بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
19.
YAKIN
Allah
swt. berfirman :
“.... Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah swt. telah bersabda :
Janganlah
engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah,
dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah
mencari kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt.
kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang
yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang
membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan
dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan
serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan
Baihaqi).
Abu
Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia
memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan
dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut
kepada Allah swt.”
Ja’far
al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di
pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya
tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab : “Aku terombang-ambing di
antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang agar aku dapat bertindak
sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan
yang akan menang, aku akan terus berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan
mendapatkan suatu derajat.”
Abu
Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap
hari esok.”
Sahl bin
Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya.”
Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah
penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah
seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada
hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang
diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl
menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu salah seorang
kaum salaf mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan
menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian
(musyahadah).
Abu
Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah pemastian oleh rahasia hati
melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr
bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui penentangan terhadap keraguan,
tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan demikian ia
mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh
melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan
pada akhirnya bersifat langsung.
Saya
mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi
mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu
pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) danya Tuhan,
lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah tersebut.”
Orang
yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan
adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi
persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian
manakala bukti-bukti datang susul-menyusul dan menghasilkan bukti, orang
tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan
untuk merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin, Mengenai pembenran Al-Haq
(tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya
kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan
dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang mengenai af’al-Nya pada
tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki
akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap
si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan
tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus
menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr
bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan :
Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl bin
Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang
di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun Nuun
al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi,
dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan
kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya.” Ia juga
mengatakan : “Ada tiga tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan
manusia; Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari
perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi (hadiah).
Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat kepada
Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan
berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd
mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik,
tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu
Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah
swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.” Tandasan takwa kepada
Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang
haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan
mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal
keyakinan.”
Salah
seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan
tiga cara : Mukasyafah yang bersifat informatif; mukasyafah penampilan qudrat,
dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah
bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam
hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan
sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang
mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali
mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu
Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby :
“Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia menjawab : “Aku melihat
orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.” Lalu aku bertanya : “Anda
melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?”
Ia menjawab : “Dengan mukasyafah.”
Amir bin
Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, nsicaya
hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan
: “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman.”
Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan.”
Al Junayd
menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang
Gaib.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai sabda Rasulullah saw.
tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan,
nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan
bahwa denga ucpannya itu Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam
Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan
: “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan.”
Al-Junayd
mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan, ia menjawab :
“Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika
pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan
apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun
menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin
Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih diutamakan
daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat
bisikan.” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di
awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan.
Ini seakan-akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan
hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury
berkata : “Keyakinan adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada
keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan
kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr
al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman
disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia
yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah
tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di
Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai
mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa
kematian yang begitu berduka,
Janganlau
engkau cintai seiapapun
Selain
Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan
ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang tua, apakah setelah ini
engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq
an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba menyempurnakan pengertian
batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan
kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr
al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan : Keyakinan informatif; keyakinan
akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu
Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat seorang pemuda berjala di
apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati : “Jika ia tidak punya
keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya : “Wahai anak muda,
apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa peerbekalan?” Ia menjawab :
“Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain
Allah swt.?” Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana engkau
mau?”
Abu Sa’id
al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk
bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim
al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan
aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor
ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu meleparkan kembali
jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi
aKemudain terdengar sebuah suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa
mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada
Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan
berhenti mencari ikan.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :