بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH
KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB 2.
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata
dalam bahasa tasawuf)
9.
GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti kegaiban kalbu
dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah
laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya
tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan
yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala
atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam
pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi).
Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan
(karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika
siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.”
Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain.
Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di
dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas
ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api
besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh
faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda
menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula
perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya,
yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa
dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan
tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api
yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian
itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa
yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu
dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di
Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang
membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz
sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada
tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan.
Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama.
Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di
majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan
kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di
sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu
membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan
terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa
kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah
swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa
teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku
beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti,
seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari
makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna
limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan
kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka
kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal,
maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan
hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya
dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut
derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan,
karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama
makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya
beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus
salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar
Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau
Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang
dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu
Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku
juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi
berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang
ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun
menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama
mereka yang pergi kepada Allah swt.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.