RINDU KEINTIMAN SPIRITUAL BERSAMA ALLOH
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa perasaan damai, takut,
dan rindu merupakan dampak dari perasaan cinta. Namun, kadar yang
dirasakannya tidak permanen, tergantung pada tingkat ketajaman pandangan
dan tingkat kepekaan perasaan yang menguasai sang pecinta.
Jika
apa yang terjadi pada sang pecinta adalah sebuah penyaksian dari balik
tabir hingga mencapai keindahan puncak dan ia merasa tak mampu lagi
untuk menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan tersebut, maka hatinya
menjadi cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus memburu.
Keadaan cemas seperti itulah yang disebut syawq (kerinduan). Sungguh
kerinduan adalah sesuatu yang gaib.
Jika ia dikuasi oleh perasaan
tentram dan bahagia luar biasa, karena berdekatan (bersama Allah) dan
berhasil menyaksikan kehadiran-Nya melalui tersingkapnya tabir antara
Dia dan dirinya, lalu pandangannya juga terfokus pada penyaksian
keindahan yang hadir terungkap di hadapannya, tanpa menoleh kepada
keindahan lain yang belum diketahui, maka hatinya akan diliputi perasaan
senang dan gembira. Kegembiraan seperti inilah yang disebut uns
(keintiman spiritual).
Lalu, jika pandangannya terfokus pada
sifat keagungan dan kemandirian-Nya, sama sekali tak berpaling dari-Nya
dan ia khawatir semua yang dirasakannya itu lenyap, menghilang atau
menjauh, maka hatinya akan merasa pedih. Perasaan pedih semacam inilah
yang disebut khawf (ketakutan).
Jadi, uns (keintiman spiritual)
dalam konteks ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan hati karena
menyaksikan keindahan. Lalu, ketika kegembiraan dan kebahagiaan itu
benar-benar telah menguasai, tidak peduli terhadap segala hal yang telah
menghilag, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka
kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak pada puncak tertingginya (uns).
Suatu ketika Syekh Ibrahim bin Adham turun dari gunung. Seseorang
bertanya, “Darimana engkau, ya Syekh?” Lalu beliau menjawab, “Dari
bersenang-senang (uns) dengan Allah.” Bersenang-senang dengan Allah
menyebabkan dia merasa tidak membutuhkan kepada selain Allah. Bahkan,
semua bentuk kendala yang merintangi khalwat menjadi beban di hati.
Diriwayatkan pula bahwa Musa a.s. berbicara dengan Allah SWT, beliau
berdiam diri selama beberapa hari. Jika beliau mendengar seseorang
berbicara, maka beliau langsung pingsan. Ini tidak mengherankan karena
cinta hanya meniscayakan nikmatnya pembicaraan Sang Kekasih, juga
nikmatnya berdzikir dan menyebut-Nya. Bagi sepotong hati yang dirasuki
cinta, maka tak ada yang terasa nikmat selain Dia semata. Karena itu,
seorang bijak berkata dalam alunan doa, “Wahai Dzat yang dengan
menyebut-Nya hati jadi damai sentosa! Wahai Dzat yang membuat aku tak
merasa butuh kepada makhluk-Nya.”
Rabiah Adhawiyah ditanya,
“Dengan apa engkau bisa meraih kedudukan seperti ini?” Beliau menjawab,
“Dengan meninggalkan apa yang tidak aku butuhkan dan rasa damaiku
bersama Dzat yang tak pernah lenyap.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha