Membumikan
Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Hikmah Ayat Ilmiah
Al-Qur'an
Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi
tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan
dan ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan
observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya.
Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya
Tuhan tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan
kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka
warna pengetahuan."16
Didalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari datang
seseorang kepada Rasul dan bertanya: "Mengapakah
bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi
sempurna pumama?" Lalu, Rasulullah saw., mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut
kepada Allah SWT yang berfirman: Mereka bertanya
kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi
manusia dan mengerjakan haji (QS 2:189). Jawaban Al-Quran bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai
dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai "ruh", lalu Al-Quran
menjawab: Mereka bertanya kepadamu tentang
ruh. Katakan: "Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi
sedikit ilmu pengetahuan." (QS 17:85).
Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok
Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah
memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di
akhirat kelak. Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut,
lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti
nyata yang menerangkan bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah
untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam
semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri'."17
Dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat ma farrathna fi al-kitab min syay' (QS 6:38) dan ayat: wa nazzalna 'alayka al-kitab tibyanan likulli syay' QS 16:89) adalah bahwa Al-Quran tidak
meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran, yaitu
masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti
oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas?
Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan
hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas
hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh
yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar umat
Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu
pengetahuan, dan di lain pihak mereka merasakan kelemahan umat serta kemunduran
dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang serupa ini
menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar
kaum Muslim.
Para cendekiawan Islam berusaha memberi reaksi walaupun dengan
cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang mengambil sifat apatis,
acuh tak acuh terhadap kemajuan tersebut; ada pula yang dengan spontan
meletakkan senjata untuk menyerah dengan mengikuti segala sesuatu yang bercorak
Barat --meskipun dalam hal-hal yang menyangkut kepribadian atau adat-istiadat. Adapula
yang menentang haluan ini dengan mengajak masyarakat Islam menerima dan
mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang dipergunakan Barat dalam mencapai
kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian atau prinsip-prinsip agama.
Bukan tempatnya di sini membicarakan sejarah perkembangan
pemikiran umat Islam dari masa ke masa. Tetapi satu hal yang tidak dapat
diingkari adalah bahwa sebagian umat Islam sejak pertengahan abad ke-19
diliputi oleh perasaan rendah diri dan berusaha mengadakan kompensasi atau
melarikan diri dengan bermacam-macam cara. Salah satu caranya ialah mengingat
kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan
apa yang disebut dengan adab al-fakhri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan
kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat Islam sangat
besar dalam menafsirkan Al-Quran.
Setiap ada penemuan baru, para cendekiawan Islam cepat-cepat
berkata: Al-Quran sejak lama, sejak sekian abad, telah menyatakan hal ini;
Al-Quran mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuannya; dan sebagainya, yang
semua itu tiada lain adalah kompensasi perasaan inferiority complex tadi. Di
lain pihak para penemu tadi hanya tersenyum mengejek melihat keadaan umat
Islam, dan senyuman itu terkadang disertai dengan kata-kata sinis: Kalau
demikian mengapa tuan-tuan tidak menyampaikan hal ini sebelum kami menghabiskan
waktu dalam penyelidikan?
Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat
bius yang dapat meredakan rasa sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan
menyembuhkannya. Ia hanya sekadar memberikan jawaban sementara terhadap
tantangan Barat. Di balik itu ia menunjukkan kelemahan umat. Memang, mengingat
kejayaan lama kadang-kadang dapat merupakan pendorong untuk maju ke depan, atau
setidak-tidaknya dapat menjaga kepribadian masyarakat. Tetapi kita juga harus
waspada dan berhati-hati terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari cara demikian
yang bila berlarut-larut dapat membekukan pemikiran. Membanggakan kejayaan lama
dapat membangkitkan emosi dan memberikan kepuasan, tetapi ia juga dapat
menimbulkan negatifisme dan konservatifisme; sementara kedua sifat ini tidak
sejalan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan progresif.
Faktor kedua yang menjadikan sebagian cendekiawan Islam
membenarkan satu teori ilmiah, menurut hemat kami, adalah akibat pertentangan
yang hebat antara gereja dan ilmuwan sejak abad ke-18 di Eropa. Pertentangan
ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru yang
menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan kesuciannya, sehingga
siapa yang mengingkarinya dianggap kafir (keluar dari agama) dan berhak
mendapat kutukan. Di lain pihak para ilmuwan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah, tetapi hasil penyelidikan mereka bertentangan
dengan kepercayaan yang dianut oleh gereja.
Pertentangan antara kedua belah pihak terjadi ketika ilmuwan
menyatakan bahwa umur dunia --berdasarkan penelitian geologi-- lebih tua
daripada umur yang ditetapkan oleh gereja yang berdasarkan penafsiran Kitab
Suci. Pertentangan ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin (1859)
tentang The Origin of Man dan teori-teori lainnya, yang semua itu dihadapi
gereja dengan cara penindasan dan kekejaman. Akibatnya tidak sedikit ahli-ahli
ilmu pengetahuan yang menjadi korban hasil penemuannya, seperti Galileo, Arius,
Bruno Bauer, George van Paris, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan keyakinan di
kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Di sini kita
tidak bermaksud menceritakan sejarah agama Kristen, tetapi pada butir terakhir
ini kita ingin berhenti sejenak untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap
alam pikiran cendekiawan Muslim.
Dalam dunia Kristen timbul golongan pembela agama yang disebut
"apologetika" yang bertujuan menyucikan kembali agama dari setiap anasir
yang hendak diselewengkannya. Pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan
ini (terutama dalam dunia Kristen) memberikan pengaruh kepada sementara
cendekiawan Muslim yang kuatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul
pula dalam dunia Islam, sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan
hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama (terutama
Al-Quran). Dari titik tolak ini, mereka sering tergelincir karena terdorong
oleh emosi dan semangat yang meluap-luap untuk membuktikan tidak adanya
pertentangan tersebut di dalam agama Islam. Tetapi, sebenarnya mereka terlampau
jauh melangkah untuk membuktikan hal itu.
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli Falak, Kedokteran,
Kimia, Ilmu Pasti, dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan, telah mencapai hasil
yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam
bidang tersebut sedang di saat yang sama mereka juga menjalankan kewajiban
agama Islam dengan baik. Tiada pertentangan antara kepercayaan yang mereka anut
dengan hasil penemuan mereka, yang dapat dikatakan baru ketika itu --bahkan
sebagian dari hasil-hasil karya mereka masih dipelajari di negara-negara modern
hingga sekarang ini. Antara agama dan ilmu pengetahuan tidak mungkin timbul
pertentangan, selama keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat. Manusia
mempunyai keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan, dan keinginan mengetahui serta
menarik kesimpulan sesuai dengan akalnya. Bila kita mengingat kepentingan kedua
hal itu, maka tak mungkin terjadi pertentangan.
Richard Gregory dalam Religion in Science and Civilization
menulis: "Agama dan ilmu pengetahuan adalah
dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf
peradaban; agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang
diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim; sedangkan
ilmu pengetahuan merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek alam yang hidup
dan yang mati." Selanjutnya, dia berkata: "Di dalam sinar kebaktian kepada cita-cita tinggi, maka ilmu
pengetahuan sangat perlu bagi kehidupan kita dan agama menentukan arti hidup
manusia; kedua-duanya itu dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja, tanpa
ada pertentangan antara keduanya."
Dalam proses memadukan ilmu pengetahuan dan agama, sementara
cendekiawan Muslim membawa hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan kepada
Al-Quran kemudian mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya,
sehingga tidak heran kalau kita mendapati penafsiran-penafsiran yang amat
berjauhan dengan arti serta tujuan ayat-ayat tersebut.
Dalam kitab Al-Quran wa Al-'Ilm Al-Hadits karangan Al-Ustadz
'Abdurraziq Naufal, terdapat satu contoh yang sangat nyata mengenai apa yang
dipaparkan di atas, Ia membahas ayat yang berbunyi: Dan apabila telah dekat masa azab menimpa mereka. Kami keluarkan
seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan mereka bahwasanya manusia tiada
menyakini ayat-ayat/tanda-tanda kebesaran Kami (QS 27:82). Ayat ini menurutnya
membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar. Selanjutnya, ia
mengatakan: "Sesungguhnya Rusia telah meluncurkan pesawat angkasa yang
mengangkut binatang-binatang, kemudian mereka mengembalikannya ke bumi,
sehingga binatangbinatang tersebut berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran
Tuhan yang sangat nyata dan mengungkapkan sebagian dari misteri yang meliputi
alam semesta yang penuh keajaiban ini."
Di sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih tepat dari apa
yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. 'Abdul-Wahid Wafi, salah seorang dosen
penulis pada Universitas Al-Azhar: "Mungkin dia mengira bahwa anjing
bernama 'Laika' (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke angkasa luar) telah
berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca manusia karena tidak mempercayai
tanda-tanda kebesaran Tuhan yang nyata."
Di Indonesia, ayat 33 surah Al-Rahman dijadikan dasar oleh
sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa Al-Quran membicarakan
persoalan-persoalan angkasa luar. Mereka menyatakan bahwa sejak 14 abad yang
lalu, Al-Quran telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang angkasa
selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan ilmu pengetahuan. Kita tidak
mengingkari bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan
planet-planet lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di bulan. Tetapi sulit
dimengerti hubungan ayat ini dengan persoalan tersebut.
Menurut hemat penulis, ayat ini membicarakan keadaan di akhirat
kelak, yang menyampaikan tantangan Tuhan kepada manusia dan jin. Ayat tersebut
berarti: "Wahai sekalian manusia dan jin
bila kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk
melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang kami adakan, maka keluarlah,
larilah. Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang
kalian tidak mempunyai kekuatan."
Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan ketidakmampuan kedua
golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Ayat tersebut dipahami demikian
mengingat ayat sebelumnya yang berbunyi: Kami akan menghisab (mengadakan perhitungan) khusus dengan kamu
wahai manusia dan jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu yang kamu
ingkari? Wahai golongan jin dan manusia bila kamu sekalian sanggup untuk keluar
dari langit dan bumi ... (QS 55: 31-33).
Perhitungan khusus atau hisab tersebut akan diadakan di hari
kemudian, bukan di dunia. Kalaulah ayat Ya ma'syar
al-jinni wa al-insi tersebut dianggap membicarakan
keadaan di dunia dan menunjukkan kesanggupan manusia untuk melintasi angkasa
luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera dibenarkan setelah
memperhatikan ayat berikutnya, yang berbunyi: Dikirim
kepada golongan kamu berdua (wahai jin dan manusia) bunga api dan cairan
tembaga sehingga kamu sekalian tak dapat mempertahankan diri (tak dapat keluar
dari lingkungan langit dan bumi) (QS 55:35).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha manusia dan jin untuk
keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal. Dari sini hanya ada dua
alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat tadi: Pertama, ayat 33 dari surah
Al-Rahman membicarakan persoalan dunia serta kesanggupan manusia keluar dari
lingkungan langit dan bumi dalam arti keluar angkasa. Dan kedua, ayat tersebut
membicarakan keadaan di akhirat serta kegagalan manusia keluar dari lingkungan
langit dan bumi untuk melarikan diri dari hisab dan perhitungan Tuhan.
Jika dipilih alternatif pertama, maka ini akan mengakibatkan dua
hal yang sangat berbahaya bagi pandangan orang terhadap Al-Quran, yaitu
1. Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, karena ayat
34 menerangkan kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi,
sementara ayat 35 menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya.
2. Al-Quran --dalam hal ini ayat 35-- bertentangan dengan kenyataan
ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan kegagalan manusia keluar dari
lingkungan langit dan bumi. Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil
mendarat di luar lingkungan bumi (yaitu bulan).
Tetapi jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa ayat-ayat
tersebut membicarakan keadaan di akhirat, maka tidak akan didapati sedikit pun
pertentangan. Firman Allah: Jika sekiranya
Al-Quran datangnya bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat banyak
pertentangan di dalamnya (QS 4:82).
Dalam ayat di atas tidak ada pertentangan, karena ayat itu
menerangkan ancaman Tuhan kepada manusia dan jin, dan menyatakan
ketidaksanggupan mereka keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan
diri dari perhitungan yang akan terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak
mempunyai kekuatan.
Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini?
Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori ilmiah atau penemuan
baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin akan timbul pertanyaan: kalau
demikian apakah Al-Quran harus dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan
orang-orang tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang, wajib
memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah
Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir
Al-Quran merupakan "fardhu 'ayn".
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Quran. Tetapi ini
bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang-orang
dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk
mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti
orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka
lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala dhalal (dalam
kesesatan).
Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja) dapat
mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran tanpa memenuhi syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami
Al-Quran, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang-orang
Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus untuk mereka yang hidup
di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Quran adalah untuk seluruh manusia sejak dari
zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran, diperintahkan untuk
memikirkan isi Al-Quran sesuai dengan akal pikiran mereka. Benar, akal adalah
anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang
dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka sendiri: latar
belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalainan yang
dialami selama hidup seseorang. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menulis: "Kita
berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya
orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw."18
Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan
Al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita
dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan
pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul dan
tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Quran tanpa mempercayai
setiap hipotesis atau pantangan.
Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama menafsirkan
arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin
dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku. Penafsiran ini didapati
di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam bahasa
Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku. Al-'alaq yang
diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah
dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof. M. Hasby Ashiddieqi
dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan sesungguhnya telah Kami jadikan
manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan
dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah,
lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang,
tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk
yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai
yang menjadikan sesuatu."
Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa periode kedua dari kejadian
manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses
kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3)
Al-Mudhghah; (4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan
kebenaran Al-Quran, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-'alaq tersebut dengan
segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi
dalam tiga periode:
1. Periode
Ovum
Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya
pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu (ovum), yang kedua
intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote.
Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan,
enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju
ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim.
Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.
2. Periode
Embrio
Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ. Terkadang
organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk,
misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada
dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat
bawaan.
3. Periode
Foetus
Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan dari
organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu
kelahiran.
Kembali kepada ayat di atas, kita melihat bahwa periode pertama
menurut Al-Quran adalah 'al-nuthfah, periode kedua al-'alaq dan periode ketiga
al-mudhghah. Al-mudhghah --yang berarti sepotong daging-- menurut Al-Quran
(surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna
kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna).
Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi dengan
Al-Quran dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode ketiga yang disebut
Al-Quran sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua menurut embriologi
(periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting.
Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Quran sama dengan periode
ketiga atau foetus.
Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para mufassirin diartikan
dengan segumpal darah-- didapati pertentangan antara penafsiran tersebut dengan
hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm
dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur
tersebut tidak mengandung komponen darah.
Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-'alaq dengan
segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa al-alaq adalah sesuatu
yang bergantung atau berdempet. Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa
Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi. Bahasa Arab
tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari
artinya adalah bergantungan atau berdempetan.
Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-alaq menurut
bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir,
arti al-'alaq adalah "sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila
diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di
kerongkongannya".19
Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan sesuai
dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li taqallubihi.20
Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas adalah:
1. Al-Quran adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada
manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tiada pertentangan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
3. Memahami hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan
melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di
dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
4. Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan
Al-Quran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Quran dan bertentangan
pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
5. Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori
ilmiah berdasarkan Al-Quran) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat
Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan
yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan
Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
6. Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan penemuan-penemuan baru
adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah
Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan bahasa.
Catatan kaki
16 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Qalam, Kairo,
cet. II, t.t., h. 21.
18 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar
Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1974, h. 197.
19 Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Quran, diedit oleh Nadim
Mar'asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.
20 Qalb dalam bahasa Arab berarti "berbolak-balik",
karena sifatnya yang berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta,
sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq
(bergantung), karena keadaannya ketika itu "bergantung"/berdempet.