بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
{AJARAN KAUM SUFI}
Karya
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukhari Al-Kalabadzi
1.
APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI
Beberapa
orang mengatakan : “Para sufi dikatakan demikian hanya karena kemurnian (shafa)
hati dan kebersihan tindakan mereka (atsar).” Bisyr ibn al-Harits mengatakan “ Sufi
adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan.” Yang lain mengatakan :
“ Sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari
Tuhan.” Sebagian mereka telah mengatakan : “Mereka dinamakan sebagai para sufi
karena berada pada baris pertama (shaff) di depan Tuhan, karena besarnya
keinginan meraka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya dan tingginya
bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapan-Nya.” Yang lain telah
mengatakan : “mereka dinamakan Sufi
karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di
serambi masjid (shufffah), yang hidup pada masa Nabi saw.” Yang lain-lain lagi
telah mengatakan : “Mereka dinamakan Sufi hanya karena kebiasaan mereka
mengenakan baju bulu domba (shuf).”
Orang-orang
yang menisbahkan orang-orang Sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi
masjid dan dengan bulu domba, manampakkan aspek lahiriah keadaan meraka; sebab
meraka adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, pergi dari
rumah-rumah mereka, dan dari sahabat-sahabat mereka.
Mereka
berkelana ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hasrat jasmani dan
menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda-benda dunia hanya asal cukup
untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan. Karena
kepergian mereka dari rumah, mereka dinamakan “orang-orang asing”.
Karena
banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan, mereka dinamakan “Pengembara”;
karena perjalanan mereka di padang-padang pasir dan pengungsian mereka di
gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu (diyar) menamai
mereka Syikaftis, sebab kata syikaft dalam bahasa mereka berarti “Gua” atau gua
besar.” Orang-orang syria menamai mereka : “Orang-orang yang lapar”, sebab
mereka hanya makan asal cukup untuk mempertahankan kekuatan mereka pada waktu
terdesak. Maka Nabi saw. mengatakan : “Cukuplah bagi putra-putra Adam
biji-bijian yang bisa menjaga kekuatan mereka.”
Sarri
as Saqathi melukiskan mereka begini : Makanan mereka adalah makanan orang
sakit, tidur mereka adalah tidur orang yang tenggelam, pembicaraan mereka
adalah pembicaraan orang bodoh.” Karena mereka tidak memiliki apa-apa, maka
mereka dinakamakan “Pengemis”. Salah seorang dari mereka ditanya “Siapakah Sufi
itu?” Dia menyahut : “Orang yang tidak memiliki, tak pula dimiliki.” Dengan
sahutan itu dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu. Yang lain mengatakan :
“Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki,
dihabiskannya.” Dikarenakan baju dan cara mereka memakainya, maka mereka
dinamai orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak mengenekanakn pakaian yang lembut
atau indah, demi menyenangkan jiwa; mereka berpakaian hanya untuk
menyembunyikan ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka sendiri dengan kain
dan bulu domba yang kasar.
Nah,
semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup oarng-orang yang tinggal di serambi
masjid di masa Nabi saw. sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat,
terbuang, teusir dari tempat tinggal dan harta milik mereka. Abu Hurairah dan
Fudhalan ibn ‘Ubadi melukiskan mereka sebagai berikut : “Mereka hampir mati
kelaparan, sehingga orang-orang Badui menganggap mereka gila.” Pakaian mereka
dari bulu domba, sehingga bila mereka berkeringat, bau mereka seperti bau domba
kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata
kepada Nabi saw. : “bau orang-orang ini menyusahkan saya.” Tidakkah itu
menyusahkan Anda juga?” Bulu domba
addalah juga pakaian para Nabi dan Wali. Abu Musa al-Asy’ari menceritakan kisah
berikut dari Nabi : “Di dekat karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi
bertelanjang kaki, berpakaian “aba” (baju dari kulit domba) kembali dari Rumah
Lama (Ka’bah). Al-Hasan a-Bashri mengatakan : “Isa .s. biasa mengenakan kain,
makan buah dari pepohonan dan melewatkan malam di mana saja beliau kebetulan
berada.” Abu Musa al-Asy’ari mengatakan : “Nabi saw. biasa mengenakan bulu
domba, mengendarai keledai dan menerima undangan orang-orang jelata (untuk
makan bersama mereka).” Hasan al-Bashri mengatakan : “Saya mengenal tujuh puluh
orang yang ikut bertempur di Badr, yang bajunya dari bulu domba.”
Nah,
karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag sama dengan orang-orang yag
tinggal di serambi masjid, seperti yang telah kami lukiskan dan berpakaian
seperti mereka, maka mereka dinamakan “Shuffiyah-shuffiyah.”. Orang-orang yag
menghubungkan mereka dengan serambi masjid dan “Barisan Pertama” menceritakan
hati dan batin mereka sebagai berikut : “Sebab kalau orang-orang meninggalkan
dunia ini dan kemudian menjauhi minuman keras dan menyisih darinya, Tuhan
menyucikan (shaffa) hati nuraninya (sirr) dan menerangi hatinya.
Nabi
saw. telah mengatakan : “Kalau cahaya merasuk hati, dia akan meluas dan
membesar.”
Mereka
berkata : “Dan apabila tandanya, wahau Rasul Allah?”
Beliau
menjawab : “Mengelak dari kebohongan, beralih kepda kekekalan dan bersiap untuk
mati sebelum kematian datang.”
Maka
Nabi saw. mengatakan bahwa jika seseorang mengelak dari dunia ini, Tuhan akan
menyinari hatinya.
Nabi
saw. bertanya kepada Hari
tshah : “Apakah buktinya keimananmu?
Dia
menjawab : “Saya telah menjauhkan jiwa saya dari dunia ini, saya selalu
berpuasa di siang hari dan berjaga di malam hari, dan seolah-olah saya melihat
singgasana Tuhan, dan para penghuni surga saling berkunjung-mengunjungi dan
penghuni neraka saling membenci satu sama lain.” Dengan begitu dia memberi tahu
kita bahwa kalau dia menjauhkan jiwanya dari dunia ini, maka Tuhan akan
menyinari hatinya, sehingga apa yang (secara normal) tidak bisa dilihatnya
muncul dalam pandangannya. Nabi juga berkata : “Jika aa orang yang ingin
melihat seorang hamba yang hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah dia melihat
Haritsah.” Karena sifat-sifat tersebut, kelompok ini juga dinamai kelompok
“Yang diterangi” (nuriyah). Pelukisan ini juga sesuai dengan orang-orang yang
tinggal di serambi masjid; Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Di dalamnya
ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. 9:109); (Hal ini berarti)
bagian-bagian lahiriahnya bersih dari kekotoran-kekotoran, dan bagian
batiniahnya besih dari pikiran-pikiran jahat. Tuhan Yang Maha Tinggi juga
berfirman : “Manusia-manusia yang tidak disibukkan oleh kegiatan niaga, tidak
pula oleh kegiatan dagang, dari mengingat Allah” (Qs. 24:37). Lebih-lebih
disebabkan oleh kemurnian kesadaran mereka, maka firasat (firasah) mereka pun
selalu benar, Abu Umamah berkisah bahwa Nabi berkata : “Takutlah pada firasat
orang yang beriman, sebab dia melihat
dengan cahaya Tuhan.” Abu Bakr ash-Shiddiq berkata : “Dibisikan dalam
kalbuku bahwa anak dalam perut ini adalah putri Kharijah.” Dan memang begitulah
nyatanya.
Nabi
berkata : “Kebenaran keluar dari lidah Umar.” Uways al-Qarani berkata pada
Harim bin Haiyan, ketika Harim meneyalaminya, “Dan damai bagimu, wahai Harim
putra Haiyan!.” Padahal dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu dia
berkata : “Jiwaku mengenal jiwamu.” Abu Abdillah al-Anthaki berkata : “ Jika
kamu berhunungan dengan orang-orang yang ikhlas, behubungan dengan ikhlas,
sebab mereka adalah mata-mata yang memata-matai hati, yang merasuk ke dalam
kesadaranmu dan timbul hasrat-hasratmu yang di dalam.” Maka, jika keadaan
seseorang seperti yang dilukiskan tadi --- jika kesadaran murni, hatinya
bersih, dadanya disinari – sudah tentu dia berada di baris pertama; sebab
semuanya ini merupakan sifat-sifat para pemimpin. Nabi berkata : “Akan masuk
surga tujuh puluh ribu ummatku tanpa harus menjalani perhitungan (hisab).” Lalu
beliau meneruskan dan melukiskan sifat-sifat mereka : “Orang yang tidak
mengamalkan sihir atau mendekati sihir, yang tidak mencap atau dicap melainkan
menaruh kepercayaannya kepada Tuhan mereka.” Lebih jauh lagi, karena kemurnian
kesadaran dan luasnya dada mereka serta kecemerlangan hati mereka, maka mereka
memiliki ma’rifat yang sempurna dari Tuhan, dan tidak memiliki penolong lain
untuk menyelesaikan perkara-perkara (asbab) mereka (kecuali Tuhan); Mereka
beriman kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, percaya kepada-Nya, puas dengan
ketapan-Nya.
Semua sifat ini , didpersatukan dalam nama-nama dan
sebutan-sebutan yang diberikan kepada orang-orang ini, ungkapan-ungkapan itu
tepat dan semua asal kata itu mendekati kebenaran. Meskipun kata-kata ini tampaknya beragam, namun makna dibaliknya
sama saja. Jika istilah Shufi berasal dari kata shafa (kemurnian) atau shafwah
(pilihan), maka bentuknya yang benar akan menjadi shafafiyah; sementara jika
istilah itu mengacu pada shaff (baris) atau shuffah ( serambi masjid), maka
jadinya shaffiyah atau shuffiyah. Tentu saja ada kemungkinan (pada asal kata
pertama) bahwa suku kata waw telah dipindahkan ke depan fa sehingga menjadi shufiyah;
atau (jika asal kata yang ke dua diterima) bahwa istilah itu hanya
merupakan pleonasme yang marasuk ke
dalam kata itu karena biasa digunakan.
Tapi jika asal kata dari shuf (bulu
domba) diterima, maka kata itu tepat dan ungkapannya bagus dari segi tata
bahasa, dan sekaligus memiliki semua makna (yang dibutuhkan) seperti mengelak
dari dunia ini, cenderung menjauhkan jiwa darinya, meninggalkan segala
pemukiman yang telah mapan, terus menerus melakukan pengembaraan, menolak
kesenangan-kesenangan jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran,
meluaskan dada, dan sifat kepemimpinan. Bundar ibn al-Husain berkata : “Sufi
adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih
sayang tulus (shafa) dan dibebaskan dari yang bersifat jasmani, serta tidak
diperkenankan berusaha melakukan segala yang meletihkan atas dalih apa pun.
Maka dia dilindungi (shufi), sebagai perbandingan, orang bisa menyitir ‘ufi (dia dijaga) kufi (dia diberi imbalan),
yaitu bahwa Tuhan telah memberi imbalan kepadanya maka dia menerima balas jada;
dan juzi (dia diberi pahala), yaitu bahwa Tuhan telah memberi pahala kepadanya
maka dia menerima pahala. Yang telah dilakukan oleh Tuhan atas dirinya,
mengejawantah dalam namanya, Meskipun Tuhan sama sekali tidak tergantung
pada-Nya.”
Abu Ali ar-Ruzhabari, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : “Orang
yang menutupkan bulu domba ata kemurnian(nya), menganggap nafsunya sebagai
tiran, dan setelah menjauhi dunia, berjalan di jalan manusia terpilih. Sahl ibn
Abdillah at-Tustari memberikan jawaban sebagai berikut, ketika ditanya padanya
pertanyaan yang sama : “Orang yang bersih dari ketidak murnian dan selalu
merenung; yang terputus hubungannya dengan manusai lain demi mendekati Tuhan,
dan yang di matanya emas dan lumpur sama nilainya.
Abu’L huasin an-Nuri, ketika
ditanya apakah tasawuf itu, menjawab : “Meningalkan segala yang bersifat
jasmani.” Al-Junaid menjawab pertanyaan yang sama : “Tasawuf berarti memurnikan
hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat
alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil
sifat-sifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan
segala sesuautu untuk masa yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh
berriman pada Tuhan dan mengikuti syariah Nabi.
Yusub
ibn al- Husain berkata : “Dalam setiap umat ada kelompok terpilih, dan
merekalah wakil Tuhan, disembunyikan oleh-Nya dari makhluk-Nya yang lain; orang
semacam inilah yang dinamakan sufi.” Seseorang berkata pada Sahl ibn at-Tustari
: “Di antara berbagai kelompok manusia ini, dengan siapa saya harus
berhubungan?” Dia menjawab : “Tempatkan dirimu di antara para sufi, sebab tak
ada yang mereka anggap tak dapat diterrima, tapi memberikan penafsiran ruhaniah
(ta’wil) atas setiap tindakan, dan mereka akan memaafkan segala kekuranganmu,
betapa pun keadaan (hal)mu.”
Yusuf ibn al-Husain bercerita bahwa dia bertanya
pada Dzun Nun : “Dengan siapa saya mesti berurusan?”Dia menjawab : “Dengan
orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak mencelamu betatapun keadaanmu;
yang tidak berubah ketika kamu berubah, meskipun perubahan itu besar, sebab
semakin kamu berubah, semakin kamu membutuhkan dia.”
Dzun Nun juga berkata :
“Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai syria, dan aku berkata
padanya : “dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)?” Dia
menyahut : “Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari ranjang,” aku berkata :
Dan ke mana tujuanmu?” dia menjawab : “Mencari manusia-manusia yang tiada
dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang dalam mengingat
Allah.” (Qs. 24:37)
Aku berkata : “Perikan mereka” Lalu dia pun mulai menyitir
puisi :
Yang
mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan;
Hasrat
mereka melambung pada-Nya semata;
Kesetiaan
mereka hanya teruntuk Tuhan;
Wahai pencarian
mulia, demi Dia Yang Selamanya ada!
Mereka
tiada ikut berebut kesenangan dunia.
Kemuliaan,
anak-anak, kekayaan dan kemewahan,
Segala
keserakahan dan selera tiada mereka hargai;
Hidup
enak dan senang di kota-kota ;
Menghadap
kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun di sana;
Mereka
cari Yah Tak Terbatas, dengan tekad nan kuat.
Mereka
runut alur-alur padang pasir;
Dan
puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat!.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.