بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
24.
IRADAT
Firman
Allah swt. :
“Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya.” (Qs. Al-An-aam :52).
Diriwayatkan
oleh Anas r.a. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda :
“Jika
Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.”
Seseorang bertanya : “Bagaimana Dia mempekerjakannya, wahai Rasulullah?” Rasul
menjawab : “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.”
(H.r. Tirmidzi).
Kehendak
(iradat) = (adalah konsentrasi kepda Allah swt. dalam suluk menuju kesempurnaan
tauhid. Satu upaya terpuji dan menjadi tuntutan bagi hamba. Iradat ini sendiri
hakikatnya bukan kehendak dirinya, dan tidak ada pilihan atas maksudnya. Bahwa,
seseorang berkonsentrasi semata karena Kehendak Allah swt). adalah jalan
permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh
jalan menuju Allah swt. Sifat inni disebut “kehendak” (iradat) hanya karena
kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba
tidak meghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini
terjadi di awal langkah menuju Jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan
diserupakan pada keinginan yang mendahului semua persoalan. Seorang murid
mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya
seorang ‘alim dsebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat
dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat. Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang
mengehendaki (murid) identik dengan orang yang tidakk berkehendak itu
sendiri. Seseorang yang belum menaggalan kehendak dirinya bukanlah seorang
murid. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak
bukanlah seorang murid.
Mayoritas
orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai
dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelasakan, ‘Iradat
adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang
banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus
menerus mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari
semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Leh
karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari
praktik-praktik kebiasaan.”
Hakikat
iradat adalah kebangkitan kalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu dikatakan,
bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan, yang menbuat remeh
setiap yang menakutkan.
Sebagian
Syeikh menuturkan : “Suatu ketika aku hanya seorang diri di padang pasir dan
jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak, “Wahai manusia,
berbicaralah kepadaku. “Apakah yang engkau kehendaki?” Aku menjawab : “Aku
menhendaki Allah swt.” Suara itu bertanya : “Kapankah engkau menghendaki Allah
swt.?”
Maksudnya,
orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kta-kata : “Berbicaralah
kepadaku!.” Bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai
seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun
malam. Ia berjuang keras secara lahiriah, ementara dalam batinnya menderita. Ia
meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menaggung
kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik,
meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua
bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair :
Kulibas
malam dengan gairahnya
Tiada
harimau dan serigala-serigala
Yang
menakutkan,
Rinduku
tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan
betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kehendak (iradat) adalah
keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang
membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilauan-kilauan dalam jwa.”
Yusuf
ibnu Husain menuturkan : “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan
perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua
hal. Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan
ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan : “Tungku sudah menyala,
apa perintahmu?” Abu Sulaimman diam, tidak menjawab; Ahmad mengulangi
perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada
seakan-akan jengkel kepadanya : “Pergilah kamu dan duduk di atasnya saja!” Lalu
sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan :
“Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada
dirinya untuk tidak menentang perintahku.” Maka orang-orang pun pergi mencari Ahmad,
dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”
Dikatakan
: “Di antara sifat-sifat murid adalah bahwa ia senang melakukan shalat sunnah,
ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dalam menanti
aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di
hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa yang
dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain,
dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhan-Nya.”
Abu Bakr
Muhammad al-Warraq mengatakan : “Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid.
Pernikahan, menulis Hadits dan perjalanan.” Seseorang bertanya kepadanya :
“Mengapa engkau berhenti menulis Hadits?” Ia menjawab : “Kehendak mencegahku
untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim
al-Asham mengajarkan : “Jika engkau datang kepada seorang murid yang
menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah
melanjutkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany
berkata : “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai
berikut : tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar,
dan berbicara hanya manakala terpaksa.”
Al-Junayd
mengatakan : “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan
membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca
buku.”
Abu Ali
ad-Daqqaq mengatakan : “Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju Aeorang
murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat
selama duapuluh tahun.”
Abu
Utsman al-Hiry menegaskan : “Jika murid mendengar suatu tentang ilmu kaum Sufi,
dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya.
Jika berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya
memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun
tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan
dilupakannya.”
Al-Wasithy
berkomentar : “Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang
menggugurkan kehendaknya sendiri.”
Yahya bin
Mu’adz mengatakan : “Hal terlusit bagi para murid adalah bergaul dengan
orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin
al-Husain mengatakan : “Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha
mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan
ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu hasil yang akan muncul
darinya.”
Seseorang
bertanya kepada al-Junayd : “Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan
cerita-cerita?” Ia menjawab : “Cerita-cerita adalah salah satu tentara Allah,
yang menguatkan kalbu para murid.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya : “Adakah
dalil yang mendukung ucapanmu itu?” Al-Junayd menegaskan : “Ya, dalilnya adalah
firman Allah swt. : “Dan semua kisah Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Qs. Huud :120).
Al-Junayd
mengatakan : Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengethuan para
ulama.” Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad),
bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia
bukan yang dikehendaki Allah swt. niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada
sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap
murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendaki secara khusus, Dia akan
menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap-Nya).”
Akan
tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid
adalah seorang pemula. Sedangkan murad berada pada pangkalnya. Murid dibimbing
melakukan pekerrjaan-pekerjaan yang menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam
kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah
mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Murid dipaksa untuk
bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketenteraman.
Sunnatullah bagi para penempuh cita-cita beraneka ragam. Mayoritas mereka
berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yag
berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung. Tetapi
sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada
aalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi
sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan
anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis-garis ketentuannya.
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : “Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.”
Ia juga berrkomentar : “Musa, as. Adalah seorang murid sebab beliau berrkata :
“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!.” (Qs. Thaha :25), Nabi kita Muhammad saw.
adalah seorang Murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau :
“Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan
dariapdamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu?” (Qs. Al-Insyirah : 1-4). Nabi Musa as. Juga memohon : “Ya
Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!”
Allah swt. berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku.” (Qs.
Al-A’raf : 143), Allah swt. berfirman kepada Nabi kita : “Apakah kamu tidak
melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?” (Qs.
Al-Furqan :45). Kata-kata : “Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?” dan :
“Bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?” Dimaksudkan sebagai tabir bagi
cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika
Al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab : “Murid
dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad
ddikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan;
sedang murad terbang. Bilakah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang.?”
Dzun Nuun
mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan : “Tanyakan kepada Abu Yazid.”
Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?” Abu Yazid
mengirimkan jawabannya : “Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun. : “Seorang
laki-laki adalah yang tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian
sebelum kafilah tiba.” Dzun Nuun berseru : “Hebat! Inilah ucapan yang belum
sampai pada keadaan kita.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.