بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Misykat Al-Anwar
Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi
Al-Ghazali
**************
Contoh-Contoh ilmu Penafsiran
Mimpi
Marilah kita kini
kembali kepada pengambilan contoh, yaitu tentang ilmu ta’bir (penafsiran mimpi)
agar Anda dapat mengetahui betapa pentingnya menentukan misal atau membuat
perumpamaan. Sebab “mimpi adalah sebagian dari kenabian.”
Tidakkah Anda lihat
betapa matahari, dalam mimpi, ditafsirkan sebagai raja. Hal ini disebabkan
adanya persekutuan dan kemiripan dalam suatu makna spiritual, yakni kekuasaan
(atau kedudukan tinggi) atas orang banyak yang diiringi dengan melimpahnya
pengaruh dan cahaya-cahaya atas mereka semua. Adapun bulan, dalam mimpi,
ditafsirkan sebagai wazir (meneteri), karena matahari pada saat-saat ketidakhadirannya
melimpahkan cahayanya atas dunia dengan perantaraan bulan seperti halnya raja
melimpahkan pengaruh kekuasaannya dengan perantaraan sang wazir kepada
siapa-siapa yang jauh dari raja. Demikian pula orang yang melihat dalam
mimpinya seakan ia mengenekan cincin di jarinya untuk “menyegel” mulut para
pria dan kemaluan para wanita, hal itu ditafsirkan bahwa ia mengumandangkan
azan di bulan Ramadhan sebelum masuknya waktu subuh. Adapun orang yang melihat
dalam mimpinya seakan ia menuangkan minyak ke dalam minyak zaitun, maka hal itu
ditafsirkan bahwa ia memiliki seorang hamba sahaya perempuan yang sebenarnya
adalah ibunya sendiri padahal ia tidak menyadari.
Demikianlah, tidak
mungkin aku dapat membicarakan semua bab dalam ilmu ta’bir untuk menyebutkan misal-misal
sejenis ini. Tidak mungkin aku akan menyibukkan diriku terus-menerus dengan
menghitung-hitungnya.
Oleh sebab itu, aku
kini hendak menjelaskan bahwa sebagaimana di antara maujudat ruhaniyyah yang
tinggi terdapat apa yang dapat dimisalkan dengan amtahari, bulan, dan bintang,
demikian itu pula ada yang memiliki misal-misal lainnya bila dihubungkan juga
dengan sifat-sifatnya yang lain selain kecahayannya.
Nah, bila di antara
maujudat itu ada yang bersifat tetap tak bergerak, dan besar tak mungkin diremehkan,
dan daripadanya memancar air ma’rifat serta mustika mukasyafat yang mengalir ke
lembah-lembah kalbu manusia, maka misalnya (perumpamannya) di alam idnriawi
ialah Thur (gunung di Lembah Sinai). Selanjutnya, bila para penerima air dan
mustika-mustika itu sebagiannya lebih utama dari sebagiannya yang lainnya, maka
misalnya adalah “lembah”. Bila air dan mustika-mustika itu setelah bertautan
dengan kalbu manusia berpindah-pindah, dari kalbu yang satu ke kalbu lainyya,
maka kalbu-kalbu ini dapat pula disebut sebagai “lembah-lembah”. Adapun lembah
terdepan (atau paling utama) adalah kalbu para nabi, wali dan ulama, kemudian
orang-orang di bawah mereka.
Apabila lembah-lembah ini mengambil airnya
dari lembah utama, maka sepatutnya lembah paling utama ini ialah Lembah Aiman
(al-Wadi –al-Aiman).
Kemudian, apabila kita
katakan bahwa ruh Nabi Saw, adalah “Pelita penerang” yang menerima cahayanya
dengan perantaraan wahyu, seperti dalam firman Allah Swt., “..... Kami
wahyukan kepadamu ‘ruh’ dari sisi Kami.
Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Quran dan tidak pula mengetahui apa
iman itu.
Tetapi Kami jadikan Al-Quran ‘cahaya’ yang
dengannya Kami tunjuki siapa-siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami.
Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) adalah penunjuk kepada jalan yang lurus
.....”;
maka misal untuk
sumber pengambilan cahaya Nabi Saw, itu adalah “api”. Jika di antara
orang-orang yang menerima pancaran cahaya dari para nabi itu sebagaiannya hanya
dengan cara taqlid (menirukan) apa yang didengarnya saja,s edangkan sebagiannya
yang lain memiliki bashirah (kesadaran batin) yang cukup besar, maka misal bagi
yang hanya ber-taqlid itu adalah bara atau percikan api.
Adapun mereka
yang memiliki dzauq (cita rasa batiniah) dapat disebut sebagai “memiliki
pernyataan dan kesamaan dengan Nabi” dalam beberapa hal tertentu. Pernyataan
dan kesamaan seperti itu dapat dimisalkan dengan “penghangatan diri”. Tentunya
tak dapat menghangatkan diri, kecuali orang yang memiliki atau dekat dengan api
dan bukannya yang hanya mendengar tentangnya.
Kemudian, apabila
terminal utama para nabi ialah pendakian ke ‘alam quddus dengan melepaskan diri
dari kekeruhan indra dan imajinasi, maka terminal itu dapar dimisalkan dengan
lembah quddus (al-wadi al-muqaddas) yang tidak menginjakkan kaki di sana,
kecuali dengan “menanggalkan” kedua bagian alam semesta, yakni dunia dan
akhirat, lalu memusatkan diri menuju arah yang Maha tunggal lagi Maha besar.
(Untuk jelasnya
hendaknya diketahui bahwa dunia dan akhirat adalah dua bagian alam yang saling
berhadapan dan saling menyerupai. Kedua-duanya merupakan aksiden dari esensi
nurani manusia yang dapat ditinggalkan pada suatu saat, kemudian dikenakan lagi
pada saat lainnya).
Misal penanggalan
keduanya saat ber-ihram dan bergerak menuju “ka’bah lembah qudus”., adalah
dengan “menanggalkan kedua sandal”.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.