بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
In Memoriam, Pak Yai (K.H. Abdul Djalil Mustaqiem bin Husain)
1. Pertemuan Pertama : Ridha dan Istiqomah
Suatu hari dikantorku aku diperkenalkan oleh Pak Luqman Hakiem yang
menjadi redaktur majalah Sufi. Setelah berkenalan dengan Pak Luqman, aku
pun menjadi ingin tahu kembali tentang dunia tasawuf saat ini. Nah Pak
Luqman waktu itu menyebutkan kitab Al Hikam sebagai rujukan bahan kajian
tasawufnya. Terus terang, walaupun aku sudah banyak baca buku tasawuf,
sampai saat itu aku belum tahu kalau ada buku yang dijadikan rujukan
oleh banyak guru tasawuf. Dari penjelasan singkat itulah aku pun
kemudian memburu buku Al Hikam di toko Buku. Mulanya kupikir buku Al
Hikam ini sangat tebal. Ternyata cuma berupa buku tipis, cetakan lama
(tahun 1984). Ada juga pensyarah yang menuliskannya lebih lengkap.
Terjemahan dari syarah Mesir yang nampaknya cukup baik sebagai langkah
awal mengenal Al Hikam.
Selain memburu buku Al Hikam, aku pun kemudian membuka lagi beberapa
buku tasawufku yang sudah lama terbengkelai, salah satunya adalah buku
“Jalan Ruhani : Panduan Tasawuf Untuk Para Aktivis“ karya Said Hawwa
yang untungnya, entah kenapa tidak termasuk kedalam buku-buku ku yang
kusumbangkan ke anak-anak Salman dulu. Baru aku memahami kembali bahwa
selama ini buku Said Hawwa banyak mengutip kitab Al Hikam sebagai bahan
untuk merumuskan metode dakwah tasawuf untuk para aktivis. Dari situlah
kemudian rasa tertarik untuk mengkaji tasawuf dan mengikuti tarekatnya
Pak Luqman muncul. Tarekat Sadziliyah namanya, suatu tarekat sufi dari
Kawasan Maroko. Dan mulai dari situlah aku mulai mendengar tentang Pak
Yai ini yang merupakan guru mursyid dari Pak Luqman.
Walhasil, setelah mengikuti beberapa sesi pengajian Pak Luqman
tentang Al Hikam akupun jadi ikut juga mencari tahu tentang Pak Yai.
Tidak banyak memang yang aku ketahui. Paling banter beberapa kawan
memang pernah ketemu Pak Yai langsung di Tulungagung dan menceritakan
kesan-kesannya. Beberapa teman pun dalam waktu dekat berencana untuk
sowan ke Pak Yai seusai Lebaran. Aku ditawari juga, tapi berhubung lagi
kere dan waktu yang tidak memungkinkan akupun tidak bisa ikutan ke
Tulungagung.
Dari
obrolan-obrolan pengajian itu juga aku tahu kalau Pak Yai suka juga
bolak-balik ke Jakarta. Ada anak-anaknya disini katanya. sampai disitu
akupun belum begitu ngebet dengan Pak Yai. Aku pikir memang belum
waktunya berhubung amalanku masih jauh dari amalan sufi. Masih suka
mengikuti godaan hawa nafsu dan terjengkang habis.
Aku cuma membayangkan barangkali Pak Yai yang dimaksud itu
berperawakan seperti layaknya Pak Yai yang bersorban, berambut putih
atau paling banter berjangkut putih penuh kewibawaan sebagai pemimpin
umat. Mirip gambaran wali-wali jaman dululah. Ini barangkali karena
banyak dipenuhi gambaran mengenai para kyai di TV atau film horor
Indonesia yang suka sekali menampilkan sosok kyai dengan gambaran
seperti wali, atau setidaknya kita terbiasa melihat gambaran bahwa para
wali dan orang saleh itu ya seperti tampilan yang diinginkan film dan
sinetron televisi.
Suatu hari, seusai pengajian ada khabar bahwa Pak Yai ada di Jakarta.
Lantas koordinator pengajian pun bersepakat untuk menemui Pak Yai.
Bersama dengan rombonganku ternyata beberapa rombongan pengajian
Al-Hikam lain yang ada di Jakarta juga ikut sowan ke Pak Yai. Jadinya
malam itu rumah tinggal anak Pak Yai di kawasan Cempaka Putih
benar-benar ramai menjadi tempat sowan.
Cukup lama juga kami akhirnya menunggu Pak Yai di ruang yang sudah
disiapkan. Aku duduk di ujung dalam garasi yang disulap menjadi ruang
pertemuan bersama temanku yang rada semprul Pedro alias Odrep. Beberapa
rombongan baru masuk sehingga garasi yang disulap jadi pertemuan itu
menjadi penuh sesak oleh murid yang menunggu Pak Yai. Kebetulan tempat
dudukku yang diujung pintu dalam garasi itu menjadi tempatnya yang lebih
lowong alias untuk tempat duduk Pak Yai.
Pedro sendri sudah pindah kesebelah kiriku karena tempatnya akan
digunakan sebagai tempat duduk Pak Yai. Aku dag dig dug juga belum
pernah ketemu Pak Yai kok ya dapet kesempatan berdekatan dengan beliau.
Sampai saat itu aku masih membayangkan Pak Yai pesis seperti stereotip
yang ada di TV. Tak lama kemudian dengan ramah seorang laki-laki
berumur masuk. Para tamu yang kebetulan dekat pintu serentak berdiri
dan salaman sambil mencium tangan Pak Yai. Akupun berdiri di lutut
berhubung kalau berdiri penuh aku bisa kelihatan nggak sopan dan mencium
tangan Pak Yai yang wangi dengan hormat. Pak Yai memang bau wangi
semerbak. Wanginyapun tidak menusuk namun menenangkan. Pak Yai sendiri
kelihatannya rikuh juga. Ditempat yang sempit semua hadirin mulai pada
berdiri untuk menyalami beliau. Akhirnya beliau berinisiatip untuk
menyalami tamunya dan meminta supaya tetap duduk sambil salaman.
Begitulah perkenalanku dengan Pak Yai berlangsung dengan suasana
akrab dan nampaknya penuh kerinduan dari murid-muridnya. Pak Yai pun
kemudian duduk, Pak Luqman wakil Pak Yai yang menjadi mursyid kami pun
kelihatan duduk takzim disamping kanan beliau. Sementara di kiri beliau
aku duduk malu-malu dengan
blue jean belel dan t-shirt setengah
lusuh karena seharian kupakai. Dengan ramah juga Pak Yai mempersilahkan
tamu dan muridnya untuk mengabil kue dan minuman yang memang sudah
disediakan oleh tuan rumah. Karena lapar, akupun main comot saja
mengunyah kue dan minuman yang ada di depan mata. Baru belakangan kutahu
kalau menjamu tamu ini merupakan hobi Pak Yai.
Kesan karismatis melingkupi ruang pertemuan yang dijejalali para
murid. Pak Yai kelihatan mahfum kalau sebagian murid takut-takut dan
malu-malu kepada beliau. Termasuk aku yang duduk disamping beliau
malu-malu juga. Tidak ada kesan formal dalam pertemuan itu. Pak Yai pun
nampaknya biasa meledek para tamunya yang seperti para tikus di depan
kucing.
Pertama-tama beliau berbasa basi menanyakan khabar pengajian di
Jakarta yang dibimbing Pak Luqman. Pak Luqmanpun menjelaskan pengajian
yang ada saat ini di Jakarta. Ada beberapa lokasi pengajian sebenarnya.
Pengajianku lokasinya di Fatmawati Mal , ada yang di Kebon Nanas, Depok,
dan beberapa tempat lainnya di Jakarta. Yang hadir di kesempatan ini
memang dari beberapa pengajian itu tapi tidak begitu banyak sebenarnya,
paling banter 40 -an orang.
Setelah sejenak berbasa-basi, tanpa terasa Pak Yai mulai masuk ke
wejangan-wejangan beliau. Sepintas sebenarnya wejangan beliau biasa
saja. Yang menarik Pak Yai tidak sungkan-sungkan menceritakan apa adanya
tentang dirinya. Ternyata beliau pernah di Jakarta di awal tahun 60-an.
Dan sejak muda, nampaknya beliau menjalani hidup penuh tirakat dan
karomah. Soalnya beliau juga bercerita kalau sering dipanggil untuk
menyembuhkan orang sakit, diskusi dengan habib-habib Kwitang yang
nampaknya menghormati beliau.
Tak lupa juga beliau ceritakan tentang upaya tirakatnya seperti puasa
mutih, puasa 41 hari dan melakukan tirakat di lokasi tertentu. Pak Yai
memang blak-blakkan dalam berbicara. Malah cenderung menurut aku ceplas –
ceplos apa adanya. Bukan saja dalam soal-soal keseharian, namun dalam
soal-soal yang gaib pun ia termasuk blak-blakan. Ia bercerita misalnya
bagaimana beberapa temannya seperti melihat dia di beberapa tempat dalam
waktu yang sama. Atau malah ketemu di Mekah melaksanakan ibadah haji
padahal ia nggak kemana-mana cuma kontemplasi di rumah.
Selain cerita ngalor-ngidul diselingi petuah, Pak Yai ini termasuk
pandai bercerita lucu juga. Ada beberapa cerita menarik yang ia
ceritakan seperti ada salah satu muridnya yang diberi “alamat” bisa
mengetahui kapan orang meninggal. Misalnya suatu hari si murid bermimpi
kalau tetangganya akan meninggal. Berhubung ia tahu, maka ia kemudian
menceritakan mimpinya itu ke teman yang bersangkutan. Walhasil temannya
yang setengah tak percaya itu pun mengundangnya ke rumah di jam saat ia
diperkirakan ia meninggal. Dan didalam perkiraan si muridpun tepat. Pada
saat ia sowan kerumah temannya itu, beberapa detik kemudian si teman
meninggal.
Karena alamat-alamat yang diterimanya itu, si murid bukannya menjadi
bangga malah ketakutan. Ketakutan itu semakin menjadi kenyataan manakala
ia bermimpi tentang waktu meninggalnya sendiri. Karena takut, ia datang
kepada Pak Yai dan memberikan sebagian hartanya kepada beliau, sebagian
lagi kepada istrinya. Istrinya sudah bersiap-siap untuk mempersiapkan
kematian sang suami. Sementara itu Pak Yai tenang-tenang saja malah
mengajak ngobrol si murid yang sudah bersiap menyambut kematiannya itu.
Obrolan pun terjadi dan ngalor ngidul sampai waktu subuh tiba. Setelah
shalat subuh, si murid tertidur sementara Pak Yai menutup semua jendela
mushalla supaya tidak ada cahaya yang masuk. Walhasil sampai jam 9 siang
si murid masih tertidur di dalam Musholla kemudian ia terbangun dan
kaget mendapatkan dirinya masih segar bugar tanpa kekurangan suatu
apapun. Hikmah apa yang diambil dari ini bahwa sebenarnya takdir itu
tidak bisa dipastikan dan alamat yang diterima si murid itu tidak selalu
benar.
Pak Yai pun kemudian bercerita kalau dia sebenarnya bukan apa-apa.
Semua orang yang datang meminta pertolongan dia sebenarnya ia cuma
mendoakan saja tanpa hal lain yang aneh. Yang membedakan adalah
keridhaan kita pada saat berdoa yaitu keridhaan kepada Kehendak Allah
SWT. “Ridha Allah” itulah kata kunci yang kutangkap setika aku
berkenalan saat itu.
Setelah beberapa waktu bercengkerama ada beberapa isyarat lain yang
bisa kutangkap yaitu “istiqamah”. Lagi-lagi, karena pengetahuan agamaku
secara teknis belum memadai aku cuma bisa manggut-manggut saja dengan
satu pengertian dasar istiqamah yaitu ketekunan. Ya, pada saat itu
pengertianku tentang istiqamah baru berhubungan dengan harfiah saja
sebagai “ketekunan”. Namun, dalam uraiannya yang singkat Pak Yai
sepertinya menekankan bahwa istiqamah sangat penting bagi para murid
yang melalui jalan suluk yaitu konsisten dan ketekunan. Tak perlu
terburu-buru atau bernafsu untuk menempuh jalan ruhani. Sebab, ketekunan
atau istiqamah meskipun kelihatannya kecil dan sepele kalau
dilaksanakan dengan konsisten ternyata merupakan suatu karomah
tersendiri. Karomah dan keramatnya para wali, secara tidak langsung
beliau mengisyaratkan.
Cukup banyak juga wejangan yang kami terima, khususnya saya saat itu
yang baru pertama kali dengan beliau. Menjelang jam 23-an WIB petemuan
dengan Pak Yai pun usai. Para tamu pun dipersilakan untuk membubarkan
diri tanpa perlu salaman, maklum saja memang banyak sekali tamu yang
hadir yang tentunya akan repot kalau disalami satu per satu.
Jadi, begitulah Pak Yai itu pikirku dalam hati. Memang orang tidak
akan mengira kalau Pak Yai yang nama lengkapnya K.H. Abdul Djalil
Mustaqiim itu seorang mursyid tarekat sufi yang rendah hati. Beliau
nampaknya tidak banyak mau dikenal orang meskipun banyak tokoh-tokoh
nasional yang sowan padanya atau mohon doa restunya, bahkan tokoh
sekaliber Gus Dur maupun Nurcholis Madjid. Beliau pun nampaknya tidak
sekedar mursyid satu tarekat namun juga mempunyai wewenang untuk
membaiat tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah yang pengikutnya sangat
banyak di Indonesia.
Dalam perjalanan pulang aku semakin termenung, ada banyak yang
terpikirkan yang banyak mempengaruhi jalan kehidupan di kemudian hari.
Dua
keywords penting yang kutangkap dalam pertemuan pertamaku
singkat saja, suatu kalimat sederhana yang sering didengar namun
seringkali pula diabaikan makna terdalamnya “
ridha” dan “
istiqamah”.
2. Pertemuan Kedua : Ikhlas
Setelah beberapa bulan mengikuti pengajian al-Hikam, beberapa
pengetahuan tasawuf semakin lama semakin terpahami dengan baik. Bukan
saja mempengaruhi beberapa aspek kehidupanku yang sebenarnya tidak
terlalu ekstrim dan jungkir balik. Namun, kajian kitab al-Hikam Ibnu
Athaillah itu membuka wawasan-wawasan keruhanian yang sebenarnya sudah
lama aku ketahui, pernah dialami, namun nampaknya tersumbat atau tidak
tersalurkan dengan baik, nampaknya wawasan itu menemukan jalannya
sendiri.
Sejauh ini, aku sendiri memang mempunyai kecenderungan otodidak dalam
mempelajari sesuatu. Bukan saja mempelajari pengetahuan agama, namun
dalam pengetahuan profesional pun aku lebih banyak belajar sendiri.
Keahlian komputer muncul dari hobi, desain grafis juga muncul begitu
saja seakan-akan membangkitkan hobi semasa SMP dulu mencoret-coret
kanvas di ketrampilan seni lukis, kemudian inipun menjadi suatu
profesi, sementara keahlian akademikku yang berhubungan dengan rancang
bangun pesawat terbang dan wahana antariksa sudah lama aku tinggalkan
meskipun konsep mendasarnya sebagai pengetahuan “rancang bangun atau
mendesain sesuatu” tetap melekat dalam profesiku sebagai konsultan TI.
Sekolah bagiku memang sudah sekedar mempelajari proses saja. Proses
menjadi pemecah masalah, sehingga seringkali aku tidak terikat pada
substansi keilmuannya yang menurutku menjadi seperti kotak-kotak permen
belaka. Dengan mempelajari proses, aku mempelajari suatu aturan main,
rules of the game, suatu
sunnatullah bagaimana itu terjadi, mengatasinya, dan menyodorkan alternatif-alternatif solusinya.
Boleh dibilang, meskipun aku banyak membaca buku, seringkali solusi
yang kutawarkan tidak selalu mengikuti apa yang ada di buku. Walaupun
prinsip dasarnya solusinya serupa, namun hasil akhirnya seringkali
berbeda-beda. Aku seakan-akan memberikan suatu alternatif solusi sesuai
dengan apa yang dimiliki pada lingkungan tersebut.
Mengikuti pengajian tasawuf khususnya mengkaji kitab al-Hikam memang
membangkitkan gairah keruhanianku yang sudah lama terpendam. Setelah
membolak-balik kitab al-Hikam , baru aku menyadari kalau penulis
al-Hikam, Ibnu Athaillah as-Sakandari, seorang sufi yang memang piawai
dalam olah ruhani. Kitab tasawuf rujukannya yang ringkas tersebut
setelah dihayati dengan baik dan seksama sepertinya menceritakan kondisi
ruhani semua orang, baik dalam periode jam, harian, mingguan, bulanan,
tahunan, sampai periode kehidupan seseorang.
Ini kitab yang luar biasa, pikirku. Singkat, namun tepat
menggambarkan kondisi ruhani seseorang di setiap zaman. Jadi, kitab
al-Hikam memang mempunyai suatu aspek keabadian dalam isi maupun
formatnya yang kalau kugambarkan seperti grafik sinusoidal, suatu
gelombang naik turunnya siklus ruhani semua orang. Pantas saja kitab
ini menjadi rujukan tasawuf dari hampir semua tarekat sufi.
Sesi-sesi ruhani yang kuikuti semakin membuahkan hasil, khususnya
dalam pengolahan keruhanian diriku sendiri. Pengertian-pengertian
fundamental jalan sufi pun semakin lama semakin terang benderang. Dari
pengajian al-Hikam, akupun semakin berminat kembali mempelajari
buku-buku tasawuf seperti risalah Qusyairiyah dan kitab al-Luma yang
sangat teknis. Al Qur’an pun semakin sering ku bolak-balik kembali
seolah sebuah kitab lama yang telah kutemukan kembali.
Beberapa bulan setelah pertemuan pertama dengan Pak Yai, berbagai
aspek penting petuahnya semakin kusadari kebenarannya. Jalan ruhani itu
sebenarnya sederhana, setiap orang mestinya bisa melaluinya, namun berat
sekali mengimplementasikannya kalau saja kita tidak mengetahui
aspek-aspek detil yang saling berhubungan antara satu sikap dengan sikap
lainnya. Khususnya dalam pengelolaan qolbu dan penataaannya sebagai
manusia atau umat yang beragama Islam.
Suatu hari, Pak Luqman berkata bahwa sekitar awal tahun 2004 akan ada
acara pertemuan akbar di Tulungagung, sowan ke Pak Yai dalam rangka
peringatan kematian ayahandanya. Akupun kemudian langsung ikut untuk
sowan tanpa pikir panjang lagi. Dengan pimpinan regu Pak Liwa, rombongan
pengajian kami pun berangkat terpisah. Ada yang naik bus, kereta api,
dan pesawat. Aku dengan Pak Liwa memilih menggunakan kereta api dengan
pertimbangan praktis saja. Di kereta ternyata beberapa murid pun ketemu.
Ramai juga pertemuan tahunan untuk memperingati wafatnya sesepuh Pak
Yai. Kami menginap di hotel yang dekat dengan pesantren PETA (Pesulukan
Thariqot Agung) yang ternyata ada di pusat kota Tulungangung. Beberapa
grup pengajian juga sudah ada di hotel tersebut, kamipun bergabung
disitu. Perayaan tersebut ternyata berskala nasional juga. Beberapa tamu
undangan yang hadir adalah tokoh-tokoh nasional yang populer seperti
Gus Dur dan Nurcholis Madjid, serta beberapa tokoh nasional lainnya.
Ketika malam peringatan tiba, ternyata jamaah yang menghadiri begitu
banyaknya sehingga rombongan kami cuma kebagian duduk-duduk di jalanan
yang nampaknya sudah mahfum bakal kebanjiran tamu dari seluruh
Indonesia. Tidak kurang dari 50 ribuan orang nampaknya hadir di perayaan
tersebut kata Pak Luqman, yang kebagian mengisi acara membacakan
silsilah tarekat Syadziliyyah.
Selama acara berlangsung, tahlilal dan wiridan berkumandang, kemudian
dilanjutkan dengan beberapa ceramah dari tokoh-tokoh nasional,
pembacaan silsilah dan entah apalagi. Yang jelas selama acara
berlangsung aku dan Pak Liwa serta beberapa teman lainnya sempat
bertanya-tanya juga, busyet dengan tamu sebegitu banyak berapa lama
mempersiapkannya, bagaimana mengurus tamu yang membanjiri kota kecil
Tulungagung, dan mengurusi konsumsinya. Diskusipun bergulir seputar
manajemen acara. Menjelang tengah malam, konsumsi dibagikan oleh
beberapa puluh panitia. Dengan nasi bungkus dan air, nampaknya semua
tertib-tertib saja kebagian konsumsi. Sesuatu yang sebenarnya saat itu
sangat susah ditemui di tanah air. Akupun teringat pembagian sedekah di
Jakarta di salah saru rumah dermawan yang malah nampak meminta korban
beberapa nyawa karena rebutan sedekah!
Ini sedikit aneh juga kataku. Pembagian konsumsi ribuan orang dengan
tenang, barangkali memang yang hadir di acara itu sudah memiliki
karakter ruhaniah yang tertentu dan lebih tertib dan tertata pikirku.
Akupun tak lebih jauh lagi mengulas hal itu. Malam semakin larut
mendekati tengah malam, sebagian jamaah memutuskan untuk kembali ke
hotel yang tidak begitu jauh. Jadi, kami pun pulang sambil ngobrol
ngalor ngidul dan mendengarkan ceramah yang masih jelas terdengar di
hotel. Obrolan pun ternyata tidak jauh bergulir dengan banyaknya jumlah
pengunjung yang hadir dan bagaimana mengelolanya dengan tertib.
Esoknya, kami pun bersiap-siap untuk sowan dengan Pak Yai yang
semalam hajatan besar. Namun, nampaknya Pak Yai mungkin tidak bisa
menemui rombongan Jakarta karena kelelahan kata Pak Luqman. Kamipun
kemudian berangkat ke rumah Pak Yai dan berkumpul di mushalahnya.
Setelah menziarahi Kyai sepuh dan doa bersama, aku kemudian berdoa
secara personal untuk Kyai sepuh dengan al Fatihah. Pak Haji teman
sekamar dan ngobrolku kulihat berdoa juga.
Beberapa saat kemudian, kamipun berkumpul kembali di musholla dan
menunggu Mbah Ghofur yang akan mewakili Pak Yai. Mbah Ghofurpun kemudian
menemui kami dan ngobrol ngalor ngidul. Pertama kali, Mbah Ghofur
berbicara tentang Jin, yang intinya kita itu jangan bergaul dengan Jin
katanya. Aku celingukan kepada jamaah, busyet pikirku, apa ada yang bawa
jin. Setelah itu akupun lebih jauh mendengarkan petuah-petuah Mbah
Ghofur.
Setelah kurang lebih setengah jam dengan Mbah Ghofur, tiba-tiba Pak
Yai muncul. Mbah Ghofurpun kemudian undur diri dan Pak Yai meneruskan
menemui jamaah yang bersuka cita karena Pak Yai bisa menemui kami.
Padahal aku pikir semalam acaranya berat juga. Jadi paling banter Pak
Yai masih beristirahat. Pak Luqman pun nampaknya terkejut juga kalau Pak
Yai bisa menemui kami. Dalam hati sebenarnya aku mempunyai sesuatu yang
ingin ditanyakan. Namun, nampaknya Pak Yai sudah mahfum atas apa yang
akan aku ditanyakan. Entah kenapa, tiba-tiba saja Pak Yai langsung
nyeletuk dengan topik “Manajemen Ikhlas”.
Aku lirik Pak Liwa yang ada disebelahku tersenyum malu-malu.
Sebenarnya apa yang diungkapkan Pak Yai berhubungan dengan apa yang kami
bicarakan semalam dan pagi harinya. Bagaimana mengelola acara yang
besar dengan tertib semalam. Dan juga berhubungan dengan apa yang ingin
aku tanyakan yaitu “
bagaimana menjadi ikhlas”. Sekali dayung
nampaknya dua tiga pulau terlampaui oleh Pak Yai. Bahkan boleh jadi
sebagian yang ingin ditanyakan para jamaah pun sudah terjawab sekaligus.
Aku melongo juga “
lho kok tahu”.
Akhirnya aku lebih banyak diam saja mendengarkan apa yang diutarakan
Pak Yai dengan Manajemen Ikhlas, dan khususnya tentang ikhlas itu
sendiri. Cukup lama juga kami bercengkerama, beberapa jemaah nampaknya
kena sentil juga dengan ceramah Pak Yai yang sebenarnya lebih tepat
mengobrol bukan sekedar ceramah yang kita lihat di televisi. Setelah
beberapa waktu, Pak Yai pun kemudian mengakhiri pertemuan dan ditutup
dengan doa untuk keselamatan kami semua. Begitulah, bagi aku sendiri
pertemuan yang singkat ini mempunyai makna yang lebih banyak arti lagi
khususnya tentang pengertian “ikhlas”. Sore harinya kamipun kembali ke
Jakarta.
Setelah pertemuan kedua dengan Pak Yai akupun lebih banyak berpikir tentang “
ikhlas” dan beberapa
keywords yang diungkapkan Pak Yai sebelumnya yaitu “
istiqamah” dan “
ridha”. Tanpa kusadari, nama Pak Yai pun nempel ketika topik tersebut bersinggungan dengan “
Shiraathal Mustaqiim”, “
Jalan Yang Lurus” atau kalau menurut terjemahan M. Quraish Shihab dalam kitab tafsir al-Mishbah-Nya “
Jalan Yang Luas atau Lebar”.
Kiranya, topik-topik tersebut sepertinya suatu topik yang menjadi
bagian dalam suatu langkah selanjutnya untuk memasuki jalan ruhani.
Beberapa minggu kemudian, musim hujan tiba. Seperti biasanya Jakarta
pun banjir dimana-mana. Repot memang. Tapi, anehnya aku malah lebih
memperhatikan fenomena banjir ini. Pertama karena memang mengganggu
aktivitas kerja. Dalam menikmati banjir itulah secercah sinar
berkelebat. Kok bisa begini ya? Cetusku dalam hati. Entah kenapa
pemikiran banjir, Jakarta, dan fenomena alam lainpun sambung menyambung
merangkai sendiri seperti sebuah untaian sejarah tentang kehidupan. Maka
jadilah! Suatu hari yang dingin karena kebanjiran, sebuah
draft awal yang menjadi risalah panjang mulai diketikkan. Judulnya ”
Kun Fa Yakuun”
dan hubungannya dengan sunnatullah, kehendak Allah sampai akhirnya
kepada diri sendiri – akhlak dan perilaku. Lho kok bisa begitu? Aku
sendiri kebingungan. Namun, hasrat sudah meletup menjadi semangat. Sejak
itu, akupun menguraikan draft awal itu dengan lebih sistematis dan
terperinci sebagai suatu risalah mawas diri.
3. Pertemuan Ketiga : Baiat
Dalam penguraian draft risalah “Kun”, suatu kabar diterima bahwa
sekitar bulan April atau Mei akan ada baiat di Tulungagung. Akupun lalu
ikut serta untuk di baiat. Saat itu risalah Kun masih berupa risalah
pendek sekitar 100 halaman yang menguraikan aspek-aspek dasar
penciptaan dan hubungannya dengan tindakan dan perilaku manusia, serta
kaitannya dengan berbagai peristiwa di Indonesia seperti bencana alam,
kebobrokan moral, tampilan seronok di televisi dan yang lainnya. Benang
merahnya sudah jelas, bahwa manusialah yang menjadi variabel dominan
semua itu.
Menjelang waktu baiat, sekitar akhir April, saat itu aku sudah tidak
bekerja di kantor. Kantorku ditutup karena merugi. Jadi, praktis
sehari-hari aku lebih banyak membaca literatur dan mengkonsep ulang
draft Kun Fa Yakuun. Aku bukannya malah puyeng tidak ada pekerjaan,
malah tenang-tenang saja di rumah seolah-olah memang waktunya sudah tiba
untuk melakukan mawas diri. Umurku menjelang memasuki kepala empat.
Single Fighter. Dan tenang-tenang saja tidak risau ataupun bimbang. Malah, kehilangan pekerjaan pun masih tidak kuanggap hal yang besar.
Aku lebih banyak waktu di rumah dan berpikir, kontemplasi, dan
tenggelam dalam medan tafakkur. Bulan April (kalau tidak salah kemudian
diundur awal Mei) aku dan serombongan kecil bersama Pak Liwa yang sudah
dibaiat pergi ke Tulungagung. Beberapa teman sudah jalan duluan sehingga
ketika sampai disana musholla pondok PETA sudah ramai dengan orang yang
berbaiat. Beberapa teman malah sudah dibaiat duluan karena sudah tiba
terlebih dahulu. Aku yang berbekal seadanya pun kalang kabut mencari
pinjaman kopiah untuk berbaiat, untung seorang panitia sudah menyiapkan.
Menjelang siang, rombonganku pun dibaiat. Sebelumnya Pak Yai
menjelaskan tatacara dan prosedur baiat yang singkat dan jelas. Beberapa
saat kemudian, rombongan wanita dulu di baiat, kami yang lelakipun
menunggu di luar. Pembaiatan kamipun kemudian dilakukan oleh putra Pak
Yai yaitu Gus Sholeh. Pak Yai nampaknya kecapaian dan sedang
beristirahat. Prosedur baiat pun tidak rumit, hanya berjanji untuk
mengikuti tarekat Syadziliyyah, berdoa bersama dan beberapa menit
kemudian selesai.
Akupun lega, dalam arti setidaknya “ladangnya sudah siap dicangkul
dan disuburkan”, kata Pak Liwa. Semua orang mempunyai modal yang sama,
namun capaiannya mungkin berbeda tergantung bagaimana kita mengelola
ladang itu. Ladang itu tidak lain adalah bumi hati kita, bumi hati yang
harus kita siangi, kita olah, kita suburkan sehingga siap untuk ditaburi
berbagai rupa biji tanam-tanaman. Terserah kita mau menanam apa saja.
Apapun bisa ditanam asalkan tanaman yang bermanfaat, yang nanti
menumbuhkan berbagai rupa buah dan biji-bijan, menumbuhkan berbagai
ranting yang menjulur ke tempat tujuan, yang menjadi bekal, yang siap
menerima kilatan cahaya dan hujan dari langit yang mencurahkan air
pengetahuan kepada hati manusia. Dan petir serta hujanpun nampaknya
siap-siap menjadi penyubur bumi hati yang dengan ikhlas menerimanya.
4. 41 Hari Di Maqam Ikhlas
Awalnya sekelebat saja berbagai topik diuraikan. Namun, lama kelamaan
topik kecil itupun nampaknya cuma sekedar puncak sebuah gunung es.
Setelah didraft ulang dengan seksama, aku terkejut bahwa apa yang semula
pemikiran sekilas menyangkut dengan proses penciptaan semua makhluk.
Kemudian menjadi risalah perjalanan pencarian jati diri, kemudian
menjadi risalah tasawuf wujudiah, lantas menjadi filsafat integralisme,
kemudian menjadi penguraian atau syarah al-Hikam, lantas berubah menjadi
teori-teori fisika dan metafisika, kemudian menjadi tafsir Basmalah dan
al-Fatihah, dan terakhir menjadi penguraian al-Qur’an dalam
angka-angka. Topik demi topik yang diulas malah bergulir kian kemari
sampai akhirnya terpetakan sebagai suatu risalah mawas diri, risalah
untuk memetakan jalan kembali kepada-Nya.
Kilatan cahaya petir itu nampaknya sudah menjadi hujan deras di bumi
hatiku. Terus terang akupun sempat gelagapan. Setelah baiat, suatu
kebiasaan yang sulit kulakukan nampaknya tiba-tiba saja ada mandiri di
dalam diriku. Aku sholat tahajud dengan mudah. Benar, saya sendiri
kebingungan kok bisa-bisanya menjadi penjaga malam. Padahal, terus
terang saja, tidur pagi sudah biasa karena membuat program komputer.
Tapi selama itu, melakukan shalat tahajud susah benar. Bahkan nyaris tak
pernah kulakukan. Namun, setelah baiat itu, dan akupun diam saja
dirumah tidak kemana-mana, setiap malam aku tahajud dengan enteng. Bukan
dua atau empat rakaat, tetapi 11 rakaat penuh. Lho kok bisa? Akupun
sempat heran juga. Lebih heran lagi, risalah pendekku demikian cepat
berkembang berkelebat kesana kemari seperti mengungkapkan sesuatu.
Curahan hujan tiba-tiba saja seperti turun dari langit membasahi dan
membanjiri bumi hati ku. Akupun setengah takut juga sampai akhirnya
kuuraikan ke Pak Luqman, katanya itu karomah Syadziliyyah yang membuat
aku setengah gila. Busyet dah. Akupun tercenung dan membiarkan saja
keadaan ruhaniku apa adanya. Mengalir seperti sungai waktu dan air
menuju ke samudera. Beberapa hari kemudian Pak Luqman mengirimkan SMS,
rupanya beliau sudah menceritakan keadaanku kepada Pak Yai. SMS itu
singkat saja “Salam dari Pak Yai”.
Berminggu-minggu aku diam saja di rumah, sesekali aku pergi dengan
keperluan pertemuan 2 mingguan al-Hikam. Setelah itu, ya kembali ke
rumah bertafakkur. Entah kenapa aku sendiri tidak tahu bahwa selama itu
pula tak ada telepon yang masuk ke
handphone-ku selain aku
sendiri yang menelpon ke rumah di Cirebon, atau telpon dari ibuku atau
aku yang menelpon Pak Luqman, dan satu dua kawan lainnya. Selain itu,
Blank.
Tak ada kerjaan rutin. Aku kok menikmati suatu kebebasan dan dalam
suatu lingkupan kerahasiaan dari makhluk lainnya kecuali memang yang
penting-penting saja. Apakah ini yang disebut-sebut 40 hari itu? Aku
bertanya-tanya dan kemudian malah berniat membuktikannya. Dan terbukti!
Dengan suatu teori fisika yang sederhana, teori gelombang harmonis, umur
39 sampai 40 gelombang kehidupan seseorang dalam frekuensi ruhani
tertentu memang mempunyai suatu lekukan, suatu ceruk dimana seseorang
seolah-olah masuk dalam suatu gua. Suatu genggaman Allah. Dan ini
terjadi pada semua orang ketika ia saat itu mulai lebih mawas diri dalam
usia menjelang akhir 30-an dan memasuki awal 40. Wah, ini dia rahasia
angka 40 kataku. Dan angka 40 ini pula kemudian berbagai misteri
penciptaan tersingkap didalamnya sebagai suatu ketentuan Ilahi.
41 hari lebih sedikit di genggaman ikhlas. Mungkin itulah yang tepat
kugambarkan saat itu. Aku seperti manusia yang berada dalam genggaman
Ilahi, dalam gua kontemplasi. Tak ada gangguan yang berarti saat itu
kecuali yang dikehendaki-Nya. Selama 40 hari itu, memang kodisi ruhani
memasuki suatu cerapan yang sangat sensitif. Bisa kukatakan saja sejuta
citarasa. Bagaimana mengungkapkannya susah dijelaskan kecuali dengan
menjalaninya langsung. Selama itu pula semua hubungan yang tak perlu
nampaknya diputuskan oleh-Nya. Akupun menjadi seperti sendirian saja.
Ketika saat-saat akhir masa itu aku berjalan keluar, duniapun sedikit
nampak berbeda. Kok menjadi tidak ada artinya? Aku sedikit bergumam
ketika naik angkutan kota sembarangan, dan keliling kota tanpa
juntrungannya. Akupun bingung sendiri. Ketika beberapa literatur
kubaca-baca, memang itulah yang terjadi saat itu. 40 hari atau mungkin
41 hari di suatu maqam ruhani yang membuat semua pandangan tentang
kehidupan berbeda dan dijungkir balikkan. Selama itu pula risalahku
sudah berkembang menjadi 600-an halaman! Risalah versi pertama pun
kemudian kuterbitkan online dan gratis di Internet di awal Ramadhan 2004
, kepada penerbit yang semula akan menjadi penerbit buku “Kun” kubilang
saja dibatalkan karena ada koreksi besar-besaran .
5. Berita Duka
Sore itu aku menerima kabar dari seorang teman bahwa ada orang
tarekat yang meninggal, namun ketika kutanyakan temanku sediri belum
jelas siap yang meninggal. Kata meninggal dan kematian waktu itu atau
dua minggu ini sedang menghantui semua penduduk Indonesia. Dua minggu
sebelumnya gempa dan gelombang dahsyat mengguncang Serambi Mekah Aceh.
228 ribu orang dipastikan tewas di propinsi Nangroe Aceh Darussalam,
puluhan ribu tak tahu rimbanya, ratusan ribu lainnya terhempas menjadi
pengungsi kemanusiaan. Aceh, India, Srilangka, Thailand dan beberapa
negara di kawasan Asia Tengah diguncang malapetaka berupa gelombang
Tsunami, totalnya kurang lebih 300 ribu jiwa melayang dalam sekedipan
mata. Saat itu aku pikir Allah SWT sedang menunjukkan Kemahakuasaan-Nya.
Iseng-iseng kuungkapkan ke temanku (Ismail), “
Ada Wali yang mati kali, ye”,
kataku hari itu (26 Desember 2004). Sebuah tulisan pendek kutulis
sebagai ungkapan dukacita untuk beberapa suratkabar di seluruh penjuru
Indonesia. Entah dimuat atau tidak aku tidak tahu (aku sudah tak pernah
membaca koran sejak bulan April 2004, soalnya isinya monoton dan sama
saja).
Jadi, saat itu memang aroma Malaikat Izrail sedang bertebaran di
Indonesia. Sedikit banyak beberapa teori dalam risalahku bersinggungan
dengan asal usul bencana-bencana. Bagiku memang tidak heran, namun
sebagai manusia memang mengguncangkan juga melihat tayangan televisi
yang mengabarkan ratusan ribu orang meninggal dalam sekejap mata. Dan
khabar kematian itu pula yang mengejutkanku tanggal 7 Januari 2005 itu,
Guru Mursyidku Bapak K.H. Abdul Djalil Mustaqiim mangkat kembali kepada
Sang Kekasih tercinta. Aku melongo.
Hari itu Jum’at 7-1-2005, menjadi hari duka cita yang lebih khusus
bagi aku dan kawan-kawan tarekat Syadziliyyah. Pak Luqman sudah di
Tulungagung ketika aku telepon sore itu setelah SMS-nya sampai
mengabarkan dukacita. Aku tercenung mengenang tiga kali pertemuanku
dengan beliau yang semakin memantapkan keadaan ruhaniku. Saat ini, aku
sedang memasuki medan ruhani angka-angka. Tanggal wafat Sang Guru
seperti menyiratkan satu makna tertentu 7-1-2005 jam 2:30 kalau
kuuraikan dengan teorema jumlahan sebagai pelimpahan rahmat dan kasih
sayang Allah dalam menciptakan segala sesuatu (Basmalah) adalah
rangkaian angka 7-1-7-5.
Dua malam sebelumnya, atau tepatnya dua hari sebelum tanggal 7-1-2005
aku memang tidak enak hati, jasmani dan ruhaniku memang agak sedikit
menurun semangatnya. Rupanya itu pertanda akan kemangkatan Beliau yang
bagiku secara non fisik mentransmisikan energi keruhaniannya yang
berwarna ungu dengan melimpah-limpah.
Malam sebelumnya, dengan Ismail (teman satu rumah) aku mendiskusikan
makna-makna tersembunyi dalam angka 1,2,3,5,7 yaitu bilangan prima untuk
tambahan risalah “Kun Fa Yakuun”. Angka Satu adalah Prima Kausa, Allah
Yang Maha Esa, sebagai penyebab segala sesuatu. Dan tanggal 7 Januari
sore itu pula kabar duka cita kuterima, Sang Guru Mursyid telah kembali
pada-Nya pada jam 2:30 pagi, dan dikebumikan siang harinya, hari Jum’at
7-1-2005.
Rasanya ada sebagian energi tubuhnya yang terlepas. Sedikit lemes dan
tidak biasanya. Dalam perenunganku 7-1-7-5 seperti menyiratkan sesuatu.
Tujuh angka adalah tujuh langit bumi yang kusingkap dirisalahku sebagai
struktur mendasar alam jasmani dan ruhani, alam semesta dan manusia
semua disandarkan pada angka tujuh itu. Sang Guru seperti
mengisyaratkan, “
Dakilah 7 langit bumi dengan 17 rakaat shalat 5 waktu. Darinya engkau akan temui tauhid sejati.”
Jumlahan angka itu berjumlah 15 bahkan 20 kalau dijumlah dengan jam
kematiannya (2:30 adalah 2+3+0=5), kalau dijumlahkan lagi diperoleh
angka 6 dari tanggal, bulan, tahun; dan angka 5 dari jam wafatnya; kalau
digabungkan menjadi angka 65 (QS 6:5 dan QS 65:1), atau angka 11 (QS
1:1, QS 11:1)
“Bismillaahir rahmaanir rahiim”, atau totalnya menjadi 1+1=2 (QS 2:1)
“Alif laam miim”.
Angka 6 itu adalah 6 ayat
al-Fatihah setelah
Basmalah
yang kuulas dirisalahku sebagai awal mula penciptaan dengan hirarki
tujuh alam. Itu pula ayat no 6 dalam al-Fatihah yang menyebutkan nama
Sang Guru, “
Ihdinash Shirathaal Mustaqiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus)”(QS 1:6). Ketika al-Qur’an kutelusuri kubuka beberapa ayat:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Majidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS 17:1)
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan
namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan
mereka. (QS 6:1)
“Alif Laam Mim”( QS 2:1)
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang secara
terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu, (QS 11:1)
Alif, laam, raa. (Surat) ini adalah (sebagian (ayat-ayat) Al Qur’an yang memberi penjelasan.(QS 15:1)
Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang hak (Al
Qur’an) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada
mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka
perolok-olokkan.(QS 6:5)
Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim
terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu suatu hal yang baru.(QS 65:1)
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan
dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak
akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS 7:17)
Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka
(kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari
mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan
mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (QS
71:7)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS 57:3)
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (QS 57:5)
Bagiku, rangkaian 7-1-7-5 itu seperti menyiratkan suatu pesan
terakhir dari Sang Guru Mursyid bahwa 7 ayat al-Fatihah QS 1:1, QS 1:6,
QS 1:1-7, QS 1:6, QS 6:5, QS 65:1, QS 17:1, QS 6:1, QS 2:1, QS 11:1, QS
15:1, QS 17:1, QS 7:17, QS 71:7, QS 57:3, dan QS 57:5 seperti
menceritakan bahwa manusia itu harus mengikuti suatu jalan yang lurus
dan luas (Shiraatal Mustaqiim, QS 1:6) dengan mendaki atau menyingkap 7
ayat al-Fatihah untuk menyingkap 7 langit bumi jasmani dan ruhani,
dengan 17 rakaat shalat agar tercapai mi’raj (QS 17:1) dan
menauhidkan-Nya (QS 6:1). Angka 17 itu juga menyiratkan bahwa bekalilah
dirimu dengan 6236 ayat (jumlahnya 17) yaitu al-Qur’an (QS 2:1, 11:1,
15:1) selama mi’rajmu kepada-Nya. Jangan mengabaikan al-Qur’an (QS 6:5)
karena siapapun mereka yang mengabaikan al-Qur’an tidak akan selaras
dengan ketentuan dan ridha-Nya yang akan berakhir dalam bencana (QS QS
6:5 dan 65:1, membaca ayat ini aku teringat Tsunami yang melanda Aceh
dan Kawasan Asia Tengah terutama frase “….
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”). Dalam perjalananmu, engkau akan dihadang oleh Iblis dan Setan terkutuk yang akan menghadangmu dari “
depan, belakang, kiri dan kanan”
(QS 7:17), dan juga dari mereka yang sombong yang mengabaikan seruan
kepada Allah – Tuhan Yang Esa (QS 71:7, QS 65:1). Sang Guru juga
menyiratkan untuk membaca-baca surah no 71 (Nuh), 75 (Al Qiyamaah), dan
tengah-tengahnya surah 73 (Al Muzammil).
Ketahuilah, bahwa hanya dengan tauhid hakiki yang tercantum dalam QS
57:3 (5+7+3=15, lihat juga QS 15:1) dan QS 57:5 (jumlahnya 17) maka
makrifatmu akan wusul pada-Nya sebagai,
“Dialah Yang Awal dan Yang
Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu(QS 57:3, atau 5+7=12 dan 3).” Dan ketahuilah,
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan (QS 57:5, atau 12 dan 5).”
Dari jumlahan 7-1-7-5=20, maka beliau pun berpesan dalam ketauhidannya
bahwa cintailah Rasulullah dan ikutilah akhlak dan perilakunya bila
engkau mencintai Allah,
” Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah
padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan
sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah
orang-orang yang beriman.(QS 57:8, atau 12 dan 8, jumlahnya 20)”.
Tiga surah al-Hadiid itu menyiratkan pengertian tauhid. Dari angka 12 diperoleh 12 huruf tauhid “
Laa Ilaaha Ilallaah”
dari angka 3, 5 dan 8 diperoleh angka 16 atau 1+6=7 (7 ayat al-Fatihah,
juga 7 lapis langit-bumi), dari 12+7 diperoleh angka 19 yaitu jumlah
huruf Basmalah, jumlahan 1+9 adalah angka 10 atau angka 1+0=1, Allah
Yang Maha Esa.
Bunga itu telah mekar di Taman Bunga Cinta Kasih Ilahi.
Ia menjadi satu dari bunga-bunga yang tumbuh di Sidratul Muntaha
yang harumnya semerbak mewangi menjadi
pedoman bagi para Pecinta Ilahi dan Pejalan Ruhani.
Cium dan hiruplah semerbak harumnya,
maka engkaupun akan terhisap kedalam gravitasi ruhaniah universal
yang menunjukkanmu pada Shiraathal Mustaqiim,
jalan yang mestinya ditempuh oleh semua manusia
yang menauhidkan Dia – Allah Yang Maha Esa.
Pesan Pak Yai ketika beliau kembali pada-Nya pada tanggal 7-1-2005
jam 2:30 bagi kita semua (setidaknya bagi saya) kiranya sudah jelas
benar. Ikutilah jalan tauhid untuk wusul kepada Allah SWT karena ruh
dan ujung makrifat adalah penyaksian tauhid.
“innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami
milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali)” (QS 2:156, 2 dan
12 ), maka manusia, kita ini, sebenarnya tidak memiliki apapun juga
dan kita pun akan kembali kepada-Nya. Semuanya adalah milik Allah SWT –
Sang Kekasih bagi manusia yang menauhidkan-Nya. Dari uraian 2 dan 12
diperoleh 2×12=24 huruf tauhid “
Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadurrasulullah” yang tidak lain adalah jawaban dari QS 1:6 “
Bimbinglah kami atau tunjukilah kami jalan yang lurus atau luas?” (dijawab :”
Laa Ilaaha Ilalaah”), dan jawaban dari pertanyaan pada QS 1:7 yaitu, “
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat (dijawab “
Muhammadurasulullah”),
Bukan orang yang Engkau murkai, dan bukan orang yang sesat jalan”.
Lbk Bls 11-1-2005
Tulisan ini dibuat sebagai kenangan untuk Guru Mursyid Tercinta
K.H. Abdul Djalil Mustaqiim yang wafat tanggal 7-1-2005 jam 2:30 pagi
di Tulungagung.
Dari: http://atmonadi.com/
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.