بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB IV.
KONDISI RUHANI
DAN KAROMAH
2.
URGENSI WALI DAN KEWALIAN
MAKNA WALI
Apakah arti Wali?
Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik
pandang, Pertama : Wali ber-wazan
fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti ‘aliim, qadiir, dan yang
sejenisnya . Makna terminologinya adalah : Orang yang senantiasa berkompeten
dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.
Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul,
sepeti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti
orang yang dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk
selalu langgeng dan terus menerus dalam ketaatn. Maka, bagi Wali tidak dihiasi
akhlak kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Alalh melanggengkan
Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Alalh swt. berfirman :
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”
(Qs. Al-A’raaf :196).
KE-MA’SHUM-AN
WALI
Apakah Wali itu selalu terjaga dari dosa
(ma’shum)?
Wali tidak harus bersyarat ma’shum,
sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (Mahfudz) agar tidak
terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atas salah, maka sifat
menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya : “Apakah orang yang ‘arif
itu pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat
kepalanya, sembari membacakan ayat : “Dan adala ketetapan Allah itu, suatu
ketetapan yang pasti berlaku.” (Qs. Al-Ahzaab :38).
Bila ditanyakan : “Apakah rasa takut itu
gugur dalam diri Wali?”
Dijawab : “Pada umumnya, para Wali besar,
rasa takut itu telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada,
amat jarang sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.
As-Sary as-Saqathy berkata : “Bila salah
seorang memasuki kebun yang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon
itu ada burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas
: “Assalamu’alaikum wahai Wali Allah.” Jika sang Wali tadi tidak takut bahwa
salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”
MELIHAT
ALLAH DENGAN MATA
Apakah dibenarkan melihat Allah di dunia
dengan mata, jika ditinjau perspektif karamah?
Jawabnya : “Pandangan yang kuat menegaskan
penglihatan tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama.
Tetapi aku mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari
Musa al-Asy’ary, beliau berkata : “Bahwa masalah melihat Alalh di dunia dengan
mata, ada dua pendapat : “Ungkapan Abu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul
Kabiir.”
PERUBAHAN
KONDISI RUHANI PARA WALI
Apakah seseorang bisa menjadi wali dalam
suatu kondisi ruhani tertentu, kemudian pada tahap berikutnya kondisi ruhani
itu berubah?”
Dikatakan : “Bagi orang yang menjadikan
syarat kewalian itu harus adanya ketetapan kondisi ruhani, maka perubahan itu
tidak diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani
tersebut dia beriman secara hakiki – walaupun kondisi ruhani bisa berubah
setelah itu – maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi
ruhani tertentu , yang kemudian kondisi ruhaninya berubah. Inilah pandangan
yang kami pilih.”
Di antara bagian karamah-karamah Wali itu,
antara lain dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi.
Dan akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen
ini, akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu boleh
mengetahui bahwa dirinya adalah Wali.
WALI
DAN TIPUDAYA YANG DITAKUTI
Apakah rasa takut tipudaya/cobaan dari Allah
itu bisa hilang dari diri Wali?
Dijawab : “Bila dia sirna dari obyek penyaksian,
terlebur dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang
tersirnakan dari tipudaya karena kelimpahan kewalian yang ada padanya.
Sedangkan rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”
WALI
DALAM KEADAAN SADAR
Apakah kondisi umum yang dialami oleh para
Wlai dalam keadaan sadar?
Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap
benar dalam menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih
sayang, kepedulian terhadap sesama makhluk dalam berbagai situasi dan kondisi.
Rasa cinta kasihnya melebar kepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka
terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap
mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka,
tanpa tendesnsi apa pun dari mereka. Para Wali selalu memiliki ketergantungan
hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkan segala bentuk tindakan yang
menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka;
membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari
berbagai arah terhadap apa yang menjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai
keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap
kejelekan-kejelekan mereka. Menjaga diri dari penyaksian terhadap
kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di dunia
maupun di akhirat.
KI-MA’SHUMAN
PARA SYEIKH
Tidak seyogyannya murid meyakini bahwa para
Syeikh (guru ruhani) itu ma’shum (terjaga dari dosa). Seharusnya murid
berhati-hati dengan tetap husnudzan kepada para syeikh. Menjaga diri bersama
ilmu, dengan sikap membedakan antara mana yang terpuji dan mana yang tercela.
MURID
DAN HARTA DUNIA
Setiap murid, yang di dalam hatinya masih
tersisa kepentingan harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan.
Tetapi bila dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari
hartanya, kemudian ia berharap bisa mengkhususkan dari harta itu untuk
kebaikan, berarti si murid itu telah memaksa dirinya.
Lebih bahaya lagi bila ia kembali secepatnya
kepada dunia. Sebab tujuan murid adalah membuang ketergantungan (selain Alalh
swt.), yaitu keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk kepentingan amal-amal
kebajikan.
Sangat
tercela bila murid keluar dari obyek harta dan modalnya, lantas dia sendiri
justru menjadi tawanan pekerjaannya. Karena itu seyogyanya dia menyamakan
sikapnya, baik harta itu ada ataupun tidak, sampai dirinya tidak terganggu
byang-bayang kemiskinan, tidak membuat orang lain gelisah, walaupun orang lain
itu Majusi.
PENERIMAAN
SYEIKH PADA MURID
Penerimaan hati syeikh terhadap murid,
merupakan bukti paling benar atas kebahagiannya. Bila seseorang ditolak oleh
hati syeikh, maka tidak diragukan lagi, dalam beberapa waktu penolakan itu akan
menjadi nyata.
BERGAUL
DENGAN ORANG YANG BANYAK BICARA
Salah sati penyakit yang amat pelik dalam
tharikat ini adalah bergaul dengan orang yang banyak bicara (omong kosong).
Sebab hati akan disibukkan dengan persoalan makhluk. Padahal Allah swt.
berfirman :
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan
saja, padahal di sisi Alalh adalah perkara besar.” (Qs. An-Nuur :15).
Fath al-Mushaly berkata : “Aku berguru kepada
tigapuluh syeikh. Rata-rata mereka tergolong Wali Abdal. Semuanya berwasiat
kepadaku ketika aku berpisah denga mereka : “Takutlah kalian bergaul dengan
orang yang banyak obrolannya: “kata para syeikh itu.
Apa yang mereka ucapkan tentang berbagai
keragu-raguan dan dongeng-dongeng dari orang tua. Lebih baik kita turunkan
tirai atas semua itu. Sebab cerita-cerita itu menjadi cermin kemusyrikan dan
taman kekufuran. Na’udzubillahi Ta’ala dari datangnya keburukan.
DENGKI
Di antara penyakit murid adalah hasrat yang
memasuki nafsunya, berupa kedengkian terhadap sesama teman, dan merasa emosi
atas keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. pada temannya dalam tharikat
ini. Sementara dia sendiri tidak mendapatkan seperti yang diraih oleh yang
lain. Ketahuilah, bahwa semua perkara itu telah dibagi oleh Allah swt. Hamba
hanya bisa selamat, apabila si hamba lebih mencukupkan diri pada Wujud Alalh
swt. Yang Haq, dan menerima apa pun ketentuan dari Kemurahan dan
Kenikmatan-Nya.
PRIORITAS
Ketahuilah, bahwa kewajiban murid apabila
sudah sepakat terjun, harus memperioritaskan yang lain secara totoal dibanding
diri sendiri. Baik orang yang lapar ataupun orang yang kenyang harus
diprioritaskan, dibanding dirinya. Dia juga harus merasa menjadi murid setiap
orang yang jelas sebagai syeikh, walaupun dia sendiri lebih pandai dari orang
tersebut.
GERAK
Adapun etika murid dalam sima’. Maka bagi
murid tidak diperkenankan bergerak-gerak dalam sima’ yang muncul karena ikhtiarnya
sendiri. Apabila muncul bisikan ruhani, sedangkan dirinya tidak
mampu menahan gerak, maka sekedar ekspresi luapan bisikan yang menyebabkan
gerak, masih ditolerir. Apabila luapan ruhani yang datang tadi sudah hilang, dia
harus tetap duduk dan tenang. Apabila dia meneruskan gerak untuk menarik
ekstase, tanpa adanya limpahan dan desakan/darurat, maka gerak dalam sima’nya
tidak dibenarkan. Bila masih kembali demikian, berarti dia tidak mendapatkan
keterbukaan hakikat.
PERGI
DAN BERPINDAH TEMPAT
Apabila murid diuji dengan pangkat kedudukan
atau pergaulan omong kosong, serta mulai jatuh cinta pada wanita, sementara
tidak ada syeikh yang menunjukkan jalan keluarnya, dia boleh pergi dan pindah
tempat.
Di antara para syeikh berkata : “Bila seorang
‘arif berbicara menegnai ilmu pengetahuan, maka masa bodohkan dia. Sebab
seharusnya seorang ‘arif mengkabarkan tentang tahapan-tahapan, bukan ilmu
pengetahuan. Bagi yang ilmunya lebih dominan dibanding tahapan-tahapannya, maka
dia adalah pakar ilmu, bukannya penempuh suluk.”
PEDULI
PADA PAR FAKIR
Bila murid peduli membantu pada para fakir,
maka hiburan hati mereka adalah rasa lapangnya terhadap murid. Karena itu tidak
seyogyanya murid kontra terhadap kata hatinya, sehingga dalam berkhidmat pada
kaum fakir harus benar-benar ikhlas, mencurahkan tenaganya semaksimal mungkin.
SABAR
ATAS CELAAN
Apabila murid memilih menjalani darma
baktinya bagi orang orang fakir, dia harus sabar dengan celaan orang banyak. Dia
juga harus berbuat sepenuh jiwa dalam darma baktinya terhadap mereka. Apabila
mereka tidak memuji atas kepeduliannya, dia harus mencerca dirinya, agar hati
para fakir itu lega. Walaupun dia mengerti bahwa dirinya sebenarnya tidak
bersalah.
Bila orang-orang semakin mencacinya, dia
harus menambah pengabdian dan kebaikan kepada mereka. Karena saya mendengar
Imam Abu Bakr bin Furak berkata : “Bila engkau tidak sabar di atas palu, maka
mengapa engkau menjadi landasan palu.?”
MENJAGA
ADAB SYARIAT
Didasarkan pula pada kaitan di atas, seorang
murid harus menjaga adab syariat, menjaga tangannya untuk tidak meraih hal-hal
yang haram dan syubhat, menjaga indera dari hal-hal yang diharamkan, menyertai
nafas bersama Allah swt. dengan menjauhkan dari segala kealpaan, tidak
menuangkan racun jiwa yang di dalamnya ada syubhat di bejana darurat. Apalagi
di waktu-waktu yang bebas dan luang untuk ikhtiar.
Di antra perilaku murid adalah melanggengkan
mujahadah dalam meninggalkan syahwat. Siapa yang bersesuaian dengan syahwatnya,
akan sirna kesuciannnya. Perilaku terburuk bagi murid justru ketika dia kembali
lagi kepaa syahwat yang pernah ditinggalkannya.
MENJAGA
JANJI DENGAN ALLAH SWT.
Bagi murid harus menjaga janji bersama Allah
swt. Apabila ia meruska janji di jalan cita-cita, ia sebdanding dengan murtad
dari agama, bagi kalangan ahli dzahir. Bagi seorang murid seyogyanya tiak
berjanji dengan Allah swt. terhadap segala hal dengan ikhtiar dan kemauannya
sendiri. Sebab, dalam keharusan-keharusan syariat, ada sesuatu yang harus
dipenuhi semaksimal mungkin. Allah swt. berfirman : “Dan mereka mengada-adakan
rahbaniyah, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka
tidak memelihara dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Qs. Al-Hadiid :27).
MENJAUHI
PENGHAMBAAN DUNIAWI
Di antara perilaku murid, hendaknya
menjauhkan diri dari penghamba dunia. Bergaul mereka adalah racun yang
mematikan. Karena mereka menyerap potensi murid, sedangkan jiwa murid semakin
berkurang bersama mereka : “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya.”
(Qs. Al-Kahfi :28).
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari
kantongnya demi taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan ahli tasawuf mengeluarkan
makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama
Allah swt.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.