بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Tasawuf ala syeih ibnu Atho’illah
Pemikiran Ibnu Atha’illah
Berdasarkan biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas,
bahwa ia seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi
tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai ahli
Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab al-Hikam.
Untuk memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami
terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari karir
hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam mengklasifikasikan
pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak berorientasi pada nilai-nilai
Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya
al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah
pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang
lain
, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah bukan sekedar bercorak
tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi dengan
unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya diantara syari’at, tharikat
dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam
karya-karya tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum
yang bermazhab Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki
posisi sebagai dalam tahrekat Sydziliyah.
Corak Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada
Ma’rifat. Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga
dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada kahususnya
tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan
yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada
Allah. dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan
akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan
dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat
Allah Swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali,
yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah,
mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan
pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya
zuhud adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para
sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia
adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan
hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan
senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner
yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya.
Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya
dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan
tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu
pula, seorang salik harus memakai baju lusush yang tidak berharga, yang
akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat,
berusaha menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang
yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami
para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam
arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga harus beraktivitas dalam
realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat
adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek
penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan
perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan
berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa
ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan
1). Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui
usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah
al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan
berangkat dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta
tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental
mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita dapat
memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick eksperience).
Ibnu ‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung
dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi
lima bagian yaitu :
- Secara
lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
- Berkata
dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
- Dalam
penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
- Baik
dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
- Baik
dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok
dalam Tasawuf antara lain :
- Peniadaan
kehendak dibalik kehendak Tuhan
- Pengaturan
manusia dibanding kehendak Tuhan
- Pengaturan
manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan
penegasan dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ
شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ
فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ
فِيْه
Artinya : “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang
menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain
waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia
mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan
kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang terjadi apa
saja dialam semesta ini, misalnya jatuh sakit, orang yang berada
ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta kaya, semua itu
berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah direncanakan sejak semula oleh
Allah Swt dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam wujud
ini. Dalam Hal ini Allah Swt berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan
taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah
ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini adalah
sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami akan qudrat dan
iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum
dikehendaki Allah, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan
ketetapan dan keputusan Allah yang telah diberikan kepadanya. Padahal apa
saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang
tercela.
Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah
itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap manusia
harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang dada dan rela
hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu
‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ
وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ
أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ
Artinya “ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika
Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri. Dan
tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya
kepadamu”
Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan
kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu cenderung
pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak henti-hentinya
untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan sifat kemurahannya
kepadanya.
Penjelasan menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal
usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya manusia
harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan
diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan budi kepada Allah Swt.
Maka hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah yang ditegakkan dalam
setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi
pada struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab
tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana terdapat
benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan
dan pandangan yang mendasarinya.
Dalil metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri
adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara selain Dia
adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah doktrin tauhid
(Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai kesimpulan akhir
metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran (al-haqq), dunia adalah tidak
ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual
mendalam yang mengalir dari doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu
sendiri.
Mengenai tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni
Iman Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu
‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam tekhnik
dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori kelompok dalam
kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.
Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada
kategori ini, penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan
kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa
“tidak adan Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘ dan itu
adalah Islam”.
Kategori kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat
menegah. Pada kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati,
secara bebas dan dengan kehendak sendiri, dalam keyakinan dan
kepatuhan. Dan itu adalah Iman.
Kategori kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang
terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql), mata
(‘iyan), yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dan itu adalah
ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga
tingkatan.
Pertama dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua
dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang terpilih yang
mempunyai keyakinan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang
terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang menghentikan
dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b. Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih
memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih
mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam
pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam hal ini
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari
segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi ketetapan ruhanimu”
Benda yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam
bentuk kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung dengan
benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu tidak sejenis
badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan pertumbuhan ruh tidak bergantung
pada benda-benda dunia akan tetapi bergantung dan berhubungan kepada
terciptanya benda-benda alam tersebut yakni Allah Swt.
Jadi benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan
ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut
sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala hawa
nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari segala kotoran
yang menempel pada kita.
Secara biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar
(jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat menemukan,
mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dan
sejenisnya.
Ibnu ‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa
tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian yang mau
tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh, Ibnu ‘Atha’illah
tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ
أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ
مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu
pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan tidak
nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.
Sebenarnya setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal
ruh itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia dan bahwa
dengan adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat
diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir, mencintai,
menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat diketahui mngenai ruh
ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang merupakan media
kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ruh tersebut lalu menjadi
benda mati, beku dan tidak lagi memiliki gerakan.
Dapat disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan
zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam semesta.
dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara sendirinya, sehingga
seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk tunduk memberi penghormatan
kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa “ruh adalah zat
yang memiliki sifat yang tersendiri, dan berada dalam benda-benda lain. Ia
adalah jisim Nuraniyah (Nur atau cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam
kehidupan manusia.
Selain ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga,
tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh itu
tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan kesan
kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan itu, selama
tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.
Adanya zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang
datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia meyakinkan
adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal agama-agamanya.
Bahkan aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya
mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,
kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan ruh
tersebut.
Paham materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain,
kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada benda
lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang dinamakan ruh itu
dalam alam semesta yang maujud ini.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga
selain manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan
imateri, ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat
berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu
‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa dapat
bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang ditulisnya :
اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا.
Artinya : “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk
dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada untuk
menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari kehadirat-Nya adalah
lebih dekat.”
B. Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang
mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf
kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:
- a).
Cintanya hanya kepada Allah yang agung
- b).
tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala
hal.
- c).
mematuhi segala perintah Allah,
- d).
terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai
orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu.
Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi Ibnu
‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang bijak pula.
Adapun Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui
eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut ‘arif.
Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal atau
mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa
makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas menegaskan dua
penjelasan.
Penjelasan yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara
langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain al-ujd.
Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :
مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ
Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada
akhirnya”.
Cahaya dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan
cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya tersebut
merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala
sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid. Keterangan
ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
مَاطَاِلعُ
ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ
Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati
manusia dan rahasia-sahasianya”
Pada kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang
merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan Tuhan dan
mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah ,pertama Syu’aa’ul
Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat mengetahui akan hakikat dirinya
dan mengarti bahwa Allah itu dekat dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni
dengan Ilmunya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada
di dalam wujud Allah. Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya,
manusia bisa mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian
menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah yang
tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati
tentang Wujud Tuhan.
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati
sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum
meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak bisa
sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat
pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa
dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah
semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
“Apabila Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai
dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai
dirinya. Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan
membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”
Di satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai
“hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan oleh Ust
Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah
kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat
kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup,
baik di dunia maupun di akhirat”
Penjelaskan kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat)
kesungguhan dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan
kesungguhan ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir
dari Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam
ajaran Sufi.
Pada kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah Abu
Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.
Dalam hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa
Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah.
dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :
اَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ
النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ كَانَتْ
بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ
Artinya : “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin
yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak
permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya akan
samapai kepada-Nya,”
Permulaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang
jelek akan membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila
seseorang itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia
memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh (suluk),
niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai dengan baik
pula.
Sebaliknya jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan
cara yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh
(suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal keinginan
belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam
Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata,
sebagaimana Hikmah dibawah ini :
Artinya : “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh
sesuatu padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.
Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih
dekat kepadamu dari segala sesuatu”.
Dalam hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli
(penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus
berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu pengalaman-pengelaman
dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).
Mata yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur
tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi Allah”
saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu mereka yang
berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat. Dalam hal ini Ibnu athaillah
menyebutkan :
فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ.
Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang
buta) yang ada dalam rongga dada”.
Sedangkan dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin
Utsman Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana
perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti malam yang gelap
dilampaui cahaya siang.
Begitupun qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi
siang yang nikmat, tiada malam sama sekali. Sejalan dengan Ibnu
‘Atha’illah yang menyebutkan :
Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah)
yang tampak dhahir pada segala sesuatu”
Berangkat dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan
Ibnu Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan.
Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh
melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir,
mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
C. Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah
(komentar) dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak
dari hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok;
aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual
merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian
lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain
aforisme.
Aforisme mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah
ma’rifat iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu
permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang
menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari
tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi
tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau dapat
disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat disebut
Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya
Illahi
“Sinar Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu.
Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena
wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang menunjukan kepadamu,
hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu.”
“Fikiran itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran
yang timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang salik
yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik, ialah mereka
ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka hijab hingga dapat
melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang
menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Mengenai yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai
yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan adanya
alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia berkata :
Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan sebaliknya ada yang
terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya ciptaan ini menunjukan
adanya pencipta.
“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal
(Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat
: maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang
akan menerangkannya (penjelasan perincian).
Ilmu adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah
ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu itu
dapat juga disebut ilmu ladunni.
D. Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin
berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara
hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, “bukan itu
tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” demikian pula
hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh
hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah
engkau menjadi orang kafir.”
Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat
اَلعَْاِرفُ
لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ
غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ
“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa
tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.