بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
{AJARAN KAUM SUFI}
Karya
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukhari Al-Kalabadzi
26.
AJARAN
KAUM SUFI TENTANG KEKUATAN GAIB (KARAMAH) PARA WALI
Mereka
bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib para wali, meski sejauh
mengakui keajaiban seperti berjalan di atas air, bebicara dengan binatang,
pergi dari satu tempat atau disaat lain daripada saat dan tempatnya berada.
Semua
contoh mengenai hal ini tercatat sebagaimana mestinya di dalam kisah-kisah dan
hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab suci.
Misalnya cerita mengenai “orang yang memiliki
pengetahuan mengenai al-Kitab.” Yang mengatakan : “Aku sanggup membawanya
kepadamu dalam sekejap mata!.” Dan cerita mengenai Maryam, ketika Zakaria
berkata kepadanya : “Hai Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini?
Maryam menjawab : “Dari Allah.”
Juga cerita mengenai dua orang yang berada
bersama Nabi. Kemudian pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang
semacam itu bisa terjadi pada masa Nabi maupun pada masa-masa lain. Karena
kekuatan-kekuatan gaib itu diberikan pada masa Nabi untuk menguji kebenaran
(pernyataannya), maka, dengan alasan yang sama, kekuatan-kekutan gaib tersebut
bisa juga terjadi pada masa-masa lain.
Setelah
wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn Khattab, ketika dia memanggil
Sariyah dan berkata : “Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu! Gunung itu!, Umar
pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang mengahdapi musuh
yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana.
Cerita
ini terbukti benar. Orang-orang yang menyangkal pendapat ini beralasan bahwa,
jika demikian, hal itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi nabi, sebab
seorang nabi dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa dia
mampu mendatangkan mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang
tidak bisa dilakukan oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan
tersebut muncul dari diri orang lain, maka yang nabi dan yang bukan nabi tidak
akan ada bedanya lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi tidak akan ada
lagi.
Lebih-lebih,
hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan seorang nabi
dengan yang bukan nabi.
Tapi Abu
Bakr al-Warraq menegaskan : “Seorang nabi itu menjadi nabi bukan dikarenakan
oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan mengutusnya dan memberi wahyu
kepadanya.
Jika
Tuhan telah mengutus seseorang, dan memberi wahyu kepadanya, maka jadilah dia
nabi, tak soal apakah dia memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau tidak. Dan,
adalah merupakan suatu kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul,
sekalipun dia tidak melihat mukjizat yang mendahului kedatangannya; sebab
tujuan mukjizat yang sesungguhnya dalah memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan
oleh orang-orang yang menyangkal dan mengguatkan ancaman hukuman atas
orang-orang yang keras kepala.”
Alasan
untuk menerima pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil orang-orang
agar mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai suatu
kewajiban, yaitu pengakuan atas keesaan-Nya, sekaligus sangkalan atas
pernyataan bahwa Dia bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal tidak
dinyatakan mustahil, melainkan justru wajib atau dibolehkan.
Kenyataannya, ada dua macam hal yang
tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi itulah yang benar,
sedang nabi palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan pembicaraan mereka
(seolah-olah) sama.
Mereka
mengakui bahwa Tuhan memberi nabi
sejati, kekuatan sebuah mukjizat, sedangkan nabi yang salah tidak memiliki
kemampuan seperti nabi yang benar itu, sebab hal itu akan mengisyaratkan bahwa
Tuhan tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sedangkan
mengenai wali sejati, tapi bukan nabi, dia tidak membuat pernyataan bahwa dia
seorang nabi, atau penyataan lain yang palsu atau tidak benar, dia hanya
mengajak orang untuk menerima kebenaran atau yang benar.
Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan gaib
(karamah) kepadanya, hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan nabi;
sebab, orang yang benar itu sesuai dengan nabi, baik dalam perkataan maupun
perbuatan, dan penampilan kekuatan gaib oleh dia itu malah untuk memperkuat
nabi dan mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti kenabiannya dan
haknya agar perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima, dan juga
menegaskan prinsip bahwa Tuhan itu Esa.
Beberapa
tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa mungkin saja Tuhan akan membuat
musuh-musuh-Nya bisa memiliki – yaitu dengan cara yang sebegitu rupa, sehingga
tidak menimbulkan keraguan (dalam diri orang lain) beberpa kekuatan tertentu,
dengan maksud menyeret meraka pelan-pelan menuju kehancuran. Kekuatan-keuatan
itu kemudian mendatangkan kesombongan dan kecongkakan dalam jiwa mereka, dan
mereka membayangkan bahwa kekuatan-kekuatan itu merupakan kekuatan gaib yang
pantas mereka terima karena tindakan-tindakan mereka dan merupakan hak mereka
dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka membual mengenai
tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul dibanding
orang-orang lain; mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan bersikap sangat
angkuh terhadap mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang direncanakan oleh
Tuhan atas diri mereka.
Tapi mengenai para wali, kalau anugerah gaib
diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin takut dan
semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina diri mereka
sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri mereka; dan
ini menambah kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas-tugas yang
berat, dan mempertebal rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas semua yang telah
Dia berikan kepadanya.
Jadi para
nabi itu diberi mukjizat-mukjizat, orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan
gaib, dan musuh-musuh (Tuhan) diberi tipuan-tipuan.
Seorang tokoh Sufi berkata :
“Kekuatan-kekuatan gaib yang diberikan kepada orang-orang suci tidak mereka
ketahui dari mana datangnya; sedangkan para nabi tahu darimana (asal)nya
mukjizat-mukjizat mereka, dan perkataan-perkataan mereka menegaskan mengenai
mukjizat-mukjizat tersebut.
Perbedaan ini dikarenakan adanya kenyataan
bahwa, para wali, ada bahaya bahwa mereka jadi tergoda (oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka), sebab
mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para nabi, karena mereka tahu bahwa mereka
berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya itu tidak muncul.
(Mereka
menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan mukjizat sebagai berikut).
Kekuatan gaib para wali merupakan jawaban bagi doa, atau penyempurnaan dari
keadaan kejiwaan, atau jaminan atas kekuatan untuk melaksanakan sesuatu
tindakan, atau pemberian alat untuk digunakan sebagai mata pencaharian, dalam
cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang diberikan kepada para nabi
itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada,
atau mengubah sifat yang esensial dari sebuah obyek.
Beberapa
ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa mukjizat-mukjizat ini bisa jadi
diberikan kepada orang-orang yang salah, dengan cara yang tidak mereka ketahui
pada saat mereka mengaku memiliki mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka
sama sekali tidak menimbulkan keraguan. Contoh-contoh hal ini adalah; kisah
mengenai Sungai Nil yang mengalir ketika Fir’aun menyuruhnya mengalir; dan
kisah mengenai Dajjal, seperti yang diceritakan oleh Muhammad saw. yang akan
membunuh seseorang kemudian, sebagai yang beliau gambarkan, akan
menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua masalah ini dengan menyatakan
bahwa masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang sama sekali tidak menimbulkan
keraguan, sebab sifat-sifat mereka yang sesungguhnya memiliki bukti yang cukup
dari kepalsuan pernyataan bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan Tuhan
(rububiyah).
Mereka
berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali untuk mengetahui bahwa dirinya
seorang wali.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Hal ini tidak
mungkin, sebab pengethuan semacam itu akan menghapuskan ketakutannya akan
masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman (amn). Padahal isyarat
rasa aman itu berarti dihapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada di
antara ketakuan dan harapan, Tuhan berfirman : “Mereka berdoa kepada Kami
dengan perasaan harap-harap cemas.”
Tapi
tokoh terbesar dan terpenting Sufi mempertahankan pendapatnya bahwa mungkin
saja bagi wali itu untuk menyadari kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan
karunia (karamah) dan Tuhan untuk menusia; dan manusia diizinkan untuk
menyadari kerunia dan kemurahn Tuhan, sebab dengan begitu hatinya akan
tersentuh dan lebih bersyukur.
Ada dua
jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata terjauhkannya seseorang dari
permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi semua orang beriman; tidak
perlu orang itu menyadarinya, atau mengetahuinya, sebab hal itu hanya
dimaksudkan dalam arti umum, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat ini, “Orang
yang beriman adalah karib (wali) Tuhan.” Yang kedua adalah kewalian orang-orang
yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan diketahui oleh orang itu.
Kalau seseorang memiliki kwalian ini, maka ia
dijaga agar tidak berbangga diri dan, karena itu, dia tidak jatuh dalam
kecongkakan; dia dijauhkan dari orang –orang lain, yaitu dalam arti ikut
menikmati kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa
menggodanya. Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat
manusia, meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri
mereka; karena itu, dia tidak ikut menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara
yang begitu rupa, seperti kalau dia asyik-masyuk di dalam agamanya, meskipun
kesenangan alamiah tetap dinikmatinya.
Ini semua
merupakan sifat-sifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan
jika seseoang memiliki sifat-sifat ini, maka musuh itu tidak akan mampu
mencapainya dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab Tuhan berfirman :
“Sesungguhnya, hamba-hamba Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan mereka.
Sekalipun
begitu, dia tidak dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang lebih kecil
maupun yang lebih besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya, maka tobat
yang tulus sudah tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh Tuhan;
semuanya mengakui bahwa tidak ada dosa besar yang bisa menghinggapinya,
sementara sebagian orang lain bahkan beranggapan bahwa hal itu berlaku pula
untuk dosa-dosa kecil. Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu
jelas sudah terlewatkan tanpa ada penghalang.
Nabi
memberi tahu para sahabat bahwa mereka adalah para penghuni surga, dan mengenai
sepuluh orang di antara mereka, diberi kesaksian bahwa mereka akan dimasukan ke
dalam surga; yang mengisahkan hadits ini adalah Sa’id ibn Zaid, dan dia
termasuk salah seorang dari sepuluh orang tersebut. Jadi, kesaksian Nabi itu
harus diterima dengan persetujuan bulat, kemantapan dan kepercayaan; dan ini
jelasa mengisyaratkan kemanan dari peralihan, dan hapusnya rasa takut akan
perubahan. Toh, masih ada kisah-kisah termasyhur yang diceritakan untuk
menggambarkan rasa takut yang mencekam orang-orang ini (yang telah diberi
tempat di surga), atas kesaksian nabi.
Abu Bakr berkata : “Kalau-kalau aku menjadi
seperti sebuah korma yang dicucuki burung-burung.” Umar berkata : “Kalau-kalau
kau menjadi jerami begini. Kalau-kalau aku menjadi bukan apa-apa.” Abu Ubaidah
berkata : “Kalau saja aku bisa menjadi seekor biri-biri, dan pemilik-ku akan
menjadikan aku korban dan memakan dagingku serta meneguk kaldu dagingku.”
A’isyah berkata : “ Kalau-kalau aku menjadi selembar daun dari pohon ini.” padahal
wanita itulah yang diberi kesaksian bahwa wanita ini adalah istri nabi di dunai
Kini dan dunia nanti.”
Perasaan-perasaan
itu mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan mereka menanggung
dosa karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan), tidak mencermin
penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab, mereka memiliki rasa
hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka tidak mungkin
menentang-Nya, sekalipun mereka tidak akan dihukum oleh-Nya.
Maka Umar berkata : “Alangkah baiknya orang
seperti Suhaib itu! Dia tidak akan ingkar dari Tuhan, sekalipun jika dia tidak
takut kepada-Nya.”
Yang dia maksudkan adalah “ Suhaib tidak ingkar dari Tuhan
bukan karena dia takut akan akibat-akibatnya, tapi karena dia takzim kepada
Tuhan dan menghormati kekuasaan-Nya, serta malu karna Dia, Jadi, rasa takut
dari orang-orang yang perkataan-perkataannya telah kami kutip itu, bukanlah
rasa takut akan peralihan dan perubahan; sebab, rasa takut akan kedua hal itu,
pada saat Nabi telah membuat kesaksian, akan mengisyaratkan keraguan atas
penuturan Nabi, dan itu berarti kekafiran; rasa takut itu pun bukanlah rasa
takut akan hukuman neraka, tanpa mereka harus ada di sana selamanya, sebab
mereka telah tahu bahwa mereka tidak akan dihukum dengan neraka karena perbuatan-perbuatan
mereka. Sebab, sekalipun mereka melakukan dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut
akan diampuni karena mereka menjauh dari dosa-dosa besar , atau dikarenakan
penderitaan yang mereka alami selama berada di dunia.
Abdullah ibn Umar menuturkan bahwa Abu Bakr
al-Siddiq berkata : “Aku sedang berada bersama Rasulullah ketika ayat yang
berikut ini diturunkan : “Barang siapa mengerjakan kejahatan, tentu akan diberi
pembalasan yang setimpal dengan kejahatan itu. Nabi berkata : “Tidakkah engkau
sebaiknya ku suruh menyitir ayat yang baru saja diturunkan kepadaku itu?” Aku
mebjawab : “Tentu saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau menyuruhku menyitir
ayat itu; dan aku tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku merasa seakan-akan
punggungku patah, dan aku meregangkan badanku.
Melihat itu Nabi bertanya : “Apa
yang membuat mu sakit, Abu Bakr? Aku menjawab : “Wahai Rasul Allah! Aku memohon
kepdamu demi bapak dan ibuku, adakah di antara kita yang belum pernah melakukan
kejahatan? Sesungguhnya kita diberi balasan untuk semua perbuatan kita’ Nabi
menyahut “Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk orang-orang beriman, mereka akan
diberi balasan untuk semua perbuatan mereka di dunia ini, sehingga engkau akan
bertemu dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa, tapi, untuk yang selebihnya.
Tuhan akan mengumpulkan balasan untuk mereka
itu, dan mereka akan diberi balasan itu nanti pada Hari Kebangkitan.” Atau,
jika mereka melakukan dosa-dosa besar , maka tobat akan segera menghapuskannya,
dan kesaksian Nabi mengenai surga akan terpenuhi untuk mereka; sebab, hais ini
secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr akan melewati Hari Kebangkitan tanpa
tanggungan dosa sama sekali. Pada kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar :
“Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan belum memberi keputusan mengenai orang-orang
yang bertempur di Badr, padahal Dia berfirman : “Lakukan apa yang kamu
inginkan, sebab Aku telah mengampunimu?
Beberapa
hari mempertahankan pendapat mereka bahwa sementara mereka diberi janji surga,
mereka tidak diberi janji bahwa mereka tidak akan dihukum. Jika hal ini benar,
maka mereka akan takut pada neraka, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak
akan berada di sana selamanya; dan, dalam hal itu, orang-orang yang lebih
disukai, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang beriman lainnya, yang
sudah jelas akan di jauhkan dari neraka.
Nah, Jika
ada kemungkinan bahwa Abu Bakr dan Umar akan masuk neraka, sekalipun nabi telah
melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik yang
lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan ada kemungkinan bahwa al-Hasan dan
al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi telah melukiskan mereka
sebagai “Pemimpin para pemuda penghuni surga”. Kalau begitu, Jika ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka,
dan menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa
masuk surga tanpa lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi
berkata : “ Sedangkan mengenai orang-orang dari taraf yang lebih tinggi, mereka
akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana engkau
memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit.
Sesungguhnya
Abu Bakr dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua
orang ini akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan – sebab Tuhan
berfirman : “Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau
telah menghinakannya.”
Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan
dari sana? Lagi, Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati Nabi bersama Abu Bakr dan
Umar masuk ke Masjid, yang seorang di samping kanannya dan yang seorang lagi di
samping kirinya, dan beliau memegang tangan meraka dan berkata : “Beginilah
kami nanti akan diangkat ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan.”
Jika hal
ini mungkin, seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk
neraka, maka mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraka.
Tapi Nabi berkata : “Akan masuk surga tujuh
puluh umatku tanpa melalui penghitungan.” Ukkasyah ibn Mihshan al-Asadi berkata
: “Wahai Rasul Allah! Doakanlah kepada Tuhan agar aku termasuk salah seorang
dari mereka.” Nabi menyahut : “ Engkau salah seorang dari mereka.”
Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik
dibanding Ukkasyah, sebab Nabi melukiskan mereka sebagai “para pemimpin para
sesepuh penghuni surga, baik yang lebih dahulu maupun yang kemudian.”
Lalu, bagaimana mungkin Ukkasyah akan masuk
surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak melebihi mereka dalam
kebaikannya, kalau mereka saja masuk neraka? Ini jelas merupakan sebuah kesalahan
besar.
Jadi
hadis-hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada kemungkinan kedua orang itu dihukum dengan neraka, terutama dilihat dari
kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga. Bagaimanapu juga, mereka
aman; dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan orang yang telah
disebutkan sebelumnya, apakah mereka itu aman atau tidak, hanya menyangkut
mereka saja, dan lepas dari yang dua orang ini.
Sedangkan
mengenai cara para wali tahu perihal (tempat yang telah disediakan untuk mereka
di surga) lepas dari sepuluh orang yang disebut terdahulu – sebab mereka
menyimaknya dari percakapan langusung dengan Nabi, Sedangkan yang lain-lain
tidak menikmati hak khusus ini, mengingat bahwa mereka tidak hidup pada masa
nabi --- mereka menjadi tahu perihal itu dari kemurahan Tuhan yang diberikan
kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani mereka mengenal keadaan-keadaan
kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda kekariban dengan Tuhan. Allah memilih
mereka dan menjauhkan diri merka dari hal-hal lain agar mereka bisa dekat
kepada-Nya, sehingga hati nurani mereka menjadi kebal dari segala kejadian,
peristiwa maupun perubahan, yaitu hal-hal yang bisa menarik mereka agar menjauh
dari-Nya;
lebih-lebih
mereka mereka bisa menikmati penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan
oleh Tuhan bag orang-orang yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam
kekal, dan juga menikmati hal-hal semacam itu yang tidak diberikan-Nya kepada
musuh-musuh-Nya. Ada Hadis Nabi yang berkenaan dengan Abu Bakr al-Siddiq : “Dia
lebih unggul daripada kamu bukan karena dia banyak berpuasa dan berdoa, tapi
karena sesuatu yang telah diisikan di dalam dadanya, atau di dalam hatinya.”
Inilah arti hadis itu, yang menenteramkan hati mereka, karena mereka merasakan
dalam hati mereka karunia dan rahmat Tuhan, dan bahwa karunia dan rahmat itu
nyata dan bukan hanya tipuan belaka, seperti yang terjadi pada orang yang oleh
Tuhan diberi.” tanda-tanda dan yang “kemudian dia berpantang mempercayainya”.
Mereka tahu bahwa tanda-tanda yang nyata itu tidak sama dengan tanda-tanda
yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang menipu itu hanya
mempengaruhi tata lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian luar biasa yang
menarik hati orang yang kena tipu itu serta memerdayakan dia, sehingga dia mengira
bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala yang menandai kesucian
seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal sebenarnya, tanda-tanda itu
sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan kecurigaan.
Kalau memang mungkin bahwa Tuhan akan membuat
karunia khusus yang doanugerahkan oleh-Nya kepada prara wali-Nya sama dengan
tipuan-tipuan yang digunakan-Nya untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam
kehancuran, maka hal ini berarti bahwa Dia bisa saja berusaha dengan para
wali-Nya sebagaimana Dia berurusan dengan musuh-musuh-Nya.
Dia
bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya dan menjauhkan mereka dari-Nya,
sebagaimana yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang telah diberi-Nya
tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak dapat dikatakan seperti itu.
Lebih-lebih jika memang mungkin bagi musuh-musuh (Tuhan) untuk menikmati
tanda-tanda yang dimiliki oleh para wali, dan orang-orang terpilih, sedangkan
yang menunjuk seseorang sebagai wali dan
orang terpilih itu, dalam kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka
itu tidak akan ada petunjuk menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda
walayah itu bukan hanya hiasan luar dan pengejawatahan dari yang luar biasa saja;
tanda-tandanya yang benar ada di dalam dan merupakan pengalaman-pengalaman yang
diberikan oleh Tuhandi dalam hati nurani, yaitu pengalaman-pengalaman yang
hanya diketahui oleh Tuhan serta orang-orang yang telah menikmati
pengalaman-pengalaman tersebut.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.