بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH
KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB 2.
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata
dalam bahasa tasawuf)
6.
TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah upaya memohon ekstase
ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud
tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti
disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak
menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud
tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari
tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud
diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan
makna-makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari
kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi
al-Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri
sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda
mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu
lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan seperti
jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai
Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan :
“Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung
penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa
malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku
mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam
hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq
r.a. berkata : “Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan,
Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu
sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa
kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd
adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh
dari wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan
menambah kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq
r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid.
Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam
sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat
dikategorikan sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat
lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan
menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba seputar
hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari
mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu
kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali
setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’
ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak
dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku,
sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan
ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan
wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini, penyair
berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud
adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan
tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata, “Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan
ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi
lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara
berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud
(penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria
wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki
kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya
dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq.
Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih
unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis
Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata :
“Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya.
“Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai
al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga
pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul
Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang
beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari
anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari
nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr
ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak
dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul
ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta,
lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy
berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy
adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya
berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak
dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy.
Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan
ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas
kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat
maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah
kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta
tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy
berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput
maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam
rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati
karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia
pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada
waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan
begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki
tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh
hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab
hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap
nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.