Membumikan
Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Tafsir dan
Modernisasi
Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju
terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan
satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan
penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan
baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah
mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka --melalui Kitab Suci
tersebut-- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar
bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS 2:213).
Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan
di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya
(baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan --melalui
petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-- apa yang dapat mengantar
mereka menuju terang benderang.
Di sisi lain, Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal sebagai: tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan
tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya.
Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ... (QS 48:29).
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal tersebut
terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di
atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan yang --antara lain-- bercirikan
dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci
seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan bahwa
Al-Quran menganjurkan pembaruan atau --dalam bahasa hadis Rasulullah saw.--
tajdid, atau istilah lainnya "modernisasi" atau
"reaktualisasi".
Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdid,
terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak hadis yang diriwayatkan Abu
Daud dari sahabat Abu Hurairah,58 namun --dalam
pengertiannya serta pengalamannya-- telah terjadi perbedaan-perbedaan yang
tidak kecil.
Busthami Muhammad Said59 misalnya,
menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan oleh Sahl Al-Sha'luki
(w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada
masa salaf pertama" (i'adah al-din ila ma kana
'alayhi ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu, Ahmad ibn
Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai "penyebarluasan ilmu".60 Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu
rumusan bahwa tajdid tidak lain kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan
kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal."
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai "usaha
untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
serta kondisi sosial masyarakat."61
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran
sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan
saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta
memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil
pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman,
pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara
generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada
suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti
"keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan
kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan
pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau
membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang
dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat." Selain itu,
menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau
penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena
perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan
dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat
objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.
Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide
sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara
tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di
satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan,
dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan Al-Maududi:
"Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya
tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula
pemahamannya tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami Al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan
murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw."62
Pendapat Al-Maududi di atas, walaupun kelihatannya berbeda dengan
pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun hakikatnya sama. Menurut Al-Syathibi,
"Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana
pemahaman para sahabat Nabi saw."63
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah
"murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari
Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di
antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim,
misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (QS 2:187),
dengan arti hakiki (benang).64
Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian
pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci
utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna
umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah
dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah
ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai
makna-makna simbolis. Al-Quran --katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat
mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan
terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran Al-Quran.65
Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat "banyak"
ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-ta'wil-kan sebagaimana cara
yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra rasionalitas dalam
ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wil-kan
menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)?
Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat
terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.
Pandangan tentang Modernisasi Tafsir
Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan
dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.
1. Hadis-hadis dan
Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan
pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi alma'tsur,
yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan
Al-Quran.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat
dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat
dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-'aql fihi (masalah yang
diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika,
perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah
nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana
adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal.
Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah
benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang
tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi
motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyad atau tashhih, dan
sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang
juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:
(a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat
al-wustha dengan "shalat Ashar";
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud'uni (dalam
QS 40:60) dengan "beribadat";
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran al-akhirat
(dalam QS 14:27) dengan "kubur";
(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-maghdhub
'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan "orang-orang Yahudi", dalam
arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau
angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk
diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan
dalam masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas,
hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan
kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.
Al-Qarafi66 membagi sikap atau
ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1)
Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat).
Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai
pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau,
sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang
dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-'aql fih (bukan kalam wilayah
nalar), maka ia fi hukm al-murfu' (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia
diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia
hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang
tidak.
2. Pembedaan antara
yang Qath'iy dan yang Zhanniy
Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat
qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak
adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.67
Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan
bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila
satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu
interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan
lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah
kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih.
Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan
pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan
ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian
sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah
penafsiran terhadap nash-nash."68 Selanjutnya
ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak
lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya
mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda
dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan
dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati
tempatnya."69
Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul
penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh
para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain:
(a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia
meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia
telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering
(rekayasa genetis).
Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada
Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang
penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah.
Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil
penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya
dipegang adalah al-muhafazhah 'ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada yang lama yang baik,
dan kepada yang baru yang lebih baik).
3. Penggunaan Ta'wil
dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta'wil
atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M),
misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata "langit menurunkan
hujan."70 Harus
diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT. Keengganan
menggunakan ta'wil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu
adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS 2: 74.
Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan
QS 16:68.71
Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir
seluruh ulama telah mengakui perlunya tawil dalam berbagai bentuknya.
Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa.72 Namun,
walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam
menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai pembaru
dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wil-an semata-mata berdasarkan
penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud,
misalnya, men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa "mendekati
pohon" sebagai larangan melakukan hubungan seksual.73 Walaupun
salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun penafsiran ini
sangat menggelikan pakar bahasa.
Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati
pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni jangan kamu berdua mendekati
pohon ini (QS 2:35). Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan
hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni Turunlah kamu
semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian lainnya (QS
2:36). Hal ini menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya berdua,
tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga
wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.74
Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan
bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena, bahasa tidak menjadikan
janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang
mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung --berapa pun bayi
yang dikandungnya-- ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta'wil-an yang dilakukan
semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap
penta'wil-an:
(a) Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui
oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya;
(b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.75
Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta'wil,
tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian
mereka --seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya
dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah
gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan
pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam
pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya
dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam,
sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas
untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu).
Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja
penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya
berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak
bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka redaksi
.tersebut tidak perlu di-ta'wil-kan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap
logis.
Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan
ta'wil pada ayat-ayat yang telah pernah di-ta'wil-kan oleh para pendahulu.
Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil
penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi
pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sehingga,
bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah,
maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh pen-ta'wil-an. Hal demikian tentunya
lebih baik daripada pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam
batas-batas yang dibenarkan Al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah Al-Quran
mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk
menggunakannya?
Catatan kaki
58 Hadis tersebut berbunyi: Inna Allah yab'atsu lihadzihi al-ummah
'ala ra'si kulli mi'ah sanah man yujaddidu laha dinaha. Lihat Sunan Abi Daud
tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, 1953;
jilid IV, h. 109.
59 Lihat Busthami Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, Dar
Al-Da'wah, Kuwait, cet. 1, 1984.
61 Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Al-Syura Bayn Al-Fikrah Al-Islamiyyah
wa Al-Fikrah Al-Gharbiyyah, Maktabah Al-Taqaddum, Kairo, cet.III, 1977, h. 71.
62 Abu Al-A'la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahat Al-Tahaddiyat
Al-Mu'ashirah, Dar Al-Qalam, Kuwait, 1974, h. 187.
63 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah
Darraz, Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, t.t. jilid II h. 82.
64 Dalam riwayat Bukhari dinyatakan bahwa 'Adi meletakkan tali
(benang) hitam dan putih di bawah bantalnya. Lihat Shahih Al-Bukhari Kitab
Al-Shaum, Sulaiman Mar'iy, Singapura t.t., jilid I, h. 328. Dalam riwayat lain
Nabi bersabda kepadanya: Inna wisadataka izan la'aridh (kalau demikian bantalmu
panjang sekali). Lihat Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman dalam Jam' Al-Fawa'id
min Jami' Al-Ushul wa Majma'Al-Zawaid, Abdullah Hasyim Al-Yamani, Madinah,
1961, jilid II, h. 178.
65 Lihat Muhammad Asad dalam The Message of Qur'an, II,
sebagaimana dikutip oleh Busthami Muhammad Said, op. cit., h. 178.
66 Al-Qarafi, Al-Ahkam fi Tamyiz Al-Fatawa an Al-Ahkam wa
Tasharrufat Al-Qadhi wa Al-Imam, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Mathba'at
Al-Islamiyyah, Halab, Suria, 1967, h. 86, dan seterusnya.
67 Al-Syathibi, op. cit., jilid I, h. 35.
68 Lihat Artikelnya dengan judul "Muwajahat Ma'a 'Anashir
Al-Jumud fi Al-Fikr Al-Islamiy Al-Mu'ashir,"dalam majalah Al-Arabiy,
Kuwait, no. 222, Mei 1977, h. 22.
70 Syarif Al-Radhi, Talkhish Al-Bayan, tahqiq Muhammad Abdul Ghani
Hassan, Al-Halabi, Mesir, 1955, h. 11.
71 Al jahiz, Al-Hayawan, tahqiq Abdussalam Harun. Kairo, 1964,
jilid II, h. 128.
72 Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Kairo, 1318
H, jilid II, h. 36.
73 Lihat lebih jauh Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat
Mushthafa Mahmud, Dar Al-I'tisham, Kairo, 1967, h. 119.
75 Al-Syathibiy, op. cit., h. 100.