بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ

BAB I:
KETUHANAN (Sifat-sifat Allah) 3
Seandainya Allah
tidak wajib ada-Nya, niscaya tidak sesuatu pun dari alam ini akan ada.
Sebab tidak tergambar dalam akal pikiran adanya sesuatu yang baru tanpa adanya
pencipta yang azali. Kalaulah bukan karena adanya Sang Pencipta Yang menentukan
keberadaan dan karakter tertentu pada sesuatu yang dikehendaki-Nya, tentu
sesuatu itu akan tetap berada dalam ketiadaannya, tidak mungkin menjadi ada,
selamanya. Sesuatu menjadi ada karena Sang Pencipta menentukan keberadaannya,
dengan karakter tertentu, zaman tertentu, tempat tertentu, arah tertentu, ukuran
dan sifat tertentu.
Adapun dalil naqli yang menunjukkan wajibnya Allah
Ta’ala wujud adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri).
Sifat kedua yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah
al-Qidam (terdahulu). Makna gidam adalah tidak ada permulaan bagi wujud-Nya,
yakni adanya Dzat Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya itu tidak berpermulaan.
Kebalikannya adalah al-hadits, yakni ada permulaan wujud. Dalil agli yang
menunjukkan wajibnya sifat gidam bagi Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala serta
mustahil Dia hudits adalah, bila Allah Ta’ala tidak terdahulu, Dia mesti baru
dan tentu membutuhkan pencipta yang membuatnya mengada untuk baru. Perkara ini
akan tasalsul tak berujung, dan itu batil. Atau dengan kata lain, jika sudah
tegas bahwa alam semesta ini hudits dan membutuhkan pencipta yang
meng-ada-kannya secara baru, lalu penciptanya itu ternyata tidak ada, tentu
jelas-jelas mustahil. Karena alam semesta ini bukan ada dengan sendirinya,
tidak pula bisa menciptakan wujud lain sehingga ia menjadi yang mesti ada.
Inilah makna Oidam. Lalu seandainya sifat-sifat Allah Ta’ala tidak gidam, pasti
sifatsifat-Nya itu hudiits, dan ini batil. Sebab, bila sifat-sifat-Nya hudits,
tentu akan menuntut kebaharuan Dzat Allah Ta’ala. Karena, segala sesuatu yang
dzatnya tidak menjadi nyata tanpa yang baru berarti ia baru. Sedangkan keterdahuluan
Allah Ta’ala sudah terdahulu.
Adapun dalil nagli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
bersifat wajib Qidam adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang
Akhir,” dan firman Allah Ta’ala, (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu
ialah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia:
Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala
sesuatu.”

Sifat ketiga yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah
al-Baqa’ (kekal abadi), yaitu tiada penghabisan wujud. Artinya, keberadaan Dzat
dan sifat-sifat Allah Ta’ala tidak berakhir dan tidak berhenti. Kebalikannya
adalah al-Fana’ (rusak, berakhir). Allah Ta’ala mesti bersifat Baqa’ dalam Dzat
dan sifat-sifat, dan Dia mustahil fana . Dalil akalnya adalah, seandainya Dzat
Allah Ta’ala bisa rusak dan berakhir, tentu Dia adalah yang baru. Sebab,
sejatinya yang gadim itu mesti adanya serta tidak akan rusak dan berakhir.
Demikian pula sifat-sifat-Nya. Jika sifat-sifat-Nya itu bisa rusak dan
berakhir, tentu sifat-sifat-Nya itu adalah baru, dan kebaruan sifat ini
menuntut kebaruan dzat, karena kelaziman bagi yang baru adalah kebaharuan.
Sementara Allah sudah jelas gadim (terdahulu).
Adapun dalil naqli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
mesti bersifat Baqa’ adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang
Akhir…” dan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah…”
Sifat keempat yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah
mukhalafah lil-hawaditsi (berbeda dari semua yang selain Dia). Artinya, Allah
Ta’ala tidak serupa dengan sesuatu pun yang selain Dia, tidak dalam DzatNya,
tidak dalam sifat-sifat-Nya, dan tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Dzat
Allah bukan jisim, tidak pula menempati atau bersandar pada jisim. Allah tidak
di atas atau di bawah sesuatu, tidak di belakang atau samping kiri dan kanan
sesuatu. Tidak disifati dengan gerak atau diam dan bagian-bagian yang dimiliki
oleh makhluk. Allah tidak mempunyai tangan, mata, telinga atau ciri-ciri
makhluk yang lainnya. Adapun keterangan yang ada di dalam Alqur’an atau hadis
yang mengungkapkan seolah-olah Allah serupa dengan makhluk, sepert, yadullah
fauqa aydihim (tangan Allah di atas tangan mereka), harus di, takwil dari makna
lahiriahnya yang bersifat umum.
Ilmu Allah tidak seperti ilmu kita. Pengetahuan Allah
tidak diambi dari dalil, tidak pula muncul karena darurat. Allah tidak lupa
atau lalai, tidak pula bodoh. Kuasa Allah tidak membutuhkan alat atau sarana,
Allah berkehendak tidak karena maksud tertentu. Hidup Allah tidak dengan ruh
(nyawa) seperti hidup kita. Pendengaran dan penglihatan Allah tidak dengan
indera. Kalam Allah tidak dengan suara atau hurut sebagai lambang suara, dan
Allah tidak diam. Perbuatan Allah Ta’ala tidak dengan anggota tubuh, tidak pula
sekadar gurauan. Sungguh, Maha suci Allah dari semua itu.

Adapun kebalikan dari sifat mukhalafah lil-hawaditsi
adalah mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia).
Dalil aqli yang menunjukkan kemestian Allah bersifat
tidak serupa dengan segala yang selain Dia adalah, bila Allah serupa dengan
sesuatu dari yang selain Dia, entah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya ataupun
perbuatanperbuatan-Nya, tentu Allah juga baru seperti sesuatu yang selain Dia
itu. Dan ini sungguh batil.
Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “
Tidak ada segala sesuatu yang menyerupaiNya , Dia dzat yang maha mendengar lagi
maha melihat.”
Sifat kelima yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah Qiyamuhu
binafsihi (berdiri sendiri). Artinya, Allah Ta’ala tidak membutuhkan tempat
atau dzat untuk mengada, tidak pula membutuhkan sesuatu pun untuk menegaskan
keberadaan-Nya. Kebalikannya adalah Ihtiyajuhu ila dzatin aw murajjahin (butuh
terhadap dzat atau sesuatu yang mewujudkan). Dalil aqli yang menunjukkan
kenyataan bahwa Allah Ta’ala mandiri adalah, seandainya Allah butuh tempat,
berarti Allah adalah sifat. Sementara sifat tidak bisa disifati dengan
sifat-sifat. Dan Allah sudah jelas disifati dengan sifat Oudrah (Kuasa), Iradah
(berkehendak) dan lainnya. Kemudian bila Allah butuh pada sesuatu yang
membuatnya ada, berarti Allah baru, dan ini sungguh keliru, karena Allah Ta’ala
bersifat Qidam.
Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah
Ta’ala bersifat Mandiri adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” Allah Ta’ala juga berfirman,
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak /faqir kepada Allah, dan Dia-lah Allah
Yang Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Sebagaimana Allah tidak butuh terhadap tempat, Dia juga
tidak membutuhkan segala bentuk kemanfaatan, tidak pula tujuan di dalam semua
perbuatan dan ketetapan-Nya. Benar bahwa perbuatan dan ketetapan Allah
mengandung berbagai hikmah dan kemaslahatan, tetapi manfaat semua hikmah dan
kemaslahatan itu bagi makhluk, sebagai kemurahan dan kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya. Bukan berarti bahwa hikmah dan kemaslahatan itu bermanfaat bagi
Allah Ta’ala. Ketaatan kita sama sekali tidak bermanfaat bagi Allah. Demikian
juga maksiat kita tidak membahayakan Allah. Perintah dan larangan yang Allah
gariskan kepada kita, manfaat dan bahayanya akan kembali kepada kita juga.
Allah sama sekali tidak membutuhkan manfaat dari semua
perintah dan larangan-Nya terhadap kita. Betapa tidak, Allah sungguh tidak
membutuhkan sesuatu pun dari makhluk. Ada banyak sekali kesaksian yang
menunjukkan hal ini di dalam Alqur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman
Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang salih maka pahalanya
untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat Jahat maka dosanya atas
dirinya sendiri.” Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka
kejahatan itu bagi dirimu sendiri…”, Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa
yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”
Allah sungguh Maha kaya dan tidak membutuhkan apa pun
selain Dia. Dilihat dari sudut pandang akal, jika Allah membutuhkan manfaat
dari ketaatan hamba-Nya, niscaya Allah hanya akan menciptakan ke. taatan dan
tidak menciptakan kemaksiatan. Jika tidak, berarti Allah tidak mampu menangkal
sesuatu yang membahayakan-Nya, dan ini mustahil.
Kesimpulannya, Allah sungguh tidak membutuhkan seluruh
bentuk kemanfaatan dari semua yang selain Diri-Nya. Dan Dialah yang menunjukkan
makhluk yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Daftar Isi
Download Terjemah Kitab Tanwirul Qulub
Download Kitab Tanwirul Qulub (arab)
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Iklan Adsen. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.