
mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti
segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala
beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid
Manan: Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya
mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh. Pada
tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan
hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos
Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang
anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan
kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah
pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara
Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama
mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di
tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara
Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa
harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam.
Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak
masih di Mekah.
Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid
Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai
yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam
telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di
muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu
dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam
rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan
merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam
menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke
selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti
mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro). Kedua-duanya
tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu
dipukul oleh orang Cina.
Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina,
ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah
pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang
bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat
dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum
mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap
orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui
dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang
Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para
ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi
tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun
perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang
mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya
lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang
Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan
perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan
dalam penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak,
dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di
penjara Semarang bersama-sama dengan KH.Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan
KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.
Selama
Dalam Penjara
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang
putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada
di penjara Kudus pada setiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan
(membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu
mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat
menterjemahkan kitab Ajrumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang
karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.
Sesudah
Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau
langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang
pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau
adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh
oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan
dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan
tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke
daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai
ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam
mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok
pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim
yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini.
Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap
tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw.
Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib
yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri). Disamping melayani kebutuhan para santri
yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga
mengadakan wiridan, antara lain:Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan
di pondok pesantren Bendan Kudus.Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam
dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus.Membaca kitab Hadist Bukhari
yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama
bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman MenaraKudus, sampai beliau
wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani
Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927
M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama
Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani
dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan
datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas
menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan
penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat
sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar
terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh
pekewuh).
Kegemarannya
Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan: Silaturrahim, baik di tempat
yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun terhadap yang lebih
muda. Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun terutama terhadap keluarganya
asal terdapat hal-hal yang kurang baik apalagi terhadap hal yang nyata-nyata
melanggar syara’. Beliau tidak segan-segan memberikan peringatan atau teguran.
Ringan tangan bila diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap
tahunnya asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud
Nabi yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah
beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada kemampuan
untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan menolongmu”.
Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama kepada anak dan
cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang, sekalipun pahit, keras dan
tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga tetapi manis dirasa.
Keluarga Almarhum
Sesudah pergi haji yang pertama beliau menikah dengan putri KH. Abdullah Faqih
Langgar dalem Kudus bernama Mudasih dan dianugrahi dua orang putra: 1. HM.
Zaini mempunyai 5 orang anak. 2. Masy’ari mempunyai 2 orang anak. Pada waktu bermukim
di Mekah beliau menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda almarhum Syeh Nawawi
Banten) dan dianugrahi tiga orang anak: 1. HM. Zuhri mempunyai 5 orang anak 2.
H. Azizah ( istri KH. Saleh Tayu ) mempunyai 5 orang anak. 3. Alawiyah,
mempunyai 6 orang anak Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916, beliau
dinikahkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah
tetapi tidak tidak dianugrahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian nikah
dengan ibu Muthi’ah mempunyai 2 anak: Siti Budur dan K. Mufadh. Beliau juga
pernah menikah dengan Ibu Munijah Damaran dan tidak dikaruniai anak. Sewaktu
beliau wafat meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit
(buyut).
KH. R.
Asnawi Pulang Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26
Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke
rahmatullah. KH.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun
B. Pemikiran Tokoh Untuk Pengembangan
Intelektual Pesantren
Asnawi adalah
termasuk pendiri NU yang jarang diketahui oleh anggota NU itu sendiri. Hal ini
agak aneh, karena catatan pribadi Asnawi menunjukkan bahwa beliau aktif
menghadiri muktamar NU di berbagai tempat sebanyak 20 kali.
Tidak menonjulkan
figur ini di kalangan anggota NU bukan berarti beliau absen dari organisasi
tersebut. Bagi santri Kudus, Asnawi dikenang sebagai peletak dasar sunnisme
melawan ide-ide modernisme. Komite dan keterlibatan beliau dalam NU sebagai
suatu wadah persatuan ulama, harus dipahami dalam konteks ini. Siapa pun juga
bisa membaca muqaddimahnya dalam Mu’taqad Seked bahwa kaum muslim hendaknya; 1) menjalankan ibadah
dengan sungguh-sungguh, 2) memenuhi mujubat, 3) menjauhkan diri dari mahrumat,
4) percaya sepenuhnya kepada sunnisme sebagai mana dipaparkan oleh Abu As’ari
atau Maturidi dalam teologi.
Disini, poin tentang
Aas’arisme ditekankan, karena Asnawi dan para santri Kudus tidak sendirian
dalam memegang teguh pendirian ajaran teologi ini. Seluruh santri baik yang
menjadi anggota NU ataupun tidak, percaya bahwa tauhid Asy’ari merupakan bagian
terpenting dari religius mereka. Karena itulah, Asnawi dalam dakwah maupun
bukunya yang telah mempopulerkan ide-ide Nawawi dan Mahfudz tentang Asy’arisme
kepada masyarakat Jawa. Fiqh dan Tauhid adalah tema terpenting yang dimunculkan
oleh Asnawi. Dua kitabnya tentang bidang-bidang tersebut, yang terbit perdana
pada tahun 1050-an, telah dicetak ulang, yang menunjukkan kepedulian dan
ketertarikan beliau kepada bidang-bidang tersebut, yang membentuk cara pandang
komunitas pesantren.
C. Pemikiran Tokoh Untuk Peningkatan Peran
Pesantren Sebagai Agen of Change
Pada
tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk
bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah.
Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab
Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M
mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pada zaman penjajahan Belanda beliau
sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian
Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun
di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api,
sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya
beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pada zaman awal revolusi kemerdekaan
terutama pada masa menjelang agresi ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani
dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil.
Tidak
sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata
berdatangan untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke
medan pertahanan di Genuk, Alastuo dan lain-lain. Oleh Bupati Kudus, Raden
Surbakah pernah beliau dimintai untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai
tempat pengajian dan itu dipenuhi sehingga Bapak Bupati pindah. Majelis
pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah Sanganan di Masjid
Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus.
Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan
beliau.
Dengan diperkaya
pengalaman belajar dan mengajar di Jawa maupun Hijaz, Asnawi memutuskan untuk
menjadi seorang da’i. Beliau melakukan kegiatan dakwahnya, baik di dalm maupun
di luar Kota Kudus sendiri. Salah satu
kegiatannya adalah mendirikan sholat shubuh di berbagai masjid di Kudus, yang
mampu meringankan solidaritas dengan komunitas setempat.
D. Kesan Dan Komentar Tentang KH. R. Asnawi
Kudus
KHR. Asnawi
merupakan da’i keliling yang kharismatik, yang memperoleh otoritas dari
pengalaman religus yang beliau dapatkan dan kembangkan baik di Jawamaupun di
luar Jawa. Ilmu pengetahuan tak akan bermanfaat kecuali beliau berinteraksi dan
ditranmisikan, yang dalam hal ini lebih banyak menggunakan bahasa retorika yang
efektif.
Dengan bekal ilmu pengetahuan, yang KHR. Asnawi miliki
dengan mantab, kekuatan spiritual, dan pengalaman organisasi pada tingkat
internasional yang tidak dimiliki oleh ulama sesamanay, Asnawi menempati
kedudukan istimewa di masyarakat Jawa.
Beliau bersikap
tidak mau kompromi terhadap budaya asing yang masuk dalam ajarannya dalam
bidang fiqh maupun tauhid, menjadikan beliau mendapat tempat di hati
masyarakat.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.