Membumikan
Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Kebebasan
dan Pembatasan dalam Tafsir
Al-Quran yang merupakan
bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan
dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut,
antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami
bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat
berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran,
sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian
menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi
sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya,
serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak
jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang
maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.24 Dari sini kemudian para ulama
menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai
dengan kemampuan manusia (mufasir)",25 dan
bahwa "kepastian arti satu
kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau
pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri
sendiri."26
Rasulullah Muhammad saw.
mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas
ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini
didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan
dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan
"kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang
kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan
suatu kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu
untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami
atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang
bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi
tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau
angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan
lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan
al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",27 atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang
memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai
"panah".28
Memang, menurut para ulama,
penafsiran Nabi saw. bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun
hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya,
ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",29 penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq
dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika
menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan
beribadah.30 Penafsiran ini adalah penafsiran yang
dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung
doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau
menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".31 Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena
kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula
bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak
yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima
oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw.
sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".32 Sehingga tidak ada jalan lain
kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah
disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Jlka kita perhatikan
perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan
kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama
tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan
untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah
ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran.
Kemudian, bila disadari
bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat
kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh
pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan
sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan
lainnya.
Dari sini seseorang tidak
dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena
hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang
diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus
ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman
dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang
bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan
Al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap
disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam
pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.
Dapat dibayangkan apa yang
terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam
bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai
pengetahuan tentang ilmu tersebut.
Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Telah dikemukakan di atas
bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan
bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat
atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan
mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai
sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman
Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat
dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa
mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya;
ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah.33
Dari pembagian di atas
ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian
keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat
bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau
oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini
mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang
memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin,
alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang
membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan
bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang
orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih (QS 3:7).34 Atau
(b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan
bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Apa pun yang dimaksud dari
ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang
pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang
materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat
dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam
bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber
dari Nabi saw.35
Karena itu, seorang ahli
hadis kenamaan, Al-Hakim Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu
Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia"
(QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.36
Syaikh Muhammad 'Abduh
(1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut
prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau
oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci
oleh Al-Quran." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang
"timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis:
"Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima
sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui
oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita
menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."37 Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan
arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu
membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab
ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka
ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38
Dari segi syarat penafsir,
khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat.
Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan
tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu
Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin
ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Dalam hal ini ada dua hal
yang perlu digarisbawahi:
(1) Menafsirkan berbeda
dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran.
Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang
untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan
pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang
membaca kitab tafsir semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau
Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang
dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang
dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk
mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang
dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus
ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.
(2) Faktor-faktor yang
mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam
menerapkan metode atau kaidah;
(c) Kedangkalan dalam
ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan
tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan
konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial
masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan
siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini,
akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam
berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Di samping apa yang telah
dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam
penafsiran Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut
perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.
Ditemukan banyak ayat
Al-Quran yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal
yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS
48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49;
15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu
pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan
lain-lain).
Perubahan-perubahan atau
perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh
potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat
Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah
ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus
diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah
tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih
dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.39
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat
bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan
pemahaman masyarakat pada masa turunnya.40 Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami
teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat
pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang
dibanding perkembangan ilmu dewasa ini.
Pembatasan di atas tentunya
tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran
diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil
untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena
Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan
menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.
Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan
dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima.
Selanjutnya perlu dibedakan
antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah.
Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini
bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah
"Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa
keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena
keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun
seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan
"Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga
ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis
janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah
mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8),
pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis
kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa
depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam
istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat
"Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang
mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis
kelamin janin.
Pemahaman dan penafsiran
ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat
ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas
diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang
belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran
ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu,
pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil,
sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab
Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah
yang sejati.
Perlu digarisbawahi bahwa
walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab
pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan
pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini
menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik
yang mereka kenal.41
Di sisi lain, perkembangan
bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi
kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang
tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian
satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang
mufasir, disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan
serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran
terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut
daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak
dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang
kemudian.
Apabila tidak ditemukan
pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk
bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam
hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut
pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu
pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2)
mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah),
sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini
seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut,
dengan mengemukakan alasannya.
Perbedaan-perbedaan
pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan
ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan
kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh
pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.
Catatan kaki
24 Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy,
Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h.
59.
26 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar
Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II, h. 35.
27 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an
Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t. jilid I, h. 29.
29 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
Shahih-nya.
30 Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi.
32 Al-Zahabiy, op.cit. h. 53.
33 Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to
'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid II, h. 164.
34 Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum
Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3.
35 Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59.
36 Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum
Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20.
37 Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma,
Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139.
39 Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II,
h. 300.
41 Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1984, h. 28.