Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
IKHLAS merupakan nur dari nur Allah Swt. yang dititipkan Allah
dalam hati hamba-Nya yang beriman, lalu Allah memotong dengan nur itu
dari selain-Nya. Itulah prinsip ikhlas.
Kemudian ikhlas itu bercabang menjadi empat kehendak:
Kehendak ikhlas dalam beramal untuk mengagungkan Allah Swt.
Kehendak ikhlas untuk mengagungkan perintah Allah Swt.
Kehendak ikhlas untuk meraih balasan dan pahala
Kehendak ikhlas dalam membersihkan dari cacat-cacat yang tidak bisa dihalau, selain tindakan tersebut.
Semua kehendak tersebut kita lakukan. Barangsiapa berpegang salah
satu dari kategori di atas, ia disebut orang yang ikhlas (mukhlish)
yang mendapatkan derajat di sisi Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya,
“Allah Maha Melihat atas apa yang mereka kerjakan.”
Untuk itulah Allah Swt. menceritakan, sebagaimana dikisahkan Jibril
kepada Rasulullah Saw. “Ikhlas itu merupakan rahasia dari rahasia-Ku,
yang Kutitipkan dalam hati orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku.”
Apabila engkau ingin selamat dari tipudaya, maka ikhlaslah dalam
beramal semata karena Allah Swt. disertai ilmu pengetahuan. Dan
janganlah engkau rela sedikitpun terhadap nafsumu. Aku melihat
seakan-akan aku thawaf di Ka’bah, untuk mencari ikhlas dalam diriku.
Aku sedang menyelidiku ikhlas tersebut dalam rahasia batinku. Tiba-tiba
ada suara yang tertuju pada, “Sudah berapa kali engkau ragu-ragu
bersama-sama orang yang ragu. Sedangkan Aku adalah Maha mendengar, lagi
Maha Dekat, Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi? Pengenalanku
mencukupkan dirimu dari ilmu generasi awal dan akhir, selain ilmu Rasul
dan para Nabi.”
Ikhlas itu ada empat: Ikhlas dari seorang yang mukhlis, maka ia
ikhlas bersama-Nya dan ikhlas bagi-Nya. Dalam hal ini terbagi dua:
Ikhlasnya kaum “Shadiqin” dan ikhlasnya kaum “Shiddiqin”. Ikhlasnya
Shadiqin semata untuk mendapatkan balasan dan pahala, sedangkan
ikhlasnya Shiddiqin, semata untuk memandang Wujud Al-Haq, sebagai
tujuan, bukan tertuju pada sesuatu di sisi-Nya. Maka barang siapa
disinggahi hatinya oleh ikhlas yang sedemikian rupa itu, maka ia
dikategorikan orang yang dikecualikan dari ucapan musuh-Nya, dengan
firman-Nya: : “...dan pasti akan menyesatkan mereka semua, kecuali
hamba-hamba-Mu yang dianugerahi ikhlas.” (Q.s. Al-Hijr: 39-40).