Membumikan
Al-Qur'an
oleh; Dr.
M. Quraish Shihab
Soal Nasikh dan Mansukh
Seandainya
(Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di
dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini
kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya
gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan
mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan
sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi
etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan,
penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan
sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya,
dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan
sebagainya, dinamai mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi,
perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya
ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam
menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai --memiliki gejala kontradiksi,
mereka mengkompromikannya.
Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan
adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula
dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan
ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka
sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena
disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek,
objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para
ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga
mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.152
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila
ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum
Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada
periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam
yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari
pengertian naskh.153
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang
datang kemudian (muta'akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat
Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut
bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam
arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang
menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan
berdasarkan 'aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi
yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih
tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam
Taurat, menyatakan: "Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya
naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan
hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya."154
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan
bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia
dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga
apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan
yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan
suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan
hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik
dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah."155
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang
diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan
hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.156
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi
di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai
obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum
tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum
yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat
tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin
masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para
ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas
dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka
maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang
dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106,
yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak
me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami
mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak
mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, "ayat" yang di naskh itu adalah ayat
Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda
dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi
tersebut dengan menyatakan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat
para nabi.157 Mereka
juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila
Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang
diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran,
beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua
kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau
membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan
permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi
logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS
41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan
bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh "pembatalan", dan dengan demikian
bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam
Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh
dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi
"kebatilan" yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya
bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang
dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan
demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan
batil.158
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang
dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan
kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah
kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila,
(a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya
ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan
yang kemudian sebagai nasikh.159
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat
membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya
dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik
oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai
kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua
kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian
istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir, sebagaimana usaha
mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran
Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik
tolak.
Muhammad 'Abduh --walaupun tidak mendukung pengertian kata
"ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai "ayat-ayat hukum dalam
Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan "Sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yang menurutnya mengisyaratkan bahwa
"ayat" yang dimaksud adalah mukjizat-- tetap berpendapat bahwa
dicantumkannya kata-kata "Ilmu Tuhan", "diturunkan",
"tuduhan kebohongan", adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata
"ayat" dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam
Al-Quran.160
Apa yang dikemukakan oleh 'Abduh di atas lebih dikuatkan lagi
dengan adanya kata "Ruh Al-Quds" yakni Jibril yang mengantarkan
turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks
ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100
berbicara tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah) apabila membaca
Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang
"pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat
Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang
membawanya "turun" serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada 'Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya
naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan,
pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan
"pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain"
(lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat
Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum
bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan
demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi
orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah,
sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang
kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Siapa yang Berwenang
Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang
mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan
oleh para ulama muta'akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan bahwa Para ulama
berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula
tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau
tidak?161
Menurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan
kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak --walaupun secara teoretis-- dapatnya
Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu
Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah maupun Mu'tazilah, memandang
bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya
saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang
me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum
dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat
me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini
kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih
tentang cakupan kata "wahyu Ilahi" tersebut, apakah Sunnah termasuk
wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan
karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: "Hukum-hukum apabila telah
terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya
kecuali atas pembuktian yang pasti pula."162 Sebab
adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang
belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa
persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan
praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah "apakah ada Sunnah Nabi
yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis
yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian
ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada
hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain,
keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa
yang me-naskh ayat --kalau hal tersebut dinamai naskh-- bukannya hadis tadi,
melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis "La washiyyata li warits"
(tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara
ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat "kewajiban berwasiat" (QS
2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak
ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata "sesungguhnya Allah telah memberikan" dan
seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut
menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis
Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah
"pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini
terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak
alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran
menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi
sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum
yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan
berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di
antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural
pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami mengganti suatu ayat ...",
kata "kami" di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara
umum kata "Kami" yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat
lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan
yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada
keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari
sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh
atau diganti itu.
Catatan kaki
151 Lihat antara lain
Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir, cet. II, 1952,
Jilid I, h. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an,
Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
152 Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, Dar Al-Ma'arif, Beirut, 1975, jilid III, h.
108.
153 Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan
fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir 1980, Jilid II,
h. 254.
154 Ismail Ibn Katsir,
Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.h., jilid I, h.
151.
155 Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I, h. 187.
157 Lihat antara lain
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1367 H,
cet. III, jilid 1, h. 415-416.
158 Lihat 'Abdul Azim
Al-Zarqani, op cit., h. 208.
160 Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
161 'Abdul Azim
Al-Zarqani, op cit., h. 237.
162 Al-Syatibi, op cit.,
h. 105.