بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Thoriqoh Syadziliyyah Di Jawa Abad 19-20
GENEALOGI
KEMURSYIDAN THORIQOH SYADZILIYYAH
Oleh Kang Iftah
Sejarah thariqah di Indonesia
diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri.
Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad
14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf
akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat
1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur
akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum
fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang
kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan
konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut
muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di
berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang
ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin
Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh
Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal
Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah
Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase
pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad
Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan
Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[1]
Para sejarawan barat meyakini, Islam
bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama
Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang
kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat
dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya
dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak.[2]
Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak
bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja
muslim.
Salah satu referensi keterkaitan
para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten
kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu
disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan
ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan
Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh
ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.[3]
Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik
antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili
yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada
tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[4]
Terlepas dari kebenaran cerita
pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten
Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang
membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah
lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah,
Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra
sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan
Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri
Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga
makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran
thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang
dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan
metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah
Sammaniyyah.[5]
Seiring kepulangan santri Jawah yang
telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas,
berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki
kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat.
Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai
thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan
Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di
berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon,
Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek
kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan,
yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan
murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus
juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal
Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu
mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai
guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh
Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Thariqah besar lain yang ikut
mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan
oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena
usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun
1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah
At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.[6]
Selain thariqah-thariqah yang sudah
disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar
abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
(TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh
Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai
sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah
di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail
Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat
ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun
menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.[7]
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman
Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah
Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga
khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja
(Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
Khalifah pertama hingga wafatnya
tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi
Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh
cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus,
K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [8]
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas
diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik
kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin
Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk
diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan
adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad
bin Ilyas Noor.[9]
Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah
Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa
thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah
Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari
Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul
Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar
Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo,
Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai Abdurrahman
(Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo.
Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama: Kyai
Ahmad, Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar
mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama
Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih
tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram,
yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[10]
Masih banyak lagi thariqah-thariqah
lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar
(keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang
bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang
baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah
Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para
alumnus Damaskus, Syiria[11].
Namun demikian, meski secara umum
thariqah terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada
beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak
pusat pengajaran thariqah yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama
sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Kota
Solo.
Pada masa keemasaannya, Kota Solo
dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah, dengan
beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahlith thariqah. Pada era
abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu K.H. Idris,
pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan K.H. Ahmad, pengasuh Pesantren
Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj,
Panularan, dan Kyai Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf
Mangunwiyoto, Jenengan; Kyai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai
Idris, Kacangan, Boyolali.
Dari beberapa nama tersebut hanya
Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang
mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru murid. Setelah Kyai Idris
Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang kemenakan, menggantikan kedudukannya
sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf
Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat,
regenerasi kemursyidannya berhenti, seperti halnya mursyid-mursyid Thariqah
Syadziliyyah lain di Solo dan sekitarnya.
Sangat menarik menggali
faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini
mengingat, bahwa selain hadits, adalah thariqah yang sangat ketat menjaga
tradisi sanadnya.
Kemunculan Thariqah
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar
terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan
semakin menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan
telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas,
yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau
kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya
berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij,
syiah, dan zuhhad.
Dua golongan pertama
memberontak dengan motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan.
Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para
penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan
rohani. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan
terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan
dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan
dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu
cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati) itu pula yang belakangan
mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani
Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan
yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan yang terbentang
dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa
di bagian barat.[12]
Gerakan para Zuhhad pada mulanya
merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata- mata
berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk
mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan
dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka
tempuh berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni,
bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat
(mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku
pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah
(tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian
terhadap keberadaan Allah). Dengan isilah lain, laku batin yang mereka
tempuh dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat
tercela), lalu tahalli (menghiasi hati dengan sifat yang terpuji),
lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata caa kehidupan
rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim,
yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf
atau sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir
abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai
menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari
sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi.
Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi,
saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql
wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan
pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa)
sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata
/empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk menyebut
suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang
guru musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak
difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya,
berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh
sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar
masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai
ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan
aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran
tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah,
Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.
Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang
guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru
mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW
sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau
wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid).
Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.[13]
Mursyid mempunyai kedudukan yang
penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi
murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari
ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan
pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung)
dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si
murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli
thariqah.[14]
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang,
sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang
terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus
dan suci.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah
seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang
dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal,
seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al
Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang
lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad
SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan
wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan
ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.[15]
Seorang mursyid yang mu’tabar,
diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang
hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung
antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui
oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang
tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka
mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad
(bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang
sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak
dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. [16]
Sementara Syaikh Abdul Qadir
Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji,
menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar
para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti
para politisi.[17]
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam
urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam
hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan
pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan
kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang
sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar
biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan
ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan
Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena
pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah,
kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh
mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.[18]
Selain penjagaan otentisitas sanad
kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan
para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi
pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat
keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau
pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat
Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni
bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi
kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis.
Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan
anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga
tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak
murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak
jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat
mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun
terputus.[19]
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang
berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam
tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan
Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah
untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi
tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi,
murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan
menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak
berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri.[20]
Ketika seorang guru mursyid wafat
dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid
diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Thariqah Syadziliyyah
Thariqah Syadziliyyah adalah
thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul
Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah
al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197
M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M).[21]
Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam
berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’
(ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk
bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah).
Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin
dan kitab Qutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan pada
muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara[22]
yang pokok, yaitu:
a.
Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
b. Mengikuti sunnah Nabi dalam
perkataan maupun perbuatan.
c. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika
berada di depan atau di belakang mereka.
d. Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun
banyak.
e. Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka.
Di
samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya
dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya,
seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif,
Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thariqah
Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia,
Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan
thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan,
mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau
karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu
karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin
Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith
Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah
mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.
Thariqah Dan Kemursyidan
Syadziliyyah di Solo
Sebagaimana telah dipaparkan di
pendahuluan, bahwa Thariqah Syadziliyyah diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak
zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain
memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18.
Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi
As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan
di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa
Timur.[23]
Catatan dan bukti yang lebih jelas
dan detail tentang penyebaran Thariqah Syadziliyah di Jawa baru ada di abad 19,
ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah
dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri
Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh
Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru
mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh
Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa
Tengah, yang seangkatan --atau lebih tinggi-- dengan Kyai Idris Jamsaren saat
berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih.
Ulama Jawa yang berguru thariqah
Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram antara lain : K.H. Muhammad
Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad
Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan
Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III)
Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Banyumas.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan
itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya
Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).[24]
Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara
melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, ijazah kemursyidan kemudian diturunkan
kepada K.H. Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada K.H. Mustaqim
Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul
Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung)
Tulungagung. Saat ini kemursyidan di PETA dipegang oleh K.H. Solahuddin (Gus
Saladin), putra Kyai Abdul Jalil Mustaqim.[25]
Selain mewariskan ijazah
kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat beberpa khalifah. Salah
khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan legendaris adalah K.H. Abdul
Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid Kajoran menghadap Kyai Mustaqim
dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat K.H.R. Muhaiminan Gunardo,
Parakan Temanggung, sebagai khalifah Thariqah Syadziliyyah menggantikannya.[26]
Dari jalur Kyai Abdullah bin Abdul
Muthalib, Kaliwungu, ijazah kemursyidan turun kepada K.H. Sami’un, pendiri
pesantren Parakonje, Banyumas, yang kini dilanjutkan oleh generasi keduanya, KH
Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, Beji.[27]
Sementara dari Jalur Kyai Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh
Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen, thariqah ini turun temurun diwariskan
kepada putra-putranya Syaikh Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi
sesudahnya, K.H. Chanifudin dan K.H. Musyaffa’ Ali.[28]
Sementara itu jalur kemursyidan
Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed, pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren Jamsaren tumbuh
pesat sebagai pusat pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa Tengah
bagian selatan. Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran
thariqah Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren ini.
Sebelum wafat, Mbah Idris mewariskan
ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada kemenakannya, K.H.R. Abdul Mu'id
bin Thohir, keturunan Kyai Imam Rozi, salah seorang senopati Pangeran
Diponegoro yang bergelar Singomanja. Ketika kemursyidan berada di tangan
Kyai Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor
kethariqahan Jamsaren meredup, hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran
agama Islam terbesar di Solo.
Kyai Abdul Mu’id mendidik ribuan
murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah kemursyidan adalah putra
tertuanya, K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya, Kyai Ma’ruf diminta
menjadi salah seorang ulama dan qadhi (hakim agama) di Keraton Kasunanan
Surakarta. Kyai Ma’ruf pun kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar
dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang
kemerdekaan, Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar
thariqah Syadziliyyah di Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut
berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Barisan Kyai dan Sabilillah.
Selain menurunkan ijazah kemursyidan
kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah
kekhalifahan kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yang lebih dikenal dengn
nama Mbah Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah dari
Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari K.H. Abdul
Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad
Ngadirejo.
Kyai Ma'ruf sendiri kemudian hanya
sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi mursyid yakni Kyai Shodiq
Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai Ma’ruf tidak
menurunkan kemursyidannya kepada putranya, K.H. Djami’ul Abror. Beliau lebih
memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut
thariqah, Syaikh Abil Hasan Ali Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf
berakhirlah garis kemursyidan thariqah Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris
Kacangan pun hanya memiliki ijazah kekhalifahan yang tidak bisa diwariskan.[29]
Jika ditinjau dari tradisi
regenerasi kemursyidan thariqah, keputusan Kyai Ma’ruf untuk tidak lagi
mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq besar kemungkinan karena
ketatnya Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran thariqah yang menegaskan bahwa
kemursyidan seseorang adalah kehendak Allah dan Rasul-Nya, bukan atas kemauan
sang mursyid sendiri. Hanya alasan menjaga tradisi ini yang masuk akal
sampai-sampai hingga akhir hayatnya Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya
sendiri menjadi mursyid, meski dari segi kealimannya Gus Abror cukup memenuhi
syarat. [30]
Bahkan dalam konteks tertentu,
seorang mursyid pun tidak mengangkat khalifah baru, ketika seorang khalifah
wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika diminta mengangkat pengganti Kyai Idris
Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak
karepku lan karepmu, ning karepe sing duwe thariqah ora ngono kuwi.” (Itu
–mengangkat pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thariqah
tidak demikian.—garis silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis).[31]
Mengikuti tradisi keilmuan thariqah,
murid-murid dari Syaikh Ma’ruf, Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun
rata-rata melanjutkan bai’at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid thariqah
Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara
kasuistik justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri.
[1] Van
Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.
[4] Meski begitu,
dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik
dengan guru yang masih hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan
proses belajar dengan guru thariqah yang sudah wafat. Proses ijazah thariqah
semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah:
Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), Khalista, Surabaya, 2006,
hlm. 162-163.
[6] Martin Van
Bruinessens, Loc.Cit. hlm. 20-21
[7] Martin Van
Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung,
tahun 1997, hlm. 1-100
[8] Tim Penyusun, Mengenal
Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal
Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.
[9] Muhdhor
Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah
Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100
[10] Berbagai
catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh
tersebut, seperti : www.thohiriyyah.com;
http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan sumber-sumber lain.
[11] Disebut
Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi
Ad-Darqawi. Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu
sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh
Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang
menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah,
Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal
Thariqah, LTN-JATMAN, 2005, hlm. 31 dan www.wikipedia.org/wiki/shadhili
[12] Tim Penyusun
JATMAN, loc. Cit. hlm. 14
[13] Tim Penyusun
JATMAN, loc. cit. hlm. 22
[14] Ibid, hlm. 23 dan Prof. DR.H.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian Tentang Mistik),
Ramadhani, Solo, tt, hlm. 64-69
[15] Syaikh
Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil
Ghuyub, Dar el-Fikr, Beirut, tt. hlm
[17] Ja’far bin
Abdul Karim Al-Barzanji, Al-Lujjain Ad-Dani fi Manaqib Al-Quthb
Ar-Rabbani: Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani, dalam Bulughul Amani
(terjemah manaqib dalam bahasa Jawa), Hasyim Putra, Semarang, tt. Hlm 31.
[18] Hasil
wawancara dengan K.H. Busroni, K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni,
ketiganya adalah badal (asisten mursyid) dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin
Hasyim bin Yahya, sekaligus juga pengurus pusat Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) di mana Habib Luthfi juga menjadi Rais
Am-nya.
[21] Muhammad
Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili,
Kepribadian dan Pandangan, Penerbit Al-Anwar, Brebes, 2012, hlm. 21
[22] Tim Penyusun
JATMAN, op.cit
[23] Abdurrahman
Wahid, Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, dalam kumpulan tulisan
Gus Dur, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, LKIS, Yogyakarta,
cetakan III, 2000, hlm.130-131
[24]
http://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/10/21/kh-dalhar-magelang/
[25] https://sites.google.com/site/temonkds/project-updates/enteryourmessagetotheteamhere
[26] http://kyaiparakbamburuncing.blogspot.com/2011/12/profil-pon-pes-kyai-parak-bambu-runcing.html
[27] www.ath-thohiriyyah.com,
website resmi Pesantren yang dirintis oleh K.H. Sami’un, kini diasuh oleh
generasi ketiga.
[28]
http://kangdjalil.blogspot.com/2011/01/syaikh-mahfudz-somalangu.html dan
http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/05/riwayat-singkat-syekh-muhammad-kahfi.html
[29] Hasil
wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror),
menantu K.H. Ma’ruf, serta K.H. Busroni dan K.H. Nurhadi Syafi’I, keduanya
adalah badal mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi bin Ali
bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan.
[30] Hasil
wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror),
menantu K.H. Ma’ruf
[31] Wawancara
dengan Kyai Busroni, Solo.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.