Membumikan Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Konsep
Qath'iy dan Dhonniy
Istilah qath'iy dan zhonniy
--sebagaimana lazim diketahui-- masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu
yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna).
Tidak terdapat perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber Al-Quran. Semua
bersepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat Al-Quran yang terhimpun dalam
mushaf dan dibaca oleh kaum Muslim di seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah
sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad saw.
dari Allah SWT melalui malaikat Jibril a.s.
Al-Quran jelas qath'iy
al-tsubut.
Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang
dikenal dengan istilah ma'lum min al-din bi al-dharurah.135 Karena itu, di sini tidak akan dibicarakan masalah qathi'y
dari segi al-tsubut atau kebenaran sumber tersebut. Yang menjadi persoalan
adalah bagian kedua, yakni yang menyangkut kandungan makna redaksi ayat-ayat
Al-Quran.
Sebelum menguraikan masalah di
atas, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa masalah ini tidak menjadi salah
satu pokok bahasan ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal tersebut dapat
dibuktikan dengan membuka lembaran kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Lihat misalnya
Al-Burhan karangan Al-Zarkasyi, atau Al-Itqan oleh Al-Sayuthi. Keduanya tidak
membahas persoalan tersebut. Ini, antara lain, disebabkan ulama-ulama tafsir
menekankan bahwa Al-Quran hammalat li al-wujuh.136 Sehingga,
dari segi penggalian makna, mereka mengenal ungkapan: "Seorang tidak
dinamai mufasir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap
ayat-ayat Al-Quran."
Sikap ini tentunya tidak
sejalan dengan konsep qath'iy at-dalalah yang hakikatnya, menurut 'Abdul Wahhab
Khallaf, adalah: "Yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami
darinya (teks); tidak mengandung kemungkinan ta'wil serta tidak ada tempat atau
peluang untuk memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut)."137
Mohammad Arkoun, seorang
pemikir kontemporer kelahiran Aljazair, menulis tentang ayat-ayat Al-Quran
sebagai berikut: "Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang tak
terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang
dasariah, eksistensi yang absolut. Ia, dengan demikian, selalu terbuka, tak
pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsir.an makna."138
Pendapat di atas sejalan dengan
tulisan 'Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar Al-Azhar yang antara lain
mengedit, menjelaskan dan mengkritik kitab Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq
Al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: "Apabila Anda membaca Al-Quran,
maknanya akan jelas di hadapan Anda.
Tetapi bila Anda membaca sekali
lagi, maka Anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna
terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat
atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar
... (Ayat-ayat Al-Quran) bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak
mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka dia akan
melihat lebih banyak dari apa yang Anda lihat."139
Di sisi lain, kita dapat
berkata bahwa setiap nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan
arti). Bagi pengucapnya, redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja,
yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyyah.
Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka
tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash atau
redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat.
Yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.
Atas dasar titik pandang yang
demikian inilah agaknya mengapa pembahasan mengenai qath'iy al-dalalah tidak
diuraikan secara khusus dalam kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Persoalan ini
dibahas oleh ulama-ulama ushul al-fiqh. Para pakar disiplin ilmu ini pada
umumnya menjadikan masalah-masalah ushul al-fiqh sebagai masalah yang pasti
atau qath'iy.140 Perlu juga dicatat bahwa
walaupun masalah yang dibicarakan di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama
tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang mufasir untuk mengetahui ushul
al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.
Hakikat Qath'iy dan Zhonniy
Tetapi, apakah yang dinamai
qath'iy dan apa atau bagaimana proses yang dilaluinya sehingga suatu ayat
dinilai qath'iy al-dalalah? Di atas telah dinukil pendapat 'Abdul Wahhab
Khallaf yang kelihatannya merupakan pendapat yang populer tentang difinisi
qath'iy al-dalalah.
Definisi serupa dikemukakan
juga oleh Syaikh Abu Al-'Ainain Badran Abu Al-'Ainain: "Sesuatu yang
menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya."141
Sementara itu, Al-Syathibi,
dalam Al-Muwafaqat, menulis demikian: "Tidak atau jarang sekali ada
sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara' yang sesuai dengan penggunaan
(istilah) yang populer."142 Yang
dimaksudkan adalah istilah yang dinukil di atas, atau yang semakna dengannya
seperti dijelaskan oleh 'Ali 'Abdul Wahhab. Mereka merumuskan "definisi
populer" tersebut dengan "tidak adanya kemungkinan untuk memahami
dari suatu lafal kecuali maknanya yang dasar itu."143
"Tidak atau jarang sekali
ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara'", (jika berdiri sendiri)
ini, menurut Al-Syathibi, karena apabila dalil-dalil syara' tersebut bersifat
ahad, maka jelas ia tidak dapat memberi kepastian. Bukankah ahad sifatnya zhanniy?
Sedangkan bila dalil tersebut bersifat mutawatir lafalnya, maka untuk menarik
makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimat) yang tentunya harus
bersifat pasti (qath'iy) pula. Dalam hal ini, premis-premis tersebut harus
bersifat mutawatir. Ini tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan
bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat ahad
dalam arti zhanniy (tidak pasti). Sesuatu yang bersandar kepada zhanniy, tentu
tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang zhanniy pula.
Muqaddimat yang dimaksud
Al-Syathibi di atas adalah apa yang dikenal dengan al-ihtimalat al-'asyrah,144 yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan; (2) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan gramatika (nahw); (3) riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan perubahan kata (sharaf); (4) redaksi yang dimaksud bukan kata bertimbal
(ambigu, musytarak); atau (5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis
(majaz); (6) tidak mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar); atau
(8) "pendahuluan dan pengakhiran" (taqdim wa ta'khir); atau (9)
pembatalan hukum (naskh); dan (10) tidak mengandung penolakan yang logis (adam
al-mu'aridh al-'aqliy).
Tiga yang pertama kesemuanya
bersifat zhanniy, karena riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut
kesemuanya ahad. Tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui al-istiqra' al-tam
(metode induktif yang sempurna), dan hal ini mustahil. Yang dapat dilakukan
hanyalah al-istiqra' al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini
tidak menghasilkan kepastian. Dengan kata lain, yang dihasilkan adalah sesuatu
yang bersifat zhanniy.
Yang Qath'iy dalam Al-Quran
Apakah pendapat Al-Syathibi di
atas mengantarkan kita untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath'iy dalam
Al-Quran? Memang demikian jika ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara
berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia menjelaskan bagaimana proses yang dilalui
oleh suatu hukum yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai
qath'iy.
Menurut Al-Syathibi lebih jauh,
"kepastian makna" (qath'iyyah al-dalalah) suatu nash muncul dari
sekumpulan dalil zhanniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang
sama.
Terhimpunnya makna yang sama
dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi "kekuatan"
tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut
ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat
zhanniy lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam mutawatir ma'nawiy, dan dengan
demikian dinamailah ia sebagai qath'iy al-dalalah.145
Jika perhatian hanya ditujukan
kepada nash Al-Quran yang berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini
tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk
perintah, sebab, banyak ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi perintah tapi
dinilai bukan sebagai perintah wajib. Kepastian tersebut datang dari pemahaman
terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau konteks
berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam
contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara
lain hal-hal berikut:
(a) Pujian kepada orang-orang
yang shalat;
(b) Celaan dan ancaman bagi
yang meremehkan atau meninggalkannya;
(c) Perintah kepada mukallaf
untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam
keadaan berdiri atau --bila uzur-- duduk atau berbaring atau bahkan dengan
isyarat sekalipun;
(d) Pengalaman-pengalaman yang
diketahui secara turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan generasi
sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan
makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat
bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath'iy mengandung makna
wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang
dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimu
al-shalat, menjadi aksioma. Di sini berlaku ma'lum min al-din bi al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul
al-fiqh menunjuk kepada ijma' untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath'iy.
Sebab, jika mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri,
maka akan dapat terbuka peluang --bagi mereka yang tidak mengetahui ijma' itu--
untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang
lain. Nah, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma'.
Perlu ditambahkan bahwa suatu
ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath'iy dan zhanniy pada saat yang
sama. Firman Allah yang berbunyi Wa imsahu bi ru'usikum adalah qath'iy
al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu : Tetapi ia
zhanniy al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh.
Keqath'iy-an dan ke-zhanniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama
ber-ijma' (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhu' berdasarkan
berbagai argumentasi. Namun, mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan
ba' pada lafal bi ru'usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi
qath'iy bi i'tibar wa zhanniy bi i'tibar akhar.146 Di satu
sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai
alternatif makna.
Catatan Akhir
Dari sini jelas bahwa masalah
qath'iy dan zhanniy bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya
disepakati oleh ulama (mujma' 'alayh), sehingga tidak mungkin lagi timbul makna
yang lain darinya kecuali makna yang telah disepakati itu. Bukankah ia telah
disepakati bersama?
Dalam hal kesepakatan tersebut,
kita perlu mencatat beberapa butir masalah:
a. Walaupun para ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan ijma' sebagai dalil, namun agaknya tidak diragukan
bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad-abad pertama tentu mempunyai
banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya
ia menjadi qath'iy al-dalalah. "Mengabaikan persepakatan mereka dapat
menimbulkan kebingunan dan kesimpangsiuran di kalangan umat," tulis Yusuf
Qardhawi.147
b. Harus disadari bahwa di
dalam banyak kitab seringkali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma' menyangkut
berbagai masalah --aqidah atau syari ah. Namun, pada hakikatnya, masalah
tersebut tidak memiliki ciri ijma'. Mahmud Syaltut, mengutip tulisan Imam
Syafi'i dalam Al-Risalah, menulis demikian: "Saya tidak berkata, dan tidak
pula seseorang dari kalangan yang berilmu, bahwa 'Ini mujma' 'alayh'
(disepakati), sampai suatu saat Anda tidak bertemu dengan seorang alim pun
kecuali semuanya berpendapat sedemikian, yang disampaikan (sumbernya) adalah
orang-orang sebelumnya --seperti bahwa shalat zhuhur adalah empat rakaat, bahwa
khamr haram, dan yang semacamnya."148
c. Tidak semua alim atau pakar
dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan kesepakatan (ijma') tersebut. Ibrahim
bin 'Umar Al-Biqa'iy (809-885 H) misalnya,149 tidak
mengakui Fakhruddin Al-Raziy sebagai salah seorang yang dapat diterima
otoritasnya dalam menetapkan "kesepakatan". Ia menulis demikian:
"Tidak dirujuk untuk mengetahui ijma' kecuali para pakar yang mendalami
riwayat-riwayat."150
d. Umat Islam, termasuk
sebagian ulamanya, kerap kali beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi
kesepakatan para ulama. Padahal sesungguhnya hal tersebut baru merupakan
kesepakatan antar ulama mazhabnya. Hal ini sekali lagi berarti bahwa yang
disepakati ke-qath'iy-annya haruslah diteliti dengan cermat.
Demikianlah beberapa pokok
pikiran menyangkut masalah qath'iy. Adapun persoalan zhanniy, agaknya sudah
menjadi jelas dengan memahami istilah qath'iy yang diuraikan di atas.
Catatan kaki
135 Sesuatu
yang sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama.
136 Al-Quran
(mampu) mengandung banyak interpretasi.
137 'Abdul
Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, Kuwait, 1968, cetakan
Vlll, h. 35.
138 Lihat
makalah Martin van Bruinessen, "Mohammad Arkoun tentang Al-Qur'an,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan EMPATI. Pada h. 2, ia mengutip Mohammad
Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of
Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press 1988,
h.
182-183.
139 'Abdullah
Darraz, Annaba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1966, h. 111.
140 Abu
Ishaq Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'ah, disunting oleh
Syaikh'Abdullah Darraz, Al-Maktabah Al-Tijariyyah Al-Kubra, Mesir, tanpa tahun,
Jilid 1, h. 29.
141 Abu Al-'Ainain
Badran Abu Al-'Ainain, Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy, tanpa tahun, h. 63.
142 Al-Syathibi,
op cit., h. 35.
143 Ali
'Abduttawab dan Thaha 'Abdullah Addasuqy, Mabahits fi Tarikh Al-Fiqh
Al-Islamiy, Lajnah Al-Bayan Al-'Arabiy, Mesir, 1962, h. 50.
145 Lebih
jauh lihat Al-Syathibi, op cit., h. 96-37
146 Dari
satu sisi qath'iy dan sisi lain zhanniy.
147 Yusuf
Al-Qardhawiy, Fiqh Al-Zakah, Muassasat Al-Risalah, Beirut, Cet. IV, jilid I, h.
25.
148 Mahmud Syaltut,
Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966, Cet. III, h. 72.
149 Ibrahim
bin Umar Al-Biqa'iy adalah salah seorang pakar tafsir yang karyanya, Nazhm
Al-Dhurar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, dinilai sebagai ensiklopedi dalam
bidang sistematika runtutan ayat-ayat Al-Quran.
150 Lihat
Ibrahim bin Umar Al-Biqa'iy, Nazhm Al-Dhurar, manuskrip di Perpustakaan
Al-Azhar, Kairo, Mesir, no. 590-Tafsir, Jilid II, h. 197.