بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
44.
KELUAR DARI DUNIA
Allah berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang
diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada
mereka) “Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).
Ayat tersebut memiliki maksud
bahwa kebajikan jiwa mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka
kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang
berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba akan
berurusan dengan kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya
sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu sama lainya dengan kata-kata,
“Alaikassalaam” engkau berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai
(jumpa) di hari kiamat nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin
Malik r.a. bahwa Nabi saw. sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati
ajalnya. Nabi saw. bertanya : “Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu
menjawab : “Aku berharap kepada Allah swt. dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda,
“(Harapan bertemu Allah dan rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di
hati hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan padanya apa yang
diharapkannya, dan memberikan rasa tentram dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka
saat menghadapi ajal (naza’) berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa
takut namun disertai rasa hormat (haibah), adapula yang dilimpahi rasa harapan
(raja’) dan di antara mereka ada yang dibuka oleh Allah swt.
sekertika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram
dan tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku
sedang di sisi al-Junyad ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan
tahun baru. Junayd sedang membaca Al-Qur’anu; Karim, hingga mengkhatamkannya.
Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang
lebih layak (mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan inilah,
lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim
al-Harawy berkata : “Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya
tiba. Sepanjang malam itu dia mendendangkan syair berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun
manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut
hendak menjemputnya : “Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka
al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury
menjenguk sebagian murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila
kalian menemukan maut, belikan untukku.” Ketika wafatnya akan tiba, beliau
berkata : “Kami sungguh mengharapkannya, tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh
dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin
Ali bin Abu Thalib mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa
yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal datang kepada Tuan Yang
bernah kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya,
sang istri meratap : “Duhai betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh,
betapa girangnya, esok kami menemui para kekasih : Muhammad dan tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul
ubarak membuka kedua bola matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa,
sembari mengumandangkan ayat suci : “Untuk kemenangan serpa ini hendaklah
berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs. Ash-Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul
Mubarak sedang dirundung duka, kemudian, kemudian orang-orang menjenguknya saat
menjelang kematiannya, sedangkan ia tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal
tertawanya itu : “Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan
yang paling kujauhi telah dekat, sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang
benar-benar kuharapkan begitu mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku
hadir pada saat menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada
detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair :
Ratapan rindu kalbu ‘arifin
ketika mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat
bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara
mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia,
melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di
kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai
binntang-bintang cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi
karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai
membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka,
kecuali Kedekatan Sang Kekasih
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa
Abu Sa’id al-Kharraz banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd
menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya terbang menggapai
kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat
dekat ajalnya : “Hai Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam
debu ...! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat, dan susngguh bagiku
tak terbebas dari dosa, tiada keringanan yang bisa dilakukan, tiada kekuatan
yang bisa menolong, Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si
Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar
suara : “Seorang hamba hidup tena g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun
al-Moshry menjelang wafatnya : “Apa keinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin
mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang
Sufi menjelang ajalnya : “Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua
menyuruhku begitu, sedangkan aku sendiri terbakar dalam Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu
ketika aku sedang berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang
fakir datag seraya berucap : “Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab
salamnya. Si Fakir itu berkata : “Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang
memungkinkan bisa ditempati oleh manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah
tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut,
mengambil air mudhu, shalat dan ... masya Allah Azza wa Jalla ---
mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya,
lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad
ad-Dinawary sedang berbicara dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita
berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya : “Suatu kematian?” Lalu
wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu rumah, wanita itu menoleh pada
Ahmad sembari berkata : “Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan :
“Aku sedang berada di rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu
dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan penyakit Anda?” Dia menjawab :
“Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana Anda menemukan diriku?” Lalu
dikatakan padanya : “Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan
wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah musnah kesseluruhanku
pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad
ad-Dubaily ketika menjelang wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu
dia menjawab : “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami
fana’”
Kemudian beliau membacakan syair
:
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona
dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly
menjelang wafatnya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly
mendendangkan syair :
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku
mendengar salah seorang fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan
meninggal, kami duduk di sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami berkata
: “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas beliau duduk lurus,
kemudian meraih tangan salah ssatu dari kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu
an-Laa Ilaaha Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt tersebut
merata pada semua hadirin. Barulah kemudian beliau meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari
Muhammad ar-Rudzbary : “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati
ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka,
sembari berkata : “Inilah, pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu
benar-benar telah dihiasi, dan inilah orang yang berkata padaku : “Wahai Abu
Ali, kami telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum
sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak
kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku
melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang
sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar
merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku
melihat seorang fakir asing yang membiarkan dirinya, sementara lalat
mengerumuni wajahnya. Lalu aku duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari wajahnya,
sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata : “Siapakah engkau? Sejak sekian
tahun aku mencari waktu yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali
sekarang ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga
Allah swt. mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany
berkata : “Aku mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya Abul
Husain Ahmad an Nury adalah dikarenakan mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa
menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase
dan linglung di tengah padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah
ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti pedang. Anehnya,
an-Nury berjalan di atas akar-akar itu, kembali pulang sampai esok hari. Darah
mengalir dari kedua kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk.
Kedua telapan kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat
lain diceritakan, ketika beliau menjelang wafat, dikatakan padanya :
“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,” lalu beliau menjawab : Bukankah pada ucapan
itu aku kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur
al-Maghriby berkata : “Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah
sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya
kepadanya : “Apakah engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong
limpa panggang.”
Maksud ucapan Ibrahim tersebut,
kemungkinan adalah : “Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan
limpa panggang yang menghangatkan orang asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian
Ahmad bin Atha’, yakni ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang
menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda
....!” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya dengan sepatu dan mengenai
kepalanya, hingga wafat pun menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy
berkata : “Kami sedang berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu
az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama lagi diriku Engkau tempatkan di sana?”
Dan keesokan pagi, ia telah meninggal dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali
ar-Rudzbary, yang mengisahkan : “Aku melihat di padangpasir seorang pemuda.
Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya, pesonanya padaku
dengan cintanya, hingga membuatku menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan
jiwa yang lembut, sembari kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh
dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah
setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd :
“Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah
melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di
hatiku
Tak pernah kulupakan, maka selalu
kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada
Bakran ad-Dinawary – di mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda
lihat dari Asy-Syibly?” Ia menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “ “Aku punya
dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak
ada rasa mengganjal yang lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata :
“Wudhukan aku untuk shalat.” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa
menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku menahankan air pada mulutnya,
lantas beliau menahankan air itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada
jenggotnya, lantas beliau wafat.” Mendengar kisha itu Ja’far menangis tersedu,
dan berkata : “Apa yang kalian katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak
pernah melewatkan adab dari adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat
sedang berada di Mekkah al-Mukarramah --- semoga Alalh swt. menjaganya ---
Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al
Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang pemuda
terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Kukatakan
padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan
kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah
memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah
mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit
dengan sekali jeritan, lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan
menshalatinya. Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan
perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah --- Semoga Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang
Sufi :”Apakah Anda mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang
diharapkan kebaikannya itu llebih baik daripada menetap bersama orang yang
tidak percaya keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang
mengatakan : “Aku sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika
beliausudah merelakan ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau berkata :
“Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata : “Jauh!” Yakni, Dia itu lebih
dekat dibandign Anda memandang ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum
langit dan bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang
sahabt kami berkata : “Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah
ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali
saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary
berkata : “Aku memasuki negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya
berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang pemuda yang
meninggal karena mendengar orang menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan
sekali teriakan, lantas mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang
menjenguk Mumsyad ad-Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa
yang dilakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary menjawab : “Sejak tigapuluh
tahun ini aku ditawari surga dan seisinya, namun aku tak pernah menolehkan
pandanganku.” Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda
menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh tahun, aku kehilangan
hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin
Bannan, adalah ganjalan dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya.
Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani Israil, dalam keadaan
tertimpa pasir. Kemudian ia membuka matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah,
sebab inilah kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury
berkata : “Ketika aku sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt.
menjaganya – tiba-tiba datang seorang fakir dengan membawa dinar. “Bila besok
tiba, aku pun mati. Tolong butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo
lainnya untuk persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak waras,
dan dia sedang tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari tiba, ia datang kembali,
masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada
tanah. “Itu dia, pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya dan menggerakkannya.
Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, aku pun
menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu
Utsman Sa’id al-Hiry mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu
Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku, menetang sunnah dalam bentuk
lahiriah tergolong riya’dalam batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad
memasuki rumah al-Junayd, sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad
menucapkan salam. Namun jawabannya terlambat, walau akhirnya menjawab pula.
Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku sedang dalam wiridku.” Setelah itu
al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali
ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir datang pada kami, lalu mati. Aku pun
menguburkannya, dan ketika wajahnya kubuka untuk kuletakkan di atas tanah, agar
Alalh swt. mengasihi dalam pengasingannya, tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan
berucap : “Wahai Abu Ali, apakah engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang
memanjakanku?” Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia
menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang mencintai Allah swt. selalu
hidup. Esok nanti tiada yang membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali
al-Ashbahany, yang berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti
orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-orang yang menjenguk.
Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali
sedang berjalan, sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia
mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin
berkata : “Ketika Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di
sat naza’nya aku mengatakan padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”,
lalu beliau tesenyum padaku sembari berucap : “Yang kau maksud itu aku? Demi
Keagungan Dat Yang tak pernah merasakan kematian, tak ada antara diriku
dengan-Nya, kecuali hijab keagungan.” Lalu saat jadi padam (wafat).”
Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan berkata : “Pembekam seperti
diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu,
dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata :
“Aku berguru pada an-Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya;
beliau berbicara padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan
dimakamkan hari Jum’at, sebelum Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata
wasiat itu kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi
kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Kulihat
serombongan manusia sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah
shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr. Kutemani jenazah,
ternyata telah dikeluarkan sebelum waktu shalat sebagaimana diucapkannya padaku
dulu. Aku bertanya pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di
antara mereka berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh
ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah
hamba yang diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan padamu,
tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang diperintahkan padaku, membuat
senjang diriku. Lantas beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu,
kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya terpejam (wafat).”
Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi bertemu dengan an-Nassaj :
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan, tetapi,
sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar,
menuturkan, bahwa ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun
mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh
orang. Salah seorang Yahudi itu mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat
apa yang terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah
kalian semua melihat seperti apa yang kulihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa
yang Anda lihat?” Yahudi itu berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun
dari langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian
itu, Yahudi tersebut membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang
taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata :
“Aku sedang berada di Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu
hari aku melewati pintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda yang tampan dalam
keadaan meninggal dunia. Kulihat wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan
berkata padaku, : “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih
Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya dipindahkan dari satu rumah
ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada
berita sampai padaku bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta
untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu aku. Aku ini sedang
terpesona oleh keindahan-keindahan kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata :
“Abu Hafs ditanya mengenai situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan
pada kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk
menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan
aku pun bertanya padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini
darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap
ceroboh.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.