بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
45.
MA’RIFAT
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka tidak menghormati
Allah dengan penghormatan yang semestinya.” (Qs. AL-An’am :91).
Dalam sebuah tafsir dijelaskan
bahwa ayat tersebut bermakna : “Mereka tidak mengenal Allah (ma’rifat
sebagaimana seharusnya Dia dikenal.”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a.
bahwa Nabi saw. bersabda : “Podasi sebuah rumah adalah dasarnya. Pondasi Agama
adalah pengenalan kepada Allah swt. yakin, dan akal yang teguh.” Aisyah lalu
bertanya : “Demi ayah dan ibuku, menjadi tebusanmu, apakah akal yang teguh
itu?” Beliau menjawab : “Menjga dari maksiat terhadap Alalh dan bersemangat
dalam menaati Allah swt.” (Dikeluarkan oleh ad-Dailany, dari Aisyah r.a.).
Ditinjau dari segi bahasa, para
ulama mengartikan ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah disebut ma’rifat, dan
semua ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (‘alim)
tentang Allah swt. berarti seorang yagn ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti
‘alim. Tetapi di kalangan Sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal
Allah swt, melalui Nama-nama serta Sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah
swt, dengan muamalatnya, kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang
rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (ruhani), dan yang senantiasa
i’tikaf dalam hatinya. Kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya, yang
mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya. Memutus segala kotoran
jiwanaya, dan dia mencondongkan hatinya kepada pikiran apa pun selain Alalh
swt. sehingga ia menjadi orang asing di kalangan makhluk. Ia menjadi bebas dari
bencana dirinya, bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam sukacita bersama
Allah swt. dalam munajatnya. Di setiap detik senantiasa kembali kepada-Nya,
senantiasa berbicara dari sisi Al-Haq melalui pengenalan rahasia-rahasia-Nya.
Dan ketika Allah swt. mengilhaminya dengan membuatnya menydari rahasia-rahasia-Nya
akan takdirnya, maka pada saat itu ia disebut seorang ‘arif, dan keadaannya
disebut ma’rifat. Jelasnya, frekuensi keterasingannya terhadap dirinya sendiri
(dan seluruh makhluk yang ada) semata karena sukses ma’rifatnya kepada Allah
swt.
Para syeikh, masing-masing
berbicara tentang ma’rifat, sesuai dengan pengalamannnya sendiri dan
menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata
: “Salahsatu tanda ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah swt. Barangsiapa
bertambah ma’rifatnya, bertambah pula habah-nya.” Saya mendengar beliau juga
menyatakan : “Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan
membawa kedamaian. Jadi, orang yang ma’rifatnya bertambah, maka bertambah pula
ketentramannya.”
Asy-Syibly berkata : “Bagi sang
‘arif tidak ada keterikatan, bagi sang pecinta tidak ada keluhan, bagi sang
hamba tidak ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Alalh tidak ada tempat
yang aman, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah.” Ketika asy-Syibly
ditanya tentang ma’rifat, dia menjawab : “Awalnya adalah ma’rifat hanya bagi
Alalh swt. dan yang akhirnrya adala sesuatu yang tiada hingga.”
Abu Hafs berkata : “Sejak diriku
mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki
hatiku.” Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs
menunjukkan bahwa dalam padangan Sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong
dari dirinya sendiri, karena dia dilimpahi oleh dzikir kepada-Nya. Dengan
demikian, tidak melihat apapu selain Alalh swt. tidak pula musyahadah kepada
selain Allah swt. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan
refleksi pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang
dihadapinya. Bagi sang ‘arif, semata kembali pada Tuhan-nya. Jika seseorang
disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya
sendiri. Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak
punya hati?” Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup
dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentag ma’rifat,
Abu Yazid al-Bisthamy menjawab dengan menyitir ayat : “Sesungguhnya raja-raja
jika mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan
menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina.” (Qs. An-Naml :34). Abu Yazid
menyatakan : “Manusia mempunyai ihwal ruhani, bagi yang ‘arif tidak ada.
Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan ke-dia-annya telah berubah menjadi
ke-Dia-an lain. Pengaruhnya gaib karena faktor Lain di luar dirinya.”
Muhammad al-Wasithy berkata :
Ma’rifat tidak dibenarkan jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan
dengan Allah swt. dan kebutuhan terhadap-Nya.”
Dengan ucapan ini al-Wasithy
memaksudkan bahwa kebutuhan dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda kesadaran
jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya sifat-sifatnya, karena
keduanya merupakan sifat-sifatnya. Sang ‘arif terlebur dalam obyek ma’rifatnya.
Bagaimana mungkin ma’rifatnya, shahih – bila kebutuhan dan kepuasan dengan-Nya
masih meelkat – sementara dia lebur dalam Wujudn-Nya atau terserap dalam
musyahadah pada-Nya, tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih
dipisahkan oleh kesadaran akan sifat apa pun yang mungkin dimilikinya? Karena
alasan inilah al-Wasithy juga mengatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Alalh
swt. berarti terputus, bahkan bisa dan hampa.”
Nabi saw. menyabdakan :
“Aku tak bisa memuji-Mu
sepenuhnya.” (Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang
perspektifnya jauh. Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan
tersebut, mereka telah banyak berbicara dengan ma’rifat dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky
berkata : “Siapa yang lebih ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut
pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata :
“Barangsiapa ma’rifat (terhadap Allah swt. akan dikokohkan oleh keabadian, dan
dunia seisinya terasa sempit.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat
kepada Allah swt. Dia akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan
hidup padanya. Segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada
sesuatu pun di antara makhluk, dan dia mengalami sukacita yang luas biasa
dengan Allah swt.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat
(terhadap) Allah swt. hilangah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak
terikat ataupun terpisah dari mereka.”
Dikatakan : Ma’rifat mendatangkan
rasa malu dan sikap pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan dan
kepasrahan kepada Allah swt.”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar :
“Ma’rifat adalah cermin sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu. Tampaklah
Tuhannya.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di padang ma’rifat dan
ruh Nabi kita Muhammad saw. memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah
melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke taman wishaal.” Dia
juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif (terhadap orang lain) adalah seperti
perlakuan Allah swt, dia bersabar terhasapmu karena dia meniru
Akhlak Allah swt.”
Hasan bin Yazdaniyar ditanya :
“Kapakah seorang ‘arif menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab : “Ketika Penyaksi
Tampak, maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan
melebur.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj
berkata : “Apabila si hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan
melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan
yang tidak haq.” Al-Hallaj juga mengatakan : “Tada seorang ‘arif adalah bahwa
dia kosong dari dunia dan akhirat.”
Sahl bin Abdullah mengatakan :
“Pangkal ma’rifat ada dua : “Kedahsyatan dan kebingungan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan :
“Orang yang paling ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar
kebingungannya.”
Seorang laki-laki berkta kepada
al-Junyad : “Di antara ahli ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan,
‘Meninggalkan setiap macam gerakan (lahiriah) adalah bagian dari kebajikan dan
takwa.” Al-Junayd menjawab : “Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan
agar meninggalkan semua amalan, yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan
besar. Pencuri dan pezina lebih baik perilakunya daripada mereka yag berucap
demikian. Sebab sang ‘arif memperoleh amal-amal dari Allah swt. dan mereka
kembali kepada Allah swt. melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup
seribu tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal kebajikan sekecil biji
sawi sekalipun.”
Ditanya kepada Abu Yazid
al-Bisthamy : “Dengan apa engkau mencapai ma’rifat?” Dia menjawab : “Melalui
erut yang lapar dan tubuh yang telanjang.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury
menuturkan : “Aku bertanya kepada Abu Ya’kub as-Susy : “Apakah sang ‘arif
bersedih karena sesuatu selain Allah swt?” Dia menjawab : “Dan apakah dia
melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya bersedih?” Aku lalu bertanya :
“Lantas dengan mata yang mana dia melihat segala alam ini?” Dia menjawab :
“Dengan mata fana’ dan kehangusan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata :
“Sang ‘arif terbang dan sang zahid berjalan.” Dikatakan : “Mata sang ‘arif
menangis, tetapi hatinya tertawa.”
AL Junayd menyatakan : “Sorang
‘arif tidak akan menjadi ‘arif sampai dia menjadi seperti bumi : diinjak oleh
orang yang baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan; menyirami
segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun membencinya.”
Yahya bin Muadz berkata : “Sang
‘arif keluar dari dunia ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal : menangisi
diri sendiri dan pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan Lihur.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata :
“Merekan mencapai ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan
tinggal dengan apa yang jadi milik-Nya.”
Yusuf bin Ali menegaskan :
“Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman
diberikan kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya sekejap mata
pun dari Allah swt.”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan :
“Ma’rifat dibangun dengan tiga tiang : Rasa gentar (haibah), malu (haya’) dan
kesukacitaan (Uns).”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya :
“Degan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku
dengan Tuhanku. Kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan menganl
Tuhanku.”
Dikatakan : “Ulama menjadi
panutan, sedangkan seorang ‘arif adalah sumber petunjuk.”
Asy-Syibli mengatakan : “Sang
‘arif tidaklah berurusan selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan
pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun
bagi dirinya selain Allah swt.”
Dikatakan : “Sang ‘arif
memperoleh kesenangan dengan dzikir kepada Allah swt. dan ditakuti oleh
makhluk-Nya. Dia membuatnya tidak butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu merasa
hina di hadapan Allah swt. lantas Allah memuliakan di hadapan makhluk-Nya.”
Abu ath Thayyib as-Samary
mengatakan : “Ma’rifat adalah munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya
terus menerus memancar.”
Dikatakan : “Sang ‘arif itu
di atas apa yang dikatakannya, dan sang ulama di bawah apa yang diucapkannya.”
Abu Sulaiman Abdurrahman
ad-Darany berkata : “Allah swt. menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempt
tidurnya, yang tidak Dia ungkakan kepada orang lain, padahal orang lain itu
sedang shalat.”
Al-Junayd mengatakan : “Sang
‘arif adalah yang berbicara haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam
keadaan diam.”
Dzun Nuun menyatakan : “Bagi
setiap orang ada hukuman tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah
terputus dari dzikir kepada Allah swt.
Ruwaym berkata : “Riya’nya
orang-orang ‘arif lebih utama daripada keikhlasan para murid (pencari).”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq
berkata : “Diamnya seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah
paling simpatik dan paling menyenangkan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan :
“Meskipun para zahid adalah raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling
fakirnya ‘arifin.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang
san ‘arif, dia menjawab : “Warna air adalah warna wadahnya.” Artinya, sifat
orang ‘arif selalu ditentukan oleh waktunya.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya
tentang sang ‘arif. Dia mengatakan, : “Dia tidak melihat sesuatu pun selain
Allah swt. dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah swt. di saat
bangunnya. Dia tidak sesuai dengan selain Allah swt, dan dia tidak memandang
kepada selain Alalh swt.”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy
berkisah, bahwa salah seorang syeikh ditanya : “Dengan apa Anda mengenal Allah
swt.?” Dia amenjawab : “Dengan kilatan cahaya yang memancar melalui lisan yang
diambil dari pembedaan biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan
seseorang yang binasa dan musnah.: Ia menunjuk kepada suatu ekstase yang muncul
dan menuturkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang
diungkapkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang
diungkapkan-Nya; sedangkan yang lain-Nya adalah faktor yang menyulitkannya.
Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu :
Engkau bicara tanpa ucapan,
adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis
atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku
tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang
‘arif, Abu Turab Askar an-Nakhsyaby menjelaskan : “Tak sesuatu pun
mengotorinya, justru segala sesuatu menjadi bersih karenanya.”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata
: “Cahaya pengetahuan bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat dengannya
keajaiban-keajaiban yang gaib.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
menyatakan : “Sang ‘arif hancur dalam lautan hakikat. Sebagaimana dikatakan
oleh salah seorang Sufi, “Ma’rifat adalah ombak yang membumbung, naik dan
turun.”
Yahya bin Mu’adz ditanya tentang sang
‘arif, dan menjawab : “Seseorang yang ada dan terpisah.” Ia katakan sekali lagi
: “Mula-mula ada, kemudian terpisah.”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan :
“Tanda seorang ‘arif ada tiga : Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya
wara’-nya; dia tidak percaya pada pengetahuan batin; apabila merusak
hukum-hukum lahir; dan melimpahnya rahmat Allah swt. kepadanya tidak
mendorongnya untuk merobek tirai yang menutupi kehormatan Alalh swt.
Dikatakan : “Orang yang ‘arif
bukanlah orang yang berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan
lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan orang-orang
yang terikat pada dunia.”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan :
“Ma’rifat datang dari sebuah mata kedermaan dan curahan usaha serius.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang
perkataan Dzun Nuun al-Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana,
kemudian menghilang pergi), maka al-Junayd menjawab : “Seorang ‘arif tidak
dibatasi oleh kondisi ruhani satu ke kondisi lain, tidak pula ditirai oleh
tahap yang berpindah dari satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang
banyak dari setiap tempat seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun yang
mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka agar mereka bisa
memberikan manfaat dengan pembicaraannya.”
Muhammad ibnul Dadhl berkata :
“Ma’rifat adalah hidupnya hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya :
“Apakah sang ‘arif sampai pada kondisi, dimana air mata telah kering?” Dia
menjawab : “Memang Menangis termasuk dalam masa ketika mereka melakukan
perjalanan menuju Allah swt. Ketika mereka turun menuju lembah hakikat taqarub,
dan mengalami rasa wushul dan anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.