بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi
Wasiat – Wasiat Ibn ‘Arabi
Penerjemah : Irwan Kurniawan
15.
WASIAT IHWAL ADAB DAN HAKNYA ULAMA
Jika engkau melihat seorang
berilmu (‘alim) tidak mengamalkan ilmunya, maka hendaklah engkau mengamalkan
ilmunya yang ada padamu dalam adabmu bersamanya hingga engkau memenuhi haknya
sebagai seorang berilmu. Jangan engkau tutup hal itu dengan keadaannya yang
buruk. Di sisi Allah, ia memiliki derajat ilmunya. Pada Hari Kiamat kelak,
manusia akan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Barangsiapa bersopan
santun dengan sifat Ilahi, maka pada Hari Kiamat nanti, ia diberi pakaian
dengan sifat itu dan dihimpunkan bersamanya. Hendaknya engkau menegakkan
setiap apa yang engkau ketahui. Sesungguh Allah menyukai hal itu pada
dirimu. Maka, bersegeralah melakukannya.
Jika engkau berhias dengannya dalam
menunjukkan kecintaanmu kepada Allah, pasti Dia mencintaimu. Jika Dia
mencintaimu, Dia membahagiakanmu dengan pengetahuan tentang diri-Nya, dengan
manifestasi-Nya, dan dengan tempat kemuliaan-Nya. Dia akan mencegah kesedihan
menimpa dirimu. Banyak hal yang bisa melahirkan kecintaan keapda-Nya. Aku
sebutkan sebagian darinya, yang mudah disebutkan dalam bentuk wasiat dan
nasihat.
Di antaranya ialah memperindah diri semata-mata karena Allah. Yang
demikian adalah sebentuk ibadah tersendiri, terutama dalam salat. Engkau
diperintahkan untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman : “Wahai anak Adam,
pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid (QS. Al-A’raf, 7:31), dan
Diaberfirman dalam bentuk pengingkaran : “Katakanlah, “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?”
Katakanlah : “Semuanya itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat.” Demikianlah
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS.
Al-A’raf, 7 :32-33).
Sebagian besar dari penjelasan ini, seperti di dalam
Al-Quran ini, tidak ada dan tidak membedakan antara perhiasan Allah dan
perhiasan kehidupan dunia kecuali dalam maksud dan niat.
Yang demikian itu
semata-mata adalah perhiasan yang kasar. Apa dan bagaimana bentuk perhiasan itu
adalah soal lain. Niat adalah ruh dari segala perkara. Dan setiap orang
memperoleh apa yang diniatkannya. Dalam hal ini, hijrah dilakukan menuju pada
suatu tujuan. Karena itu, hijrah yang dilakukan haruslah menuju kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Barangsiapa melakukan hijrah untuk memperoleh kesenangan dunia
atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya adalah demi apa yang ditujunya.
Demikian pula diungkapkan di dalam sebuah haids sahih tentang baiat imam pada tiga
orag yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat. Dia tidak
akan menyucikan diri mereka, dan mereka beroleh siksaan yang pedih, yaitu :
“Seseorang membaiat seorang imam. Ia hanya membaiatnya untuk memperoleh
kesenangan dunia semata. Jika kesenangan dunia itu diberikan kepadanya, maka ia
memenuhi baiatnya. Tetapi jika kesenangan dunia itu tidak diberikan, maka ia
tidak akan memenuhinya.” Perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat.
Inilah salah satu tonggak bangunan Islam. Dan disebutkan di dalam hadis sahih
Muslim bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw., : “Wahai Rasulullah, aku
lebih menyukai sandal dan pakaianku yang bagus.” Maka Rasulullah saw., menjawab
: “Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dan beliau bersabda : “Sesungguhnya
keindahan lebih patut ditunjukkan kepada Allah.”
Mengenai bab ini ada dua
penjelasan.
Pertama, Allah tidak mengutus Jibril kepada Rasulullah saw., untuk
datang menemuinya kecuali dalam paras indah seorang komandan dupasukan. Sebab,
paras itulah yang paling indah pada zamannya. Kesan keindahannya amat
berpengaruh pada makhluk-Nya. Ketika ia sampai di Madinah, orang-orang pun
mengerumuninya. Seorang wanita yang hamis pasti gugur kandungannya bila
memandang parasnya.
Seakan-akan Allah berfirman dengan menyampaikan kabar
gembira kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., tentang turunnya Jibril kepadanya dalam
paras seorang komandan pasukan : “Wahai Muhammad, tidak ada antara-Ku dan
dirimu kecuali paras yang indah.” Allah SWT mengabarkan tentang keindahan milik-Nya
yang berada dalam Zat-Nya. Barangsiapa tidak peduli dan tidak mau
memperindah diri (tajammul) karena Allah, maka ia telah mengabaikan
kecintaan khusus dan tertentu dari Allah. Jika ia mengabaikan kecintaan khusus
dan tertentu ini, maka ia telah mengabaikan apa yang dihasilkan dari ilmu,
manifestasi (tajalli), dan karamah di negeri kebahagiaan, kedudukan dalam
kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) dan kesaksian (Syuhud) maknawi, ilmi,
dan ruhi di kampung dunia dalam perjalanan ruhani (suluk) dan tempat-tempat
kesaksiannya (musyahid). Namun, sebagaimana telah kami kataan, berniat
memperindah diri itu tidaklah dimaksudkan untuk hiasan dan kesombongan dengan
perhaisan dunia, tidak pula untuk bermegah-megahan (az-zahw) dan membanggakan
diri (al-‘ujub), serta memandang rendah orang lain.
Kedua, kembali kepada Allah
ketika mendapat ujian. Allah mencintai orang yang diuji dan banyak bertobat.
Demikian pula Rasulullah saw., bersabda, “Allah SWT berfirman : “Dia-lah yang
menjadikan kehidupan dan kematian, untuk menguji engkau, siapa yang paling baik
amalnya (QS. Al-Mulk, 67:2). Al-bala’ dan al-fitnah adalah satu makna. Yang
demikian itu hanyalah sekedar ujian atas apa yang dituntut manusia. Ini
hanyalah cobaan dari-Mu (QS. Al-A’raf, 7 : 155), yakni ujian-Mu. Engkau
sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau membingungkannya,
serta, Dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau
menampakkan kepadanya jalan keselamatan dari cobaan itu.
Ujian paling besar adalah wanita,
harta, anak dan pangkat. Allah menguji dengan salah satu dari keempat hal ini.
Dengan ujian ini, ia bisa menempati kedudukan (maqam) kebenran dalam
menjalaninya. dengan ujian ini pula, ia kembali kepada Allah dan tidak diam
berpangku tangan. Ia memandangnya sebagai nikmat Ilahi yang Allah berikan
kepadanya. Ujian itu mengembalikannya kepada Allah SWT dan menempatkannya dalam
kedudukan (maqam) syukur, dan ia berhak menerima kenikmatan dari-Nya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari Rasulullah
saw., bahwa beliau bersabda : “Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. Dia
berfirman kepadanya : “Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan
sebenar-benarnya.” Musa bertanya : “Wahai Tuhan, siapakah yang mampu melakukan
hal itu? Dia menjawab : “Wahai Musa, bila engkau melihat kenikmatan itu sebagai
pemberian dari-Ku, maka itu adalah syukur yang sebenar-benarnya.” Ketika Allah
menyatakan ampunan kepada Nabi-Nya Muhammad saw., atas dosa-dosanya yang telah
lalu dan yang akan datang, Allah memberinya kabar gembira dengan
firman-Nya : “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang (QS. Al-Fath, 48 : 2). Beliau berdiri menegakkan salat
hingga kedua kakinya bengkak untuk bersyukur kepada Allah atas hal itu. Beliau
tidak merasa letih dan menginginkan istirahat. Ketika dikatakan kepadanya
tentang hal itu dan diminta untuk mempermudah dirinya, beliau menjawab :
“Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Demikian pula ketika beliau
mendengar Allah berfirman : “Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang engkau
sembah dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur. (QS. Az-Zumar,
39:66). Jika beliau tidak bersyukur kepada Pemberi nikmat, maka akan berlalu
kecintaan khusus dari Allah ini bersama kedudukan yang tidak ada seorang yang
dapat meraihnya dari Allah ini kecuali orang yang bersyukur. Allah berfirman :
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS. Saba, 34:13).
Jika
itu telah berlalu, maka berlalulah apa yang dimilikinya berupa ilmu tentang
Allah, tajali, kenikmatan, dan kedudukannya yang dikhususkan baginya di negeri
kemuliaan dan kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) pada hari terjadi
kebohongan yang sangat besar. Karena itu, setiap cinta Ilahi dari suatu sifat
khusu memiliki ilmu, tajali, kenikmatan dan kedudukan yang niscaya akan
membedakan pemilik sifat ini dari yang lainnya.
Adapula ujian
berupa wanita : bentuk pengembaliannya kepada Allah dalam kecintaan
kepada mereka adalah melihat bahwa mereka semua mencintai dan merindukannya. Ia
hanya mencintai dirinya sendiri, karena wanita – pada mulanya – diciptakan dari
laki-laki, dari tulang rusuknya yang paling pendek. Maka diturunkan kepadanya
bentuk yang menurutnya Allah menciptakan manusia sempurna, yaitu bentuk
Allah.
Allah menjadikannya sebagai manifestasi bagi-Nya. Apabila sesuatu
njadi manifestasi bagi orang yang mengamati, maka ia hanya melihat dirinya
sendiri dalam rupa itu. Jika ia melihat dirinya sendiri pada wanita ini
dengan kecintaan sedemikian rupa kepadanya, maka ia melihat bentuki sendiri.
Jelaslah bagimu bahwa bentuknya adalah bentuk Allah, yang diciptakan-Nya
berdasarkan bentuk itu. Ia hanya melihat Allah dengan gairah cinta, dengan
merasakan kelezatan dan hubungan. Maka ia pun fana dan lenyap di dalamnya
dengan fana yang sebenarnya karena kecintaan yang tulus. Ia membandingkan
dirinya dengan zat-Nya lewat perbandingan yang sepadan. Karena itu, ia pun fana
di dalamnya, karena segala sesuatu yang menjadi bagiannya adalah juga bagian
dari dirinya. Kecintaan pun mengalir dalam seluruh bagiannya. Maka, seluruhnya
berhubungan dengannya, sehingga, fana di dalam hal seperti itu adalah fana
menyeluruh (al-fana’ al-kulli). Bertolak belakang dengan kecintaan kepada
selain jenisnya, maka ia pun menyatu dengan yang dicintainya, sehingga berkata : “Ana
man ahwa, wa man ahwa ana – Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta
adalah aku.”
Pada kedudukan (maqam) ini,
orang-orang mengatakan : “Aku adalah Allah.” Jika engkau mencintai seseorang
dengan keicntaan seperti ini, maka ia membalasmu dengan kecintaan seperti ini
pula. Kesaksianmu dalam hal inilah yang mengembalikanmu kepada Allah, sehingga
engkau termasuk orang-orang yang dicintai Allah. Maka jadilah ujian ini yang
memberimu petunjuk.
Jalan lainnya ialah : ihwal
mencintai wanita, karena mereka adalah tempat kejadian dan
penciptaan segenap entitas dan bentuk dalam setiap jenis. Tidak diragukan
lagi bahwa Allah hanya mencintai segenap entitas di dunia ini dalam ketiadaan
(‘adam)-nya. Lantaran entitas-entitas itu merupakan tempat kejadian. Ketika Dia
menaruh keinginan kepadanya, Dia berkata : “Kun (Jadilah).” Maka jadilah
entitas-entitas itu.
Tampaklah kekuasaan-Nya atas segenap entitas itu di dalam
wujud. Segenap entitas itu memberikan haknya kepada Allah dalam uluhiyah-Nya.
Karena Dia adalah Tuhan. Maka segenap entitas itu menyembah-Nya dengan seluruh
nama (asma) dan keadaan (hal)-Nya, entah engkau mengetahui seluruh nama itu
atau tidak. Nama Allah itu kekal dan hamba-Nya hanya mempertahankannya dengan
rupa dan kendati ia tidak mengetahui akhir dari nama itu. Itulah yang
dikatakan Rasulullah saw., di dalam doanya dengan menyebut nama-nama Allah :
“Engkau menguasainya dalam ilmu kegaiban-Mu, atau engkau menampakkannya kepada
salah seorang dari ciptaan-Mu.” Yaitu di antara nama-nama-Nya. Artinya,
ia mengenal diri-Nya”, sehingga – dengan ilmu itu – ia mampu membedakan dirinya
dari yang lainnya, karena sebagian besar hal dalam diri manusia itu tampak
dalam bentuk dan keadaan.
Ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.
Jika ia mencintai wanita kerana apa yang telah kami sebutkan, maka kecintaan
kepada wanita itu dikembalikan kepada Allah. Jadilah itu sebagai ujian paling
baik di dalam haknya. Lantas, Allah mencintainya lantaran ia kembali kepada
Allah SWT dalam keicntaannya kepada wanita.
Adapun hubungannya dengan wanita
tertentu dala hal itu, dan tidak kepada wanita lainnya – jika hakikat-hakikat
yang kami sebutkan ini belaku bagi seluruh wanita – maka yang demikian itu
terjadi disebabkan hubungan ruhani antara kedua orang ini dalam asal kejaidan dan
percampuran alami serta pandangan yang bersifat ruh. Di antaranya ada yang
berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan ( ajal musamma). Di
antaranya ada pula yang berlangsung hingga tanpa ada batas waktu. Akan tetapi,
batas waktunya adalah kematian. Kebergantungan itu tidak hilang, seperti
kecintaan Nabi saw., kepada ‘A’isyah. Beliau senantiasa mencintainya melebihi
kecintaannya kepada istri-istri yang lain, dan juga kecintaanya kepada Abu
Bakar, ayah “A’isyah. Hubungan kedua inilah yang menentukan individu. Sebab
pertama telah kami sebutkan. Demikian pula bahwa dengan kecintaan mutlak,
pendengaran mutlak, dan penglihatan mutlak yang dimiliki sebagian hamba Allah,
serta tidak berlaku khusus pada seorang individu saja di dunia ini. Setiap yang
hadir di sisi-Nya memiliki kekasih yang dicintainya dan menyibukkan diri
dengannya.
Bersamaan dengan ini, mestilah ada kecenderungan khusus kepada
sebagian individu, sebab hubungan khusus berikut kemutlakan ini mestilah
demikian adanya. Kejadian alam memberikan ini kepada satuan-satuannya, dan
meski ada keterbatasan. Yang sempurna ialah yang menggabungkan atara
keterbatasan dan kemutlakan. Kemutlakan ialah seperti apa yang diucapkan oleh
Nabi saw., : “Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini, yaitu wanita,
..........”.
Beliau tidak mengkhususkan wanita tertentu. Dan contoh
keterbatasan ialah apa yang diriwayatkan tentang kecintaan beliau kepada
“A’isyah melebihi kecintaannya kepada istri-istrinya yang lain. Hal ini
disebabkan oleh hubungan Ilahi dan ruhani yang membatasi
kecintaannya kepada “A’isyah saja dan tidak kepada yang lain, dengan tetap
mencintai wanita-wanita lainnya juga. Yang kami sebutkan ini adalah tonggak
pertama, yang sudah cukup dimengerti oleh orang yang memahaminya.
Tonggak kedua adalah sumber-sumber
ujian, yaitu pangkat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mengenai hal ini,
sekelompok orang di antara mereka yang tidak memiliki ilmu mengatakan :
“Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar
(shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Orang-orang arif
(al-‘arifin), pendukung ungkapan ini, tidak mengatakan hal itu berdasarkan apa
yang dipahami kebanyakan orang dari penempuh jalan ruhani (ahl ath-thariq) di
antara mereka.
Hanya itulah yang kami jelaskan ihwal maksud kesempurnaan dari
kaum ahli Allah, yaitu bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak hal yang
Allah sembunyikan --- Dia-lah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit
dan di bumi, dan yang mengetahui apa yang engkau sembunyikan dan apa yang
engkau tampakkan.” (QS. An-Naml, 27:25). Yang dimaksudkan ialah apa yang tampak
dari dirimu dan yang tersembunyi dari segala sesuatu yang tidak engkau ketahui
dari dirimu dan dalam dirimu. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri hamba-Nya
segala sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya, yang tidak penah
diketahuinya.
Seperti seseorang yang penyakitnya diperiksa seorang dokter, ia
tidak tahu sedikit pun tentang penyakitnya itu, dan tidak merasa ada penyakit
di dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan apa yang disembunyikan
Allah di dalam diri makhluk-Nya. Tidakkah engkau perhatikan Nabi saw., bersabda
: “Man arafa nafsahu ‘arafa rabbahu – Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal
Tuhannya.” Tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya, padahal dirinya adalah
ia sendiri, dan bukan orang lain. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri
manusia apa yang disembunyikan-Nya di dalamnya. Maka, ketika itu,m ia pun
menyaksikan dan mengetahui apa yang tidak pernah diketahui
sebelumnya. Sekelompok orang mengatakan, “Hal terakhir yang keluar dari
hati orang-orang tulus dan benar, adalah kecintaan pada kepemimpinan.”
Ketika hal itu muncul ke permukaan, maka mereka pun melihatnya. Mereka
mencintai kepemimpinan dengan sebentuk kecintaan yang bukan jenis kecintaan
orang banyak kepadanya.
Mereka mencintainya karena keberadaan mereka atas apa
yang Allah firmankan tentang mereka, bahwa Dia adalah pendengaran dan
penglihatan-Nya. Dia menyebutkan seluruh kekuatan dan anggota-anggota tubuh
mereka. Ketika mereka berada dalam kumpulan itu, maka mereka mencintai
kepemimpjnan hanya dengan kecintaan Allah kepadanya.
Kepemimpinan mempunyai
kelanjutan, karena hanya dia sajalah yang memiliki kepemimpinan atas alam
semesta. Tidak ada yang mencintai kepemimpinan kecuali pemimpin atas alam
semesta, karena kesemuanya itu (alam semesta) adalah hamba-hamba-Nya. Tidak ada
pemimpin kecuali dengan adanya yang dipimpin. Kecintaannya kepada yang dipimpin
adalah sebesar-besar kecintaan, karena yang dipimpin itulah yang
menetapkan kepemimpinan.
Tidak ada yang dicintai oleh seorang raja dalam
kerajaannya, karena kerajaannyalah yang menetapkan baginya kerajaan lain. Dan
ia tetap saja disebut raja. Bagi mereka, inilah makna dari kalimat “Hal
terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan
kepada kepemimpinan.”
Mereka melihat dan menyaksikannya sebagai dzauq (cinta
rasa), bukan karena ia keluar dari hati mereka. Mereka tidak mencintai
kepemimpinan. Sebab, jika mereka tidak mencintai kepemimpinan, maka mereka
tidak bakalan memperoleh ilmu sebagai cita rasa atas bentuk yang di atas, itu
Allah menciptakan mereka. Rasulullah saw., bersabda : “Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Inilah bagian takwil dan kemungkinan
dari makna kabar ini.
Ketahuilah!
Pangkat adalah pengesahan
kalimat.
Dan jangan lewatkan satu kalimat dari firman-Nya : ..... Apabila Dia
menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya : “Jadilah” maka terjadilah ia
(QS. Yasin, 36:82). Pangkat paling tinggi adalah pangkat orang yang diperoleh
karena Allah, ketika Dia memberikan kekuatan kepada sang hamba ini. Ia
menyaksikan hal ini bersama kebakaan dirinya. Ketika itu, ia pun mengetahui
bahwa hal itu adalah permisalan yang tidak ada bandingannya. Ia adalah hamba
pengayom. Sementara itu, Allah SWT adalah Tuhan, dan bukan hamba. Sang hamba
memiliki persekutuan, dan Allah punya kesendirian.
Tonggak ke tiga, yang merupakan
sumber ujian, adalah harta. Harta dinamai dengan al-mal, karena ia
dicenderungi secara alami. Melalui harta, Allah SWT menguji segenap hamba-Nya
dengan memudahkan sebagian urusannya dengan wujud-Nya, dan menambatkan kalbu
makhluk-Nya pada kecintaan memiliki harta dan mengagung-agungkannya, sekalipun
ia kikir. Banyak mata memandangnya dengan pandangan mata sarat pengagungan
disebabkan kerancuan jiwa, lantaran mereka tidak memerlukan harta yang ada pada
dirinya. Mungkin saja sang pemilik harta adalah orang yang paling memerlukan
dan membutuhkannya. Ia tidak merasa cukup dan puas dengan apa yang ada padanya.
Ia selalu mencari tambahan buat apa yang berada di tangannya.
Ketika makhluk
melihat kecenderungan hati pada pemilik harta lantaran ingin memperoleh
hartanya, mereka pun mencintai harta. Sementara itu, kaum arif mencari dimensi
Ilahi, dan melalui dimensi inilah, mereka mencintai harta, sehingga
kecintaannya itu merupakan ujian yang mengandung kesesatan dan petunjuk.
Kaum arif melihat unsur-unsur
Ilahi dari harta. Allah SWT berfirman : “ ..... Dan pinjamilah Allah pinjaman
yang baik (QS. Al-Muzammil, 73:20).
Dia hanya menyeru para pemilik harta. Kaum
arif mencintai harta agar mereka termasuk orang yang diajak bicara oleh Allah
dalam ayat ini, sehingga mereka senang mendengarkannya dalam keadaan seperti
itu. Jika mereka meminjamkan harta itu dan melihat bnahwa sedekah itu berada di
tangan Allah, Zat Maha Pengasih, maka – dengan harta dan pemberian-Nya itu –
mereka pun diterima oleh Allah.
Yang demikian itu adalah simpul penerimaan
Allah telah memuliakan Adam dengan firman-Nya : “ .... Kepada apa yang telah
Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri (QS. Shad, 38 : 75). Barangsiapa
memberi-Nya pinjaman atas permintaan-Nya, maka ia adalah orang paling sempurna
dalam berbagai kesenangan dengan kemuliaan dari apa yang telah diciptakan
melalui kedua tangan-Nya sendiri. Kalaulah bukan karena harta, mereka pasti
tidak akan mendengarkan ayat iru dan tidak pantas menjadi orang yang diseru
Allah. Dengan pinjaman itu, mereka tidak memperoleh penerimaan rabbani, sebab
itulah yang menjalin hubungan dengan Allah. Allah menguji mereka dengan harta.
Kemudian Dia menguji mereka lagi dengan meminta harta itu. Allah menempatkan
diri-Nya dalam kedudukan peminta dari hamba-hamba-Nya yang memerlukan para
pemilik harta dan kekayaan di kalangan mereka, sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya di dalam hadis sebelumnya di bab ini : “Wahai hamba-Ku, Aku
telah memberimu makan, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan, dan Aku telah
memberimu minum, tetapi engkau engkau tidak memberi-Ku minum.” Dengan pandangan
ini, kecintaan kepada harta – bagi mereka – adalah ujian yang memberikan perunjuk
pada hal semacam ini.
Akan halnya ujian berupa
anak, maka anak adalah rahasia ayahnya. Belahan jiwanya, dan sesuatu yang
dikaitkan dengannya. Kecintaan ayah kepada anaknya, adalah kecintaan sesuatu
kepada dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang telah dicintai oleh
sesuatu itu selain dirinya sendiri. Allah menguji dengan dirinya berupa
bentuk luar dari dirinya. Dia menamainya dengna anak agar Dia mengetahui apakah
perhatian kepada anaknya itu akan emnghalanginya dari menunaikan kewajibannya
kepada Allah serta memenuhi segenap hak-Nya. Rasulullah saw., bersabda mengenai
hak anak wanitanya. Fathimah. Kedudukan Fathimah dalam kalbu beliau adalah
sama-sama dimaklumi. Beliau bersabda : “Sekiranya Fathimah binti Muhammad
mencuri, pasti aku potong tangannya.”
Umar bin Khaththab pernah mencambuk
anaknya sampai mati karena berzina. Dengan demikian, jiwanya menjadi baik.
Orang yang keras ini dan seorang wanita merelakan jiwanya dalam
menegakkan hukuman atas dirinya yang menyebabkan kematiannya. Mengenai obat
kedua orang ini, Rasulullah saw., bersabda : “Sungguh, kalau wanita itu
dipisahkan dari umat, cukuplah ia sendiri.” Tobat manalagi yang lebih besar
dari tobat kedua orang yang telah merelakan jiwanya itu? Kerelaan untuk
menegakkan kebenaran atas anak sendiri – meski tidak disukai – merupakan ujian
yang paling besar. Mengenai kematian anak dalam hak orang tuanya, Allah
berfirman : “Tidak ada balasan bagi hamba Ku yang mukmin di sisi-Ku selain
surga, jika telah Aku genggam kesuciannya dari penghuni dunia ini.” Siapakah
yang menetapkan tonggak-tonggak yang merupakan setinggi-tinggi ujian dan
sebesar-besar cobaan ini? Dia memberi kesan di sisi Allah dan Dia pun
menjaganya. Itulah orang yang paling agung yang tak tertandigni di kalangan
manusia.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.