Kepada
Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjelaskan soal taklid buta, bid’ah, serta
ketidakjujuran dan kedengkin yagn dikandung keduanya.
23.
Salam. Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau
memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah menerima jawabanku sebelumnya.
Engkau katakan bahwa surat itu menggerakkan dan memenuhi kebutuhanmu untuk
menjelaskan pemikiranmu serta memantapkan keyakinanmu. Engkau juga
meminta, dalam surat itu, agar aku menjelaskan lebih jauh lagi soal “taklid
buta” dan “bid’ah” yang aku katakan dalam jawabanku sebelumnya.
Pertama-tama, kedua konsep ini dicela dan dikecam
oleh Hukum Wahyu, dan merupakan kelemahan serius dalam diri orang yang menganut
salah satunya. Taklid buta sesungguhnya adalah sejenis bid’ah, yang nanti akan
aku bahas, dan sama dengan bertindak menyesuikan diri dengan pandangan orang
lain tanpa adanya bukti yang menguatkan. Misalnya, kita menganggap seseorang
memiliki otoritas, semata-mata berdasarkan kedudukan tinggi orang gitu, atau
menganggap segenap masyarakat memiliki otoritas, berdasarkan banyaknya atau
usia keberadaannya yang sudah tua. Allah Swt. mencela “taklid buta” ini dalam
banyak ayat Al-Qur’an, sebab sikap itu terlihat dalam berbagai golongan orang
kafir, “Dan mereka berkata, ‘Kalau saja Al-Qur’an ini diturunkan kepada seorang
besar dari kedua kota ini!.” (Qs. 43:31). Di situ, mereka menyebut-nyebut
orang-orang besar tertentu dari kedua kota, yaitu Al-Walid ibn Al-Mughirah dari
Makkah dan Mas’ud ibn ‘Umar dari Al-Tha’if. Dengan cara begitu mereka
mengingkari kebesaran hakiki seruan kenabian Muhammad, dan mengejek serta
melecehkannya lantaran beliau adalah anak yaitm Abu Thalib. Dalam kata-kata Allah
Swt. “Manakala orang-orang kafir melihatmu, mereka hanya mengejek serta
melecehkanmu.” (Qs. 21:36).
24.
Ketika Nabi Muhammad saw. menyeru orang-orang
kafir Quraysy kepada agama sejati dan hakiki Islam, mereka menuntut bukti-bukti
darinya. Mereka meminta beliau agar menghidupkan kembali bagi mereka salah
seorang terkemuka mereka. Qushayy ibn Kilab. Mereka bertanya kepada Nabi saw.
apa yang beliau bawa; tetapi mereka mengikuti pandangan Qushayy secara membuta
dan kembali kepadanya. Dan ketika Abu Thalib sedang menjelang maut, sejumlah
orang Quraysy mendampinginya. Termasuk Abu Jahl. Nabi saw. datang mengunjungi
Abu Thalib, dan mengajaknya untuk mengakui keesaan Allah. Lalu orang-orang
Quraysy berkata : “Wahai Abu Thalib, akankah engkau meninggalkan jamaah ‘Abd
Al-Muththalib?”. Kemudidan Nabi saw. mendesaknya lagi; dan lagi-lagi
orang-orang Quraysy berusaha menghalangi Abu Thalib. Akhirnya dia tetap bersama
jamaah ‘Abd Al-Muththalib. Lalu diturunkan ayat ini : “Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi dan cintai, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. 28:56).
Semuanya ini menunjukkan contoh taklid buta berdasarkan prestise. Allah Swt.
melukiskan orang-orang yang ebrbuat demikian ketika berfirman : “Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganur suatu agama.” (Qs. 43:22). Dengan kata
lain, mereka percaya sekali kepada nenek moyang mereka lantaran mereka memuja
nenek moyang.
Tentang kaum Nabi Shaleh as., Allah Swt. berfirman
: “Akankah kita mengikuti seseorang di antara kita?”. (Qs. 54:24). Karena itu,
mereka pun menolak mengikuti orang itu. Masalahnya adalah bahwa jika diutus
sejumlah besar orang kepada mereka, mereka dengan senang hati mau mengikutinya.
Inilah jenis taklid buta berdasarkan kekuatan jumlah.
Tentang Fir’aun dan Kaum Nabi Nuh as., Allah Swt
berfirman : “Kami belum pernah mengetahui hal semacam itu pada nenek moyang
kami dahulu.” (Qs. : 28:36). Dengan kata lain, jika Nabi Nuh berbicara kepada
mereka tentang nenek moyang dan agama nenek moyang mereka dalam misi
kenabiannya, maka orang-orang pun akan mau menerima otoritas pendahulu mereka
dan mengikuti jejak-jejak mereka. Inilah jenis taklid buta berdasarkan
kekunoan.
Allah tidak memaffkan orang-orang hina dari
kalangan kaum kafir, entah lantaran taklid buta keapda pemimpin mereka atau
lantaran kepemimpinan sesat para pemimpin mereka.s ebaliknya, Allah memandang
mereka semua berada dalam kesesatan, dan memberi mereka peringatan dan
hukuman yang setimpal. Disebabkan oleh kebodohan dan kejahilannya yang tak
kepalang tanggung. Allah menyamakan orang-orang seperti ini dengan keledai dan
binatang ternak (Qs. 7:179, 25 : 44; 47:12) karena emreka tak memiliki
pengetahuan dan pemahaman.
Engkau harus mengerti, bahwa sikap taklid buta yang
tercela dan tak kritis ini telah memercekkan apinya bahkan di jaman kita ini.
Akibat buruknya sudah menyebar luas. Akan engkau ketahui misalnya, bagaimana
orang yang tidak memiliki hikmah tapi sekedar mengklaim memiliki pemahaman,
menyeringai dan mengertukan dahi manakala dia mendengar sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan mistik sejati atau sesuatu yang diketahui oleh
orang banyak yang memberikan kesaksian atas keimanan mereka. Disebabkan
kejahilannya yang kelewat batas, orang speerti ini berkata : “Jika hal ini
benar, maka orang pasti akan menggunakannya sejak dulu, atau mewariskannya dari
generasi ke generasi.” Engkau juga akan melihat orang yang bercita-cita menjadi
seorang sufi, tapi tak mengerti sedikit pun tentang masalah ketentuan hukum atau
tentang hal-hal yang halal dan haram, dan terasing dari semuanya, serta
terkelabui kebohongannya sendiri. Karena kejahilan orang seperti ini hanya
untuk orang-orang awam. Guruku si anu tidak bisa membaca atau menulis. Dia
tidak menganut mazhab mana pun.”
Engkau juga akan menemui orang-orang berpikiran
bebas dan malas, yang terus-menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Mereka
melakukan berbagai kekeliruan orang-orang dahulu dan kesalahan-kesalahan para
ulama, seraya beranggapan bahwa hal itu merupakan praktik agama yang benar.
Dengan begitu, kejahilan pun merajalela di tengah-tengah masyarakat,
sampai-sampai masyarakat tidak lagi melihat yang berada di atas
pemimpin-pemimpin agama mereka, yang mereka ikuti seperti binatang-binatang
pengerat.mereka tidak berpikir barang sedikit pun tentang mengorbankan diri
mereka demi praktik dan dukunga legal pemimpin mereka. Orang seperti ini banyak
sekali, tapi aku tak perlu menambah jumlah contohnya. Maksudku sederhana saja;
agar engkau menyadari bahwa melakukan hubungan sosial dengan orang-orang
seperti ini akan menumpulkan kalbumu, dan mencegahmu emncapai tujuan yang
engkau cari. Karena itu, berhati-hatilah dalam soal-soal ini.
25.
Selanjutnya, engkau mesti mengetahui bahwa setiap
eprtanyaan memerlukan jawaban yang benar. Karenanya, tidak boleh taklid buta.
Harus dicari bukti yang menjadi dasar dari pertanyaan itu, entah
berhubungan dengan msalah-masalah wajib seperti rukun iman, atau
masalah-masalah tak wajib yang tidak esensian bagi keimanan. Taklid buta dalam
soal-soal ini tercela, entah pengkajiannya berhasil ataut idak. Akan tetapi hal
ini, tidak berlaku dalam kasus-kasus di mana orang banyak menerima begitu saja
otoritas mereka yang ahli dalam berbagai cabang ilmu hukum. Dalam hal itu,
jawaban yang benar hanya dapat diberikan seorang faqih ahli. Karenanya,
masyarakat dapat memperoleh jawaban hanya dengan menerima otoritas orang lain.
Pun hal ini tidak berlaku dalam hubungannya dengan tafsir Al-Qur’an, studi
ahdis, sejarah, tata bahasa, linguistik, kedokteran, dan sebagainya. Sebab,
sekalipun seseorang mencari pengetahuan tentang sesuatu. Dia masih harus
menerima otoritas orang yang ahli dalam bidang-bidang tersebut. Namun demikian,
menerima otoritas begitu saja, pada hakikatnya tercela dan tidak bisa
diandalkan, dan menimbulkan akibat-akibat merusak. Tidakkah engkau melihat
bagaimana orang bodoh menjadi lebih keras kepala dalam masalah-masalah
agama lantaran taklid buta dalam soal-soal agamanya, sementara orang yang
akalnya sehat tidak mengalami nasib demikian. Wallahu a’lam.
Akan halnya bid’ah, banyak ayat Al-Qur’an dan
hadis memberi kesaksian atas dosa bid’ah. Mislanya, Allah Swt. berfirman
:”Bukanlah tanggung jawabmu mengurusi orang-orang yang memecah belah agamanya
dan menjadi bergolong-golongan.” (Qs. 6:160). Para mufasir ayat itu mencatat
bahwa inilah orang-orang yang cenderung memperturutkan hawa nafsu dan berbuat
bid’ah. Allah Swt. berfirman : “Mereka tidak berpecah belah melainkan
sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka.”
(Qs. 42:14). Dengan kata lain, orang-orang itu mengetahui bahwa mereka
berbuat keliru dengan menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta
membangkitkan permusuhan. Allah Swt. menyebut mereka sebagai “setan-setan
dari jenis manusia dan jin, yang menggunakan muslihat guna membuat
argumen-argumen mereka meyakinkan.” (Qs. 6:12). Muslihat di sini bermakna
retorika yang anggun dan berhiaskan keindahan. Masih banyak lagi ayat lain
seperti ini. Manakala Al-Qur’an berbicara tentang dosa memperturutkan hawa
nafsu dan dosa bersandar pada argumen-argumen kosong, serta melarang kedua hal
ini, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Barangsiapa
menambahkan pada agama kami sesuatu yang bukan berasal darinya, maka dia itu
durhaka.” Beliau juga bersabda : “Belumlah dikatakan beriman salah seorang di
antara kamu, kecuali bila berpegang teguh pada apa yang aku bawa.” Dan lagi,
“Mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) adalah jahat, dan setiap bid’ah
adalah sesat.” Dan Nabi Muhammad saw. juga bersabda : “Bani Israil pecah
menjadi tuuh puluh dua sekte, dan umatku akan pecah menjadi tujuh puluh tiga.
Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Orang-orang pun bertanya, “Apakah yagn
satu itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Yang mengikutiku dan mengikuti
Sahabat-sahabatku.” Versi lain berbunyi : “Tujuh puluh dua masuk neraka dan
satu masuk surga. Itulah Jamaah. Sungguh banyak orang bakal memisahkan diri
dari Jamaahku setelah ditipu oleh tingkah-laku ini. Mereka tidak akan selamat,
kecuali mereka bergabung dengan Jamaahku.”
26.
Seseorang berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Berilah aku
nasihat.” Lalu Ibn ‘Abbas menjawab : “Jadilah seorang pemeluk (Islam) yang
teguh, dan jangan menjadi ahli bid’ah.” Dan Ibn Mas’ud berkata, “Jika engkau
seorang penganut teguh, dan tidak mengada-adakan bid’ah, maka cukuplah sudah
engkau berbuat begitu.” Dia juga mengatakan, “Seseorang yang akan mengikuti
Sunnah Nabi, mesti bertindak seperti Sahabat-sahabat Muhammad Saw., sebab
merekalah umat terbaik, paling tulus hatinya, paling laim, dan paling rendah
hati. Allah memilih mereka sebagai Sahabat-sahabat Nabi-Nya dan untuk
menyebarkan agama-Nya. Karena itu, tirulah perilaku dan sifat-sifat khusus
mereka, sebab mereka beroleh petunjuk yang lurus.”
Syurayh berkata, “Sunnah Nabi lebih utama ketimbang
penalaran analogis. Ikutilah Sunnah dan jangan menjadi kaum ahli bid’ah serta
jangan menyimpang dari Sunnah yang telah engkau terima. Dan Sya’bil berkata,
“Jika engkau mengemukakan keberatan terhadap sikap tentang alam kematian,
engkau bakal menghancurkannya.” Seseorang bertanya kepada Malik tentang satu
masalah, dan Malik pun menjawab, “Rasulullah saw. berkata begini dan begitu.”
Lalu orang itu bertanya, “Apakah pendapatmu juga demikian?”. Malik menjawab,
“Hendaknya mereka yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Nabi berhati-hati
agar mereka tak berselisih, atau azab neraka menimpa mereka.” Dan Abu
Sufyan Al-Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah ketimbang keingkaran
terang-terangan. Sebab orang bisa bertobat dari keingkaran, tapi tidak bisa
bertobat dari bid’ah.”
Banyak ucapan dan hadis yang menyinggung hal ini.
Bid’ah bermakna usaha menambah-nambahkan pada, atau mengemukakan argumen
bertentangan dengan, kebenaran yang diajarkan Rasulullah saw., dengan mengklaim
bahwa bid’ah adalah jalan lurus dalam bidang fatwa berkenaan dengan benar atau
salahnya pengetahuan atau tindakan. Variasinya tak terhingga. Aku telah
menyebutkan beberapa saja di antaranya di sini, sebab tak ada gunanya
berpanjang-lebar tentang hal-hal itu. Akan tetapi, lewat contoh sejarah
kongkret, aku kemukakan berikut ini :
Allah Swt. mengutus Muhammad saw. sebagai Rasul
bagi segenap umat manusisa, dan sebagai pembimbing mereka menuju alam
kedamaian. Di zaman pra-Islam, hiduplah orang-orang jahil dan orang-orang jahat
sesat yang bersilang pendapat, dan bermacam-macam keinginan serta hasrat
mereka. Pikiran mereka mendorong pola perilaku mereka yang sembrono. Karena
pikiran mereka seperti itu, mereka hanya menyembah batu, matahari dan bulan.
Akan tetapi, Allah Swt. berlaku baik kepada mereka. Dan mengutus kepada mereka
seorang Rasul dari kalangan mereka. Rasul itu adalah orang paling utama, paling
baik di antara mereka, dan Allah memberinya sifat-sifat kesempurnaan dan akhlak
luhur. Allah menganugerahkannya karunia-karunia mulia dan berbagai perintah.
Dalam diri dan sifat-sifat Nabi dijumpai tanda
yang cemerlang dan kewibawaan luar biasa, sehingga api kesalahan pun padam
manakala cahaya Nabi terbit. Jejak-jejak kejahilan sebelumnya pun terhapus,
manakala jejak bekas-bekas jejak kakinya muncul, dan perselisihan pun berhenti.
Itulah saat penuh kerukunan dan kedamaian, ketika orang-orang seiman menjadi
bersaudara dan bersama-sama dalam mematuhi dan mentaati Tuhan Alama Semesta.
Mereka jual jiwa mereka kepada Zat yang memiliki dan membebaskan mereka. Mereka
puas hidup tanpa tujuan dan nilai duniawi ini. Mereka bahagia dalam ikrar
kesetiaan dan berkata, “Kami telah beroleh nikmat-nikmat tak terkira dan tak
terlukiskan nilainya.” Mereka menganggap persahabatand engan Rasul-Nya sebagai
kekayaan tak ternilai dan benteng pertahanan paling kuat. Karena kecintaan
mereka kepada Rasul-Nya, mereka jaga persahabatan mereka dengan segenap
kehidupan mereka. Kalbu mereka tertuju hanya kepadanya sehingga mereka lebih
mengutamakannya di atas segala sesuatu lainnya. Orang dewasa dan anak-anak
tunduk pasrah pada keridhaannya dan berikrar setia kepadanya, sekalipun harus
menanggung derita kematian, serta bersatu memuji dan memuliakan Nabi. “Sungguh,
orang-orang yang berikrar setia kepadamu sebenarnya berikrar setia kepada
Allah.” (Qs. 48:10). Itulah saat yang mulia, luhur, dan agung; dan aku tak
mampu berbicara lebih banyak lagi tentang kemuliaan dan keluhuran amal serta
keadaan spiritual mereka.
Semua yang kuktakan sejauh ini, ditegaskan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang mewariskan kepada kita agama orang-orang berakal dan
bijaksana. Singkat kata, mereka bersatu-kata dalam beribadah kepada Tuhan
mereka, serta bersatu-padu dalam mencari pertolongan dan pembelaan pada kalam
Allah Swt. Sebab Allah Swt. mempersatukan mereka dalam keaptuhan pada satu
hukum agama, agar mereka saling mengenal satu sama lain melalui ketaatan
bersama kepada hukum itu, dan agar mereka menjadi seperti satu diri. Allah Swt.
berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.” (Qs. 49:10). Dan
juga, “Orang-orang mukmin – laki-laki dan perempuan – adalah pelindung satu
sama lain.” (Qs. 9:71). Karena itu, Nabi saw. mewajibkan bersatu padu dan
melarang keingkaran. Sebuah hadis sahih mengatakan, “Manakala seseorang
menyaksikan pemimpinnya melakukan sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah dia
bersabar; sebab barangsiapa memisahkan diri barang sejengkal pun dari jamaah,
dan mati dalam keadaan itu, maka ia mati jahiliyah.”
Di akhir sebuah hadis panjang Nabi saw.
bersabda :”Aku memerintahkan kepadamu lima hal, yang juga diperintahkan
kepadaku oleh Tuhanku : Bersatu, penuh perhatian, berhijrah, serta berjuang di
Jalan Allah. Barangsiapa meninggalkan Jamaah walau barang sejengkal pun, maka
dia telah melepaskan diri dari Islam, kecuali dia kembali lagi. Dan barangsiapa
menganut keyakinan jahiliyah, maka dia termasuk ahli neraka.” Yang
dimaksdu Beliau dengan “melepaskan diri dari Islam” adalah memutuskan ikatan
Islam, meninggalkan Sunnah Nabi, dan mengikuti bid’ah.
Sya’bi berkata : “Beberapa orang dari kufah pergi
ke padang pasir untuk membaktikan diri beribadah kepada Allah. Mereka
memutuskan membangun sebuah masjid, dan kemudian mendirikan sebuah bangunan.
Ketika Ibn Mas’ud datang mengunjungi mereka, mereka berkata : “Salam atasmu,
Wahai ‘Abd Al-Rahman. Kami sangat gembira engkau datang mengunjungi kami.’ Dia
menjawab, ‘Aku datang bukan untuk berkunjung. Aku akan pergi setelah masjid di
padang pasir ini dirobohkan. Kalian bertindak tidak sesuai dengan petunjuk Sahabat-sahabat
Muhammad saw. Tidakkah kalian mengerti bahwa jika orang lain juga melakukan apa
yang kalian lakukan ini, maka tak bakal ada seorang pun yang memerangi musuh,
menganjurkan kebaikan, dan melarang kejahatan, atau menegakkan hukum?
Kembalilah. Belajarlah dari orang-orang yang lebih tahu darimu, dan ajarilah
orang-orang yagn lebih tidak tahu darimu.’ Dengan kata-kata ini, begitu dia
berhasil meyakinkan mereka, dia baru pergi setelah kami merobohkan bangunan
mereka dan membawa kembali orang-orang itu.”
Setelah Allah Swt. mengangkat Nabi-Nya, Muhammad
saw. ke haribaan-Nya, sesuai dengan keridhaan-Nya, dan menganugerahinya rahmat
dan kebaikan paling utama, Dia megangkat Khulafa’ Al-Rasyidin
(Khalifah-khalifah Terbimbing Lurus) sebagai pengganti Nabi saw. untuk
mendamaikan dan menunjukkan jalan lurus dan benar. Mereka mengikuti dan
mempertahankan agama Nabi dan Sunnahnya, serta menebarkan cahaya-cahayanya yang
terang serta tanda-tandanya yang cemerlang. Keadaan ini terus berlangsung
selama kehidupan mereka, sampai Allah memanggil mereka ke hadirat-Nya. Akan
tetapi, ketika zaman penuh kemuliaan dan keadilan mengalami kemunduruan, dan
zaman kebaikan serta kemurnian telah lewat, maka, bersamaan dengan itu,
padamlah cahaya-cahaya keyakinan dan keimanan.
28.
Lantas sifat-sifat “jiwa rendah (nafsu) yang
sellau menyuruh kepada kejahatan” (Qs. 12:53) makin bertambah kuat dan
merajalela. Hawa nafsu dan bid’ah bangkit; persatuan dalam agama tergadaikan;
sengketa dan perpecahan pun muncul, sehingga setiap golongan dan daerah
memiliki mazhab sendiri. Orang sibuk dengan bid’ah, dan terjerumus di bawah
cengkeraman kekafiran dan kesesatan. Mereka tidak lagi menempuh jalan; hubungan
pun terputus, orang saling memusuhi satu sama lain dalam kebencian, kedengkian
dan dendam. Skandal ini bahkan melewati batas dan menumpahkan darah. Dan
hal-hal buruk ini menyebabkan sebagian orang membuang cara berpakaian sopan,
dan menampilkan diri dengan cara tidak senonoh. Mereka menukar agama mereka
untuk membeli sesuatu yang tak berharga serta mengundang murka Allah, yang
kepada-Nya mereka bakal kembali.
Proses ini berlangsung hingga zaman kita, sehingga
kita pun mereguk minuman dari cangkir yagn sama. “Sesungguhnya kami adalah
milik Allah, dan kepada Allah pula kami bakal kembali.” (Qs. 2:156). Nabi kita,
Muhammad saw. diriwayatkan mengatakan : “Akulah pelindung bagi
Sahabat-sahabatku. Akan tetapi, bila aku tiada, Sahabat-sahabatku akan
menunaikan misi mereka dan menajdi pelindung bagi umatku. Karena itu, setelah
aku wafat, umatku harus melaksanakan apa yang mereka putuskan.” Beliau juga
mengatakan hal-hal seperti itu. Dan inilah saat-saat penuh perselisihan dan
perpecahan yagn dilukiskan Nabi Muhammad saw. Beliau memerintahkan agar menarik
diri dari masyarakat pada saat-saat seperti itu.
Di sini aku akan mengutip beberapa riwayat tentang
perpecahan yagn berkaitan dengan berbagai cobaan dan godaan, dengan menggunakan
hadis-hadis Nabi serta dengan mengingat mukjizat yang benar-benar menakjubkan
(Al-Qur’an), berikut peringatan-peringatannya tentang segala kejadian yang
hingga kini belum terungkapkan. Rasulullah saw. bersabda : “Bagaimanakah
keadaan kalian semua pada saat itu ketika orang disaring seperti dalam
saringan, sehingga yang tertinggal hanya ampas manusia, yang sumpah serapah dan
ikrar setianya campur aduk tak karuan, ketika orang merasa asing satu sama lain
dan mengjadi begitu?” – lalu beliau membuhulkan rapat-rapat jari-jemarinya.
Mereka bertanya : “Akan bagaimana kami, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab :
“Kalian akan berbpegan teguh pada apa yagn kalian setujui, dan mencampakkan apa
yang tidak kalian setujui. Kalian akan memperhatikan hanya apa yang berkaitan
dengan sebagian kecil dari kalian, dan mengabaikan kepentingan sebagian besar
orang.” Dan dalam sebuah hadis dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Nabi saw.
bersabda : “Apa yang akan kalian lakukan manakala perpecahan menimpamu, supaya
tindakan kalian didukung sebagian kecil orang dan diabaikan sebagian besar
orang, dan manakala sebagian Sunnah Nabi dibiarkan tak dijalankan, maka akan
dikatakan bahwa seluruhnya telah ditinggalkan?” Mereka bertanya : “Kapan hal
itu akan terjadi, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Ketika para pembaca
Al-Qur’an di antaramu berjumlah banyak, tapi jumlah ulama di antaramu sedikit;
ketika jumlah pemimpinmu banyak, tapi jumlah orang mukmin di antaramu sedikit,
dan ketika dunia ini mencari-cari amalan-amalan ukhrawi namun hanya dipenuhi
selain Allah.” ‘Abd Allah ibn Mas’ud menambahkan, “Dan kita sudah sampai pada
hal itu.”
29.
Mengomentari firman Allah Swt, “Jagalah (engkau
bertanggung jawab atas) dirimu” (Qs.5:105), Nabi saw. bersabda : “Perintahkan
kebaikan dan laranglah kejahatan; tetapi manakala kalian melihat keserakahan
dan hawa nafsu menguasai, dan dunia ini lebih disikuai; serta manakala kalian
melihat setiap orang alim kagum dengan pendpatnya sendiri, maka jagalah dirimu,
dan tinggalkan orang banyak. Sebab, sesungguhnya hari-hari kesabaran pasti akan
datang. Lalu, kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Seseorang yagn
bertindak benar pada hari-hari itu akan menerima ganjaran lima puluh orang yagn
ebruat seperti dia.” Seseorang berkata : “Ya Rasulullah, ganjaran lima puluh
orang di antara mereka?” Beliau menjawab : “Ya, ganjaran lima puluh orang di
antara kalian.” Dan beliau juga bersabda : “Berbuatlah kebaikan, sebelum
perselisihan datang laksana kepekatan malam gelap, kala orang akan bangun di
pagi hari dalam keadaan beriman, dan di sore hari menajdi kafir, atau di sore
hari beriman, dan bangun di pagi hari dalam keadaan kafir, karena menukar
agamanya dengan dunia ini. Al-Hasan berkata : “Ini berarti bahwa dia mengawali
harinya dengan menghormati kehidupan dan harta saudaranya, dan mengakhiri
harinya dengan memandangnya sebagai mangsa empuk.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Kalian hidup di
suatu zaman, manakala seseorang mengabaikan sepersepuluh kewajibannya, dia
bakal binasa; tapi akan datang suatu zaman, manakala seseorang menunaikan
sepersepuluh kewajibannya, dia bakal selamat. Sungguh, hari-hari kesabaran akan
datang, ketika kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Mengerjakan
amal-amal ibadah sederhana pada zaman penuh kehancuran, itu sama bermanfaatnya
dengan datang kepadaku sebagai orang-orang yang berhijrah. Ibn Adi berkata :
“Kami pergi mengunjungi Anas ibn Malik, dan mengadu kepadanya bahwa kami tak
pernah bertemu dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Lalu dia
berkata, ‘Di antara orang banyak itu, ada seorang yang lebih jahat ketimbang
yang lainnya, sampai engkau datang menemui Tuhanmu. Aku mendengar ini dari
Rasulullah saw.
Diaktakan oleh riwayat dari Hudzayfah, “Rasulullah
saw. menuturkan dua buah hadis kepada kami. Salah satunya, kulihat, telah
terbukti kebenarannya. Dan satunya lagi, sedang kutunggu. Beliau menuturkan keapda
kami bagaimana dapat dipercaya sifat amanah turun masuk ke dalam kalbu manusia.
Lalu Al-Qur’an diwahyukan, sehingga mereka membaca Al-Qur’an dan bertindak
sesuai dengan Sunnah Nabi. Kemudian beliau menuturkan kepada kami bagaimana
situasi itu menjadi memburuk. Sifat dapat dipercaya dicabut ketika seseeorang
sedang tidur; lalu dia bangun dan mendapati sifat itu telah diambil dari
kalbunya. Bekas-bekasnya laksana kudis dan luka melepuh akibat bara api di
kakimu. Dilihantya luka bengkak, tapi tak ada sesuatu pun di dalamnya. Sifat
itu sudah sangat berkurang, sehingga akan dikatakan bahwa di kalangan suku anu
ada seseorang yagn dapat dipercaya. Aku telah meliaht zaman ketika aku tidak
ambil peduli pada hal yagn aku berurusan denganmu; sebab jika dia seorang Muslim,
maka Islamnya bakal menuntun dia berlaku adil kepadaku, kalau tidak, penguasa
akan memaksanya berlaku demikian. Akan tetapi, aku tak membeli sesuatu pun
darimu kecuali anu dan anu.”
Versi lain dari sabda ini diriwayatkan demikian :
“Seseorang tidur sebentar dan sifat dapat dipercaya akan dihilangkan dari
kalbunya, sehingga hanya bekas-bekasnya saja yang tertinggal. Kemudian dia akan
tidur lagi, dan lagi-lagi sifat dapat dipercaya bakal diambil dengan
meninggalkan tanda seperti luka melepuh akibat bara api mengenai kakimu. Bara
api meninggalkan luka melepuh, tapi akan engkau lihat bahwa luka melepuh itu
berangsur-angsur bakal hilang sampai tak tersisa sedikit pun. Orang akan bangun
di pagi hari dan saling berurusan satu sama lain, tapi nyaris tak ada di antara
mereka hidup sesuai dengan kejujuran. Dan orang akan dikatakan betapa cerdas
dan pandai dia. Akan tetapi, dalam kalbunya tak ada seberat biji sawi pun
kejujuran.
Haids lainnya mengatakan : “Orang biasa bertanya
kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan; tetapi aku (Hudzayfah) bertanya kepada
beliau tentang kejahatan, lantaran aku takut kalau-kalau hal itu menipuku.
Karena itu, aku berkata : “Ya Rasulullah, kita pernah hidup di zaman jahiliyah
dan kejahatan, lalu Allah memberi kita zaman penuh kebaikan ini. Akankah
kejahatan mengikuti kebaikan?” Beliau menjawab : “Ya. Lalu aku bertanya,
‘Apakah akan ada kebaikan setelah kejahatan itu?’ Belaiu menjawab : “Ya, tapi
akana da kabut asap di dalamnya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kabut asap itu?’
Beliau menjawab, ‘Orang akan mengikuti jalan hidup yang bukan jalan hidupku,
dan memberi petunjuk yang bukan petunjukku, sehingga kamu akan emngetahui
sebagian kebaikan dan sebagian kejahatan di dalamnya.’ Aku bertanya lagi, ‘Dan
setelah kebaikan, akankah ada kejahatan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, Orang akan
berdiri di gerbang neraka menyeru-nyeru; dan mereka bakal melemparkan ke dalam
neraka siapa saja yang menjawab seruannya.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah,
gambarkan sosok orang itu kepada kami.’ Beliau menjawab, “Mereka itu
orang-orang setanah air dengan kita, dan mereka berbicara dengan bahasa kita
pula.’ Lalu aku bertanya, ‘Nasihat apa yang bisa engkau berikan kepadaku bila
aku sempat hidup mengalami zaman itu?’ Beliau menjawab, “Ikutilah Jamaah kaum
Muslim dan pemimpinnya.’ ‘Tapi bagaimana bila mereka tidak memiliki jamaah dan
pemimpin?’ Aku bertanya. Belia menjawab. “Kalau memang begitu, hendaknya kamu
memisahkan diri dari golongan orang seperti itu, sekalipun untuk itu kamu harus
berpegang erat pada akar pohon sampai kamu mati.”
Dari Usamah ibn Zayd, kita dapatkan riwayat ini :
“Rasulullah saw. melihat ke bawah dari salah sebuah benteng di Madinah dan
bertanya, ‘Apakah engkau melihat apa yang aku lihat?’ Mereka menjawab. ‘Tidak.’
Lalu berliau berkata, ‘Aku melihat pertikaian di antara rumah-rumahmu, seperti
hujan deras turun.” Ucapan lainnya berbunyi, “Percayalah kepadaku, bakal ada
pertikaian, dan orang yang duduk lebih baik ketimbang orang yang berdiri, dan
orang yang berdiri akan lebih baik ketimbang orang yang berjalan, dan orang
yang berjalan lebih baik ketimbang orang yang berlari. Orang yagn melihat
perselisihan akan terpikat. Karena itu, orang yang bisa mencari temepat
perlindungan hendaknya berlindung di dalamnya.” Beliau juga berakta,
“Tidak lama lagi milik terbaik seorang Muslim adalah domba yang dia gembalakan
ke puncak gunung dan tempat-tempat turun hujan, ketika itu dia akan lari dari
perselisihan dan membawa serta agamanya.”
Perhatikan hal ini berikut apa yang telah aku
kutip dari Ibn Mas’ud mengenai orang-orang yang memisahkan diri, dan perbedaan
antara berbagai zaman pun akan nampak di matamu. Ibn Mas’ud mengatakan bahwa di
zamannya “kejelasan telah lenyap dari dunia ini, dan hanya kekaburan dan
keburaman saja yang tersisa, sehingga dewasa ini kematian menjadi anugerah bagi
setiap Muslim.” Masih ada banyak lagi hadis tentang perpecahan.
Salah satu hadis itu bercerita bagaimana “akan
datang suatu zaman ketika orang bakal tersesat dalam agama mereka, tapi mereka
tidak menyadarinya. Orang akan bangun pagi sebagai orang religius, dan
mengakhiri harinya tanpa mengetahui apa itu agama. Di zaman itu,
kecerdasan banyak orang akan diambil. Yang pertama kali diambil adalah
kerendahan hati, lalu keimanan,dan kemudian ketakwaan kepada Allah.” Seseorang
bertanya kepada Ibn Al-Mubarak apakah keadilan bakal terwujud setelah duaratus
tahun. Ibn Al-Mubarak menjawab, “Aku tengah membicarakan hal itu bersama Shamad
ibn Sulmah. Dia jadi gelisah serta berkata, “Jika engkau bisa sebelum duaratus
tahun itu, lakukanlah! Sebab pada zaman itu bakal muncul pangeran-pangeran
lancung, menteri-menteri zalim, orang-orang istana tak setia, dan
pembaca-pembaca Al-Qur’an jahat, yang pembicaraan mereka tercela dan yang oleh
Allah dipandang sebagai orang-orang berbau busuk.”
Nah, jika semuanya aitu memang begitu di zaman
mereka, tidakkah engkau peraya bahwa dewasa ini demikian juga keadaannya? Di
zaman-zaman ini, orang pandai mesti minta nasihat pada dirinya sendiri dan
menghindari anak-anak suku bangsanya. Dia mesti memenukan sabahat sejati dan teguh
yang menempuh jalan kemajuan yang jelas, dan yang meriwayatkan hadis-hadis
dengan benarserta mengikuti cara hidup Nabi. Sebab Allah Swt. mewajibkan pada
zaman mana pun untuk mempertahankan agama (Islam) dan melawan kaum ahli bid’ah.
Allah Swt. membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan akan kebenaran-Nya
dan dengan demikian membimbing mereka di sepanjang Jalan-Nya.
31.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Golongan yang
meninggalkan jamaahku, berada dalam kesesatan, dan tak seorang pun yang
menetang Jamaahku bakal merugikannya kecuali bila Allah mengizinkannya.”
Berbicara tentang pengetahuan dan ulama, ‘Ali – semoga Allah meridhainya –
berkata di akhir sebuah hadis yagn diriwayatkan dari Kumail ibn Ziyad
Al-Thawi, “Ya Allah, jangan biarkan bumi ini kosong dari seseorang yang pernuh
perhatian pada hujah-Mu di muka bumi, entah hujah itu nampak dan dikenal atau
tersembunyi dan tak dikenal, agar hujah dan bukti Allah tidak hilang. Di mana
orang-orang seperti ini, dan berapa banyak jumlahnya? Jumlah mereka sedikit, ,
tetapi kekuatan mereka besar. Allah menjaga hujah-hujah-Nya, sampai orang-orang
yang merenungkannya mengenalinya dan mematrikan citranya dalam kalbu-kalbu
mereka. Lalu dia menuntun mereka menuju pengetahuan tentang Kebenaran Mistik
dalam agama, sehingga mereka mengikuti ruh keyakinan. Merekan memandang ringan
apa saja yagn dianggap sukar oleh orang-orang yang hidup dalam kemewahan, dan
mereka kenal betul apa yang orang-orang jahil terasing darinya. Di dunia ini,
mereka hidup dalam raganya, tapi jiwa mereka asyik dengan alam tertinggi.
Inilah khalifah-khalifah Allh di muka bumi, yang menyeru manusia kepada
agama-Nya dengan mengatakan ‘Lihat ke sini! Lihat ke sini!’ dengan harapan
bahwa mereka akan melihat. Wahai Kumail, aku memohon ampunan Allah untuk kita
berdua.” Dan akhirnya ‘Ali berkata, “Dan sekalipun orang-orang seperti ini
terus berkurang jumlahnya, sampai hanya tinggal seorang, maka yang seorang itu
pun akan merupakan Jamaah,”
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn
Al-Mubarak tentang apa yang diperlukan untuk membentuk majelis jamaah. Dia
menjawab, “Abu Bakar dan ‘Umar,” orang itu berkata, “Tapi Abu Bakar dan ‘Umar
sudah meninggal.” “Kalau begitu, maka si anu dan si anu,” katanya. Orang itu
lalu berkata, “Tapi mereka juga sudah meninggal.” Kemudian, dia berkata, “Abu
Hamzah Al-Sukri adaah majelis jamaah.” Ketika menjelaskan makna istilah majelis
atau jamaah, Sufyan Al-Tsauri berkata, “Jika di atas puncak gunung ada seorang
bijak bestari, maka dia adalah jamaah.” Ia membenarkan apa yagn telah aku
katakan.
Akan tetapi, aku telah melantur. Karena itu,
baiklah aku kembali pada pokok bahasanku. Segala sesuatu yang aku bicarakan
dalam surat ini mengacu kepada salah satu jenis bid’ah. Apa pun sebab-sebabnya,
bid;ah menimbulkan perselisihan, kontroversi, skisme, dan perpecahan. Hal-hal
seperti ini terjadi di kalangan orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan
sia-sia yang timbul akibat fanatisme mereka yang bersifat memecah belah. Mereka
mengetahui mana yang penipu dan mana orang yang berbicara beanr. Marilah kita
analisis masalah ini lebih jauh. Perpecahan, di antara para penipu, timbul
karena hasrat destruktif dan bujuk rayu setan. Penyebab perpecahan di
kalangan orang-orang beriman adalah ketaatan mereka kepada syarat-syarat
keimanan dan perintah-perintah yang mesti diikuti oleh kaum Muslimin. Akan
tetapi, di antara orang-orang beriman, terjadi penggolongan lantaran
sebab-sebab yang berbeda, seperti misalnya dalam kasus perselisihan kaum sufi
dan para faqih (ahli hukum Islam) atas masalah-masalah hukum dan
prinsip-prinsip Hukum Wahyu. Hanya saja, perbedaan pendapat di kalangan mereka
tentang masalah-masalah itu, adalah rahmat; sebab Allah karena rahmat-Nya,
tidak ingin memaksa kita dalam praktik keimanan.
Perselisihan jenis terakhir ini terjadi juga di
antara kelompok mulia sufi, tapi tidak mengandung rasa permusuhan dan
kebencian. Sebab mereka semua mencari kebenaran dan menempuh jaan ketulusan.
‘Awn ibn ‘Abd Allah berkata, ‘Sungguh indah ketika Sahabat-sahabat Nabi
Muhammad saw. tidak merasa asing satu sama lain, sehingga manakala mereka
bersatu kata tentang sesuatu dan seseorang memisahkan diri dari sikap mereka,
maka berarti dia telah meninggalkan Sunnah Nabi. Namun jika mereka mengemukakan
berbagai pendapat, dan seseorang mengikuti salah satu pendapat mereka, maka
orang itu tetap mengikuti Sunnah Nabi.” Rahasia dari hal itu adalah, seperti
telah aku katakan, bahwa persoalannya, terletak pada keadaan mengikuti pendapat
yang mungkin, bukannya memaksakan kesamaan.
32.
Hal serupa juga bisa dikatakan tentang perbedaan
pendapat di kalangan orang-orang yang mengerti masalah-masalah esoteris atau
batiniah yang berkaitan dengan kemajuan kalbu dan kedudukan pencinta dan yang
dicicntai. Ini sepenuhnya merupakan kontroversi berkenaan dengan hubungan antara
Kebenaran Mistik dan variasi keadaan spiritual serta tingkat kepekaan individu.
Masing-masing pendapat itu menyuarakan pengalaman mistik yang terjadi dalam
konteks kapasitas tertentu seseorang. Kemampuan untuk melihat mana orang yang
mengatakan kebenaran dan mana orang yang berkata dusta, sangat sulit dipahami.
Orang yang menginginkan hal itu haruslah melipatgandakan usahanya untuk
mematuhi aturan-aturan praktik keagamaan dan usahanya meneliti kehidupan dan
hadis-hadis Nabi, agar memahami semuanya itu dalam kalbunya dan agar tidak
taklid buta, dengan cara mencari keberhasilan dan penegasan dari Tuhannya.
Sebelumnya aku telah memperingatkanmu agar
hati-hati terhadap orang-orang yang mengamalkan bid’ah yang bertalian dengan
rukun iman, ilmu lahiriah dan batiniah, dan tindakan yang sama sekali
bertentangan dengan Sunnah Nabi. Sesungguhnya, hal itu mencakup semua jenis
bid’ah pada akhirnya. Salah seorang ulama mengatakan, “Bersahabat dengan ahli
bid’ah pada akhirnya menghilangkan cahaya kalbu dan perbuatan baik, sehingga
dibenci oleh Allah dan jauh dari-Nya.” Sahl ibn ‘Abd Allah berkata,
“Barangsiapa memperlakukan ahli bid’ah dengan lemah lembut, berarti dia merusak
Indahnya Jalan Nabi; dan barangsiapa memberikan senyuman kepada seorang ahli
bid’ah, berarti dia kehilangan cahaya iman dalam kalbunya.” Dan salah seorang
ulama berkata, “Tobat dari bid’ah tidak membawa keberhasilan; sebab sekalipun
seseorang kemudian menemukan sebagian Kebenaran, dia masih belum mengecap
Kebenaran Mistik.
Selain bid’ah dalam pengetahuan dan tindakan, yang
banyak sekali jumlahnya, yang aku sebutkan dalam uraianku tentang bid’ah, masih
ada lagi lainnya. Yang meliputi kebenaran, berlebih-lebihan, pemborosan, kearas
kepala – yang kesemuanya itu tercela dan sama sekali bukan bagian dari Sunnah
Nabi. Setelah engkau mencerna apa yang telah aku bicarakan, engkau akan
mengerti bahwa satu-satunya golongan yagn berhasil mengikuti Sunnah Nabi adalah
golongan sufi ini, paling tidak sebelum diperkenalkannya hal-hal baru di
kalangan mereka dalam waktu-waktu belakangan ini. Perhatian utama kaum sufi
adalah hal-hal yagn tidak ada dalam diri orang-orang yang terombang-ambing
dalam kesesatan, yakni berjuang melawan jiwa rendah agar tercegah dari
mengikuti hawa nafsu, dan membebaskan diri sepenuhnya dari dunia ini. Tujuan
mereka adalah memusatkan kalbu pada Tuhan dan tenggelam dalam pengalaman dan
kedekatan dengan-Nya.
Tujuan itu meliputis emua kewajiban agama,
peringkat (maqam) orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) dan
keyakinan, serta keadaan spiritual mereka vis a vis Sunnah Nabi. Peringkat
mulia mereka diperoleh mereka karena mereka memegang teguh perilaku yang
ditetapkan Hukum Wahyu. Tak ada seorang adil pun yang bisa mencurigai
bahwa mereka tidak lagi menaati Sunnah Nabi sebagai tujuan paling mulia mereka.
Dan meskipun demikian, mereka dihukum lantaran hal itu, padahal sesungguhnya
mereka itulah yang disebut-sebut Nabi Muhammad saw. ketika abeliau berkata,
“Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai beberapa orang hamba yang menjadi kurus dan yang
oleh Allah Swt. dijadidkan sehat dengan rahmat-Nya serta disejahterakan
oleh-Nya. Dan manakala meninggal dunia, Dia memasukan mereka ke dalam
surga-Nya. Mereka itulah orang-orang yang berbagai perselisihan menimpa mereka
seperti kegelapan malam, namun mereka selamat.
33.
Abu Al-Qasim Al-Junayd, tokoh dan pemimpin kaum
sufi, berkata, “Semua jalan tertutup bagi makhluk-makhluk Allah, kecuali bagi
mereka yang mengikuti jejak Rasulullah saw. “ Katanya juga, “Seseorang yang
tidak hafal Al-Qur’an dan tidak tahu hadis, tidak bisa diikuti, sebab segenap
pengetahuan kita termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi.” Selanjutnya dia
mengatakan, “Pengetahuan kita ini berdasarkan pada enam hal : Kitab Allah,
Sunnah Rasul-Nya, makan-makanan halal, menahan diri dari menyakiti roang lain dan
menghindari dosa-dosa, tobat dan mengupayakan keadilan.” Abu ‘Utsman Al-Hirri
berkata, “Barangsiapa menjadikan Sunnah Nabi sebagai penguasa atas dirinya
dalam kata-kata dan perbuatan, maka dia telah berbicara dengan hikmah;
barangsiapa membiarkan hawa nafsu menguasai dirinya, maka dia berbicara sebagai
ahli bid’ah.” Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
beroleh petunjuk....” (Qs. 24:54). Ibn ‘Atha’ berkata, “Manakala seseorang
mengikuti Sunnah Nabi, Allah menerangi kalbunya dengan cahaya makrifat.”
Tak ada kedudukan yang lebih mulia daripada
mengikuti Sang Tercinta (Allah Swt), Nabi Muhammad saw. dalam berbagai
perintah, tindakan dan kepribadian. Abu Hamzah Al-Baghdadi mengatakan,
“Seseorang yang mengetahui Jalan Allah, tidak mendapat kesulitan mengikutinya.
Dan satu-satunya pemandu menuju Jalan Allah adalah mengikuti Rasulullah dalam
berbagai tindakan, keadaan spiritual dan kata-katanya.” Abu Bakar Al-Thamastani
berkata, “Barangsiapa menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi sebagai
sahabat-sahabatnya, dan meninggalkan jiwa rendahnya serta dunia makhluk, dengan
melakukan Hijrah menuju Allah dalam kalbunya, maka dia adalah orang yang lurus
dan adil.” Dan Abu Al-Qasim Al-Nashrabadzi mengatakan, “Prinsip-prinsip dasar
tasawuf adalah mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Nabi, meninggalkan bid’ah,
menghargai tinggi-tinggi kritik dan kecemasan guru-guru spiritual, melihat
berbagai muslihat dunia ini, sabar dalam melaksanakan kebaktian-kebaktian
spiritual dan meninggalkan pencarian kemewahan dan berbagai penafsiran
sisa-sia.”
Abu Yazid Al-Bisthami berkata kepada salah seorang
sahabatnya, “Mari kita pergi melihat orang ini yang telah mengukir reputasi
kewalian. “Orang yang disebut-sebutnya ini terkenal karena kezuhudannya. Dia
melanjutkan kisahnya : “Lalu kami pun pergi. Ketika orang itu keluar dari
rumahnya, dia masuk masjid dan meludah ke arah mihrab. Abu Yazid memalingkan
muka tanpa menguapkan salam pada orang itu, dan berkata, “Ini bukan gambaran
perilaku Nabi saw. Bagaimana bisa orang ini menjadi contoh dalam apa yang dia
mohonkan?” Abu Yazid juga mengatakan, “Aku bermaksud memohon kepada Tuhanku,
Allah Swt. agar menghilangkan keinginanku pada makanan dan pada wanita. Tapi
kemudian aku berkata pada diriku sendiri, “Bagaimana mungkin memohon hal ini
kepada Allah, seemntara Rasulullah saw. tidak melakukan hal demikian?” karena
itu, aku tidak memohonnya. Kemudian aku tidak lagi peduli apakah aku melihat
wanita atau tembok!”
Ja’far ibn Nashayr bertanya keada Bakran
Al-Dinawari, hamba sahaya Al-Sybli, “Bagaimana pendaptmu tenetang Al-Sybli?”
Bakran berkata, “Dia pernah ebrcerita kepadaku, ‘Aku pernah memperoleh satu
dirham secara tak jujur, lalu aku menyedekahkannya atas nama pemiliknya; tapi
hatiku tak pernah mengalami kebingungan melebihi saat itu.’ Lalu, dia
memerintahku untuk melakukan wudlu’ baginya. Aku melakukannya, tapi aku lupa
menyisir jenggotnya. Dia tak bisa berbicara, lalu memegang tanganku dan
menelusurkan tanganku itu ke jenggotnya. Kemudian dia meninggal.” Ja’far
meenangis dan berkata, “Apa katamu tentang seseorang yagn dalam hidupnya tak
pernah diingatkan akan perilaku yang ditetapkan oleh Hukum Wahyu?”
34.
Masih banyak lagi kisah lain seperti itu tentang
kaum sufi. Aku cukup menyebutkan beberapa di antaranya. Semoga dengan
kisah-kisah itu, Allah menjadikan kita bisa mengambil manfaat dan berkahnya,
serta mengumpulkan kita dalam barisan mereka, dan menjadikan kita mampu
menempuh jalan mereka. Seseorang yang menmpuh jalan mereka, dan lebih menyukai
jalan mereka ketimbang jalan para faqih, akan menyusul mereka dan berjalan
selaras dengan mereka dalam ajaran dan pemikiran. Wallahu a’lam.
Kemudian, inilah yang ingin aku katakan tentang
taklid buta dan bid’ah. Belum kutemukan seorang ulama yang menyebutkan
batasannya, tetapi aku telah membuat kesimpulan-kesimpulan dari makna yang
dimaksud dan generasi-generasi tersiratnya. Barangkali, apa yang kukatakan ini
bisa diterima akal, tapi hanya Allah Swt sajaah yang menganugerahkan
keberhasilan melalui kebaikan dan kemurahan-Nya.
Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri surat ini
dengan kutipan dari seorang pemimpin agama terkemuka, Al-Hasan ibn Al-Hasan
Al-Bashri, semoga Allah meridhainya. Dia mengajak kita untuk memperhatikan cara
lama dan terlupakan, yaitu cara memperoleh keberhasilan, yang mesti dipelajari
oleh orang yang memiliki niat luhur. Kupikir, dengan cara begini aku bisa
meringkaskan apa yang telah aku bicarakan, dan mengakhiri tujuanku.
Mengomentari firman Allah Swt, “Sungguh dalam diri
Rasulullah ada teladan mulia bagimu.” (Qs. 33:21), Hasan, semoga Allah
meridhainya, berkata :
Allah memilih Muhammad saw. untuk menerima
pengetahuan, dan menurunkan Kitab-Nya kepadanya, serta mengutusnya sebagai
Rasul bagi kaumya. Lalu memberikan tempat kepada Nabi di dunia ini agar
orang-orang di dunia ini melihatnya. Dia juga memberinya kekuasaan di dunia.
Lalu Dia berfirman, “Sungguh, dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu.”
Tapi, demi Allah, orang-orang dalam kabilahnya melecehkan teladan itu. Maka
Allah pun menjauhkan mereka dari-Nya. Keselamatan, keselematan! Wahyu, Wahyu!.
Dengan itulah engkau bakal bangkit! Di dalamnya engkau akan bahagia! Ikatan
dunia ini diputuskan darimu, dan pintu-pintunya pun tertutup bagimu.
Seolah-olah engkau adalah iring-iringan penunggang kuda yang sedang berhenti –
seruan salah seorang darimu itu sendiri adalah jawabannya. Kondisi dunia ini
bergantung kepada ikrar Rasulullah saw. tapi engkau menerjunkan diri ke dalam
dosa dunia ini, karena itu, demi Allah, segala yang kita ketahui tentang apa
yang tersisa, adalah perhitungan akhir.
Ketika Allah Swt mengutus Nabi-Nya, Dia
mengatakan, “Inilah seorang Nabi, inilah kesayangan-Ku. Ikutilah teladan dan
Jalannya. “Di hadapan Nabi tak ada pintu terkunci; di ahdapan dia, tak seorang
penjaga pintu pun yang bangkit berdiri. Nabi tidak makan pagi dengan mangkok,
pun tidak tinggal diam. Tapi dia senantiasa pergi ke luar. Siapa saja yang
ingin menemui Rasulullah saw. pasti menemuinya. Dia duduk di tanah, dan
meletakkan makannya di tanah, serta mengenakan pakaian kasar. Dia menunggang keledai,
dan menjilati tangannya. Dan Nabi pun bersabda, “Barangsiapa memandang hina
Sunnahku, maka dia bukan golonganku.”
Banyak orang yang menghindari Sunnahnya dan
memisahkan diri darinya. Kaum kafir! Kaum pendosa! Makanan mereka adalah riba
dan dendam. Tuhanku telah menyatakan mereka sebagai orang-orang bodoh, dan
menghinakan mereka. Mereka menyatakan bahwa tak ada sesuatu yagn salah
berkenaan dengan cara mereka makan, minum, dan menghias diri. Mereka memaknai
firman Allah Swt menurut diri mereka sendiri. “Katakanlah; Siapa yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik yang disediakan oleh-Nya?” (Qs. 7 : 32).
Akan tetapi, hal-hal seperti ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat setan, dan
setan menjadikan hal-hal itu sebagai tempat bermain perutnya dan sistem
pencernaannya.
35.
Para sahabat Rasulullah saw. bertindak sesuai
dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad saw. Mereka mengamalka apa
yang mereka dakwahkan, dan mendakwahkan apa yang mereka amalkan. Ketika malam
tiba, mereka berdiri dan menutupi wajah mereka. Air mata mengalir di pipi.
Mereka menginginkan adanya kebebasan bagi budak-budak mereka. Manakala sebagian
kebaikan ini ditawarkan kepada mereka atau disediakan buat mereka, mereka
mengambilnya sebanyak yang mereka perlukan dan menyisakan kelebihannya untuk
kehidupan mendatang. Mereka bersyukur kepada Tuhan aatas hal itu, dan menjual
jiwa mereka demi kebaikan. Dan manakala hal-hal yang baik itu diambil dari
mereka, mereka bergembira dan berkata, “Ini adalah sebagian dari keridhaan
penuh perhatian Allah Swt.” jika mereka mengerjakan kebaikan, mereka merasa
bahagia dan memohon kepada Allah agar menerimanya. Dan manakala mereka beruat
maksiat, mereka merasa sangat menyesal dan memohon ampunan Allah. Mereka selalu
bertindak dengan cara demikian. Dan,demi Allah, hanya melalui ampunan saja
mereka terbebas dari dosa atau dianugerahi Surga.
Orang berhasrata pada agama dan bergegas menuju
kepadanya. Orang mukmin mengerjakan amal-amal kebaikan, dan merasa khawatir
kalau-kalau tidak diterima. Akan teatpi, setelah mereka, datanglah orang-orang
yang berbuat kemungkaran, merasa aman dan tidak khawatir sedikit pun bahwa
mereka bisa terjebak dalam perbuatan mereka. Di antara orang-orang dalam Jamaah
ini, ada orang-orang yang mungkin hidup lima puluh tahun tanpa memiliki sehelai
pakaian pun untuk dilipat, tanpa sesuatu pun untuk diletakkan antara diri
mereka dan tanah, dan yang tidak memerintahkan keluarganya untuk menyiapkan
makanan apa pun yang menarik bagi mereka. Manakala orang seperti ini memasuki
rumahnya, dia masuk dalam keadaan kurus kering dan lemah. Manakala ajakan
kepada keimanan ini datang kepada mereka, mereka menerimanya dengan tulus; dan
dalam kalbu mereka timbul keyakinan tentang hal itu. Kalbu, badan, serta mata
mereka tunduk kepada ajakan itu, seolah-olah mereka melihat apa yang dijanjikan
kepada mereka. Dan, demi Allah, mereka sama sekali bukan kaum yang cenderung
pada perselisihan, atau kesombongan, atau kepura-puraan.
Perintah datang pada orang-orang ini dari Allah
Swt. dan mereka pun meyakininya, sehingga Allah melukiskan mereka dengan pujian
tertinggi dalam Kitab-Nya ketika Dia berfirman, “Hamba-hamba Tuhan yang Maha
Pengasih adalah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” – kata
kerendahan hati dalam bahasa Arab bermakna kelemah-lembutan, ketenangan dan
ketulusan – dan selanjutnya Allah berfirman, “Dan manakala orang-orang jahir
menyapa mereka, mereka menjawab ‘Salam” (Qs. 25:63). Inilah orang-orang mulia,
bertakwa kepada Allah dan sabar. Jika mereka dizalimi, mereka tidak membalas.
Jika mereka diperlakukan dengan jahil, mereka membalas dengan kemuliaan, dan
mereka sabar hingga Allah memudahkan jalan mereka. Begitulah cara hamba-hamba
Allah berurusan dengan orang lain.
Malam hari mereka mengikuti siang hari mereka, dan
malam hari mereka lebih baik. Sebab mereka menghabiskan malam hari dengan
bersujud di hadapan Tuhan mereka, dan berdiri tegak di hadirat-Nya, dengan
menutupi wajah mereka. Air mata mereka mengalir ke pipi disebabkan perpisahan
dari Tuhan mereka. Itulah sebabnya, mereka bangun malam di hadapan-Nya, dan
itulah sebabnya siang hari mereka terasa kurang penting. “Mereka berkata, ‘Ya
Tuhan kami, jauhkan kami dari azab Jahannam, sungguh, azabnya adalah kebinasaan
kekal.” (Qs. 25:65). Segala sesuatu bakal musnah, dan juga binasa; tapi selama
langit dan bumi masih ada, penderitaan pun tak bisa dihindarkan. Orang-orang
ini bersaksi kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Orang-orang beriman
bekerja keras, tapi tidak merasa lelah.
Dan engkau – semoga Allah menganugerahimu keimanan
ini; sebab Allah tidak memiliki anugerah lebih baik bagi hamba-Nya di dunia ini
maupun di akhirat nanti (selain iman ini). Orang-orang beriman bersabar, patuh,
bertakwa kepada Allah, dan bersikap hormat. Demi Allah, seorang hamba tidak
bisa memahami Tuhannya sedemikian rupa sehingga dia menjadi sombong atau
angkuh. Seorang hamba mencari anugerah ini dan dengan berusaha keras
mendapatkannya, sambil senantiasa bersaksi kepada Allah baik secara sembunhi
maupun terang-terangan, hingga maut menjemputnya. Lalu, Tuhannya mendengar
pujian umat-Nya : “Mereka berkata : ‘Tuhan kami ialah Allah, ‘dan kemudian
mereka menempuh Jalan Lurus.” (Qs. 41:30). Demi Allah, mereka benar-beanr
memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) tentag-Nya, dan mereka pun bergegas
mematuhi-Nya : “Malaikat turun kepada mereka, dengan mengatakan, ‘Janganlah
kamu takut dan bersedih hati : dengarkanlah kabar gembira tentang surga yang
dijanjikan kepadamu.” (Qs. 41: 30). Mereka tinggalkan dunia pada kaumnya, tapi
yang demikian itu tidak membuat mereka sedih. Pun tidak pula mereka
berlomba-lomba dengan kaumnya mencari kejayaan duniawi ini. Karena mulia, alim,
dan bijak, maka mereka adalah lentera-lentera petunjuk yang membawa orang
keluar dari segenap perselisihan duniawi yang gelap. Penduduk bumi tidak
mengenal mereka, tapi penduduk langit mengetahui mereka.
Di sini, aku tidak akan melanjutkan lagi kutipan
dari apa yang dikatakan Hasan. Kata-katanya merupakan mutiara sangat indah dan
pemikiran yang agung, seperti kata-kata alim lainnya. Bahkan lidah-lidah paling
fasih pun tak mampu mengungkapkan hal-hal seperti itu. Dan seseorang yang
merenungkan soal-soal ini, tak bisa lain kecuali amat terpesona dan
terkagum-kagum. Dengan itu, kita mengikuti masalah-masalah tersebut dan sampai
pada tujuan kita. Beetapa besar jasa kedudukan spiritual Hasan dalam membantu
agama dan dalam meluluhlantakkan kemurtadan, dalam membimbing orang yang ingkar
menuju Jalan Lurus dan dalam mengajari orang-orang jahil! Semoga Allah
memberinya balasan dan gamnjaran besar atas hal ini. Dan semoga pula Allah
memberi kita keberhasilan dalam mengikuti jejak langkah Hasan dan tercerahkan
oleh cahay-cahayanya.