بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Kitab Tanwir Al Halak
karangan
Imam Suyuti
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji bagi Allah, dan keselamatan bagi hamba-hambaNya yang pilihan. Wa ba'du.
Begitu banyaknya pertanyaan yang diajukan mengenai ru'yah atau melihat arbabi
al-akhwal Nabi saw dalam keadaan terjaga. Meski ada sekelompok orang pada masa
kini yang tidak memiliki pengetahuan akan hal tersebut, terlalu dini memvonis
serta mengingkarinya, menganggap aneh dan menganggapnya sebagai peristiwa yang
mustahil.
Maka
saya mengarang tulisan ini dan saya beri judul Tanwir al-Halak fi Imkani
Ru'yatin Nabiyyi Jihdran wal Malak. Saya memulainya dengan Hadis shahih yang
menjelaskan hal tersebut, di mana Hadis itu dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim,
dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, ia berkata:
"Rasulullah
saw bersabda: "Barangsiapa melihatku sewaktu tidur, maka dia akan
melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak bisa menyerupai diriku."
Thabrani
juga mengeluarkan Hadis yang semisal ini dari Abu Qatadah.
Thabrani
mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai makna sabda beliau
"fasayaranifil yaqzhati" (dia akan melihatku dalam keadaan
terjaga)". Dikatakan, artinya bahwa dia akan melihatku (Nabi) di Yanmil
Qiyamali. Namun hal ini dibantah. Sebab, mengingat tidak adanya faedah pengkhususan
ini (melihat Nabi). Dengan alasan bahwa seluruh ummatnya akan melihat beliau di
Hari Kiamat, baik itu ummat yang telah melihatnya (sahabat) atau yang belum.
Pendapat
lain mengatakan, yang dimaksud hadis di atas adalah orang yang beriman kepada
beliau, namun belum pernah melihat beliau semasa hidupnya, maka dia akan
diberikan kegembiraan yakni pasti melihat beliau dalam keadaan yaazhah (jaga)
sebelum ia meninggal.
Ada
juga segolongan orang yang berpendapat secara zhahirnya (apa adanya) hadis;
"Barangsiapa yang melihat beliau saat tidur, maka semestinya ia melihat
beliau dalam keadaan jaga (dengan kedua matanya), dan dikatakan pula, dengan
keyakinan di dalam hatinya." Kedua hal tersebut sebagaimana dikemukakan
oleh al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi.1
Al-Imam
Abu Muhammad bin Abi Jumrah dalam ta'Hcpxya mempunyai pandangan mengenai
hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut. Semisal ia mengambil dari
al-Bukhari: "Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat Nabi saw pada
%aat tidur, maka ia akan melihat beliau ketika jaga."
Ditanyakan,
apakah hadis ini bersifat umum, baik itu ketika beliau masih hidup ataukah
sesudah wafatnya? Ataukah hadis ini berlaku semasa hidup beliau? Dan apakah hal
itu mutlak untuk semua orang yang melihat beliau, ataukah khusus, yakni orang-orang
tertentu saja yang memiliki kekhususan serta mengikuti sunnah Nabi saw?
Lafal
hadis di atas menunjukkan kepada umum, dan barangsiapa menduga kekhususan hal
itu, tanpa adanya pengkhususan dari Nabi saw, adalah orang yang berbuat aniaya.
Imam
Abu Muhammad bin Abi Jumrah juga mengatakan: "Ada sebagian orang yang
tidak membenarkan tentang keumuman hadis di atas dan berpendapat sesuai dengan
pemahaman akalnya; bagaimana mungkin orang yang telah meninggal bisa dilihat
oleh orang yang masih hidup di alam nyata?"
Imam
Abu Muhammad bin Abi Jumrah berkata: "Dalam permasalahan ini ada dua hal
yang tampak. Pertama, tidak adanya tashdia (pembenaran) dengan sabda Nabi saw
(al-shadia) yang tidak berucap dari hawa (keinginannya). Kedua, bodoh atau
jahil dengan kemampuan (dzat yang Maha Kuasa), dan seakan-akan ia tidak pernah
mendengar cerita sapi betina dalam surat al-Baqarah sebagaimana Allah SWT
berfirman:
"Pukullah
mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati," (QS. al-Baqarah: 73).
Dan
juga kisah Nabi Ibrahim as mengenai empat bagian dari burung dan kisah Nabi
'Uzair as. Maka Dzat yang menjadikan pukulan kepada mayat dengan sebagian
anggota sapi sebagai sebab hidupnya, dan menjadikan doa Nabi Ibrahim as menjadi
sebab hidupnya burung, dan menjadikan takjubnya 'Uzair menjadi sebab matinya
dia dan keledainya, kemudian menghidupkannya setelah selang seratus tahun,
tentu juga mampu untuk menjadikan melihat Rasulullah saw dalam keadaan tidur
menjadi sebab melihat Rasulullah saw dalam keadaan jaga.
Dituturkan
dari sebagian sahabat—saya menduga Ibn 'Abbas— bahwasanya ia melihat Nabi
saw pada saat tidur, kemudian ia teringat akan hadis ini, ia termangu
memikirkan hal itu. Kemudian ia menemui sebagian istri-istri Nabi saw —saya
menduga Maimunah, selanjutnya ia menceritakan perihal mimpinya kepada Maimunah.
Maimunah kemudian bangkit dan mengeluarkan kaca Rasulullah saw. Ibn 'Abbas
kemudian berkata: "Aku memandang ke arah kaca tersebut, aku melihat di cermin
itu gambar Nabi saw dan aku tidak melihat gambarku di sana".
Dituturkan
dari ulama salaf dan khalaf serta seterusnya, mengenai sebagian jamaah atau
golongan yang pernah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw, dan mereka adalah
orang-orang yang membenarkan hadis ini, kemudian mereka melihat Rasulullah saw
dalam keadaan jaga. Bahkan, mereka menanyakan berbagai hal yang sulit bagi
mereka kepada Nabi. Kemudian Nabi memberikan jalan keluar dengan berbagai macam
segi arahan yang bisa menjadi solusi atas permasalahan mereka. Begitulah
keterangannya tanpa menambah atau mengurangi.
Ia
menuturkan: "Adapun orang yang mengingkari hai ini tidaklah terlepas dari;
apakah ia membenarkan tentang karomah-karomah para wali atau mendustakannya.
Jika orang tersebut termasuk golongan orang yang mendustakannya, tentulah tidak
ada faedahnya membahas masalah ini bersamanya. Sebab, ia telah mendustakan hal
yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan argumen (dalil-dalil) yang jelas. Dan
jika orang tersebut termasuk orang yang membenarkan terhadap karamah para wali,
segi inilah yang dicari. Sebab, para wali adalah orang-orang yang telah
mengalami ketersingkapan tirai kehidupan (kasyaf) dan sanggup melakukan sesuatu
yang di luar kebiasaan (khariqnl 'adah) dalam segala hal yang bermacam-macam,
baik itu alam atas (ulwa) atau alam bawah (sufla). Dia tidak
mengingkari hal tersebut, tapi membenarkannya. Begitulah pendapat Ibn Abi
Jamrah.
Adapun
mengenai pendapat bahwa yang bisa melihat itu adalah bersifat umum, tidaklah
ada pengkhususan hanya kepada orang-orang yang memiliki keahlian dan mengikuti
sunnah Nabi saw, maknanya adalah bahwa terjadinya ru'yah yang terulang
dalam keadaan jaga —meski sebelumnya hanya dalam mimpi— meski hanya sekali
saja adalah sesuatu yang nyata (haqq). Sebab, hal itu sesuai dengan
janji Nabi yang mulia, yang tiada pernah mengingkari janjinya. Dan kebanyakan
hal itu terjadi bagi umumnya orang sebelum meninggal. Tidaklah ruhnya keluar
dari badan sehingga ia melihat Rasulullah saw sebagaimana penunaian janji Nabi.
Adapun
selain mereka, ada yang bisa melihati (ru'yah) sepanjang hidup mereka,
baik itu dalam kadar yang banyak atau sedikit, tergantung kesungguhan mereka
dan juga penjagaan mereka terhadap sunnah. Sebab, melanggar sunnah merupakan
penghalang yang dominan.
Imam
Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Mathraf: Mathraf berkata: 'Imran bin
Husein berkata kepadaku: "Ada malaikat yang' mengucapkan salam kepadaku
sampai aku melakukan al-kayyu; membakar dengan cap besi (menyetrika),
kemudian (malaikat itu) meninggalkanku. Lalu aku tinggalkan hal tersebut,
barulah malaikat kembali lagi."
Imam
Muslim dalam riwayat lain meriwayatkan dari Mathraf. Mathraf berkata: "Aku
menemui 'Imran bin Husein ra yang sedang sakit sehingga menyebabkan dia
meninggal. 'Imran bin Husein berkata kepadaku, "Aku akan bercerita
kepadamu, jika aku sehat maka sembunyikanlah hal itu. Namun jika aku mati,
ceritakanlah hal itu kalau engkau mau. Sesungguhnya malaikat itu bersalam
kepadaku."
Imam
al-Nawawi ketika menjelaskan makna hadis yang pertama, ia mengatakan:
"Bahwa 'Imran bin Husein menderita penyakit bawasir, dan dia bersabar
menanggung penderitaan tersebut, lalu malaikat bersalam kepadanya. Kemudian
'Imran bin Husein mencap tanda besi (al-kayyu, menyetrika), maka
tidaklah malaikat itu bersalam lagi kepadanya. Akhirnya dia tidak lagi
menggunakan cap tanda besi, dan malaikat itu kembali lagi bersalam kepadanya.
Adapun
dalam hadis yang kedua dinyatakan: "Jika aku hidup, maka sembunyikanlah
hal itu," memiliki arti bahwa dia sebenarnya ingin memberitahu kalau
malaikat bersalam kepadanya, hanya saja dia khawatir cerita itu akan tersebar
padahal ia masih hidup. Sebagai antisipasi timbulnya fitnah, berbeda dengan
jika ia sudah meninggal.
Imam
Qurthubi [2] menjelaskan mengenai hadis yang diriwayatkan Muslim di atas:
"Bahwasanya malaikat bersalam kepada 'Imran bin Husein sebagai bentuk
penghormatan, dan melarangnya melakukan cap besi. Ketika Imran bin Husein
melakukannya, malaikat meninggalkan salam kepadanya. Dalam hal ini tampak jelas
tentang karamah para wali."
Dalam
Mustadraknya, al-Hakim [3] menganggapnya sahih, dari riwayat Mathraf bin
Abdillah bin Imran bin Husein ra, ia ('Imran bin Husein) berkata:
"Ketahuilah olehmu wahai Mathraf, bahwasanya malaikat bersalam kepadaku
dari sisi kepalaku, dari sisi rumah, dan dari sisi pintu kamar. Ketika aku
(berobat) dengan cap besi, salam tersebut hilang. Dan ketika aku tidak lagi
(berobat) dengan mencap besi, salam itu kembali lagi." Mathraf mengatakan:
"Kemudian 'Imran bin Husein sesudah sembuh ia berkata: "Ketahuilah
olehmu, wahai Mathraf, bahwa hal -yang aku sembunyikan (melihat Malaikat)- itu
kembali lagi, sembunyikanlah hal itu sampai aku meninggal."
Lihatlah!
Bagaimana 'Imran bin Husein terhijab dari mendengar salam malaikat sebab ia
(berobat) dengan mencap besi —padahal dalam keadaan terpaksa— sebab
perbuatan itu menyalahi sunnah.
Imam
al-Baihaqi [4] dalam kitab Syu'ubil al-Iman menyatakan: "Sekiranya
(berobat) mencap dengan besi itu merupakan hal yang jelas haram, tentulah
'Imran bin Husein tidak akan melakukannya, sebab ia mengetahui pelarangan hal
tersebut. Dia hanya melakukan hal yang dimakruhkan, namun malaikat yang
biasanya bersalam kepadanya telah meninggalkannya. Kemudian Imran bin Husein
bersedih. Selanjutnya, Baihaqi berkata: "Ucapan ini sudah ditakdirkan, dan
sepertinya malaikat kembali lagi sebelum Imran bin Husein meninggal."
Ibn
Atsir [5] dalam kitab al-Nihayah berpendapat bahwa malaikat bersalam
kepadanya, ketika Imran bin Husein iktawa (mencap dengan besi atau
menyetrika) disebabkan oleh sakitnya, para malaikat meninggalkan salam
kepadanya sebab mencap dengan besi menghilangkan kepasrahan dan penyerahan diri
(taslim) kepada Allah SWT dan menjauhi kesabaran atas hal yang menimpa hamba.
Adapun mencari obat sebagai usaha seorang hamba tidaklah jelek dalam hal
diperbolehkannya mencap dengan besi. Namun, menurut kacamata ketawakalan, hal
tersebut tidaklah pantas. Padahal tawakal itu adalah derajat tinggi yang
melatarbelakangi sebab-sebab yang langsung (mubasyaratul asbab).
Ibn
Sa'ad dalam al-Thabaqat meriwayatkan dari Qatadah: "Bahwasanya malaikat
selalu menaungi 'Imran bin Husein hingga ia melakukan cap dengan besi
(menyetrika), kemudian malaikat meninggalkannya."
Abu
Nua'im dalam ad-Dalail meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id al-Qathan:
"'Tidak ada dari sahabat-sahabat Basrah seluruhnya yang lebih utama
dibandingkan dengan Imran bin Husein, dia didatangi malaikat selama kurun 30
tahun, bersalam kepadanya dari sekitar rumahnya."
Al-Turmudzi
dalam Ta'rikhnya dan Abu na'im serta Baihaqi dalam Dala'il al-Nubuwah
meriwayatkan dari 'Adalah, dia berkata: "Adalah Imran bin Husein ra
menyuruh kami masuk ke rumahnya, dan kami mendengar suara Assalamu'alaikum,
Assalamu'alaikum, dan kami tidak melihat seorang pun." Al-Turmudzi
berkata: "Ini adalah salam dari malaikat."
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Munqidz min
al-Dhalal mengatakan, "Setelah aku selesai dari berbagai macam ilmu,
selanjutnya aku mengonsentrasikan diri pada jalan sufi dan berusaha mengambil
manfaat darinya. Aku yakin bahwa orang-orang sufi itu adalah orang-orang yang
menempuh jalanNya. Dan bahwasanya sirah (perjalanan) mereka adalah
sebaik-baik perjalanan, dan thariqah mereka adalah sebaik-baik thariqah,
serta akhlak mereka adalah sebaik-baiknya akhlak. Bahkan, sekiranya pemikiran
para pemikir, hikmah para ahli bijak, dan pengetahuan orang-orang yang
memperdalam ilmu syar'i dari para ulama, berkumpul untuk mengubah sepenggal
dari sirah dan akhlak mereka dan berusaha menggantinya dengan sesuatu
yang lebih baik dari itu, mereka tidak akan menjumpai jalan itu. Sebab, seluruh
gerak-gerik dan diam mereka, baik zhahir maupun batin, berselimutkan cahaya
miskat kenabian. Dan tidaklah ada di belakang cahaya-cahaya kenabian di muka
bumi ini cahaya yang lebih terang dibandingkan dengan cahaya kenabian. Hingga
sampai dikatakan: "Sampai-sampai mereka di dalam keterjagaan-nya
menyaksikan malaikat dan ruh-ruh para nabi serta mendengarkan dari mereka itu
suara-suara yang bisa mereka ambil faedah-faedahnya. Kemudian mendaki lagi dan
menyaksikan bentuk-bentuk dan amtsal (contoh-contoh) kederajat-derajat
yang sulit untuk diungkapkan oleh lisan." Ini perkataan al-Ghazali.
Murid
Imam Ghazali, al-Qadhi Abu Bakar bin al-'Arabi, salah seorang imam dalam madzab
Maliki, dalam kitabnya Qanun al-Ta'wil berpendapat mengenai kesufian:
"Bahwasanya jika manusia berhasil menyucikan nafsu, membersihkan hati,
memutus ketergantungan-keter-gantungan, serta mencegah materi keduniawian dari
jin, harta, bercampur dengan sesama, dan menghadapkan diri kepada Allah SWT
dengan sepenuhnya (kulliyah) dengan segenap pengetahuan dan amal yang
berkesinambungan, maka hatinya akan kasynf (terbuka) dan melihat malaikat,
mendengar pembicaraan mereka, tampak jelas ruh-ruh para nabi, serta mendengar
pembicaraan mereka."
Menurut
pendapat Ibn al-'Arabi: "Melihat para nabi dan malaikat serta mendengar
pembicaraan mereka adalah hal yang mungkin bagi orang mukmin sebagai bentuk
karamah, sedang bagi orang kafir merupakan 'uaubah (siksa/ bencana)."
Syeikh
Izzuddin bin 'Abdus Salam [6] dalam kitabnya al-Qawa'id al-Kubra dan Ibn
al-Hajj [7] dalam kitabnya al-Madkhal berpendapat: "Ru'yah
(melihat) Nabi saw dalam keadaan terjaga merupakan suatu hal yang rumit dan
sedikit sekali orang yang mengalaminya, melainkan hanya orang-orang yang memiliki
sifat 'aziz (mulia) pada masa ini. Bahkan, hampir-hampir tidak ada.
Namun kita tidak mengingkari orang yang mengalaminya, yakni al-kabir (orang
besar dalam pandangan Allah) yang dijaga oleh Allah SWT, baik segi zhahir
maupun batin mereka."
Selanjutnya
Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: "Sebagian ulama zhahir mengingkari
fenomena melihat Nabi saw secara terjaga. Mereka beralasan bahwa mata yang semu
('ainul faniyah) tidak akan mampu melihat sesuatu yang abadi ('ainul
baqiyah). Nabi Muhammad saw berada di negeri keabadian, sedangkan orang
yang melihat beliau berada di alam fana."
Abu
Muhammad bin Abi Jamrah menjawab persoalan ini dengan mengatakan:
"Bahwasanya orang mukmin jika meninggal dia akan melihat Allah SWT. Dia
pada dasarnya tidak mati. Bahkan, salah seorang di antara mereka meninggal
setiap harinya tujuh puluh kali."
Al-Qadhi
Syarafuddin Hibbatullah bin 'Abdur Rahim al-Barazi dalam kitabnya l'iiaadul
al-Anbiya 'Alaihimus Salam berkata: "Setelah ruh-ruh itu dicabut kemudian
dikembalikan lagi, mereka itu hidup di sisi Tuhan seperti para syuhada."
Ada
sekelompok orang yang melihat Nabi kita Muhammad saw dan Nabi mengabarkan bahwa
shalawat dan salam yang mereka persembahkan sampai kepada beliau. Sesungguhnya
Allah mengharamkan bumi untuk memakan daging para nabi as.
Al-Barazi
mengatakan: "Ada kabar dari sekelompok jamaah dari wah pada masa ini dan
sebelumnya, bahwasanya mereka melihat Nabi saw secara terjaga. beliau hidup
setelah wafatnya." Al-Barazi melanjutkan, "Hal itu dituturkan oleh
al-Syeikh al-Imam Syeikhul Islam Abui Bayan Naba' bin Muhammad bin Mahfuzh
al-Dimsyiqi [8] dalam Nadhimahnya."
Syeikh
Akmaluddin al-Babarti al-Hanafi [9] dalam syarah al-Masyariq mengenai
hadis man ro'ani mengatakan: "Berkumpulnya dua orang, baik secara
terjaga maupun saat tidur, untuk mencapai ma'iyyatul ittihad
(kebersatuan), bagi mereka ada lima dasar, yakni secara kulliyatul istirak
(keseluruhan kesamaan), baik dalam dzat atau dalam sifat seterusnya, atau dalam
hal seterusnya atau dalam af'al (perbuatan), atau dalam maratib
(urut-urutan). Dan seluruh hal yang ma'qul dari berkesesuaiannya dua hal
atau beberapa hal tidaklah akan keluar dari lima hal di atas. Dan tidak
terlepas juga dengan seberapa kuat perbedaan atau sedikitnya perbedaan itu menjadikan
intensitas pertemuan semakin banyak atau sedikit, dan terkadang bertambah kuat
mengalahkan sebaliknya, yakni semakin kuatnya mahabbah. Sehingga, hampir-hampir
dua orang tersebut tak terpisahkan, dan terkadang sebaliknya. Dan barangsiapa
yang berhasil mencapai lima dasar hal di atas dan kontinyu dalam kesesuaian
antara dirinya dan ruh-ruh suci (yang sempurna) dari orang-orang terdahulu,
maka ia akan mampu berkumpul dengan mereka kapan pun ia mau."
Syeikh
Shafiyyuddin Ibn Abil Mansur dalam Risalahnya dan Syeikh Afifuddin
al-Yafi'i dalam kitabnya Raudhur Riydhin menukil riwayat bahwasanya Syeikh
al-Kabir panutan syeikh-syeikh yang 'arifbillah, dan berkah zamannya Abu
'Abdillah al-Qurasy mengatakan: "Ketika datang bencana besar melanda
daerah Mesir, aku bertawajjuh untuk berdoa, kemudian aku mendengar suara yang
mengatakan: "Tidak usah engkau berdoa, tidaklah ada doa yang didengarkan
dari salah seorang kalian dalam kejadian ini." Selanjutnya aku pergi ke
daerah Syam. Ketika aku berada di halaman luarnya al-Khalil as, maka al-Khalil
menemuiku, kemudian aku berkata: "Ya Rasulullah, jadikanlah jamuanmu
padaku dengan doa untuk penduduk Mesir." Kemudian al-Khalil berdoa, dan
ternyata Allah memberikan kemudahan/ kelapangan bagi penduduk Mesir."
Al-Yafi'i
mengatakan: "Ucapan Syeikh 'Abdullah al-Qurasy bahwa al-Khalil
menemuiku" adalah ucapan yang benar, yang tidak bisa disanggah, kecuali
orang yang jahil (bodoh) memahami hal yang terjadi atas mereka, yakni mengenai
hal-ihwal yang mereka saksikan tentang kerajaan langit dan bumi dan melihat
para nabi hidup, bukannya meninggal sebagaimana melihatnya Nabi Muhammad saw
kepada Nabi Musa as di bumi dan melihatnya juga di langit, bersama sekelompok
para nabi di langit, dan mendengar ceramah-ceramah mereka. Dan telah ditegaskan
bahwa apa yang boleh (jaiz) bagi para nabi sebagai mukjizat, maka hal itu jaiz
juga bagi para wali dengan karamah, dengan syarat tidak adanya at-tahaddy
(pendakwahan dengan risalah dan tiadanya penentangan atau perlawanan kepada
yang menentang-penterjemah).
Imam
Ahmad dalam Musnadnya mengeluarkan suatu riwayat, dan al-Kharaiti dalam
Maknrimul Akhlaq melalui Abi al-'Aliyah dari riwayat seseorang dari kalangan
Anshar, ia berkata:
"Aku keluar meninggalkan keluargaku untuk menemui Nabi saw. Beliau sedang berdiri
dan ada seseorang yang bersama beliau menghadapnya. Aku mengira bahwa antara
keduanya ada keperluan. Kemudian orang Anshar tersebut berkata: Nabi saw
berdiri sampai aku merasa kasihan kepada beliau sebab lamanya berdiri. Ketika
Nabi telah berpaling, aku bertanya kepada beliau, "Ya Rasulullah, orang
ini telah berdiri bersama engkau sampai aku merasa kasihan terhadap engkau
karena lamanya berdiri." Nabi menjawab, "Apakah engkau melihatnya?
Dia adalah Jibril, tidak henti-hentinya beliau berwasiat kepadaku mengenai
tetangga, sampai aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi sesuatu
dariku." Selanjutnya Nabi bersabda, "Adapun engkau jika bersalam (ke
Jibril) ia akan membalas salammu."
Al-Mudni dalam al-Ma'rifat mengeluarkan suatu riwayat dari Tamim bin Salmah ra,
ia berkata: "Ketika aku berada di sisi Nabi saw, seorang laki-laki yang
berada di samping beliau tiba-tiba pergi, kemudian aku melihatnya sedang
membelakangi dengan imamah (surban) yang dilepas dari arah belakangnya. Aku
berkata, "Ya, Rasulullah, siapakah orang ini?" Nabi menjawab,
"Ini adalah Jibril."
Ahmad dan at-Thabrani serta Baihaqi dalam al-Dalail mengeluarkan suatu riwayat
dari Haritsah bin an-Nu'man ra ia mengatakan:
"Saya bertemu dengan Rasulullah, beliau bersama dengan Jibril, kemudian
aku mengucapkan salam kepada keduanya lalu aku melewati keduanya. Kemudian Nabi
menghampiri seraya berkata, "Apakah engkau melihat orang yang
bersamaku?" Aku menjawab, "Benar." Kemudian Nabi berkata,
"Sebenarnya dia itu Jibril, dia telah menjawab salammu."
Ibn
Sa'ad meriwayatkan dari Haritsah ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril dua
kali sepanjang masa." Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn
'Abbas ra, ia berkata: "Aku bersama ayahku berada di samping Rasulullah
saw. Saat itu di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang sedang
membisikinya. Orang itu seolah-olah membelakangi ayahku. Kemudian kami keluar,
lalu ayahku berkata kepadaku,
"Wahai anakku, apakah engkau melihat kepada anak pamanmu seolah-olah
membelakangiku?" Aku menjawab, "Benar ayah, di samping beliau ada
seseorang yang sedang membisikinya." Kemudian ayahku kembali menemui
Rasulullah dan berkata, "Ya Rasulullah, aku berkata kepada 'Abdullah
begini, begini. Dia menjawab, "Benar bahwa di samping engkau ada seseorang
yang sedang membisiki, apakah benar di sampingmu ada seseorang?" Nabi
menjawab, "Apakah engkau melihatnya wahai Abdullah?" Aku menjawab,
"Benar." Rasulullah berkata, "Itu adalah Jibril, dialah yang
menghalangiku darimu."
Ibn
Sa'ad meriwayatkan dari Ibn 'Abbas ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril dua
kali." Imam at-Thabrani, al-Baihaqi, dan al-Dhabba' dalam al-Mukhtarah
mengatakan: "Rasulullah saw menjenguk seseorang dari kalangan Anshar,
ketika telah hampir dekat dengan rumahnya, beliau mendengar orang yang di dalam
sedang bercakap-cakap. Ketika beliau mendekat, beliau tidak melihat seorang pun
di dalam, lalu beliau bertanya, "Dengan siapa engkau tadi
bercakap-cakap?" Sahabat tersebut menjawab, "Wahai Rasulullah, telah
datang ke rumahku seseorang. Tidaklah aku melihat seorang pun setelah engkau
yang lebih mulia di dalam majelisnya dan lebih baik bicaranya dibanding
dia." Kemudian Rasulullah saw bersabda:
"Itu adalah Jibril. Sesungguhnya di antara kalian ada beberapa orang yang
sekiranya salah seorang di antara mereka itu feer-qasam (bersumpah) kepada
Allah, pasti akan diterimanya. "
Syeikh
Sirajuddin bin al-Mulqan [10] dalam kitabnya Thabaaatul Awliya'
menyebutkan: "Syeikh 'Abdul Qadir al-Kailani berkata, "Aku melihat
Rasulullah saw sebelum Zhuhur, beliau berkata kepadaku, "Wahai anakku,
mengapa engkau tidak segera berceramah?" Aku menjawab, "Duhai Abatah
(Ayah), aku adalah seorang 'ajam (bukan Arab). Bagaimana aku akan berbicara
dengan orang-orang Baghdad yang fasih-fasih." Lalu beliau berkata,
"Bukalah mulutmu." Kemudian aku membuka mulutku lalu beliau
meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau bersabda, "Berbicaralah
kepada manusia dan ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauizhah
(pesan-pesan) yang baik." Kemudian aku menunaikan shalat Zhuhur dan duduk,
tiba-tiba berduyun-duyun orang yang banyak mendatangiku, dan aku melihat
Sayyidina Ali ra berdiri di depanku dalam majelis itu. Kemudian Sayyidina Ali
ra berkata kepadaku, "Wahai anakku, mengapa engkau tidak segera
berbicara?" Aku menjawab, "Wahai Abatah (Ayah), mereka berduyun-duyun
datang kepadaku." Kemudian dia berkata, "Bukalah mulutmu."
Kemudian aku membuka mulutku, lalu dia meludahiku sebanyak enam kali, kemudian
aku bertanya, "Mengapa tidak engkau sempurnakan menjadi tujuh kali?"
Beliau menjawab, "Adab kepada Rasulullah." Selanjutnya beliau lenyap
dari pandanganku. Kemudian aku berkata, "Menyelam dalam pemikiran,
kemudian menyelam dalam lautan hati mencari mutiara-mutiara kaum 'arifin.
Kemudian dikeluarkan ke pinggir shadr (hati), kemudian mengundang agen
penerjemah lisan, dibelinya hal itu dengan nafais isman
(napas-napas berharga), yakni baiknya ketaatan di bilik-bilik yang Allah
izinkan untuk didaki."
Dia
juga berkomentar dalam terjemah Syeikh Khalifah bin Musa al-Hadzailaki, bahwa
dia sering melihat Rasulullah saw baik dalam keadaan jaga maupun tidur. Sampai
dikatakan bahwa kebanyakan pertemuannya dengan Nabi atas amr
(perintali/keinginan) beliau saw baik secara terjaga maupun pada saat tidur.
Dia melihat Rasulullah dalam satu hari semalam sebanyak tujuh belas kali. la
mengatakan, salah satunya beliau Rasulullah saw berkata:
"Ya
Khalifah, janganlah engkau gelisah, sebab betapa banyak para wali yang
meninggal sebab sedih melihatku."
Al-Kamal
al-Adfawi dalam bukunya at-Thali'us Sa'id mengenai terjemah al-Shafi Ibn
'Abdillah Muhammad bin Yahya al-Aswani yang tinggal di daerah Akhmim termasuk
salah seorang sahabat Abi Yahya bin Syah'i, dia adalah orang yang terkenal akan
keshalehannya, dia memiliki kemampuan kasyaf dan banyak sekali karamahnya.
Adapun yang menulis tentang dirinya adalah Ibn Daqiq al-'id dan Ibn al-Nu'man
serta Quthub al-Qusthalani, disebutkan bahwa ia melihat Nabi saw dan berkumpul
bersama beliau.
Syeikh
Abdul Ghaffar bin Nuh al-Qusy dalam kitabnya al-Wahid, beliau adalah salah
seorang sahabat dari Syeikh Abi Yahya Abi Abdillah al-Aswani yang tinggal di
daerah Akhmim, beliau mengabarkan bahwa dirinya melihat Nabi saw pada setiap
jam sampai hampir-hampir belum sampai satu jam kecuali dia diberitahu sejam
sebelumnya.
Dalam
kitab al-Wahid juga disebutkan: "Adalah Syeikh Abui 'Abbas al-Mursiy [11]
mempunyai wuslah (hubungan khusus) dengan Nabi saw. Jika ia bersalam
kepada Nabi saw, beliau pasti akan membalasnya dan menjawab ketika berbicara
bersama beliau. Syeikh Tajuddin bin Athaillah[12] dalam kitabnya Lathaiful
Minan menceritakan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Syeikh
Abui Abbas al-Mursiy, "Wahai Tuanku, jabatlah tanganku ini, sebab engkau
telah bertemu dengan banyak rijal (tokoh-tokoh) dan berkeliling ke negeri-negeri
yang banyak." Syeikh Abui Abbas al-Mursiy menjawab, "Demi Allah,
belumlah ada yang menjabat tanganku ini melainkan Rasulullah saw." beliau
melanjutkan, "Sekiranya aku terhijab (terhalangi) dari Rasulullah sekejap
mata pun, tidaklah aku menilai diriku termasuk orang Islam."
Syeikh
Shafiyuddin bin Abil Mansur dalam Risalahnya dan Syeikh 'Abdul Ghaffar dalam
al-Wahid mengatakan: "Diceritakan dari Syeikh Abil Hasan al-Wanani ia
berkata: "Telah mengabarkan padaku Syeikh Abui 'Abbas at-Thabkhi, ia
berkata, "Saya menemui tuanku Ahmad bin al-Rifa'i, namun ketika bertemu ia
berkata kepadaku, "Aku bukanlah syeikhmu. Syeikhmu adalah 'Abdur Rahim di
daerah Qina." Selanjutnya aku menuju daerah Qina, dan masuk
menemui Syeikh' Abdur Rahim. Ia bertanya kepadaku, " Apakah engkau sudah ma'rifat
(mengetahui) Rasulullah saw?" Aku menjawab, "Belum." Ia berkata,
"Pergilah engkau ke Baitul Maqdis sampai engkau tahu (ma'rifat)
Rasulullah." Kemudian' aku pergi ke Baitul Maqdis. Ketika aku menginjakkan
kaki di sana, tiba-tiba di langit, bumi, Arsy dan Kursy penuh dengan
Rasulullah. Kemudian aku kembali menemui Syeikh. Ia bertanya kepadaku,
"Apakah engkau telah ma'rifat (mengetahui) Rasulullah?" Aku
menjawab, "Benar." Ia menyambung, "Sekarang thariqahmu
telah sempurna. Tidaklah para wali quthub menjadi wali quthub, para wali autad
menjadi wali autad, dan para wali menjadi wali melainkan mereka ma'rifat
terhadap Rasulullah saw."
Syeikh
'Abdul Ghaffar mengatakan dalam kitabnya al-Wahid: "Salah seorang
yang aku ketahui (akan kewaliannya) di Mekkah adalah Syeikh 'Abdullah
'Ad-Dalasi. Ia bercerita kepadaku bahwa ia merasa semua shalat dalam umurnya
tidaklah sah kecuali sekali shalat saja. Ia meneruskan, "Itu terjadi saat
aku berada di Masjidil Haram pada waktu shalat Shubuh. Ketika imam bertakbiratul
ihram dan aku melakukannya, tiba-tiba ada kekuatan yang menarikku, di
sana aku melihat Rasulullah sedang melakukan shalat sebagai imam sedang di
belakangnya ada sepuluh orang. Kemudian aku menyusul shalat bersama mereka. Hal
itu terjadi pada 673 H. Rasulullah saw, saat itu, pada raka'at pertama membaca
Surat al-Muddatstsir dan pada rakaat yang kedua membaca surat an-Naba'. Setelah
selesai salam, beliau berdoa dengan doa ini:
"Ya
Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan
petunjuk, bukannya orang-orang yang sesat lagi menyesatkan, tidak mengharapkan
akan ke-baikanMu dan tidak pula merindukan apa yang ada di sisi-Mu, sebab
bagiMulah anugerah kepada kami dengan mewujudkan kami. Sebelumnya kami tidak
ada. BagiMu segala puji atas semua itu. Tidak ada Tuhan selain Engkau."
Ketika
Rasulullah saw selesai dan bersalam, bersamaan itu juga imam Masjidil Haram
salam, dan aku menyadari salamnya. Kemudian aku juga melakukan salam."
Syeikh
Shafiyuddin dalam risalahnya mengatakan: "Syeikh Abui 'Abbas al-Harar
berkata kepadaku, "Aku masuk menjumpai Nabi saw, yang saat itu sedang
menulis Manasirul Awliya (daftar para wali) dengan wilayahnya.
Beliau menulis salah satu di antara mereka, yaitu saudaraku Muhammad." Ia
melanjutkan, saudaranya itu adalah syeikh besar yang memiliki wilayah
(kewalian). Tergambar di wajahnya cahaya yang tidaklah samar bagi seorang pun
bahwa dia adalah seorang wali. Kemudian kami tanyakan hal itu padanya. Ia
menjawab, bahwa Nabi telaji menghembuskan napas beliau ke arah wajahnya. Dan
hembusan beliau itu berbekas berupa cahaya di wajahnya.
Syeikh
Shafiyuddin menyatakan: "Aku melihat Syeikh al-Kabir Abu 'Abdillah
al-Qurthubi paling mulia di antara sahabat-sahabat Syeikh al-Qurasyi. Syeikh
ini lebih banyak dari umurnya dihabiskan tinggal di Madinah an-Naba-wiyah, ia
memiliki hubungan kedekatan dengan Baginda Nabi saw, terbukti dengan salamnya
yang selalu dijawab dan dibalas oleh Nabi, serta membawakan surat beliau kepada
Raja al-Kamil dan mempersembahkan surat itu ke Mesir, lalu kembali lagi ke
Madinah."
Syeikh
Shafiyuddin melanjutkan: "Salah seorang yang aku lihat di Mesir adalah
Syeikh Abui' Abbas al-Qusthalani, sahabat yang paling istimewa dari Syeikh
al-Qurasyi dalam hal kezuhudannya di daerah Mesir pada masanya. Waktunya yang
paling banyak pada akhir-akhir hidupnya dihabiskan di Mekkah. Ia bercerita,
pada suatu ketika ia masuk menemui Nabi saw lalu beliau berkata kepadanya,
"Allah telah memegang tanganmu wahai Ahmad."
Al-Yafi'i
dalam Raudhur Riyahin mengabarkan tentang sebagian dari mereka,
bahwasanya dia melihat di sekitar Ka'bah ada para malaikat, para nabi, dan para
wali, dan yang paling sering terjadi hal itu pada malam Jum'at, begitu juga
malam Senin dan Kamis. Maka aku menghitung betapa banyak jamaah dari para nabi.
Disebutkan pula bahwa setiap dari para nabi tersebut menempati tempat tertentu,
duduk di sekitar Ka'bah. Dan duduk-duduk beserta mereka para pengikutnya
dari keluarga, kerabat, dan para sahabat. Disebutkan pula, bahwa nabi kita
Muhammad saw berkumpul bersama dengan para wali yang tak terhitung jumlahnya,
hanya Allah saja yang tahu, di mana para nabi lainnya tidak sebesar itu
jumlahnya. Diceritakan juga bahwa Ibrahim dan keturunannya duduk-duduk dekat
dengan
pintu Ka'bah di sisi dasar maqamnya yang sudah masyhur. Musa beserta para nabi
berada di antara dua Rukun Yamani, sedangkan 'Isa beserta jamaahnya berada di
arah Hajar. Sedang nabi kita Muhammad duduk di Rukun Yamani beserta ahli bait,
para sahabat, serta para wah' dari ummatnya.
Diceritakan
dari sebagian para wali: "Pada suatu ketika ada seorang wali menghadiri
majelis seorang faqih. Saat itu sang faqih sedang meriwayatkan suatu hadis.
Sang wah berkata, "Hadis ini batal." Si f aqih bertanya, "Dari
mana engkau tahu bahwa hadis ini batal?" Si wali menimpali, "Nabi
Muhammad, beliau sedang berdiri di sisi belakang kepalamu. Beliau berkata,
"Aku tidak mengucapkan hadis ini." Maka tersingkaplah bagi si faqih
dan dia bisa melihat Nabi."
Dalam
kitab al-Mukhid Ilahiyah fi Manakibis Sadah al-Wafaiyah karangan Ibn
Faris [13] ia mengatakan: "Aku mendengar tuanku 'Ali berkata, saat itu aku
berumur kurang lebih lima tahun. Aku sedang belajar membaca al-Qur'an pada
seseorang, namanya Syeikh Ya'qub. Pada suatu hari aku mendatanginya, tiba-tiba
aku melihat Nabi dalam keadaan jaga, bukan mimpi, beliau memakai baju (gamis)
dari katun berwarna putih. Kemudian aku melihat gamis itu berada padaku. Beliau
berkata kepadaku: "Bacalah olehmu." Kemudian aku membaca surat
ad-Dhuha dan Alam Nasyrah. Kemudian beliau hilang dari pandanganku. Ketika
umurku mencapai 21 tahun, aku sedang melakukan takbira-tul ihram di Qurafah.
Aku melihat Nabi saw berada di depanku, kemudian beliau merangkulku sambil
berkata: Wa amma binikmati rabbika fahaddits. Sejak saat itu, aku
(seolah-olah) menerima pesan lisan langsung dari beliau.
Dalam
sebagian majami' disebutkan, Sayyid Ahmad ar-Rifa'i [14] sedang
melakukan ibadah haji, ketika berdiri menghadap hujrah (kamar) Nabi yang mulia,
ia menyenandungkan syair:
Ketika
merasa dalam keadaan jauh, maka kuutus ruhku. Bumi telah meninggalkanku, maka
jadilah ia sebagai deritaku. Dan inilah bayang-bayang keberuntungan telah
hadir. Julurkan tanganmu agar bibirku mendapat keuntungan.
Kemudian
keluarlah tangan Baginda yang mulia dari dalam kubur, maka aku menyambutnya.
Dalam
mu'jam (kumpulan) Syeikh Burhanuddin al-Baqa'i disebutkan: "Telah
bercerita kepadaku al-Imam Abui Fadhl bin Abui Fadhl al-Nawiri, bahwasanya
Sayyid Nuruddin al-Asjabini orang tua dari Syarif 'Afifuddin, ketika berada di
Raudhah as-Syarifah dia berucap,"Assalamu'alaika ayyuhan nabiyyu
warahmatullahi wabarkatuhu." Ia mendengarkan suara yang berasal dari
kubur, "Wa'alaikas salam, wahai anakku."
Al-Hafizh
Muhibbuddin bin an-Najar [15] dalam Ta'rikh-nya menyatakan: "Telah
bercerita kepadaku Abu Ahmad Dawud bin 'Ali bin Muhammad bin Hibbatullah bin
al-Muslimah bin Abui Faraj al-Mubarak bin 'Abdillah bin Muhammad bin an-Naqur
ia berkata, "Telah bercerita Syeikh kami Abu Nashar 'Abdul Wahid bin
'Abdul Malik bin Muhammad bin Abi Sa'id as-Shufi al-Karkhi, ia berkata,
"Saya
sedang melakukan ibadah haji dan berziarah ke kubur Nabi saw. Ketika aku sedang
duduk di sisi dinding kamar, tiba-tiba Syeikh Abu Bakar ad-Dayar Bakri masuk
dan duduk menghadap arah Nabi saw dan berucap As-Salamu 'alaika ya
Rasulallah. Aku mendengar suara di balik dinding, Wa'alaikas salam ya
Abu Bakar. Suara itu jelas terdengar oleh orang-orang yang berada di situ.
Dalam
kitab Mishbah azh-Zhalam fil Mustaghitsin bi-Khairil Anam karangan
al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Musa bin an-Nu'man [16] ia mengatakan:
"Aku mendengar Yusuf bin 'Ali ar-Raqasi bercerita dari seorang wanita Bani
Hasyim, wanita itu tinggal berdekatan dengan kota Madinah. Wanita itu
diperlakukan tidak baik oleh sebagian pembantu tuan rumah wanita itu, lalu
wanita itu bercerita. Kemudian aku beristighatsah dengan Nabi saw, maka
aku mendengar suara yang berkata dari arah Raudhah, "Engkau berada dalam
uswah (teladan), bersabarlah sebagaimana aku telah bersabar, atau
semisalnya." Kemudian suara itu menghilang dariku, dan tiga orang pembantu
yang menganiaya diriku itu pun mati.
Ibn
as-Sam'ani dalam kitabnya ad-Dala'il mengatakan: "Aku adalah Abu
Bakar Hibbatullah bin al-Faraj, aku adalah Abui Qasim Yusuf bin Muhammad bin
Yusuf al-Khathib, aku adalah Abui Qasim 'Abdur Rahman bin 'Umar bin Tamkn
al-Muaddab Tsana Ibn Ibrahim bin' Alan, aku adalah 'Ali bin Muhammad bin 'Ah
Tsana Ahmad bin al-Hasyim at-Thai, ayahku telah bercerita kepadaku dari ayahnya
dari Ibn Salamah bin Ka'sal dari Abi Shadiq, dari 'AH bin Abi Thalib ra, ia
berkata, "Telah datang kepada kami a'rabi (seorang dari kampung)
setelah kami selesai menguburkan jasad Nabi saw tiga hari yang lalu. Kemudian
orang kampung tersebut menyungkurkan dirinya di kubur Nabi saw dan menaburkan
debu kuburan ke arah kepalanya dan ia berucap, "Ya Rasulullah, engkau
bersabda, maka kami dengar sabdamu, dan engkau mendengar dari Allah, kemudian
kami mendengar dari engkau apa yang Allah turunkan (wahyukan) kepada engkau:
"Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka sendiri datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Dan
aku telah menzhalimi diriku, dan aku mendatangi engkau supaya engkau memintakan
ampun untukku. Kemudian ada suara dari arah kubur bahwa aku telah
diampuni."
Selanjutnya
saya melihat dalam kitab Muzilus Syubhat fi Itsbatil Karamat karangan
Imam Imaduddin bin Isma'il bin Hibbatullah bin Batish [17] disebutkan salah
satu dalil yang menetapkan adanya karamah, yakni atsar yang berasal
dari sahabat dan tabi'in dan orang-orang setelah mereka. Di antara karamah
mereka adalah Abu Bakar ra. Ketika ia mendekati ajal, ia berkata kepada
putrinya Aisyah, "Bahwa keduanya adalah saudara laki-lakimu dan dua
saudara perempuanmu." 'Aisyah ra bertanya, "Benar dua orang itu
adalah saudara laki-lakiku, yakni Muhammad dan Abdur Rahman, siapa lagi saudara
perempuanku yang satunya, tidakkah aku hanya memiliki satu saudara perempuan,
yakni Asma'?" Abu Bakar berkata, "Zawabith anak perempuan Kharijah,
dia ditelantarkan di tempat gembala, dia adalah jariyah kemudian melahirkan
Ummi Kultsum."
Kemudian
karamah 'Umar bin Khaththab dalam kisah Sariyah, 'Umar memanggilnya,
saat itu ia sedang ber-khutbah, "Wahai Sariyah, ke bukit, ke bukit."
Kemudian Allah perdengarkan suara 'Umar kepada Sariyah padahal ia berada di
Nahawand. Juga kisah 'Umar dengan Sungai Nil dan surat khususnya untuk sungai
tersebut hingga mengalir setelah keringnya.
Kemudian
karamah 'Utsman bin 'Affan, 'Abdullah bin Salam berkata: "Saya
telah mendatangi 'Utsman bin 'Affan untuk mengucapkan salam, sedang beliau
dalam keadaan terkepung. 'Utsman berkata, "Selamat datang sahabatku,
kulihat Rasululllah saw dalam gubuk ini." 'Abdullah bin Salam berkata,
"Wahai 'Utsman, orang-orang telah mengepungmu?" Utsman menjawab,
"Benar. Apakah engkau haus?" Aku menjawab, "Benar."
Kemudian ia mengambil air seember untukku. Aku pun meminumnya sampai puas,
terasa dinginnya di antara tenggorokan dan dadaku. Beliau pun berkata,
"Jika engkau mau membantu mereka, engkau boleh berbuka bersama kami."
Maka kupilih berbuka bersama Nabi saw. Ternyata hari itu Utsman meninggal terbunuh.
Hal
di atas adalah kisah yang terkenal dari 'Utsman ra yang berasal dari
kitab-kitab hadis, dikeluarkan oleh Ibn Abi Usamah dalam Musnadnya dan
juga selainnya. Pengarang buku ini telah paham bahwa itu adalah ru'yah
(melihat) secara terjaga. Dan jika tidak, berarti tidak patut untijik
dikategorikan sebagai karamah, dan karamah itu pun tidak diingkari oleh
orang yang mengingkari karamah para wali.
Sebagian
dari itu, apa yang dituturkan Ibn Batish dalam kitab ini, ia mengatakan:
"Di antara mereka adalah Abui Husein Muhammad bin Sam'un al-Baghdadi
as-Shufi [18] Abu Thahir Muhammad bin 'Ali al-'Ulah berkata, "Pada suatu
hari Abui Husein bin Sam'un menghadiri majelis pengajian, ia duduk di kursi
sambil berceramah. Adalah Abui Fath al-Quwash duduk di samping kursi, ia
terserang kantuk dan tidur. Abui Husein berhenti sejenak dari ceramahnya sampai
Abui Fath terbangun dan mengangkat kepalanya. Abui Husein bertanya kepadanya,
"Apakah engkau melihat Nabi saw dalam tidurmu?" Ia menjawab,
"Benar." Abui Husein berkata, "Oleh sebab itu aku berhenti
bicara khawatir jika hal itu memutus apa yang sedang engkau alami."
Hal
tersebut di atas menjadi bukti bahwa sebenarnya Ibn Sam'un melihat Nabi saw
secara terjaga ketika Nabi hadir, dan Abui Fath melihatnya dalam tidur.
Abu
Bakar bin Abi Abyadh berkata dalam tulisannya: "Aku mendengar Abui Husein
Naba'nal Jamal berkata, "Telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami,
"Ada seorang laki-laki dikenal sebagai Ibn Tsabit tinggal di Mekkah. Pada
suatu ketika pergi dari Mekkah menuju Madinah selama enam tahun, tidaklah lain
hanya untuk bersalam kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian ia kembali pulang.
Setelah selang beberapa waktu, sebab sibuk atau sebab lain, ia lupa tidak
berkunjung." Ia melanjutkan ceritanya, "Ketika ia sedang duduk di
sebuah batu antara tidur dan terjaga, tiba-tiba ia melihat Nabi Muhammad saw.
Beliau bersabda, "Wahai Ibn Tsabit, engkau tidak menziarahiku, maka aku
yang mengunjungimu."
Perhatian:
Pertama,
kebanyakan kejadian melihat Nabi Muhammad saw dalam keadaan jaga adalah dengan
pandangan hati, kemudian meningkat sampai melihat dengan pandangan mata (bashar).
Pembahasan masalah ini telah dikemukakan di depan. Bahwa pernyataan al-Qadhi
Abu Bakar bin al-'Arabi, "Akan tetapi bukanlah melihatnya bashariyah
(mata) ini seperti melihat yang umum diketahui oleh kebanyakan orang seperti
melihatnya sebagian orang kepada sebagian yang lain. Melihat di sini adalah
fenomena jam'ah khaliyah dan barzakhiyyah (metafisik) dan peristiwa wujdani
(yang dirasakan hati) yang tidak bisa mengetahui hakikatnya kecuali orang yang
mengalaminya langsung. Begitu juga —disebutkan di depan— seperti yang
dialami oleh Syeikh 'Abdullah ad-Dalasi; ketika imam takbiratul ihram tiba-tiba
ada kekuatan yang menarikku, kemudian aku melihat Rasulullah saw. Hal ini
mengisyaratkan pada fenomena di atas.
Kedua,
apakah melihatnya itu, melihat kepada dzat Nabi Muhammad saw dengan jisim dan
ruhnya atau semacam bentuk gambar (pemisalannya) di mana orang-orang melihat arbabul
ahwal dan mereka katakan sebagai Nabi saw. Dalam hal ini al-Ghazali
menjelaskan, bahwa yang dimaksud bukanlah Nabi dilihat sebagai jisim dan
badannya. Akan tetapi, "misal" beliau yang benar, pemisalan itu
sebagai alat (media) di mana hal itu suatu ketika merupakan hal yang sebenarnya
(hakikat) dan pada waktu lain merupakan khayali. Sebab nafs bukanlah misal yang
dikhayalkan. Adapun perwujudan dari bentuk yang terlihat itu bukanlah ruh dari
Nabi Muhammad saw dan juga bukan sosoknya, akan tetapi misal (contoh).
Imam Ghazali melanjutkan, yang semisal dengan itu adalah orang yang melihat
Nabi saw sewaktu tidur. Sesungguhnya dzat Allah tersucikan dari bentuk dan
gambar, akan tetapi puncak dari cara Allah supaya diketahui oleh hamba dengan
perantaraan misal (gambar) yang bisa dicerna semisal cahaya atau lainnya. Dan
misaj tersebut adalah sesuatu yang haqq (benar adanya) sebagai media
dalam pengenalan (ta'rif), maka orang yang melihat mengatakan, "Aku
melihat Allah dalam tidur", tidak dimaknai aku melihat Dzat Allah ta'ala,
sebagaimana ia mengatakan tentang haqq (kebenaran) selainnya.
Al-Qadhi
Abu Bakar bin al-'Arabi menjelaskan: "Melihat Nabi saw dengan
sifat-sifatnya yang sudah diketahui merupakan perjumpaan yang sebenarnya. Dan
melihat beliau bukan dengan sifat-sifatnya adalah pertemuan pada pemisalan."
Inilah yang ia utarakan dalam kitab Ghayatul Husni, dan tidaklah mustahil
melihat beliau dengan jasad dan ruhnya. Sebab Nabi saw dan nabi-nabi yang lain
adalah hidup. Ruh-ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka setelah dicabut, dan
mereka diizinkan untuk keluar dari kubur mereka dan beraktivitas, baik di alam
malakut 'ulya (atas) atau sufla (bawah).
Imam
al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam
kitab Dalailun Nubuwwah: "Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti
para syuhada."
Ustadz
Abu Manshur 'Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi [19] mengatakan: "Para
sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita
Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan
ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas
shalawat dari ummatnya." Ia menambahkan, "Para nabi as tidaklah
dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi
kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam
hadis yang membahas masalah mi'raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi
Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar
adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah
wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya."
Al-Qurtubi
dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan:
"Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan
perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa
para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka
hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini
merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia
ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para
nabi lebih berhak untuk menerimanya.
Benar,
ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu
terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra' di
Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di
kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang
mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara
global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para nabi
as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita
tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah
melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan
kekhususan dengan karamah.
Abu
Ya'la dalam Musnadnya dan al-Baihaqi dalam kitab Hciycitul Anbiyci'
mengeluarkan hadis dari Anas ra:
Nabi
saw bersabda: "Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan
mengerjakan shalat."
Al-Baihaqi
mengeluarkan hadis dari Anas ra:
Nabi
saw bersabda, "Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur
mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah
SWT sampai ditiupnya sangkakala."
Sufyan
meriwayatkan dalam al-Jami', ia mengatakan: "Syeikh kami berkata,
dari Sa'idbin al-Musayyab, ia mengatakan, "Tidaklah seorang nabi itu
tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat."
Al-Baihaqi
menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan,
sesuai dengan Allah menempatkan mereka.
'Abdur
Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam,
dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata: "Tidaklah seorang nabi mendiami bumi
lebih dari empat puluh hari."
Abui
Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh,
Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua'im dalam
al-Hilyah, dari Anas ra berkata:
Rasulullah
saw bersabda: "Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami
kuburnya kecuali hanya empat puluh hari."
Imamul
Haramairi dalam kitab an-Nihayah, dan ar-Rafi'i dalam kitab as-Syarah
diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda
"Aku
dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga hari."
Imam
al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan bin
ar-Raghwati al-Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya:
"Sesungguhnya
Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya lebih dari setengah
hari."
Al-Imam
Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu bab tentang
hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil dalil penjelasan
Pemilik syari'at (Allah) dari firmanNya:
"Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki," (QS. Ali
'Imran: 169).
Keadaan
di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian, yang
dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam golongan
orang-orang yang bahagia (sn'ada'). Apakah hal-ikhwal mereka lebih tinggi
dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh kedudukan
semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti beliau, serta
bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh ganjaran kedudukan
ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi Muhammad saw itu merupakan
paling sempurnanya syahadah.
Nabi
Muhammad saw bersabda:
"Aku
melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra'kan berada di sisi bukit pasir
merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya."
Hal
ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw
menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam ini
tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur
merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh,
maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang akan
mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di dalam
kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su'ada' (orang-orang yang
bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.
Di
dalam ceritanya, Ibn 'Abbas menuturkan ra:
"Aku
merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu terjadi
ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam takbiratul
ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang
menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara Mekkah dan Madinah.
Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya, "Lembah apakdh
ini?"Mereka menjawab, "Lembah Azraq."Kemudian Ibn 'Abbas
berkata, "Seolah-olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke
telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini.
Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai
kecil di bukit." Ibn 'Abbas melanjutkan kisahnya, "Seolah-olah aku
melihat Nabi Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati
lembah ini sambil membaca talbiyah."
Dipertanyakan
di sini, bagaimana Ibn 'Abbas bisa menuturkan tentang haji dan talbiyah
mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para syuhada itu
hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh pula, jika
mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka, meskipun mereka
berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni kampungnya amal, sampai
jika telah habis masanya dan berganti ke kampung akhirat, yakni kampungnya jaza'
(pembalasan), maka habis pula amalnya. Ini pendapat dari al-Qadhi Iyadh.
Al-Qadhi
Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad mereka dan
meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari berpisahnya Nabi saw
dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra' dengan jasadnya ke
langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.
Kesimpulannya
dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, bahwa Nabi saw hidup dengan jasad
dan ruhnya. Dan beliau melakukan aktivitas dan berjalan, sekehendak beliau di
seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau dalam bentuk/keadaan
seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit pun. Beliau tidak
tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang wujudnya adalah ada dan
hidup dengan jasad mereka. Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut
terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan melihat Nabi,
maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan apa adanya (seperti saat
beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut
serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat yang semisalnya.
Ketiga,
ada sebagian orang yang menanyakan bagaimana caranya orang-orang yang jumlahnya
banyak dan di tempat yang berbeda-beda pula melihat beliau? Maka ada sebuah
syair yang berbunyi:
"Seperti
matahari di angkasa, sinarnya menerangi, negeri-negeri baik di timur atau di
barat."
Dalam
manaqib as-Syeikh Tajuddin bin 'Athaillah disebutkan ada salah seorang
muridnya yang mengatakan: "Aku sedang melakukan ibadah haji, pada saat
thawaf aku melihat Syeikh Tajuddin juga melakukan thawaf, maka aku berniat untuk
mengucapkan salam kepadanya setelah beliau selesai dari thawafnya. Ketika
beliau telah selesai dari thawaf, maka aku mendatanginya namun aku tidak
melihatnya lagi. Kemudian aku melihatnya lagi ketika berada di Arafah, dan
begitu juga kejadiannya, begitu pula di tempat-tempat lainnya. Ketika aku
kembali ke Mesir, maka aku bertanya tentang keadaannya, dikatakan kepadaku
bahwa beliau dalam keadaan baik. Lalu aku tanyakan apakah beliau bepergian?
Mereka (murid-murid Syeikh) menjawab tidak. Selanjutnya aku menemui Syeikh dan
aku mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya kepadaku, "Siapakah
yang engkau lihat?" Aku menjawab, "Aku melihat engkau wahai
Tuanku." Beliau menimpali, "Wahai Fulan, orang besar (ar-rajul
al-kabir) memenuhi semesta ini. Sekiranya seorang wali quthub
memanggil batu, tentu batu itu akan menjawab."
Kalaulah
wali quthub memenuhi semesta ini, tentu saja Nabi Muhammad saw dalam
pembahasan ini adalah yang paling utama. Dalam pembahasan yang terdahulu telah
disebutkan dari Syeikh Abui Abbas at-Thabkhi, bahwasanya dia berkata: "Dan
aku melihat di langit, bumi, Arsy, Kursy, semuanya penuh dengan Rasulullah
saw." Ada orang yang bertanya, apakah semestinya bagi orang yang melihat
Rasulullah saw bisa dikategorikan sebagai sahabat?
Jawabnya:
bahwa hal tersebut tidaklah mesti harus demikian. Meski orang yang melihat
pemisalan dari beliau saw itu adalah benar adanya. Sebab suhbnh (kategori
sahabat) bisa ditetapkan berdasar pada melihat dzat beliau yang mulia, baik itu
fisik maupun ruhnya. Ringkasnya, kami biasanya bahwa orang yang melihat dzat
beliau adalah syarat kategori suhbah (persahabatan). Jika ia melihat
beliau, sedangkan beliau berada di alam malakut, melihat semacam ini tidak bisa
dikategorikan sebagai suhbah (persahabatan). Hal ini dipertegas lagi oleh
hadis-hadis yang menjelaskan bahwa seluruh ummatnya dihadapkan kepada beliau.
Nabi melihat mereka, begitu sebaliknya, seluruh ummatnya melihat beliau, dan
tidaklah menjadi dasar bahwa semuanya dikategorikan sebagai sahabat. Sebab
melihatnya di sini adalah melihatnya di alam malakut, maka tiada faedah suhbah
itu.
Abu
Bakar bin Abi Dawud dalam kitab al-Masaif mengeluarkan dari Abu Ja'far, ia
mengatakan: "Abu Bakar ra mendengar munajat Jibril untuk Baginda
Nabi saw."
Muhammad
bin Nashar al-Maruzi [20] dalam kitab as-Shalat mengeluarkan sebuah riwayat
dari Hudzaifah bin al-Yaman ra:
"Bahwasanya
ia mendatangi Nabi saw kemudian berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah,
ketika aku sedang melakukan shalat tiba-tiba aku mendengar suara orang yang
berkata, "Ya Allah, segala puji bagiMu seluruhnya, dan bagimu seluruh
kerajaan, dan kepada Engkau seluruh perkara dikembalikan baik yang terang
ataupun tersamar. BagiMu segala puji, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Ya Allah, ampunilah seluruh dosa-dosaku yang telah lampau dan
jagalah sisa umurku dan berikanlah aku rejeki amal yang bersih yang Engkau
ridai diriku dengannya." Nabi saw menjawab, "Itu adalah malaikat yang
mendatangimu untuk mengajarimu cara memuji Tuhanmu."
Muhammad
bin Nashar mengeluarkan satu riwayat dari Abu Hurairah ra, ia berkata:
"Ketika aku sedang melakukan shalat, tiba-tiba aku mendengar suara
seseorang berdoa, "Ya Allah, segala puji bagiMu seluruhnya..." Ia
menyebutkan hadis semisal di atas.
Ibn
Abi Dunya dalam kitab adz-Dzikr mengeluarkan satu riwayat dari Anas ra, ia
berkata: "Ubai bin Ka'ab berkata, "Sungguh aku masuk ke masjid,
sungguh aku akan shalat, sungguh aku akan memuji Allah dengan puji-pujian yang
belum pernah seorang pun memuji dengannya."
Ketika
ia selesai melakukan shalat dan duduk untuk memuji Allah SWT, tiba-tiba ia
mendengar suara yang tinggi dari arah belakang yang berbunyi, "Ya
Allah, segala puji bagiMu seluruhnya, dan bagiMu seluruh kerajaan, dan di
tangan-Mulah segala urusan, dan kepadaMulah seluruh urusan akan dikembalikan,
baik yang terang maupun yang tersamar, bagiMu segala puji. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ampunilah segala dosa-dosaku yang telah berlalu
dan jagalah sisa-sisa umurku dan berikanlah aku rejeki amal perbuatan bersih yang
Engkau ridai dan terimalah taubatku." Kemudian ia mendatangi Nabi saw
dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Maka Nabi menjawab, "Itu
adalah Jibril."
At-Thabrani
dan al-Baihaqi mengeluarkan satu riwayat dari Muhammad bin Salamah ra, ia
mengatakan:
"Saya
bertemu dengan Rasulullah saw sedang meletakkan pahanya di atas paha seseorang.
Maka aku tidak jadi mengucap salam. Kemudian aku kembali. Nabi bertanya,
"Apa yang menghalangimu untuk mengucap salam?" Aku menjawab,
"Wahai Rasulullah, aku melihat engkau melakukan begini dengan orang
laki-laki ini yang tidak pernah engkau lakukan dengan seorang pun, maka aku
tidak ingin memutus apa yang sedang Baginda bicarakan. Siapakah orang ini wahai
Rasuhdlah?" Beliau menjawab, "Jibril."
Al-Hakim
mengeluarkan riwayat dari 'Aisyah ra, ia berkata: "Aku melihat Jibril
berdiri di kamarku ini, dan Rasulullah saw membisiki. Kemudian aku bertanya
kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, siapakah gerangan orang
ini?" Beliau menjawab, "Menurutmu mirip siapakah dia itu?"
Aku menjawab, "Badhiyah." Nabi menimpali, "Engkau telah melihat
Jibril."
Al-Baihaqi
mengeluarkan riwayat dari Hudzaifah: Nabi saw bersabda, kemudian beliau keluar,
aku mengikutinya, tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau. Nabi bertanya
kepadaku:
"Wahai
Hudzaifah, apakah engkau melihat orang yang membuntutiku?" Aku menjawab,
"Benar." Beliau melanjutkan, "Itu adalah salah satu dari para
malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelumnya. Ia meminta izin kepada
Tuhanku, kemudian mengucapkan salam kepadaku dan memberikan kabar gembira
kepadaku tentang Hasan dan Husein dan bahwa keduanya adalah pemimpin pemuda
penghuni surga serta Fatimah sebagai pemimpin wanita penghuni surga.".
At-Thabrani
mengeluarkan sebuah riwayat dari Hudzaifah ra, ia berkata: "Aku bermalam
di rumah Nabi saw. Kemudian aku melihat di sisi beliau ada seseorang. Nabi saw
bertanya kepadaku, "Wahai Hudzaifah, apakah engkau meliliatnya?
" Aku menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Beliau menjelaskan,
"Ini adalah malaikat yang belum pernah diturunkan untuk menemuiku sejak
aku diutus. Ia mendatangiku malam ini dan memberitahukan kabar gembira bahwa
Hasait dan Husein menjadi pemimpin pemuda ahli surga."
Ahmad,
al-Bukhari, Muslim, Nasa'i serta al-Baihaqi, dua orang yang disebut terakhir
dalam kitab Dalailun Nubuwwah, diriwayatkan dari Usaid bin Hushain, ia
bercerita bahwasanya ketika ia sedang membaca bagian dari surat al-Baqarah,
saat itu kudanya ia talikan di sisinya, tiba-tiba kuda tersebut
berputar-putar,, kemudian ia berhenti membaca, dan kuda itu pun ikut tenang.
Kemudian ia membaca surat itu lagi, dan kudanya kembali berputar-putar. Dia
diam, maka kuda itu pun ikut tenang. Kemudian ia membaca lagi, kembali kuda
tersebut berputar-putar. Ketika ia diam, kudanya pun ikut tenang. Ketika ia mendongakkan
kepalanya ke langit, tiba-tiba saja ia melihat gumpalan yang berupa seperti
lampu-lampu, naik ke langit sampai lenyap dari pandangan matanya. Pada pagi
harinya, hal itu diceritakan pada Rasulullah saw, Nabi saw menjawab:
"Itu
adalah para malaikat yang mendekat sebab mendengar suaramu, sekiranya engkau
membaca (terus), maka niscaya orang-orang bisa melihat malaikat tersebut dengan
jelas (tidak tersembunyi)."
Al-Waqidi
dan Ibn 'Asakir mengeluarkan satu riwayat dari 'Abdur Rahman bin 'Auf ra, ia
berkata: "Aku melihat dua orang saat terjadi Perang Badar. Salah satunya
berada di sisi kanan Nabi Muhammad saw dan satunya lagi berada di sebelah kiri.
Keduanya bertempur dengan dahsyat, kemudian sepertiga dari kekuatan keduanya
berada di belakang beliau dan seperempat dari kekuatan mereka berada di depan
Nabi saw."
Ishaq
bin Rahwiyah [21] di dalam Musnadnya, Ibn Jarir dalam Tafsirnya, Abu Na'im dan
al-Baihaqi dalam kitab Daldilun Nubnwwah mengeluarkan riwayat dari Usaid
as-Sa'idi ra, ia berkata: "Waktu itu aku disembunyikan (tidak diberitahu).
Sekiranya aku bersama kalian dalam Perang Badar, tentu akan aku kabarkan kepada
kalian mengenai suku besar yang keluar bersama para malaikat, aku tidak ragu
dan tidak mengingkarinya."
Al-Baihaqi
mengeluarkan sebuah riwayat dari Abi Burdah bin Niyar, ia berkata: "Aku
membawa tiga kepala, dan aku meletakkannya di hadapan Nabi saw: Wahai
Rasulullah, adapun yang dua kepala ini, aku sendiri yang telah memenggalnya,
sedang yang ketiga ini aku melihat seorang laki-laki putih yang keras sekali
pukulannya, kemudian aku ambil kepala tersebut." Kemudian Nabi bersabda:
"Pemuda
itu termasuk dari para malaikat."
Al-Baihaqi
mengeluarkan suatu riwayat yang bersumber dari Ibn 'Abbas ra, ia berkata:
"Ada malaikat yang berbentuk manusia yang dikenal oleh orang banyak untuk
meneguhkan pendirian mereka." Ibn 'Abbas melanjutkan,
"Aku telah dekat dengan mereka (malaikat), kemudian aku mendengarkan
mereka berkata, "Sekiranya mereka menanggung apa yang telah ditatapkan
kepada kita, tidaklah mereka itu keberatan,"
Hal
itu seperti yang difirmankan Allah dalam surat al-Anfal: 12:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat "Sesungguhnya aku bmama
kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman' (QS.
al-Anfal: 12),
Ahmad,
Ibn Sa'ad, Ibn Jarir Sirta Abu Na'im dalam ad-Dalail mengeluarkan suatu
riwayat dari Ibn 'Abbas ra, ia berkata: "Abul Yasar, yakni Ka'ab bin 'Umar
adalah orang yang telah menawan 'Abbas, dia adalah sterang yang berperawakan
sidang, Adapun 'Abbas adalah storang yang berperawakan gemuk. Nabi Muhammad saw
bertanya kepadanya, "Wahai Abul Yasar, bagaimana engkau bisa menawan
'Abbas?" Abul Yasar menjawab, "Wahai Rasulullah, aku telah
dibantu oleh seseorang yang belum pernah aku sebelum atau sesudahnya, begini dan
begini." Kemudian Nabi saw menjawab:
"Engkau
telah dibantu oleh morang malaikat yang mulia"
Ibn
Sa'ad dan al-Baihaqi mengeluarkan riwayat dari 'Imar bin Abi 'Imar ra bahwa
Hamzah bin 'Abdil Muthallib berkata: "Wahai Rasulullah, perlihatkan
kepadaku Jibril dalam wujudnya yang asli." Beliau menjawab,
"Duduklah." Kemudian Hamzah duduk. Setelah itu turunlah Jibril pada
sepotong kayu yang ada pada Ka'bah. Kemudian Nabi berkata, "Angkatlah
pandanganmu dan lihatlah." Kemudian Hamzah mengangkat pandangan matanya.
Ia melihat kedua telapak kakinya (Jibril) seperti zabarjud berwarna
hijau."
Ibn
Abi Dunya dalam kitab al-Qubur, at-Thabrani dalam kitab al-Awsath
mengeluarkan riwayat dari Ibn 'Umar ra, ia mengatakan: "Ketika sedang
menelusuri bekas-bekas pertempuran Badar, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki
yang keluar dari lubang, pada lehernya ada rantai. Kemudian ia memanggilku,
"Wahai 'Abdullah, berikanlah aku minum." Dan dari lubang yang sama
muncul seorang laki-laki, di tangannya menggenggam cemeti, ia memanggilku,
"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau beri minum. Ia adalah orang
kafir." Lalu ia memukul orang tersebut dengan cemetinya sampai ia kembali
ke dalam lubang di mana ia muncul. Selanjutnya aku menemui Baginda Nabi saw dan
menceritakan apa yang telah aku alami. Beliau bertanya kepadaku, "Apakah
benar engkau melihatnya?" Aku menjawab, "Benar." Nabi bersabda:
"Itu
adalah musuh Allah Abu Jahal, dan itu adalah siksaan baginya sampai Hari
Kiamat."
Yang
menjadi fokus dalil adalah melihatnya Ibn 'Umar terhadap seorang laki-laki yang
keluar setelah Abu Jahal dan memukulnya dengan cemeti. Orang tersebut
sebenarnya adalah malaikat yang bertugas untuk mengazabnya.
Ibn
Abi Dunya, Tliabrani dan Ibn 'Asakir mengeluarkan satu riwayat melalui 'Ulwah
bin Ruwaim, dari 'Urbadh bin Sariyah as-Shahabi bahwasanya ia menginginkan
untuk dijemput oleh maut, ia berdoa, "Wahai Tuhanku, telah tua umurku dan
rapuh tulangku, maka cabutlah nyawaku." Ia melanjutkan, "Ketika suatu
hari aku berada di masjid Damsyik sedang melakukan shalat diteruskan berdoa
supaya diambil ruhku, tiba-tiba aku bertemu dengan seorang pemuda yang sangat
tampan berpakaian hijau dan ia berkata, "Apa yang engkau katakan
tadi?" Aku menjawab, seperti apa yang aku katakan dalam doa tadi.
Bagaimana aku harus berdoa?" Katakanlah olehmu:
"Ya
Allah, perbaikilah amal dan datangkanlah ajal."
Aku
bertanya, "Semoga Allah merahmatimu. Siapakah sebenarnya dirimu itu?"
Ia menjawab, "Aku adalah Ratabil yang bertugas mencabut kesedihan dari
hati kaum mukmin." Kemudian ia menghilang dan aku tidak melihat seorang
pun.
Ibn
'Asakir dalam Tarikh-nya meriwayatkan dari Sa'id bin Sinan, ia berkata:
"Aku mendatangi Baitul jMaqdis bermaksud melakukan shalat. Kemudian aku
masuk ke dalam. Ketika aku berada di sana, tiba-tiba aku melihat kuda yang memiliki
dua sayap, ia menghadap dan mengatakan:
"Maha
Suci Dzat Yang Maha Kekal lagi Maha Berdiri. Maha Suci Dzat Yang Maha Hidup
lagi Maha Berdiri sendiri. Maha Suci Dzat Yang Maha Raja lagi Maha Suci. Maha
Suci Tuhan malaikat dan ruh. Maha Suci Allah dengan segala puji. Maha Suci
Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Maha Suci Allah dan Maha Luhur."
Kemudian
menghadap lagi makhluk sejenis di atas dan membaca doa itu disusul oleh berikut
dan berikutnya saling menyahut sampai masjid itu penuh dengari suara. Sebagian
dari mereka berada dekat dengan tempatku. Ia bertanya kepadaku, "Keturunan
Adam?" Aku menjawabnya, "Benar." Ia meneruskan, "Janganlah
penghukuman itu membuatmu takut."
Dan ada sebuah cerita yang bisa dimasukkan dalam pembahasan ini, yakni riwayat
yang dikeluarkan oleh Abu Dawud melalui Abu 'Umair bin Anas dari bibinya yang
termasuk golongan Anshar, bahwasanya 'Abdullah bin Zaid ra berkata: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku jelas-jelas tidur dan terjaga, tiba-tiba ada yang
mendatangiku, maka aku melihatnya ia melakukan adzan. 'Umar bin Khaththab ra
telah melihatnya sebelum itu, dan merahasiakannya selama dua puluh hari."
Dalam
kitab as-Shalat karangan Abu Na'im al-Fadhil bin Hakim, disebutkan bahwa
'Abdullah bin Zaid berkata: "Sekiranya aku tidak bingung terhadap diriku
sendiri, sungguh aku akan katakan bahwa aku tidaklah sedang tidur." Dalam
Sunan Abu Dawud melalui jalur Ibn Abi Laila [22] "Telah datang kepada Nabi
Muhammad saw seorang laki-laki dari golongan Anshar. Ia berkata, "Wahai
Rasulullah, aku melihat seorang laki-laki yang memakai dua pakaian berwarna
hijau semuanya, kemudian ia beradzan, terus duduk kemudian berdiri lagi, dan
mengucapkan seperti sebelumnya ditambah dengan qad qamatis shalah. Sekiranya
orang-orang bertanya, tentu akan aku katakan bahwa aku dalam keadaan
jaga/sadar, bukan tidur." Nabi saw menjawab:
"Allah
telah memperlihatkan kepadamu suatu kebajikan."
Syeikh
Waliyyuddin al-Traqi dalam kitab Syarah Sunan Abi Dawud mengomentari tentang
ungkapan "Aku jelas-jelas tidur dan terjaga" adalah suatu yang
muskil, sebab yang pasti keadaan itu tidaklah terlepas dari apakah tidur atau
terjaga. Mungkin yang dimaksud bahwa tidurnya itu masih ringan tidak jauh dari
tidur sebenarnya dan dekat dengan keterjagaan, maka jadilah seolah-olah ia
berada pada posisi di antara tidur dan terjaga."
Ia
melanjutkan, "Jelas dari sini bahwa ia dibawa kepada suatu keadaan di mana
arbabul ahwal terlepaskan, mereka menyaksikan di sana apa yang
mereka saksikan dan mendengarkan apa yang mereka dengar. Dan para sahabat ra itu
adalah pemimpin-pemimpin arbabul ahwal.
Ada
beberapa hadis yang membicarakan bahwa Abu Bakar, 'Umar, dan Bilal ra, mereka
melihat semisal dengan apa yang dilihat oleh 'Abdullah bin Zaid.
Imam
al-Haramain dalam kitab an-Nihayah dan Ghazali dalam kitab al-Basith menyatakan
bahwa ada sekelompok sahabat, mereka semua telah melihat seperti itu.
Dalam
sebuah hadis disebutkan bahwa malaikat yang melakukan adzan dan didengar oleh
'Umar dan Bilal ra adalah Malaikat Jibril. Hadis tersebut dikeluarkan oleh
al-Harits bin Umamah.
Dalam
Musnadnya, dan yang serupa dengan ini juga yang dikeluarkan al-Harits bin Abi
Umamah dalam Mashadnya, dan Ibn 'Asakir dalam Tarikhnya dari jalan Muliammad
bin al-Munkadir [23] ia berkata: "Nabi saw masuk ke tempat Abu Bakar ra,
beliau melihat betapa berat sakit Abu Bakar. Beliau keluar dan menemui Aisyah
ra akan memberitahu 'Aisyah tentang sakit Abu Bakar. Tiba-tiba saja Abu Bakar
minta izin untuk masuk. Hal itu membuat Nabi saw takjub, sebab betapa cepatnya
Allah memberikan kesembuhan kepadanya. Abu Bakar berkata, "Hal itu terjadi
saat engkau keluar kemudian aku terserang kantuk, kemudian Jibril mendatangiku.
Ia memasukkan obat melalui hidungku, selanjutnya aku bangkit dan aku merasa
telah sembuh." Bisa saja mengantuknya itu adalah mengantuknya hal, bukan
mengantuknya tidur.
Thabrani
dalam kitab al-Mu'jamui Kabir, Abu Na'im dalam kitab al-Ma'rifat mengeluarkan
suatu riwayat dari Saham bin Khubaish, dia adalah orang yang menyaksikan
terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, ia berkata: "Ketika waktu beranjak sore
aku bertanya, "Bagaimana kalian meninggalkan sahabat kalian sampai esok
pagi? Buatkanlah sesuatu yang mirip dengannya. Kemudian bergegaslah kalian
membawanya ke Baqi' al-Gharqad." Lalu kami bersiap-siap
membuatkannya tandu karena bahaya gelapnya malam. Kemudian kami membawanya.
Lalu, kami didatangi oleh sekelompok orang dari arah belakang, kemudian kami
berhamburan hampir-hampir kami meninggalkannya sendirian, tiba-tiba ada suara
yang berseru, "Janganlah kalian takut, tetaplah kalian, sungguh kami
datang untuk menyaksikannya bersama kalian." Adalah Ibn Khabish berkata,
"Demi Allah, mereka itu adalah para malaikat."
Abu
Na'im bin Hamad [24] dalam kitab al-Fitan mengeluarkan suatu riwayat
dari Muhammad bin Sabur dari Nu'manbin al-Mundzir, dari 'Auf bin Malik, ia
mengatakan; "Kami memasuki wilayah Romawi pada Perang Zharanah. Kami turun
di suatu padang rumput kemudian aku menalikan tunggangan-tunggangan sahabatku,
dan aku memperlambatnya. Selanjutnya, sahabat-sahabatku bergegas memberi tunggangan
mereka makanan, pada saat demikian itu tiba-tiba aku mendengar suara mengucap, Assalamualaikum
warahmatullahi wa barakatuhu. Aku menoleh, di sana aku melihat seorang
laki-laki memakai pakaian berwarna putih. Aku menjawab, Wa 'alaikas salam
warahmatullahi wa barakatuhu. Orang tersebut berkata, "Apakah engkau
ummat Muhammad?" Aku menjawab, "Benar." Orang itu melanjutkan,
"Bersabarlah, bahwa ummat ini adalah ummat yang dirahmati. Allah telah
menuliskan untuk ummat ini lima fitnah dan lima anugerah." Aku menyahut,
"Sebutkanlah untukku." Orang itu menjawab, "Aku menahan salah
satunya, yakni meninggalnya Nabi kalian, dalam kitab Allah disebut sebagai fitnatus
shama'. Kemudian terbunuhnya Utsman, dan dalam kitab Allah disebut al-shama'.
Kemudian fitnah Ibnul Asy'as, dan dalam kitab Allah disebut an-naghir.
Kemudian' ia berpaling sambil berucap, "Dan selanjutnya as-shalam."
Dan aku tidak tahu bagaimana ia pergi. Selesai dengan pertolongan Allah.
Daftar
catatan kaki
- 1 Muhammad Abu Bakar bin
al-'Arabi al-Maliki meninggal pada 543 H. (1148 M.) di Fas.
- 2 Abui 'Abbas Ahmad al-Qurthubi
wafat pada 656 H/1258 M.
- 3 Muhammad al-Hakim
al-Naisaburi wafat pada1 405 H/1014 M.
- 4 Ahmad al-Baihaqi as-Syafi'i
wafat pada 458 H/1066 M di Naisaburi.
- 5 Ibn al-Atsir 'Izzuddin Ali
al-Jazri meninggal pada 630 H/1233 M di Mushal.
- 6 Izzuddin bin 'Abdus Salam
wafat pada 660 H/1262 M.
- 7 Ibn al-Hajj Muhammad al-Malik
wafat pada 737 H/1337 M.
- 8 Naba' bin Muhammad bin
al-Hawrani wafat pada 551 H/1156 M.
- 9 Muhammad al-Barbati wafat
pada 786 H/1384 M.
- 10 Ibnul Mulqan Sirajuddin
'Umar wafat pada 804 H/1401 M.
- 11 Abui 'Abbas Ahmad al-Mursiy
al-Maliki al-Syadzili wafat pada 686 H/1287 M di Iskandariyah.
- 12 Tajuddin Ahmad bin
'Athaillah al-Maliki al-Syadzili wafat pada 709H/1309Mdi Mesir.
- 13 Ahmad bin Faris ar-Razi
al-Maliki wafat pada 395 H/1005 M.
- 14 As-Sayyid Ahmad ar-Rifa'i
wafat pada 578 H/1182 M di Mesir.
- 15 Muhibbuddin bin an-Najar
wafat pada 643 H/1245 M.
- 16 Muhammad bin Musa
al-Marakasyi wafat pada 683 H/1284 M.
- 17 Imaduddin Isma'il al-Musili
wafat pada 655 H/1257 M.
- 18 Muhammad bin Sam'un wafat
pada 387 H/997 M.
- 19 Abu Manshur 'Abdul Qahir
as-Syafi'i wafat pada 429 H/1038 M.
- 20 Muhammad bin Nasar al-Maruzi
wafat pada 294 H/907 M di Samarkand.
- 21 Ishaq bin Rahwiyah al-Hanafi
wafat pada 233 H/843 M.
- 22 Abdur Rahman bin Abi Laila
at-Tabi'i wafat pada 83 H/702 M.
- 23 Muhammad bin al-Munkadir
wafat pada 130 H/748 M di Madinah Munawarah, tempat tinggal Nabi saw.
- 24 Na'im bin Hamad al-Maruzi
wafat pada 229 H/844 M
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.