بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
PEMAHAMAN TENTANG
QODHO’, IRODAH, QODAR, IZIN ALLOH dan MASYI’AH
Manusia sejak dilahirkan kedunia telah
mendapati fenomena-fenomena atau kenyataan yang ada dalam kehidupan yang
adakalanya dapat masuk dan difahami dalam batas pemikirannya, ada pula tetap
menggelayut menjadi suatu misteri yang tanpa ujung jawaban. Manusia mengalami
masa yang telah dilalui (kemarin) dan dia melihat masa itu menyisakan
perkara-perkara yang menjadi cacatan kehidupannya. Hari ini dia pun hidup dan
merasakan kehidupan tapi entah apakah dirinya berpikir tentang hari yang
dijalaninya, atau dia mengalir tanpa arah dan tujuan. Menghadapi masa yang akan
datang (esok) yang merupakan masa yang diselimuti misteri tentang keberadaanya.
Keumuman sikap
manusia dalam taraf basyar (UMUM). Inilah yang disinyalir dalam surat
al-Jatsiyah ayat 26;
قُلِ
اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ لَا رَيبَ فِيهِ وَلَكِنَّ أَكَثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah:
“Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu
mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (45:26)
Ketika derajatnya
meningkat satu tahap yakni menjadi insan, manusia lebih peduli terhadap
kehidupan dan makna kehidupan dirinya, masa (al-dhar) dipandang bukan suatu
yang misteri, ia adalah sesuatu yang riil, dan senantiasa berada dalam dimensi
pemikirannya, celakanya dia terjeلاak pada
ilusi semata, yakni dunia ini adalah material semata. Jika tanpa kendali dia
menjadi sebuah bola liar menuju suatu faham materialisme. Suatu paham yang
menistakan keberadaan Dzat Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan hari esok
(akhirat). Inilah potret manusia yang dilukiskan pada surat al-An’am ayat 29;
َوَقَالُواْ إِنْ
هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
” Dan tentu mereka
akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita
sekali-kali tidak akan dibangkitkan”.(QS 6:29)
Berbeda, jika
kehidupan dunia ini dipandang oleh khairul ummah (manusia yang paripurna)
dengan piranti yang dimiliki; indra, akal dan hati, dia mendapati kehidupan
sesungguhnya senantiasa berada pada tiga dimensi, yakni dimensi realiatas
(ainul yaqin), dimensi kesadaran (‘Ilma yaqin) dan dimensi spiritual (haqul
yaqin). Dunia (dekat, cepat, binasa) adalah lintasan menuju dunia sesungguhnya
dunia tanpa batas (akhirat) . Inilah potret Ulul Albab yakni potret tahap awal
menuju kesempurnaan khairu ummah.
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لِّأُوْلِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka.
Menjadi tingkat ulul
albab belumlah menjadi jaminan manusia bisa meraih kehidupan sebenarnya,
derajat muttaqi lah seorang manusia akan melihat dan merasakan kehidupan
sebenarnya yakni kehidupan berdasarkan aturan dan tujuan yang memberi kehidupan
itu sendiri. Muttaqi dan setingkat lebih tinggi darinya yakni atqaq adalah
orang yang menjalani kehidupan dengan aturan dan petunjuk yang benar, petujuk
Al-Qur’an petunjuk hidup manusia yang menuntun kepada kebahagian yang sebenarnya.
Al-Qur’an adalah
petunjuk terbesar disamping petujuk-petunjuk lain yang menuntun seorang muttaqi
meraih kebahagiaan hakiki. Al-Qur’an adalah media komunikasi antara Khaliq dan
mahluk, sebuah komunikasi melewati bahasa arab sebagai bahasa pilihan diantara
bahasa-bahasa yang ada didunia. Didalamnya ada ribuan ayat dengan ragam style.
Muhkam, mutasyabih, amm, khas, adalah diantara ragam-ragam ayat al-Qur’an yang
penuh eksotik. Disamping itu untaian kata yang membentuk istilah-istilah
Qur’ani bersebaran bagai bintang-bintang yang sukar digenggam maksud dan
tujuannya. Dan juga bagai mutiara yang perlu usaha keras untuk menggapainya
karena dalamnya samudra al-Qur’an itu sendiri. Inilah sisi ‘izajul Qur’an
(mukzijat al-Qur’an) sepanjang zaman.
Diantara eksotikasi
istilah al-Qur’an, adalah apa yang disebut musytarak (memiliki ragam arti),
wujuhul ma’na (ragam maksud), muradif (sinonim), mutaradif (mirip) yang
semuanya menjadi khazanah pergulatan pemikiran yang tiada hentinya.
Ketidakpuasan terhadap maksud suatu istilah al-Qur’an, mendorong seorang
muttaqi untuk menggali kembali dari maksud istilah tersebut. Beragam metode
yang ditawarkan oleh para ahli sebagai piranti untuk menggali makna dan maksud
istilah-istilah tersebut. Diantaranya dengan method tafsir maudhu’I (tematik)
dan sastra yang dianggap oleh sebagian ahli sebagai metode yang cukup efektif
untuk eksplorasi tafsir istilahi.
Diantara kajian
istilah yang menjadi pergulatan pemikiran para ahli adalah perkara yang
berhubungan dengan bidang teologis, atau lebih tepatnya jabariyah (paksaan) dan
qadariyah (pilihan) terhadap amal dan prilaku manusia. Keduanya bermuara dari
beberapa istilah al-Qur’an yang memungkinkan terjadinya perbedaan sudut pandang
dalam memahaminya ketika berada pada suatu ayat. Istilah-istilah ini antara
lain :
1. Qodho’ Allah
2. Irodhah Allah
3. Qodar (takdir)
Allah
4. Izin Allah
5. Masyi’ah Allah
Ke-limanya adalah
laksana mutiara didalam samudra yang mungkin untuk dapat diraih, dengan dasar
inilah, penulis mencoba menelaah dan mengkaji dari keempatnya sebagai mana
berikut ini.
I. QODHO’ Allah
Qodho’ (قضي)
qa-dha-ya muncul dalam al-Qur’an kurang lebih 37 ayat dalam beragam penjelasan
dan pemahaman. Ia termasuk istilah yang tergolong mustaroq (memiliki arti lebih
dari satu). Secara lafadz, Qodho’ (قضي) memiliki arti sebagai berikut;
1. Qodho’ (قضي) sama
dengan (أخبر)
akh-ba-ro (menginformasikan), sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَيْنَا
إِلَيْهِ ذَلِكَ الأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَؤُلاء مَقْطُوعٌ مُّصْبِحِينَ
Dan telah Kami
informasikan kepadanya (Lut) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas
habis di waktu subuh. (15:66)
Ayat lain Al-Isra :4
Al-Qasas : 44
2. Qodho’ (قضي)
semakna dengan (أمر) a-ma-ra (memerintahkan) lawan dari (نهى) na-ha (melarang), sebagaimana dalam
firman-Nya
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (17:23)
3. Qodho’ (قضي)
semakna dengan(أخر) Aa-kha-ra (mengahiri sesuatu), sebagaimana firman-Nya
فَاسْتَغَاثَهُ
الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى
عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
Maka orang yang dari
golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari
musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini
adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan
lagi nyata (permusuhannya).(28:15)
Ayat lain yang
semakna Al-Qasas :28, Al-Ahzab :23
4. Qodho’ (قضي)
semakna dengan (أراد) a-ra-da (hendak/ketetapan) atau kehendak ilahi yang operatif,
sebagaimana firman-Nya
مَا
كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً
فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi
Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka
Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan
Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan
kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia.(16:40)
Makna ke-empat inilah
yang dimaksud dalam kajian ini, untuk selanjutnya,
Apa yang dimaksud
dengan Qodho’ itu ?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, kita lihat ayat-ayat berikut;
مَا
كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً
فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi
Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka
Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan
kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (16:40)
إِنَّمَا
أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
“Jadilah!” maka terjadilah ia. (36:82)
هُوَ
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ فَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن
فَيَكُونُ
Dia-lah yang
menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia
hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (40:68)
أَتَى
أَمْرُ اللّهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Telah pasti datangnya
ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha
Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (16:1)
يُنَزِّلُ
الْمَلآئِكَةَ بِالْرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ
أَنذِرُواْ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنَاْ فَاتَّقُونِ
Dia menurunkan para
malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian,
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu
bertakwa kepada-Ku”. (16:2)
Dari ayat-ayat
diatas, maka Qodho’ tidak lain Irodah adalah amr-Nya (ketetapan). Pada 4 ayat
pertama diikuti dengan kalimat yang tetap “yaqulu”, “naqulu” yang artinya bahwa
ketetapan Allah yang operatif tidak akan terjadi kecuali dengan “qaul-Nya”.
Sedangkan “qaul-Nya” adalah yang “al-haq” yang “riil” yakni
kalimat-kalimat-Nya. Sedangkan “kalimat-kalimat-Nya” tiada lain adalah realitas
wujud itu sendiri dengan hukum-hukum obyektifnya. Artinya qadha (ketetapan )
yang pasti itu akan terealisasi melalui sesuatu yang telah ditentukan. Yakni
syarat-syarat objektif yang terakumulasi dalam sebuah kitab. Misalnya
qodho’kemenangan dalam peperangan akan terelalisasi apabila telah terpenuhinya
syarat-syarat objektif untuk menang yang terakumulasi dalam “kitab kemenangan”.
Jika syarat-syarat objektifnya tidak terpenuhi sampai kapan pun tidak akan ada
(takdir) kemenangan dalam peperangan.
Sedangkan pada dua
ayat terahir (Al-Nahl :1-2) amr-Nya tidak diikuti “qoul-Nya” dalam bentuk
kalimat “qouluhu” “qulna”,”naqulu” dan “kun fayakunu”, maka yang dimaksud
amr-Nya disini adalah awamir (perintah-perintah) sebagai kebalikan dari
larangan-larangan (nawahi), maka ia bukan qadha artinya ia bukan hukum-hukum
objektif yang berproses diluar kesadaran melainkan hukum subjektif yang berada
dalam kesadaran manusia. Ia juga bukan kalimat-kalimat-Nya namun merupakan
iradah Allah yang merupakan peringatan dan merupakan hubungan-hubungan
spiritual yang tidak bersifat material.
Singkatnya, qodho’
Allah adalah amr-Nya ada dua bentuk yakni amr (perintah) yang merupakan lawan
dari nahy (larangan) dan kedua amr-Nya yang berupa amr kondisional-operatif
(ketetapan situasional) yang ada dengan adanya ketentuan lain yakni
syarat-syarat objektifnya.
Apakah qodho’ itu
bersifat azali (ditentukan di lauhul mahfudz)?
Telah disebutkan
diatas, bahwa ketika Allah menetapkan qodho’-Nya yang operatif maka hal
tersebut tereralisasi melalui kalimat-kalimat-Nya. Atau hukum-hukum objektif
wujud, yakni syarat-syarat objektif yang terhimpun dalam sebuah kitab. Oleh
sebab itulah Allah selalu menggunakan bentuk kalimat qoul. Didalam qoul ini ada
dua sisi yakni :
1. Penggunaan secara
umum iradah dengan firman-Nya “kun”
2. Penggunaan secara
umum qudrah dengan firman-Nya “yakunu”
Dari dua sisi itu
terdapat perbedaan maksud. “kun” menunjukan kesegeraan, sedangkan “yakuun” yang
mempunyai selang waktu. Oleh karenanya, qadha-Nya bersifat tidak azali artinya
ketetapan Allah tidak ditentukan dilauh mahfudz. Kecuali hukum-hukum wujud dan
perkembangan. Jika seandainya qadha Allah bersifat azali maka kalimatnya yang
mungkin adalah ” fa innama yaqulu lahu fa kana” (sesungguhnya jika Allah
berfirman: “jadilah” maka ia langsung jadi”) akan tetapi disini menggunakan
“yakun” (akan terjadi). Oleh karenanya qadha Allah (ketetapan yang bersifat
umum) dapat berubah dan berganti dengan ikhtiar salah satunya dengan kekuatan
do’a.
Dalam surat Yunus :98
disebutkan;
فَلَوْلاَ
كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا
آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Dan mengapa tidak ada
(penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya
selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan
dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri
kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.( 10:98)
Disini kita melihat
secara pasti bahwa qadha’ Allah tidak bersifat azali dan bisa berubah dengan
perubahan kondisi manusia. Oleh sebab itulah datang para Nabi dan Rasul untuk
memberikan peringatan pada manusia. Jika qadha itu azali maka risalah dan
nubuwah serta do’a menjadi suatu yang sia-sia karena azali dan telah ditentukan
dalam lauh mahfudz. Ayat lain yang senada dengan ayat diatas;
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ
مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ
يَكْسِبُونَ
Jika sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (7:96)
Adapun qadha Allah,
yang kedua yakni amr-Nya (perintah-perintah) yang menjadi lawan nawahi
(larangan-larangan) ia tidak mengandung sifat-sifat azali sedikit pun, tidak
juga bersifat material karena ia bukan kalimat-kalimat-Nya melainkan dari ruh
yang berasal dari arsy bukan dari lauhul mahfudz.
II- Qodar (takdir)
dan Miqdar Allah
Istilah lain yang
muncul berkenaan dengan qadha adalah qadar dan miqdar. Keduanya berasal dari
akar kata yang sama yakni (قدر) qa-da ra. Secara lafdhiyah berarti batas, inti, atau ahir dari
sesuatu. Sedangkan menurut terminologis qodar adalah batas maksimal dari segala
sesuatu. Qodar merupakan ketetapan Allah terhadap segala sesuatu, sesuai dengan
batas maksimal dan ahir yang dia kehendaki. Dari kata qodar muncul istilah
qudratullah yaitu kemampuan Allah dalam merealisasikan segala sesuatu yang
Allah kehendaki dalam kualitan dan kuantitasnya. Sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ
اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (2:148)
فِي
مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
di tempat yang
disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (54:55)
Al-Qodar dalam
konsepsi ayat-ayat Al-Qur’an adalah wujud segala sesuatu dengan kuantitas
sekaligus kualitas yang ada diluar kesadaran manusia dimana kuantitas dan
kualitas tidak bisa dipisahkan dari yang lainnya dalam wujud objektif dan juga
pada substansi dan batas maksimalnya yang merupakan transfigurasi (perubahan
dalam proses kejadian ) dan evolusi.
Pada ayat berikut,
kita bisa melihat , bahwa qadar yang padanya ada kualitas dan kuantitas dan
padanya pula terdapat fungsi-fungsi dari segala sesuatu;
سَبِّحِ
اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Sucikanlah nama
Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),
dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (Al-‘Alaa :1-3)
Disini dapat kita
perhatikan bahwa ada keterkaitan anatara “yang menentukan qadar” dengan “member
petunjuk”. Ini artinya bahwa wujud secara kuantitas dan kualitas kedua-duanya
menyebabkan”petunjuk” kepada sesuatu untuk menjalankan fungsinya. Oleh sebab
itulah digunakan “yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”
secara lepas dan tidak ada hubungan dengan prilaku sadar manusia.
Al-Miqdar
Al-Miqdar adalah
kuantitas yang terlepas dari kualitas. Ia adalah bentuk Gambaran semata, sebab
tidak mungkin mengabstraksikan kuantitas dari kualitas kecuali dengan
pengetahuan abstrak.
Al-Miqdar dan
al-Qadar dapat di bedakan sebagai mana ilustrasi berikut;
“Apel + Apel = Dua
Apel” (qadar) Kuantitas sekaligus kualitas.
Ketika diabstraksikan
dalam pengetahuan maka dinyatakan sebagai berikut;
” 1 + 1 = 2″
(miqdar), Kuantitas abstrak semata.
Ayat-ayat yang
mengunakan konteks Al-Miqdar antara lain;
1. Bayi dalam
kandungan ibunya ( Al-Ra’d :8)
2. Perhitungan
hari/waktu (Al-Sajdah :5)
3. Ukuran kecepatan
malaikat/cahaya ( Al-Ma’arij :4)
Istilah lain yang
berhubungan dengan qadar dan miqdar adalah Al-‘adad (kalkulasi) dan al-Ihsha
(statistifikasi). Al-‘adad berasal dari kata ‘adda yang berarti “ukuran dari
apa yang bisa dihitung “. Sedangkan Al-Ihsha berasal dari kata ha-sha-wa yang
berarti “menahan ” dan “menghitung dengan sabar”. Berikut ini adalah contoh
ayat-ayat yang mengandung istilah tersebut,
فَلاَ
تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدّاً
Maka janganlah kamu
tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya
menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang
teliti. (Maryam :89)
يَوْمَ
يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ
وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika
mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang
telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu,
padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
(Al-Mujadilah :6)
لِيَعْلَمَ
أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى
كُلَّ شَيْءٍ عَدَداً
Supaya Dia
mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan
risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada
pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin :28)
Beberapa ayat berikut
yang mengandung dua istilah tersebut;
A- ‘ADDA
1. Usia atau umur
sesuatu/orang ?” (Al-Mu’minun:112-113)
2. Perhitungan
kalender. (Yunus:5)
3. Dimensi waktu dan
ruang (Al-Kahfi :11)
4. Bilangan perbuatan
manusia (Al-Jin :24)
5. Perbedaan
perhitungan waktu (Al-Hajj :47)
B- IHSHA
1. Statistikasi amal manusia(Yasin
:12)
2. Segala sesuatu
terakumulasi dalam kitab (al-Naba:29)
3. Rumus kalkulasi
(Al-Kahfi :12)
C. ‘ADDA dan IHSHA
1. Segala sesuatu
terkalkulasi dan terstatistifikasi (Maryam :94)
2. Segala sesuatu
terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Jin :28)
3. Nikmat Allah tidak
terkalkulasi dan tidak terstatistifikasi (Ibrahim :34)
4. Hukum perdata
islam terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Thalaq:1)
III. IDZIN Allah
Kata idz berasal
daria-dzi-na secara bahasa memiliki dua makna;
1. Menampakan sesuatu
dan menegaskan suatu kejadian serta merealisasikannya.
Dalam surat Ali
-Imran :145 Allah menggunakan kata “idzin” untuk konteks kematian,
وَمَا
كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً
Sesuatu yang bernyawa
tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya.. (3:145)
Artinya, izin Allah
pasti terjadi dan terealisasi yang dalam konteks ini adalah “kematian”. Akan
tetapi kematian akan terealisasi melalui “kitab” yaitu kitab kematian yang
merupakan akumulasi syarat-syarat objektif yang jika telah tercapai pasti akan
terjadi kematian. Syarat itu akan datang dengan tiba-tiba (muajjal) dan tidak
ditentukan waktunya. Artinya umur seseorang bisa panjang dan bisa pendek tergantung
terpenuhinya syarat-syarat objektif kematian. Allah member izin kematian
manusia jika berada diatas suhu 44 derajat Celsius, Allah juga member izin
kematian dengan dibakar, digantung, minum racun dll.
Jadi izin Allah
adalah nampaknya sesuatu yang terealisasinya sesuai dengan syarat-syarat dan
hukum-hukm objektif dan terakumulasi dalam kitabnya masing-masing.
Berikut ini adalah
kejadian-kejadian dengan menggunakan kontek idzn Allah:
a. Munculnya mukzijat
para Rasul (Al-Mukmin :78)
b. Kekalahan dalam
perang (Ali-Imran :166)
c. Datangnya musibah
(Al-Taghabun :11)
d. Akibat pembicaraan
rahasia (Al-Mujadilah :10)
e. Pemberiaan syafaat
(Al-Baqarah :225,Yunus: 3, Thaha :10, Saba:23, Al-Naba :38)
f. Turunnya para
malaikat (Al-Qadar:4)
g. Menimpakan madharat
kepada orang lain (Al-Baqarah :102)
h. Kemenangan
kelompok yang kecil (Al-Baqarah :249)
i. Menghidupkan yang
mati, Menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati (Ali Imran :49)
j. Tumbuhan subur
tumbuh pada tanah yang subur (Ibrahim :11)
k. Penaklukan
sebagian jin (Saba :12)
l. Sikap terhadap
agama (al-Fathir ;12)
2. Memberi
pemakluman, pemberitahuan informasi dan kesepakatan. Seperti dalam surat
Al-Hajj: 27,
وَأَذِّن
فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن
كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh, (22:27)
Berikut ini adalah
perkara-perkara yang disebut dalam konteks izin (pemakluman, kesepakatan)
a. Tidak pergi jihad
(Al-Taubah :90)
b. Masuk kerumah
orang lain (Al-Nur :27)
c. Ikut berperang
(Al-Taubah:83)
d. Izin Rasulullah
(Al-Nur :62)
e. Haji Akbar
(Al-Taubah :3)
f. Izin Budak (Al-Nur
:58)
Izin Allah adalah
hukum-hukum objektif-oferatif yang terakumulasi dalam sebuah kitab, dan efektif
ketika ia ada.
IV. Al-Masyi’ah Allah
Masyi’ah berarti
kehendak, Masyi’ah Allah berarti kehendak Allah. Pada dasarnya antara idzn dan
masyi’ah sama. Bedanya izin Allah hanya mengandung satu sisi yaitu efektif
ketika ia ada. Adapun kehendak Allah (masyi’ah) mengandung dua sisi, negative
dan positif.
Berikut ini contoh
sederhana membedakan keduanya;
Ketika Zaid sakit ia
akan berobat ke dokter, dan dia besok akan pergi kedokter. Maka kepergian Zaid
kedokter memiliki dua kemungkinan jadi berangkat atau tidak jadi berangkat
sehingga dia bilang :”besok saya akan pergi kedokter, jika Allah menghendaki”.
Ternyata dia jadi berangkat kedokter dan dikasih obat, maka dia bilang: “saya
akan makan obat ini supaya sembuk dengan izin Allah”. Ini disebabkan dia
mengandung satu sisi yang satu, yakni dengan kesembuhan dari penyakit.
Oleh karenanya,pada
ayat berikut mengunakan kalimat” orang yang dikehendaki” dalam konteks mendapat
petunjuk;
ذَلِكَ
هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُواْ
لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk
Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.(6:88)
Untuk mendapat
hidayah mesti memenuhi syarat-syarat objektif melalui hukum-hukum yang
operatif. Penganugerahannya kepada seseorang mengandung dua sisi, yakni
bersyarat. Seseorang yang telah memenuhi syarat, maka dia akan mendapat hidayah
tersebut, sedangkan yang tidak memenuhi syarat tidak akan mendapatkannya.
Misalnya sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat :258;
وَاللّهُ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.
Berikut ini
perkara-perkara yang menggunakan kontek yang dikehendakinya,
a. Pemberian
kekuasaan, memuliakan seseorang,menghinakan seseorang (Ali Imran:26)
b. Memberi rizki
tanpa batas (Ali Imran :27)
c. Memberi hidayah
(Al-‘Araf:155)
d. Meninggikan
derajat (Al-An’am:83)
e. Memberikan karunia
(Ali Imran :73)
f. Memberi petunjuk
(al-An’am :88)
g. Menghapus dan
menetapkan sesuatu (Al-Ra’d:39)
h. Menjadikan manusia
iman semua (Al-An’am :149)
DALAM PENGERTIAN
MAKNA ISTILAH
سوابق
الههم لا تخرق أسوار الأقدار
“Semangat yang tinggi
tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”
1. Penjelasan
Etika yang harus
dilakukan dalam maqam asbab adalah percaya akan takdir Allah. Etika ini sangat
urgen untuk di pegang oleh salik yang ingin selamat dari kesesatan. Karena
sebesar apapun usaha salik pasti tidak akan keluar dari takdir Allah. Oleh
karena itu Ibnu Atha’illah menjelaskan dengan kata hikmahnya :
“Semangat yang tinggi
tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”.
“Semangat” disini
adalah kemauan keras yang diberikan Allah kepada manusia untuk menghadapi
kehidupan mereka seperti kerja, mengajar, dan sebagainya. Kemauan atau semangat
keras yang diberikan Allah kepada manusia tersebut tidak akan mampu menembus
dinding takdir Allah.
Qodar ( takdir Allah ) Di Ibaratkan dengan dinding kokoh yang
membentengi suatu negara. Jika ada seorang musuh yang ingin menghancurkan
dinding tersebut maka dia tidak akan berhasil. Begitu juga manusia, dia tidak
akan mampu membatalkan takdir Allah dengan kemauan dan semangat kerasnya
tersebut.
Lakukanlah asbab
(bekerja) sesuai kemampuanmu, namun ketahuilah bahwa asbab yang kamu kerjakan
walaupun disertai kemauan keras dan efektifitas akan menjadi sirna jika
berhalangan dengaan Qodho’ dan hukum Allah yang telah digariskan.
Perlu kita ketahui bahwa Qodho’ dan Qodar itu
memiliki arti yang berbeda. Qodho’ adalah ilmu Allah pada zaman azali dengan
segala sesuatu yang akan terjadi, sedangkan Qodar adalah terjadinya sesuatu hal
sesuai dengan ilmu Allah pada zaman azali tadi. Kemudian Qodho’ yang namanya
berubah menjadi Qodar ketika telah terealisasi, ada kalanya hanya Allah-lah
sebagai pemegang kendali (kehendak manusia tidak ikut andil) seperti datangnya musibah
dan bencana alam. Dan ada kalanya Qodho’ Qodar terjadi atas kehendak Allah
tetapi manusia memiliki andil di dalamnya seperti bekerja dan beribadah.
Walaupun keduanya berbeda namun keduanya termasuk dalam Qodho’ dan Qadar Allah
SWT. Karena kesemuanya bekerja sesuai ilmu dan penciptaan Allah. Oleh karena
itu segala sesuatu yang tunduk di bawah Qodho’ dan Qodar Allah tidak ada
hubungannya dengan ikhtiyar (usaha) dan idhtirar (keterpaksaan) manusia.
1. Al-Qur’an surat al-Dzariyyat 58 di jelaskan
إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah
dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
Dan juga surat
Al-Ankabut : 17
.فَابْتَغُوا عِنْدَ
اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan
sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan
dikembalikan.
Serta hadist Nabi :
شرح
الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية – (ج 1 / ص 9)
إنَّ
أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ في بَطنِ أُمِّهِ أَربعينَ يَوماً نطفة ، ثمَّ يكونُ
عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ، ثمَّ يكونُ مُضغةً مِثلَ ذلكَ ، ثمَّ يُرسلُ إليه المَلَك
، فيَنْفُخُ فيه الرُّوحَ ويُؤْمَرُ بأربَعِ كلماتٍ : بِكَتْب رِزقه وأجَلِه وعمله
، وشقيٌّ أو سَعيدٌ
Sesungguhnya kejadian
kalian di kumpulkan dalam perut ibu selama 40 hari berupa air mani, kemudian
berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging
juga selama 40 hari, lalu Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh dan di
perintah agar menulis 4 perkara yaitu rizqinya, ajalnya, amalnya dan celaka
atau beruntung.
Dari ketiga dalil diatas bisa kita ketahui
bahwa rizqi telah digariskan dalam ilmu Allah dan masuk dalam genggaman Qodho’-Nya.
Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali telah tergaris dalam ilmu-Nya. Adapun
kesungguhan dan kerja keras kita hanyalah sebagai pelayan bagi segala sesuatu
yang telah termaktub ( tertulis ) dalam Qodho’ dan hukum Allah dan juga sebagai
pelayan bagi Qodar yang realisasinya pasti sesuai dengan ilmu dan Qodho’-Nya.
2. Al-Qur’an surat
Al-Baqarah : 255
اللَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ
عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ
الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada
yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui
apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Allah mensifati
Dzat-Nya dengan Al-Qoyyum yang artinya Dzat yang mengurusi segala urusan untuk
selama-lamanya. Jadi tidak ada satu makhluk yang bergerak atau memberi pengaruh
kecuali dengan tindakan langsung dari Allah SWT.
3. Al-Qur’an surat
Al-Rum : 25
وَمِنْ
آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ
دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil
kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
Jadi bergeraknya Afaq
(cakrawala) bumi dan apa saja yang ada di dalamnya tergantung dari rahmat
Allah. Perlu kita ketahui, ayat di atas menggunakan kalimah “تقوم ” yaitu fi’il
mudlari’ yang menunjukkan zaman al-istimror (selama-lamanya dan terus-menerus).
Segala sesuatu yang kita lihat baik berupa gerakan maupun perubahan, besar
maupun kecil tidak akan sempurna tanpa kekuasaan dan perintah Allah SWT. Lalu
(dengan penetapan ini) apakah ada yang mengatur segala sesuatu selain Allah?
4. Al-Qur’an surat
Al-Fatir : 41
إِنَّ
اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ
أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi
supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada
seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya dia adalah
Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Perhatikanlah ayat di
atas, Allah memberikan redaksi dengan kalimah “يمسك” yaitu fiil mudlari’ yang juga bermakna
zaman Al-istimror. Ayat di atas menjelaskan bahwa langit dan bumi bisa teratur
dari waktu ke waktu karena aturan dan hukum Allah. Seandainya satu detik saja
Allah tidak mengaturnya maka segala sesuatu pasti akan hancur dan tentunya
sangat jauh apabila ada makhluk atau penyebab lain yang menempati posisi Allah
sebagai pelaku utama yang mengatur alam ini.
5. Al-Qur’an surat
Yasin : 41
وَآَيَةٌ
لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar)
bagi mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh
muatan.
Jika memang perahu
yang mengarungi gelombang laut itu adalah pelaku pengangkutan yang berpotensi
dan mandiri, lalu kenapa Allah menisbatkan (menyandarkan) pekerjan mengangkut
manusia di atas kapal kepada Dzat-Nya sendiri, dan tidak menisbatkannya pada
kapal yang lahirnya memiliki kekuatan tersendiri?.
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa
yang mengangkut kapal dan manusia di dalamnya adalah Allah. Dengan demikian
sirnalah kesalah pahaman dan benarlah bahwa al-Sababiyyah al-Haqiqiyyah
(penyebab haqiqi) dalam pengangkutan hanyalah Allah SWT.
sesungguhnya
pekerjaan yang kita lakukan hanyalah menuruti perintah dan aturan yang telah
ditetapkan Allah pada semua makhluk. Kita diperintahkan untuk makan, minum dan
berobat jika kita lapar, haus, dan sakit. Kita juga diperintah agar waspada
pada penyakit dan musibah. Keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah harus
ditancapkan dalam diri kita. Hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu
dan tidak ada pengaruh kecuali dari hukum-Nya. Allah SWT telah berfirman dalam
surat Al-A’raf : 54 :
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ
الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy.
dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Allah memerintahkan
kita untuk mengerjakan pekerjaan, di sisi lain Allah juga memerintahkan pada
kita untuk meyakini bahwa semangat yang kuat tidak mampu menembus
dinding-dinding takdir.
Syari’at (aturan)
yang dibebankan Allah dan keyakinan yang diajarkan-Nya (pelaku hakiki hanyalah
Allah) teraplikasikan dalam khitabNya kepada Sayyidah Maryam ketika bersandar
pada pohon kurma dalam keadaan hamil. Allah berfirman di dalam surat Maryam :
25 :
وَهُزِّي
إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke
arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Pohon yang disandari
Sayyidah Maryam adalah pohon kurma yang sudah tua dan tentunya tidak berbuah
lagi. Namun seketika itu pula Allah menumbuhkan buah kurma yang masih segar.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah sangat mampu sekali untuk menurunkan
buah kurma dalam pangkuan Sayyidah Maryam tanpa harus memerintahkan Sayyidah
Maryam untuk menggoyang pohon kurma tersebut. Namun Allah ingin mengajarkan
aturan dan syari’at kepada manusia. Oleh karena itu Allah berfirman :
وَهُزِّي
إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ
“Dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu”
Dengan demikian kita
tahu bahwa yang menciptakan kurma adalah Allah, namun Allah mengajarkan sebab
demi turunnya buah kurma yaitu dengan menggoyang pohonnya.
Marilah kita melihat
education efec ( pengaruh edukasi ) dengan melakukan asbab ( pekerjaaan ),
namun didasari keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah dan segala sesuatu
pasti tunduk pada Qodar Allah, maka kita akan menemukan efek yang baik pada
diri manusia serta akan membentuk jiwa dan pikiran yang sehat.
Jika usaha kita yang berada di bawah Qodho’
dan Qodar Allah, telah menghasilkan cita-cita kita, maka kita akan yakin bahwa
anugerah ini adalah pemberian Allah SWT dan dari sinilah kita harus banyak
bersyukur dan memuji Allah SWT. Sebaliknya, jika cita-cita kita belum terwujud
maka kita menyadari bahwa semuanya telah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu
kita tidak akan kebingungan dalam menghadapi kehidupan ini dan kita tidak akan
mengandai-andai bahwa jika kita melakukan seperti ini niscaya tidak akan
terjadi seperti ini, dan jika kita melakukan seperti apa yang dilakukan
seseorang niscaya kita akan sukses seperti mereka.
Fenomena di atas telah meracuni sebagian
manusia yang mengakibatkan mereka stress dan hidup dalam kesedihan. Namun
seorang mukmin yang patuh pada hukum-hukum syar’i serta dilandasi keyakinan
pada qadla ilahi pasti akan selamat dari musibah dan penyakit ini. Karena
mereka tahu bahwa ini semua terjadi atas kehendak Allah. Dengan percaya dan
ridho atas kehendakNya, maka mereka semakin tenang dan yakin bahwa kehendak
Allah tersebut adalah yang terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya kita
akan tunduk dan menjalankan wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
استعن
بالله ولاتعجز وان أصابك شئ فلا تقل لو أني فعلت كذا لكان كذا, فان لو تفتح عمل
الشيطان ولكن قل قدر الله وما شاء فعل. (رواه مسلم)
Mintalah pertolongan
pada Allah dan janganlah lemah, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu
mengatakan bahwa sendainya saya melakukan seperti ini niscaya tidak akan
terjadi seperti ini, karena mengandai-andai itu akan membuka pintu sayetan.
Akan tetapi katakanlah bahwa Allah telah menakdirkan seperti ini dan Allah
berhak untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Kita juga harus tahu bahwa dengan adanya
Qodho’ dan Qodar Allah bukan berarti kita tidak memiliki ikhtiyar (usaha),
karena masalah Qodho’ dan Qodar itu tidak ada hubungannya dengan ada atau
tidaknya usaha manusia. Inilah hal yang perlu kita perhatikan dan janganlah
kita tertipu oleh asumsi sebagian manusia dalam memahami makna Qodho’ dan
Qodar. Dengan demikian kita akan selamat dari kesesatan dan hidup dalam penuh kehormatan
dan ketenangan.
Wallohu
‘alam bissawab
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.