Membumikan
Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Bukti Kebenaran Al-Qur'an
Al-Quran mempunyai sekian
banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw.
Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap.
Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran
secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun
sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114
surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran
(baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau
lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).
Dalam hal ini, Al-Quran
menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad)
sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran
ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).
Seorang ahli berkomentar
bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh
seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin.
Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi
yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."
Walaupun Al-Quran menjadi
bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi
"petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah
petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari
segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani
manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan
hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at
mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.
Dalam syari'at ditemukan
sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti
larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada
yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini
semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak
memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor
utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan
"lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.
Kita sangat membutuhkan
peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga
dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah
mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju
perjalanan yang sangat jauh itu?
Manusia memiliki
kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping
itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi
menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras
bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat
terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi
setelah kematian.
Jika demikian, yang harus
menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak
mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang
Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang
dibuatnya itu dinamai "agama".
Sayang bahwa tidak semua
manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh
informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki
kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut
kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.
Karena sifat egoistis
manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan
oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih
itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.
Untuk meyakinkan manusia,
para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti
tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai
manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam
bahasa agama dinamai "mukjizat".
Para Nabi atau Rasul
terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan
material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan
waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus
untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.
Pengutusan ini juga
memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran
beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu
harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya
oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.
Paling tidak ada tiga aspek
dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus
menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah
benar bersumber dari Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan
lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang
pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah
masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau
Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai
menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang
tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa
mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."
Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis
pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud
di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita
yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena
keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun
demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu
pemahaman aspek pertama ini.
Seperti diketahui,
seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan
atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat
ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut
tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang
indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan
kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya,
ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan
yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian
jumlah dua kata yang bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz
Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan
sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan
secara sangat singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah (hidup)
dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-naf'
(manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har (panas)
dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah
(kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing
13 kali;
- Al-rahbah
(cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-kufr
(kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17
kali;
- Kufr (kekufuran)
dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf (musim
panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts dan
al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb dan
al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun dan
al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an,
al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan
al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-jahr dan
al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq (infak)
dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl
(kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun
(orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran),
masing-masing 154 kali;
- Al-zakah
(zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing
32 kali;
- Al-fahisyah
(kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
- Al-israf
(pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah
(nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra
(tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-salam
(kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E. Di samping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam
bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan
kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni),
jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan.
Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua
belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan
bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh
kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86,
Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya
tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh
ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk
kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir
(pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya
berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama
nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari
hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti
terlihat di atas.
Kedua adalah
pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa.,
diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa
"Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran
generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal
itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya
pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor
Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun
yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada
tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk
membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu
jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah
berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak
ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak
mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.
Ketiga, isyarat-isyarat
ilmiahnya. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya
diisyaratkannya bahwa "Cahaya
matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan
(dari cahaya matahari)"
(perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria,
sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan
"ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya
belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha
Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut
tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang
disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin
serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.