Membumikan
Al-Qur'an
oleh Dr. M. Quraish
Shihab
Metode Tafsir Tematik
Disepakati
oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat
utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah
dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal
masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil
terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran
sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada masa
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang
menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini
merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman
umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya
tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab
sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah
sesuatu yang luar biasa, seperti teori Al-Shirfah108 yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835
H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran
dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang
kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka
kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya
penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.
Setelah
Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki
corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu
terhadap Al-Quran".109 Kalau
hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak
salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir
Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya
Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau
Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang
mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami
secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini
dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang
mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta
menalarkan akal.
Metode
yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh
sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960
adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam
mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah
dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi
(w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi
antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada
hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak
tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat
(teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan
masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar
Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika
penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam
mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah
yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain
segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan kemukjizatan
Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-suratnya, serta
sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110 bukan untuk menggambarkan segi-segi
petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi
menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga
seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi
hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak
demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak
dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan,
kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata
menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut
tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari
awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.111
Pada
bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya,
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi
ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat,
dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat
dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi
surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan
ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini,
walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih
menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena
tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian
banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat
seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau
kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui
dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat
semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita
temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi
karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah
"out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran
tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum
ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran
tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang
ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara
itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan pandangan
baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan
problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan
masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan
dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas
pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat
dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum
adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum
Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian
tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir".
Dari sini
pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem
baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk
Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia,
baik yang positif maupun yang negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya
ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran,
misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud
Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun
karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini
ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya
Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh
atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik
tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya
diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan
Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad
Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas
Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa
dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya
ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu
Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat
Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan
Al-Quran.
Dalam
menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu,
Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun
seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh,
sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada
periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa
bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan.
Pada
tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir
Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya
ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
(a)
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b)
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c)
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
tentang asbab al-nuzul-nya;
(d)
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e)
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f)
Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g)
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara
yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara,
tanpa perbedaan atau pemaksaan.112
Penulis
mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy
dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1)
Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun
metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah
jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang
dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu
bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas
itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan
langsung oleh mereka.
Ini
berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari
problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan
sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut
kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak
dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat
tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka
yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya.
(2)
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Yaitu
hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran
menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada
nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu
kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis
peristiwa.
(3)
Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
Walaupun
metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun
kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami
arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini
dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma'tsur, yang pada
hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan
terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh
satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata
yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata
dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi
kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan
subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan
upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.113
Untuk
menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan,
antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian
pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat
ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya
Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang
berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu.
(4) Asbab
al-Nuzul
Perlu
digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan
menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena
sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat
Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia tidak harus
dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti
ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya
dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode analisis, tidak
pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi
pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat
digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan
penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada tahap
yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah
diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat
mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam
penafsirannya.
Dengan
tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan
oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab
(kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta izin dalam
Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran,
maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah
penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan
yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga
kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja,
sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab Tafsirnya.
Kedua,
menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat
Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut,
sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa
keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan
metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan
ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c)
kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa
pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan
bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan
atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat
membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai
dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai
Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu,
(d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat
yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat
Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
Yang
dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan maksud
ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan
menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui
penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat
tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu".
Metode
tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy yang telah digambarkan
langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain, pertama, mufasir
mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam
mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi
kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum
dalam mush-haf.
Kedua,
mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh
satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang
ditetapkannya.114 Sementara
para mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang
ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam
pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat
dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh
pokok bahasannya. Mufasir analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga,
mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang
menjadi pokok bahasannya. Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan
penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas
menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan
kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat
yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi
Yang
dimaksud dengan metode komparasi adalah "membandingkan ayat-ayat Al-Quran
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah
atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah
atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini
adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang
tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir
menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam
metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti
dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau
perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti misalnya perbedaan antara:
[tulisan
Arab]
dalam
surat Al-An'am ayat 151, dan
[tulisan
Arab]
dalam
surat Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
[tulisan
Arab]
dalam
surat Al-A'raf ayat 12, dengan
[tulisan
Arab]
dalam
surat Shad ayat 75.
Demikian
juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali Imran ayat 126.
Mufasir
yang menempuh metode ini, sepert misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya
Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada
petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu,
kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara
dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan,
serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan
yang ditetapkan.
Di sini
kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode komparasi lebih sempit dari metode
Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi
semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya bertentangan,
dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam bidang yang dinamakan
mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan
penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau tidak
sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya
dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah
(pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma'
ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadis
tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada
beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
(1)
Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup;
(2)
Kecenderungannya dan latar belakang pendidikannya;
(3)
Pendapat yang dikemukakannya --apakah pendapat pribadi, ataupun pengembangan
pendapat sebelumnya, atau juga pengulangannya;
(4)
Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk
mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut --baik menguatkan atau
melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang yang
bermaksud menempuh metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode
tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal
tersebut adalah:
(1)
Metode Mawdhu'i pada hakikatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan
ayat Al-Quran yang ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang
diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh
mufasirnya, sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini
agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya
dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahasannya.
(2)
Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya memperhatikan dengan seksama
urutan ayat-ayat dari segi masa turunnya, atau perincian khususnya. Karena
kalau tidak, ia dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baik di bidang
hukum maupun dalam perincian kasus atau peristiwa.
(3)
Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar seluruh ayat yang berkaitan dengan
pokok bahasan yang telah ditetapkannya itu. Sebab kalau tidak, pembahasan yang
dikemukakannya tidak akan tuntas, atau paling tidak, jawaban Al-Quran yang
dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan
kaki
108 Teori ini menyatakan bahwa orang-orang Arab
sebenarnya mampu untuk menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal
tersebut tidak terlaksana, karena Allah SWT melakukan campur tangan, dengan
jalan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki, atau dengan
jalan melemahkan semangat dan keinginan mereka untuk menandingi Al-Quran.
109 Lihat Pengantar Muhammad Al-Bahiy, dalam
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II,
tt, h. 7.
110 Bukunya, berjudut Nazhm Al-Durar fi Tanasub
Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai
dengan surah Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara lain
terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Mesir.
111 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah,
Beirut, 1975, jilid III, h. 144.
112 'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir
Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
113 Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Al-Yamin wa
Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
114 Ayat 90 surah Al-Maidah, misalnya, yang
berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan,
keseluruhannya menjadi bahasan penafsir "analisis". Tetapi penafsir
maudhu'iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang
dipilihnya tentang "minuman keras", maka ia tidak akan menyinggung
persoalan judi dan berhala-berhala.