بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB IV.
KONDISI RUHANI
DAN KAROMAH
4
WASIAT BAGI PARA MURID
Langkah pertama yang harus dijejakkan oleh
penempuh (al-murid) tharikat ini, adalah ia harus melangkah di atas jalan
kejujuran hati yang benar, agar benar pula membangun yang berdasarkan prinsip
yang shahih. Sebab para syeikh berkata : “Mereka terhalang untuk sampai kepada
Allah swt. (Wushul) disebabkan mereka menelantarkan prinsip-prinsip akidah
(al-ushul).
Begitupun Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata :
“Awal mula bagi penempuh adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah
swr. Bersih dari segala dugaan dan keserupaan, jauh dari kesesatan dan bid’ah,
muncul dari bukti-bukti dan hujjah. Bagi seorang murid, menjadi cela bila
mengaitkan diri apda suatu madzab yang bukan madzab dari tharikat ini. Tidak
ada pengaitan seorang sufi kepada suatu madzab yang berbeda dengan tharikat
kaum Sufi, kecuali menyimpulkan akan kebodohannya. Tentang madzab tharikat ini.
Sebab, hujjah dalam persoalan mereka lebih jelas dibanding kaidah madzab mana
pun.”
Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan
haids, adakalanya cenderung gpada penggunaan akal dan pikiran. Sementara para
Syeikh golongan Sufi melampaui semuanya. Bagi manusia pada umumnya, suatu
tampak gaib, namun bagi kalangan Sufi tampak jelas. Bagi khalayak, pengetahuan
merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Sufi pengetahuan maujud dari Allah swt.
Yang Maha Haq. Mereka adalah kalangan yang senantiasa bertemu dengan Allah swt.
(ahlul wishal) sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti
(ahlul istidlal) : “Para Sufi itu, sebagaimana diungkapkan penyair :
Malamku, bersama wajah-Mu, cemerlang
Sedang kegelapan meliputi manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang
Tidak satu pun zaman dalam periode Islam,
melainkan selalu ada seorang syeikh dan para tokoh Sufi ini, yang memiliki ilmu
tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan ummat dari kalangan para
ulama pada waktu itu. Benar-benar telah berpasrah diri kepada syeikh tersebut,
bertawadlu’ dan menyerap berkat darinya. Kalau saja tidak karena keistimewaan
dan citra khuss bagi mereka, akan terjadi persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami
oleh Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy-Syafi’y – semoga Allah swt. meridhai
mereka berdua – datanglah Syaiban ar-Ra’y.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Wahai Abu Abdullah,
aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih
sebagian pengetahuan.” Maka asy-Syafi’y berkata : “Jangan Anda lakukan.” Namun
Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban : “Apa pendapatmu, bila
ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia
tidak mengerti shalat mana yang terlupakan?” Syaiban menjawab : “Wahai Ahmad,
itulah hati yang alpa terhadap Allah swt. Kewajibannya ia harus belajar adab,
sehingga tidak lupa Tuannya.” Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban
Syaiban. Ketika sadar, asy-Syafi’y berkata kepada Ahmad : “Bukankah sudah
kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila
orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Sufi) saja sedemikian
itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih
dari kalangan fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan
halaqah Dulaf asy-Syibly di Masjid al-Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan
nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy-Syibly. Suatu
hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy-Syibly tentang masalah haid,
dengan tendensi ingin mempermalukannya. Asy-Syibly menjawab dengan berbagai padangan
ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah
haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy-Syibly sambil berkata :
“Wahai Abu Bakr, engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid
yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga
pandangan saja.”
Dikatakan : “Abul Abbas bin Suraij adalah
seorang ualama fiqih yang pernah menghadiri majelis al-Junayd r.a. dan
mendengar penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya : “Apa pandanganmu
tentang ucapan itu?” Ia menjawab : “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan
al-Junayd. Namun aku tahu ucapan tersebut merupakan lompatan, yang bukan
tergolong lompatan kebatilan.”
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin
Kilab, : “Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada
seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al-Junayd. Lihatlah, apakah Anda
kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al-Junayd. Ia bertanya
kepada al-Junayd tentang tauhid, lalu Junayd menjawabnya. Namun Abdullah
kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junayd : “Tolong Anda ulang
ucapan tadi bagiku!” AL-Junayd mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain.
Abdullah lalu berkata : “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya.
Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!.” Lantas al-Junayd pun mengulanginya, tetapi
dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata : “Tidak mungkin bagiku
memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan untuk kami!.” Al-Junayd
menjawab : “Kalau Anda memperkenankannya, aku kan menguraikannya.”
Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan
keutamaan al-Junayd serta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip akum
Sufi merupakan prinsip paling shahih, dan para syeikhnya merupakan tokoh besar
manusisa, ulamanya adalah yag paling alim di antara manusia. Bagi para murid
yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap
tujuan mereka, maka para syeikh inilah yang menjaga apa yang tersistimewa,
berupa terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait)
dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah,
sementara dirinya tidak kompeten untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin
menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia
bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama
salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Sufi ini, sebab mereka lebih
utama dari yang lain.”
Al-Junayd berkata : “Jika Nada, mengetahui
bahwa Allah swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia
daripada ilmu tasawuf, dimana kita bericara di dalamnya dengan sahabat-sahabat
dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.”
Apabila telah mengikat dirinya dengan Allah
swt. sang murid harus memperoleh ilmu syariat, bisa dengan jalan penelitian
(tahqiq) atau melaui cara bertanya kepada imamnya, mana kewajiban-kewajiban yag
harus dijalankan. Bila di antara mereka berselisih pandangan soal syariat, si
murid harus mengambil pandangan yang lebih hati-hati dan lebih teliti. Di
samping itu, ia herus berusaha keluar dari lingkaran khilafiyah(al-khuruj minal
khilaf). Sebab kemurahan (rukhshah) dalam syariat hanya diperuntukan bagi
mereka yang lemah dan mendapatkan kesibukkan dan hajat yang amat mendesak.
Sedangkan kesibukan para murid, tidak lain hanyalah bersibuk diri bersama Allah
swt. Karena itu dikatakan, : Apabila si fakir turun dari derajat hakikat kepada
rukhshah syariat berarti ikatannya dengan Allah swt. telah rusak. Janji antara
dirinya dengan Allah swt. juga rusak. Kemudian bagi murid, harus belajar adab
dengan seorang syeikh.Apabila dalam menempuh jalan Sufi ini murid tidak
mendapatkan seorang syeikh ruhani, ia tidak akan bahagia selamanya.” Karena itu
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Siapa pun yang tidak memilki guru, maka
setanlah imamnya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Pohon, apabila tumbuh dengan sendirinya, hanya tumbuh dengan
daunnya, tetapi tidak berbuah. Begitu pula murid, apa bila tidak berguru dengan
Syeikh, lalu menyerap begitu saja ajaran tasawuf melalui metodenya sendiri,
maka murid itu adalah penghamba hawa nafsu, yang tidak akan lestari.”
Bila si murid hendak menempuh jalan ruhani
(suluk) setelah melampaui semua itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah
tobat kepada Allah swt. dari segala kesalahan. Mengggalkan seluruh dosanya baik
dosa lahir maupun batin, dosa kecil maupun besar. Ia pun harus rela dengan caci
maki, tidak akan terbuka hatinya untuk menjalani tharikat ini. Dalam contoh
seperti itu, para Sufi telah menempuhnya. Setelah itu murid harus melakukan
pembuangan segala ikatan dan kesibukan. Karena bangunan tharikat ini berada di
atas kekosongan hati (selain Allah swt.).
Dulaf asy-Syibly berkata kepada Ali al-Hyshry
pada awal mula penempuhan jalan ruhaninya : “Apabila masih ada kepedulian
selain Allah swt. dalam hati Anda, dari hari Jum’at ini ke Jum’at yang akan
datang, haram bagi anda menghadiri majelisku.”
Bila si murid ingin keluar dari kaitan-kaitan
yang ada, pertama-tama ia harus keluar dari harta bendanya. Sebab harta itu
yang dapat memalingkan dari Allah swt. Tidak seorang muridpun ditemukan yang
memasuki persoalan tasawuf, sementara dalam dirinya masih ada keterkaitan
dengan dunia, melankan keterkaitan-keterkaitan duniawi itu akan menariknya
keluar dari dunia tasawuf. Kedua, bila telah keluar dari harta benda, murid
harus keluar dari tahta/status sosial. Terlibat mengejar pangkat merupakan
faktor pemutus yang amat besar. Bila penolakan dan penerimaan manusia terhadap
dirinya masih belum diterima dengan hati yang sama – dimana tidak ada manfaat
secara pribadi, bahkan membuat dirinya mendapatkan kesusahan, karena pergaulan
dengan sesama itu, bahka ia tidak mendapatkan pengukuhan dan atau pemberkatan –
karena tekanan pengucilan orang-orang terhadap ucapan-ucapan ini, bagaimana pun
tetap tidak dibenarkan berhasrat kepada mereka. Bagaimana pemberkatan manusia
itu dibenarkan? Sementara mereka harus keluar dari status sosial dan
kepangkatan mereka? Mengapa? Sebab, pemberkatan dan pengejaran status
kepangkatan di mana manusia marupakan racun yang mematikan bagi dirinya.
Apabila seorang murid keluar dari harta dan
tahtanya, ia harus membenarkan dan meluruskan akidahnya antara dirinya dengan
Allah swt.
Disamping itu dia tidak boleh berbeda
pandangan dengan syeikhnya. Dalam berbagai isyarat yang ditujukan kepadanya.
Berbeda padangan dengan syeikh, bagi seorang murid, merupakan bahaya besar.
Karena awal perjalanan ruhaninya merupakan bukti bagi seluruh usianya.
Syarat lain bagi murid, tidak boleh ada
ganjalan kontradiksi terhadap syeikhnya. Bila dalam benaknya mempunyai persepsi
bahwa dirinya, di dunia dan akhirat mempunyai kemampuan dan nilai, atau merasa
paling hebat di muka bumi, maka cita-citanya tidak shahih. Karena seharus nya ia
berjuang agar mengenal Tuhannya, bukan berjuang untuk mendapatkan status
dirinya.
Disinilah, adanya perbedaan antara orang yag
mengharapkan Allah swt. dan orang yang mengharapkan status kepangkatan, baik
harapanitu untuk dunianya maupun akhiratnya.
Selain itu, murid wajib menjaga rahasia
batinnya, bahkan dari kancing bajunya sekalipun, kecuali hanya kepada
syeikhnya. Kalau murid memendam rahasia nafas jiwanya terhadap syeikhnya,
berarti ia telah menghianati kesantrian terhadap syeikh.
Apabila terjadi suatu perbedaan dengan
petunjuk syeikhnya, ia wajib berikrar di hadapan syeikh pada saat itu pula,
kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada syeikh, hukuman apa un yang dijatuhkan
kepadanya atas tindak keburukan dan sikatp kontranya. Hukuman itu terkadang, ia
disuruh bepergian atau perintah yang diketahuinya. Bagi para syeikh sendiri
tidak dibenarkan melampaui apa yag menjadi kesalahan para murid. Karena hal
demikian berarti menelantarkan hak-hak Allah swt.
Syeikh tidak boleh menuntun murid dengan
suatu dzikir apabila murid belum menyingkirkan segala ketergantungan duniawi,
namun, seharusnya seorang syeikh cukup melatihnya saja. Namun apabila sang
syeikh telah menyaksikan murid melalui hatinya, bahwa murid telah benar hasrat
utamanya, maka syeikh harus membuat syarat agar murid ridha terhadap
apa yang dihadapi dalam tharikat ini berupa bagian bagian praktis
dari aturannya. Maka, demikian syeikh mengambil janji kepada murid untuk tidak
berpaling dari tharikat ini, manakala murid menghadapi
berbagai masalah seperti kesengsaraan, kehinaan, kefakiran,
kepedihan dan penyakit.
Sang murid dilarang menebarkan sikap
meremehkan, tidak boleh mencari kemudahan ketika tertimpa kekurangan
dan desakan, tidak lebih dahulu meminta dan tidak bersikap malsa-malasan. Sebab
kemandegan murid dalam waktu senjangnya merupakan keburukan. Perbedaan antara
senjang dan mandeg : bahwa senjang waktu masih ada peluang untuk kembali
meneruskan hasrat atau keluar dari cita-cita penempuhan. Sementara kemadegan,
berarti berhenti menempuh jalan ruhani, karena dorongan menikmati kemalasan.
Setiap murid yang madeg, pada awal hasratnya tidak akan memperoleh sesuatu.
Apabila syeikh memberikan latihan kepadanya,
syeikh harus menuntun sebagian dzikir sebagaimana yang ditunjukan. Syeikh
memerintahkan kepada murid untuk mengingat ucapan dzikir tersebut melalui
lisan, kemudian si murid dianjurkan untuk menyelaraskan ucapan dzikir dengan
hatinya. Lalu syeikh menegaskan kepada murid : “Berteguhlah dirimu untuk
melanggengkan dzikir itu, seakan-akan kamu, dengan hatimu bersama Tuhanmu
selamanya. Jangan ada ucapan dzikir selain ucapan ini, semaksimal mungkin!.”
Selanjutnya Syeikh memerintahkan kepada murid
agar senantiasa melanggengkan suci dari hadas *thaharah); tidak tidur kecuali
dilanda kantuk; mengurangi makan sedikit demi sedikit secara bertahap, sehingga
terbiasa. Bagi Syeikh, hendaknya tidak memerintahkan murid agar meninggalkan
kebiasaannya secara serentak. Sebab dalam hadits dijelaskan : “Sesungguhnya
benih yang tumbuh tidak pada tanah akan pupus, dan pertumbuhannya tidak
lestari,”
Murid dianjurkan untuk memprioritaskan
khalwat dan ‘uzlah. Ketekunannya dalam kondisi seperti itu --- tidak mustahil
--- untuk menghilangkan bahaya-bahaya yang mengancam agama, serta
bisikan-bisikan yang mengganggu hati.”
Ingatlah, kondisi seperti itu --- keraguan
dalam akidah – tidak akan sunyi dari perjalanan permulaan seorang murid dalam
menempuh hasrat spiritualnya. Apalagi bila si murid memiliki kecerdasan hati,
seringkali menghadapi cobaan-cobaan seperti itu. Bahkan hampir semua murid
mengalaminya.
Tugas syeikh, apabila melihat muridnya ada
yang memiliki kecerdasan seperti itu, seharusnya diarahkan dengan argumentasi
rasional. Sebab dengan pengetahuan seperti itu, tidak mustahil akan selesai
permasalahannya, terutama untuk menghapus keragguan benaknya. Bila syeikhnya
memberikan firasat, akan kekuatan dan keteguhan pada diri murid dalam menempun
tharikat ini, si murid diharuskan bersabar dan melestarikan dzikirnya, sampai
muncul cahaya penerimaan, dan muncul rahasia mentari wushul. Dalam waktu dekat
akan terjadi hal-hal seperti itu. Namun kejadian seperti itu tidak akan muncul
kecuali pada individu-individu murid. Sedangkan yang umum, tetapi untuk mereka
dikembalikan pada kontemplasi dan perenungan berbagai ayat, dengan syarat untuk
memperoleh ilmu tentang dasar-dasar agama, sekedar untuk kebutuhan mendessak
bagi murid.
Ingatlah, bagi para murid, secara khusus,
akan mendapatkan ujian-ujian dalam menggapai pintu tharikat ini. Karenanya,
bila mereka menyendiri dalam tempat-tempat dzikir atau majelis-majelis sima’,
atau yang lain, jiwanya sering diganggu, dan kepeduliannya sering dihembusi
oleh kemungkaran-kemungkaran yang mengatakan bahwa Allah swt. Suci dari semua
itu, disamping si murid tidak dipersepsikan adanya nuansa syubhat yang batil
pada bisikan-bisikan itu. Tetapi gangguan itu tidak berjalan lama. Pada
saat-saat seperti itu, kepedihan luar biasa menimpa si murid, sampai pada
batas, dimana makian yang paling kotor, ucapan yang paling keji, dan bisikan
yang paling busuk, yang tidak dapat diungkapkan oleh si murid kepada siapa pun.
Inilah gangguan terberat yang menimpa dirinya. Tugas si murid bila terganggu
seperti itu, adalah tidak memperdulikan bisikan-bisikan itu dengan tetap
melestariakn dzikir, kembali kepada Allah swt. mempertahankannya dengan sikap
konsisten. Bisikan-bisikan itu bukanlah hembusan-hembusan setan, tetapi
merupakan gangguan naffsu. Apabila hamba dapat menandinginya dengan cara
meninggalkan orientasi pada gangguan tersebut, maka gangguan itu akan putus
dengan sendirinya.
Di antara adab murid, atau bahkan kewajiban-kewajiban
yang menjadi tugasnya, adalah menetapi tempat penempuhannya. Murid jangan
sampai pergi sebelum menempuh Jalan, sebelum hatinya wushul kepada Allah swt.
Sebab, pergi dengan waktu yag bukan pada waktu yang ditentukan, merupakan racun
yang mematikan. Selain itu murid tidak akan meraih harapannya, bila pergi pada
saat yang bukan waktunya.
Apabila Allag swt. menghendaki murid suatu
kebaikan, Dia akan meneguhkan di awal penempuhan ruhaninya. Tetapi bila Allah
swt. menghendaki keburukan apda murid, Allah swt. akan mengembalikan pada
suasana semula, keluar dari wahana penempuhan, kembali dengan pekerjaan dan
situasi semula, sebelum memasuki gerbang tharikat.
Apabila Allah swt. menghendaki murid dengan
suatu cobaan, Allah swt. melemparkan pada wahana keterasingan. Inni pun bila si
murid akan mendapatkan kebaikan wushul kepada-Nya. Apabila ia penempuh muda,
jalan yang ditempuh adalah berkhidmat secara lahiriah dengan sepenuh jiwanya
kepada para fakir. Ia berada di bawah satu taraf mereka dalam tharikat ini. Ia
ddan orang gyang sejenjang, secara lahiriah harus menampakan sikap sopan.
Mereka berhenti ketika sedang dalam perjalanan. Pangkal dari bagian mereka
dalam tharikat ini, adalah memenuhi sasaran yang dihasilkannya, mengunjungi
tempat-tempat di mana ia menempuh perjalanan, menemui orang-orang yang lanjut
usia dengan ucapan salam, menyaksikan fenomena-fenomena, dan berjalan dengan
penuh etika kesopanan. Kewajiban mereka adalah senantiasa pergi, sehingga tidak
tergoda untuk berbuat dosa. Sebab orang muda, bila menemukan
keringanan dan godaan, ia berada di gerbang cobaan. Bila ia dicoba dengan
cobaan itu, hendaknya, jalan yang ditempuh adalah menghormati orang-orang
lanjut usia, melayani kepentingan para sahabt dan meninggalkan konflik dengan
mereka, mengentas beban yang bisa meringankan si fakir. Berupaya sepenuhnya,
agar tidak melukai hati sang syeikh.
Tugas kewajiban bersahabat dengan orang-orang
fakir, bahwa mereka kelak akan mencacinya. Dan bagi murid tidak boleh mencaci
mereka, kemudian membenarkan dirinya. Murid harus memandang bahwa dirinya
mempunyai kewajiban terhadap masing-masing dari para fakir itu. Sebaliknya
dirinya tidak memiliki hak maupun kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.
Kewajiban murid, tidak boleh kontra dengan siapa
pun. Bila kebenaran ada di pihaknya, sebaiknya ia diam saja. Malah, ia harus
menampakkan keserasian dengan siapa saja.
Setiap murid, yang berpapasan dengan suatu
tempat yang di sana ada tawa, kegaduhan, atau tempat orang lewat, maka ia tidak
boleh mendatanginya. Apabila berada dalam kumpulan orang-orang fakir, baik
ketika di rumah atau bepergian, seyogyanya sang murid tidak berselisih padang
dengan mereka secara lahir, baik dalam hal makanan, puasa, diam dan gerak.
Kalaupun berselisih, sebaiknya berselisih lewat batin saja. Demikian pula, sang
murid sebaiknya menjaga hatinya untuk senantiasa bersama Allah swt.
Apabila para fakir itu mengajak makan
misalnya, sang murid seyogyanya makan satu atau dua suapan. Ia tidak boleh
memberi peluang bagi nafsu syahwatnya sendiri.
Wirid yang bersifat lahiriah, bukan termasuk
adab para murid, Kaum Sufi, senantiasa berupaya menyingkirkan bisikan-bisikan
dan menerapi akhlak-akhlak mereka serta membuang sifat buruk dari hatinya.
Bukan justru memperbanyak kebajikan. Yang menjadi keharusan bagi dirinya adalah
menegakkan ibadat-ibadat fardhu dan sunnah. Sedangkan ibadat tambahan seperti
shalat-shalat sunnah, maka melanggengkan dzikir dalam hati, lebih utama bagi
mereka. Modal utama seorang murid adalah mendekati masing-masing adab itu
dengan kelapangan jiwa, dan menghadapinya dengan penuh ridha, sabar atas
kefakiran dan kepedihan, meninggalkan (sikap) minta-minta dan konflik, baik
dalam keadaan terhimpit maupun lapang, dan lebih membatasai diri untuk
sekedarnya saja. Siapa saja yang tidak bersabar untuk semua itu, lebih baik
pergi saja ke pasar.!
Siapapun yang masih memiliki kesenangan
sebagaimana manusia pada umumnya, maka harus memenuhi selera itu seperti
kebanyak manusia, dengan kerja keras dan memeras otak. Apabila murid
mendisiplinkan diri dengan melestarikan dzikir, memprioritaskan khalwat, lantas
dalam khalwatnya menemukan hal-hal yang tidak ditemukan oleh kalbunya, baik
dalam keadaan tidur, jaga atau antara tidur dan jaga; berupa bisikan yang
didengar atau makna hati yang disaksikan, hal-hal yag menentang adat kebiasaan,
maka sebaiknya ia tidak terpaku atau disibukkan oleh hal-hal seperti itu
selamanya. Tidak selayaknya murid menunggu datangnya peristiwa-peristiwa ruhani
seperti itu. Sebab, peristiwa seperti itu, merupakan ganggguan-gangguan yang
menjauhkan murid dari Allah Yang Maha Benar dan Maha Luhur.
Apabila murid mendapatkan peristiwa ruhani
seperti di atas, ia harus melaporkan kepada syeiknya, sampai hatinya
benar-benar bersih dan kosong dari itu semua. Sementara bagi sang syeikh, menjaga
rahasia batin si murid, agar tidak diketahui oleh yang lainnya, dan syeikh pun
harus menegaskan bahwa peristiwa seperti itu hanya masalah kecil. Sebab, semua
itu tidak lain hanyalah informasi-informasi ruhani. Sedangkan berorientasi pada
informasi ruhani merupakan makar atau cobaan. Sebaiknya murid menghaindari
untuk meneliti secata detail peristiwa-peristiwa ruhaninya. Lebih baik ia
konsentrasi pada cita-citanya yang lebih luhur lagi, dari sekedar menggapai
informasi ruhani itu.
Ingatlah, bahwa di antara bahaya terbesar
bagi murid, manakala murid merasa senang atas apa yang yang datang dalam
batinnya, berupa kedekatan-kedekatan Allah swt. kepadanya, dan anugerah-Nya
yang dilimpahkan kepadanya. Semisal merasa gembira, bahwa Allah swt.
mengilhamkan : “Aku mengkhusukan dirimu dalam hal ini, dan aku menyingkirkan
semua persoalanmu.” Maka bila saja ia mengucapkan. : “Dengan meninggalkan ini.”
Pasti dalam waktu dekat hal-hal yang tampak mukasyafah hakikat akan segera
dihanguskan darinya. Penjelasan masalah ini termasuk hal-hal yang tidak
diperkenankan dalam beberapa kitab.
Di antara aturan-aturan murid adalah apabila
tidak menemukan syeikh yang dapat mendidikadab jiwanya di tempat tinggalnya,
seharusnya ia hijrah kepda syeikh yag memiliki derajat di zamannya untuk
memberi pelajaran petunjuk hati para murid, kemudian mukim di sisi syeikh, dan
dilarang pergi dari tempatnya sampai ada waktu yang sudah diizinkan oleh
syeikh.
Ingatlah, menjadi kewajiban, bahwa mengenal
Tuhannya Baitullah harus didahulukan dibanding ziarah ke Baitullah itu sendiri.
Kalau saja dalam dirinya tidak mengenal Tuhan Baitullah, sma sekali tidak wajib
menziarahi Baitullah. Orang-orang muda yang pergi menunaikan ibadah Haji, yang
dilakukan tanpa melalui petunjuk syeikhnya, merupakan indikasi bahwa
orang-orang itu hanya mengikuti semangat nafsu semata. Mereka menanamkan
dirinya sebagai pengikut tharikat ini, padahal keberangkatannya tidak memiliki
dasar. Indikasinya, mereka tidak memiliki bekal keberangkatan, kecuali bekal
perpecahan jiwanya. Padahal, apabila mereka berangkat dari jatidirinya
satu langkah saja, niscaya selangkah itu lebih baik dibanding seribu kali
bepergian.
Di antara syarat bag murid pula, bila berziarah
kepada seorang syeikh, murid harus masuk dengan penuh rasa hormat, memandangnya
dengan wajah yang ramah. Apabila sang Syeikh menyilahkan dngan suatu sambutan,
tentu, sambutan itu merupakan anugerah kenikmatan.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.