بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Wali Allah Syech Quro,
Karawang
Karawang berasal dari Bahasa
Sunda KARAWA-AN, adalah nama suatu kesatuan wilayah danjuga nama salah satu
pelabuhan yang terletak ditepi kali Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan
Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah, Karwang sudah memegang peranan penting pada
masa Pemerintahan kerajaan Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim
Arkelogi Nasional yang melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang,
banyak menemukan peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi
dan lain-lainnya di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian
juga adanya nama Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas
salah satu pelabuhan Tarumanegara.
Pertama kali Citarum beberapa
abad yang lalu merupakan satu-satunya pilihan untuk jalur lalu lintas bagi
kelancaran kegiatan perdagangan, pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran
sebagai penerus kerajaan
Tarumanegara yang memerintah
pada abad VIII untuk kepentingan yang sama.Disebutkan juga bahwa Karawang
sebagai salah satu pelabuhan penting kerajaan Pajajaran, seperti halnya
pelabuhan Baten, Tanggerang, Sunda Kelapa dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang
ramai diperdagangan barang dagangan ke pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu,
ikan kering dan hasil pertanian yang banyak dibeli oleh para pedagang Portugis.
Selain sebagai pelabuhan Karawang juga
menjadi tampat persimpangan jalan darat dari Pakuan ibu kota krajaan Pajajaran
ke Kawali (galuh). Kota yang dilewati adalah Cibarusah, Warunggede,
Tangjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo,
Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, berakhir di Kawal
Menurut Amir Sutaarga dalam bukunya
"Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan darat tersebut merupakan
"High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu. Sebab dengan adanya
jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Banten, Tanggerang, Sunda
Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran terkontrol secara
baik.
Pentingnya peranan pelabuhan Karawang,
bukan saja pada masa pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI M, yakni hampir 800 tahun, akan tetapi sampai
juga masapemerintahan Sulatan Agung Mataram yang telah mengangkat Bupati
Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria Wirasaba. Bahkan sampai
berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pelabuhan Karawang
memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang datang dari arah Patarumanatau
Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut.
Sedangkan untuk perahu yang
datang dari arah Cikao, berlabuh di kampung Nagasari Jebug.Perahun para
pedagang ini tidak mau menelusuri Kali Citarum yang melingkari kampung
Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu hampir 5 Km, juga pada masa itu
airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan jika berhenti di pelabuhan
Kampung Teluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua tempat berlabuh itu jfaraknya
cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung sepanjang kira-kira 400
meter.
Dengan adanya 2 pelabuhan tersebut maka
akan timbul kegiatan muat bongkar, terjadinya jual beli sehingga dibutuhkan
adanya pasar. Warung makanan minuman, tempat menginap bagi yang kemalaman.
Sedangkan bagi petugas perwakilan pemerintah Pajajaran ada kegiatan memelihara
keamanan dan ketertiban, pengawasan lalu lintas barang dan orang bepergian dan
sebagainya.
Ke Pelabuhan Karawang dengan
kesibukan seperti dijelaskan itulah rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu
singgah yang menurut Buku Rintisan Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun
1983-1984 disebut Pura Dalem. Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana
ada kegiatan petugas pemerintah di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak
lain ialah pelabuhan Karawang. Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat
menjunjung peraturan kota pelabuhan yang dikunjungi, sehingga aparat setempat
sangat menghormatinya dan memberi izin untuk mendirikan musholla yang digunakan
tempat untuk mengaji atau peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Lokasi yang dipilih untuk keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan
kegiatan pelabuhan.
Setelah beberapa waktu berada
dipelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di Musholla yang
dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah dipahami, dan
mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung membericontoh.
Pengajian Al Qur'an memberikan daya
tarik tersendiri, karena Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu
suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara
sukarela menyatukan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Quro di
pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar Prabu Angga Larang yang pernah
melarang Syeh Quro melakukan kegiatan yang sama
tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah
disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang
dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba ditempat tujuan,
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca ayat-ayatSuci Al
Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang.
Putar Mahkota yang setelah
dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi, itu mengurungkan
niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi
hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang yang cantik itu. Lamaran tersebut
rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat maskawinnya harus "Bintang
Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah.
Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus
masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi
santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah
Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat
di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai
penghulunya.
Perkawinan di musholla yang senantiasa
mengAnggungkan asma Allah SWT itu memangtelah membawa hikmah yang besar. Para
putera puteri yang dikandung oleh Nyi Subang Karancang yang muslimah itu,
memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyi Subang Karancang
sebagi isteri seorang Raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran,
dengan tetap memancarkan Cahaya Islam.
Putera pertama yang laki-laki
bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya
yang bernama Raden Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian
mendapat bimbingan dariUlama besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron
Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka
RadenWalangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari
Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri
oleh Sulatan Mesir yang bernama Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang
bungsu adalah laki-laki bernama Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi
Munaligh untuk menyebarkan Agama Islam di daerah Garut.
Adapun Raden Nyi Mas Rara Santang
setelah kawin dengan Syarif Abdillah, namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im.
Dari perkawinan ini mereka dikarunai dua orang putera masing-masing bernama
Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia
jabatan sultan diserahkan kepada Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah
setelah menimba ilmu Agama yang luas dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia
bertekad untuk menjadi Mubaligh di Cirebion. Demikianlah tahun 1475 ia bersama
ibunya berlayar ke Cirebon dan kedatangnya disambut dengan penuh kebahagiaan
oleh Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat.
Setelah usia Pangeran
Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah dipercaya untuk menggantikan
kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Pengangkatan Syarif
Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden Fatah, Pemimpin
Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V, yang diangkat
menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan Mesjid Agung
Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan tentang penyebaran
Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal Wali Songo itu juga
menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua atau pimpinan dari
Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Dengan demikian apa yang
dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran ada yang
menjadi Waliyullah, dan permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannyadengan
Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah juga
mencatat, bahwa dengan berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan dari
Wali Songo, maka pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin memudar.
Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat
dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan
Gunung Jati, yang tidak lain masih keturunanNyi Subang Karancang dari
perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang diselenggarakan di Mesjid Agung
Karawang.
Adapun kegiatan pesantren Quro yang
lokasinya tidak jauh dari pelabuahan Karawang,rupanya kurang berkembangnya
karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut
rupanya dimaklumi oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak
dikurangi, dan kegiatan di Masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti sholat
berjamaah. Kemudian para santri yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan
untuk mengajarkan Agama Islam, terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti
Pangkalan. Demikian juga kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di
Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara
penyebarannya Agama Islam oleh Syeh Quro antara lain :
Dalam semaraknya penyebaran
Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian
disempurnakan oleh para Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk
"joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan
Cirebon. (Edy Rusman)
Sebelum menyampaikan ajaran
Islam dibangunnya terlebih dahulu sebuah Masjid, seperti halnya yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sewaktu melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih
dahulu membangun Masjid Quba.
Dalam menyampaikan ajaran
Islam ditempuhnya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah,
sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an surat XVI An Nahl ayat 125, yang
artinya : "Serulah kejalan tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan
dengan pelajaran yangbaik, dan bertukar fikiranlah dengan mereka dengan cara
yang terbaik
Sebelum memulai Dakwahnya,
telah disiapkan para kader penyebaran Agama Islam (Mubaligh-Mubalighoh) yang
mampu berhubungan dengan masyarakat, termasuk Nyi Subang Karancang. Syeh Quro
sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat dan sangat menghormati adat
istiadat penduduk yang didatanginya.
Para Ulama dan tokoh masyarakat
kebanyakan berpendapat bahwa tempat pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya,
ialah di Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemah Abang.
Pengabdian Syeh Quro demgam
para santri dan para Ulama generasi penerusnya adalah " menyalakan pelita
Islam", sehingga sinarnya memancarkan terus di Karawang dan sekitarnya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.