بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
{AJARAN KAUM SUFI}
Karya:
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukhari Al-Kalabadzi
54.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETERKUASAAN
Keterkuasaan
adalah suatu keadan yang dialami oleh para Sufi, yang di dalamnya dia tidak
mampu melihat penyebabnya atau menjaga sikapnya, dan sama sekali tidak mampu
membedakan apa-apa mengenai keadaan yang menimpanya; bahkan dia mungkin
melakukan sesuatu yang akan menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh
mereka yang tidak mengerti keadaan dirinya.
Tapi kalau
keterkuasaan itu telah lewat, maka dia
akan kembali kepada keadaan dirinya yang normal.
Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa
takut, rasa terpesona, rasa hormat, rasa malu atau yang semacam itu.
Suatu
pelukisan diberikan dalam cerita Abu Lubabah ibn Mundzir. Banu Quaraizhah bermaksud
berunding dengannya, ketika Nabi menghendaki mereka tunduk kepada wewenang
Sa’id ibn Mu’adz; dan Sa’id menunjuk lehernya dengan tangan, mengisyaratkan
hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa yag telah dilakukannya, karena menyadari
bahwa dia telah bersikap tidak setia kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun
pergi dengan kebingungan dan akhirnya mengikat dirinya sendiri pada salah satu
tiang masjid, sambil berkata : “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai
Tuhan mengapuni apa yang telah ku lakukan.” Dia bertindak bagitu karena takut
kepda Tuhan yang menguasainya, dan mencegahnya pergi kepada Nabi seperti yang
seharusnya dia lakukan, menurut perintah Tuhan : “Kalau mereka, telah
menganiaya dirinya sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampunan kepda
Allah, sedang Rasul pun ikut pula memohonkan ampunan.....”
Sebab tidak
ada tertulis di dalam Hukum bahwa seseorang mesti diikat pada tembok atau
tiang. Ketika Nabi berkata bertapa lama orang itu dalam perjalanan untuk
menemui beliau, beliau berucap : “Kalau saja dia telah datang kepadaku, aku
pasti telah memohonkan ampun untuknya; tapi karena dia telah melakukan apa yang
kini telah dilakukannya, maka bukanlah aku yang harus membebaskannya dari
tempat ini, sampai Tuhan mengampuninya.” Ketika Tuhan melihat bahwa dia memang
tulus, dan apa yang terjadi merupakan akibat rasa takut yang menguasinya, maka
Dia pu mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan ampunan-Nya, dan Nabi
membebaskannya. Nah, ketika rasa takut ini menguasai Abu Lubabah, dia tidak
mampu mengamati penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus mohon ampun, sebab
Tuhan berfirman : “Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri....” Dia juga
tidak mampu menjaga seikapnya, yaitu meminta maaf kepada orang yang didosainya,
sehingga dia menentang Nabi ketika beliau hendak mengadakan gencatan senjata
dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah; Umar melompat bangun dan datang
kepada Abu Bakr, berkata : “Wahai Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu Rasul Allah?”
Dia berkata : “Ya.” Umar berkata : “Tidakkah kita ini orang-orang Muslim?” Dia
berkata : “Ya.” Umar berkata : “Tidakkah mereka itu orang-orang kafir?” Dia
berkata : “Ya.” Umar berkata : “Lalu, mengapa kita membawa
pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama kita?” Abu Bakr berkata :
“Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau.”(Menuruti perintahnya),
sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Umar berkata : “Dan aku pun
bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan
dia datang kepada Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya
kepada Abu Bakr; dan Nabi menjawab seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan
kata-kata : “Aku adalah hamba Tuhan dan Rasul-Nya; aku tak akan menetang perintah-Nya, dan Dia tak akan meninggalkanku.”
Sesudah itu Umar sering berkata : “Aku tak henti-hentinya berpausa, memberi
sedekah, membebaskan para tawanan serta berdoa, untuk menebus kelakuanku pada
hari itu, sebab aku takut akan kata-kata yang telah kuucapkan; sampai akhirnya
aku berharap agar segala sesuatunya berjalan baik.”
Sama halnya
ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa untuk Abdullah ibn Ubay. Umar
berkata : “Beberapa perubahan datang pada diriku, dan aku berdiri di hadapannya
serta berkata : “Wahai Utusan Allah; maukah engkua berdoa untuk orang ini,
mengingat bahwa dia telah berkata begini dan begini pada hari ini dan ini?”
Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi satu, sampai Nabi berkata kepadanya
: “Biarkan aku; aku telah diberi pilihan, dan aku telah memilih.Abu Taibah,
yang menoreh kulit Nabi lalu meminum darah beliau, sesuatu yang terlarang dalam
Hukum: ini dilakukannya dalam keadaan dia dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan
berkata : “Engkau telah memagari dirimu sendiri dengan pagar neraka.”
Cerita-cerita
semacam itu --- dan banyak lagi lainnya – membuktikan bahwa keterkuasaan itu
merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada saat itu orang diizinkan berbuat
hal-hal yag dilarang, dalam keadaan tidak sadar Tapi, jika orang itu ada dalam
keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr, dikarenakan kondisi yang agak lebih
tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap, dan keadaannya lebih sempurna.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Title : (Terjemah Kitab Al-Ta-aruf) 54. AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETERKUASAAN
Description : Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf {AJARAN KAUM SUFI} Karya: Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukha...