بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
{AJARAN KAUM SUFI}
Karya
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukhari Al-Kalabadzi
21.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG MA’RIFAT KETUHANAN
Mereka
sepakat bahwa satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan
beranggapan bahwa fungsi akal merupakan fungsi yang dimiliki oleh manusia
berakal yang membutuhkan petunjuk; sebab akal merupakan sesuatu yang diciptakan
pada suatu waktu, dan karena itu hanya
bisa menjadi petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga. (Berlawanan
dengan pandangan Mu’tazillah, yang beranggapan bahwa Tuhan dapat dikenal dengan
akal).
Seseorang
bertanya pada An-nuri : “Apakah petunjuk kepada Tuhan itu? Dia menjawab : “”Tuhan”,
yang lain bertanya :”Lalu bagaimana dengan akal?” An Nuri berkata : “Akal itu
lemah, dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah.
seperti dia juga.” Ibn-Atha berkata : “Akal
itu merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba,
bukan untuk mencapai Tuhan.”
Yang
lain berkata : “Akal itu berkisar di sekitar
yang diciptakan (Kawn), tapi kalau sampai pada pencipta (mukawwin), dia
larut.”
Al-Qahthabi
berkata : “Sesuatu yang dibentuk oleh akal akan tunduk padanya, kecuali dari
sudut pandang pendalilan; Jika saja Tuhan tidak membuat diri-Nya dikenal oleh
akal karena kebaikan-kebaikan-Nya, maka akal tidak mungkin bisa mencapai-Nya,
sampai pada pendalilan pun.
Mereka mengutip puisi berikut ini, yang ditulis
oleh tokoh besar sufi :
Siapa
yang mencari Tuhan, dengan akal sebagai petunjuknya, Tuhan akan mendorongnya ke
arah kebingungan yang sia-sia. Dengan kekacauan Dia bingungkan hati nuraninya,
hingga putus asa, dia berseru, “Hamba tiada kenal Engkau.”
Seorang
tokoh besar Sufi berkata : “Tak seorang pun mengenal-Nya kecuali orang yang
telah dibuat-Nya mengenal-Nya;
Tak seorang pun menyatakan keesaan-Nya, kecuali
orang yang kepadanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya;
Tak
seorang pun mempercayai-Nya, kecuali orang yang kepadanya Dia telah
memperlihatkan karunia-Nya;
Tak
seorang pun mengenali-Nya kecuali orang yang hati nuraninya telah diilhami
oleh-Nya sendiri;
Tak
seorang pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya
kepada-Nya.
Tak
seorang pun mempersembahkan budi pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih
sendiri oleh-Nya;
Yang
dimaksud dengan “Orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya”, adalah “orang yang
kepadanya Tuhan membuat diri-Nya dikenal; dan yang dimaksud dengan “orang yang
kepadanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya” adalah “Dia telah memperlihatkan
padanya bahwa dia Esa.”
Al-Junaid berkata : “Ma’rifat terdiri dari dua
jenis : Ma’rifat pengungkapan-Diri (ta’arruf) dan ma’rifat pengajaran (ta’rif).”
Makna
“pengungkapan Diri” adalah bahwa Dia menyebabkan mereka mengenal-Nya, dan
mengenal benda-benda lewat Dia, atau dalam kata-kata Ibrahim, “Aku tidak suka
akan sesuatu yang dapat terbenam.” Sedang makna “Pengajaran” adalah bahwa Dia
memperlihatkan pada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam
diri mereka sendiri, dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia
khusus (luthf), sehingga benda-benda (material) itu menunjukkan adanya Sang
Pembuat. Inilah Ma’rifat yang bisa dicapai oleh orang-orang yang beriman pada
umumnya, sedangkan yang disebut pertama tadi adalah ma’rifat yang hanya bisa
dicapai oleh orang-orang terpilih; dan pada hakikatnya tak seorang pun bisa
mengenal Dia, kecuali lewat Tuhan.
Maka
Muhammad ibn Wasi’ berkata : “Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa
melihat Tuhan di dalamnya.”
Seorang
tokoh Sufi lain berkata : “Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa
melihat Tuhan di dalamnya.” Ibn ‘Atha berkata : “Tuhan telah mengungkapkan
diri-Nya pada orang-orang awam lewat ciptaan-Nya, sebab Dia berfirman : “Apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?.”
Pada
orang-orang terpilih Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat firman dan
sifat-sifat-Nya, sebab Firman-Nya : “Tidakkah mereka teliti al-Qur’an?.” Dan
“Dan Kami wahyukan dalam al-Qur’an penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.”
Allah mempunyai asma’ilhusna, nama-nama yang Agung.” Kepada para Nabi Dia telah
mengungkapkan diri-Nya lewat diri-Nya sendiri, sebab Dia berfirman : “Begitulah
perintah-Kami, dikirimkanlah suatu Utusan Wahyu kepada engkau.” Dan lagi :
“Tidakkah engkau perhatikan kekuasaan Tuhanmu, bagaimana Dia memperpanjang atau
memperpendek bayang-bayang.” Salah seorang ahli ma’rifat mengubah puisi :
Kini jangan lagi berdiri di
antara Kebenaran dan Aku
Atau petunjuk akliah
Atau bukti, atau wahyu
Kini, maju dengan benderang
bintang Kebenaran itu
Telah hilang dari pandang
Berkelip, sengan sinar tak lagi
terang
Hanya Dia mengenal Tuhan,
padanya Tuhan memperlihatkan
Diri-Nya akankah yang kekal
Sebagai yang fana dikenal?
Bukan dalam karyanya Tuhan
dikenal..
Dapatkah kala yang tak berbatas
dikurung
Dalam satu kejadian yang
kebetulan?
Dari Dia, melalui Diam
milik-Nya, satu kebenaran Ilahi
Satu pengetahuan terbukti dan
kuat
Telah membuat hati kami menatap
Ini telah ku buktikan, kini ku
nyatakan
Inilah imanku yang takkan
pupus;
Dan inilah bahagianku yang tak
kan hapus;
Tiada Tuhan selain Allah, tiada
seteru-Nya memiliki
Keagungan-Nya yang tak bertara
Keunggulan-Nya yang menjadi
hak-Nya.
Kala manusia bisa berdua dengan
Tuhan, dan tahu
Innilah ungkapan lidah mereka,
Dan ini pengakuan hati mereka.
Ekstase dan kegembiran ini
menjalin kawan dengan lawan
Dalam persaudaraan jelata,
Kerja demi kebaikan semua.
Salah
seorang tokoh besar Sufi berkata : “Tuhan membuat kita mengenal diri-Nya lewat
Dia sendiri, dan menuntun kita kepada pengetahuan tentag diri-Nya lewat diri-Nya
sendiri,sehingga penyaksian ma’rifat muncul dari ma’rifat lewat ma’rifat
setelah dia yang memiliki ma’rifat diajari tentang ma’rifat oleh Dia yang
merupakan obyek ma’rifat.
Ini
berarti ma’rifat itu tidak ada penyebabnya, yang terjadi hanyalah baha Tuhan mengajarkan
ma’rifat kepada ahli ma’rifat, dengan demikian menjadikannya mengenal-Nya.
Salah seorang syeikh berkata : “Segenap
pengejawantahan obyek material (Mukawwanat) bisa dikenal dengan akal yang
menyibaknya. Tuhan itu terlalu besar untuk bisa disibak oleh akal.
Dia
sendiri mengajarkan kepada kita bahwa Dialah Tuhan kita dengan berfirman :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan bukanya, “Siapa Aku ini? Dengan begitu memberi
peluang bagi akal untuk menyibak-Nya. Inilah saatnya ketika Dia muncul pertama
kali sebagai guru mereka. Oleh sebab itu Dia tidak tergantung pada akal dan
jauh lebih mulia dari segala pencerapan (persepsi).
Mereka
mengakui. Tidak ada orang yang mengenal Tuhan kecuali orang yang berakal, sebab
akal itu merupakan satu alat yang bisa membuat manusia mengetahui apa saja yang
bisa diketahuinya. Sekalipun begitu, akal tidak bisa mengetahui Tuhan dengan
sendirinya.
Abu
Bakr as-Sabbak berkata : “Ketika Tuhan menciptakan akal, Dia bertanya, Siapakah
Aku ini?, maka akal itu bungkam. Karena itu, Dia mengolisnya dengan cahaya
keesaan (Wahdaniyyah). Akal pun membuka matanya seraya berkata : “Engkaula
Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau.” Dengan begitu, akal tidak memiliki kemampuan
untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantara Dia.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.