بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Wali
Allah Syekh Jangkung (simbah Saridin)
Warga
Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup
sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga
sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri
bernama Dewi Samaran.
Siapa
wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus
dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem
dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita
babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan
dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas
sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul
tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin
hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak.
Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai
bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.
Syeh
Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin
disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat
lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan
tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai
pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas
satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris
tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang
jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang
hari.
Kiasan
Semua
itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun
melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok.
Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang
makan durian yang jatuh.
Dengan
sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi,
setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah
wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Untuk
menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian
satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan
Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru
dijahili.
Terbunuhnya
Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati
waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum
dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah
membunuh Branjung.
Meskipun
dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang
manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang
meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah
diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai
murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak
bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak.
Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya
Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN
- ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang
merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru
dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum
lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi
persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika
beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk
menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada
ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar
jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon
di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin
terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan
Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan
tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu
lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudhu, para santri
mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin
tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak
air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember.
Dia meminjam ember kepada seorang santri. Namun apa jawab santri itu? ”Kalau
mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil
untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh
air. Santri lain pun hanya bengong.
Dalam
WC
Cerita
soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga
kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia
salah. Dia pun sepantasnya dihukum. Sunan Kudus pun meminta Saridin
meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi
Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak
tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan
ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat,
Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC,
ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena
terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan.
Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar
dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya
menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia
bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang
guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus
kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang
atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal,
dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat
sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam
cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan
hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti
di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke
Timur Tengah.
Lulang
Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS
jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari
penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno
Jinoli.
Akan
tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki
yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.
Dia
harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri
Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin
dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin
membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas
sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak
lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai
tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik
seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda
umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti
dipekerjakan di sawah.
Mungkin
karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan
orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat
dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam
peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang
sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada
binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh
Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga
usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika
Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih.
Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok
lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan,
kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan
senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa
dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan
membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan,
termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan
kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali
ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang
(kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai
meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa
memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok
senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan
itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak
bisa putus lehernya.
Warga
Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup
sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga
sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri
bernama Dewi Samaran.
Siapa
wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus
dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem
dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita
babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan
dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas
sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul
tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin
hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak.
Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai
bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.
Syeh
Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin
disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat
lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan
tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai
pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas
satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris
tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang
jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang
hari.
Kiasan
Semua
itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun
melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok.
Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang
makan durian yang jatuh.
Dengan
sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi,
setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah
wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Untuk
menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian
satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan
Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru
dijahili.
Terbunuhnya
Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati
waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum
dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah
membunuh Branjung.
Meskipun
dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang
manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang
meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah
diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai
murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak
bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak.
Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya
Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN
- ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang
merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru
dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum
lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi
persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika
beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk
menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada
ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar
jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon
di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin
terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan
Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan
tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu
lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudhu, para santri
mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin
tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak
air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember.
Dia meminjam ember kepada seorang santri. Namun apa jawab santri itu? ”Kalau
mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil
untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh
air. Santri lain pun hanya bengong.
Dalam
WC
Cerita
soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga
kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia
salah. Dia pun sepantasnya dihukum. Sunan Kudus pun meminta Saridin
meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi
Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak
tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan
ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat,
Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC,
ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena
terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan.
Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar
dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya
menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia
bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang
guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus
kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang
atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal,
dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat
sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam
cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan
hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti
di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke
Timur Tengah.
Lulang
Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS
jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari
penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno
Jinoli.
Akan
tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki
yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.
Dia
harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri
Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin
dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin
membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas
sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak
lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai
tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik
seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda
umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti
dipekerjakan di sawah.
Mungkin
karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan
orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat
dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam
peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang
sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada
binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh
Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga
usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika
Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih.
Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok
lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan,
kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan
senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa
dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan
membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan,
termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan
keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali
ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang
(kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai
meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa
memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok
senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan
itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak
bisa putus lehernya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.