بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Perbedaan ikhtilat dengan khalwat
Pengertian Ikhtilat
Makna ikhtilat secara bahasa berasal dari kata
ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan, maknanya bercampur dan berbaur. Maksudnya
bercampurnya laki-laki dan wanita dalam suatu aktifitas bersama, tanpa ada
batas yang memisahkan antara keduanya.
Pengertian khalwat
Makna khalwat secara bahasa berasal dari kata khala-yakhlu
maknanya menyepi, menyendiri, mengasingkan diri bersama dengan seseorang
tanpa kersertaan orang lain. Secara istilah, khalwat sering digunakan untuk
hubungan antara laki-laki dan wanita dimana mereka menyepi dari
pendengaran, penglihatan, pengetahuan atau campur tangan pihak lain atau
mahramnya, kecuali hanya mereka berdua. Berkhalwat dengan seorang wanita yang bukan
mahramnya dapat pula terjadi ditengah keramaian.
Sejauh yang kami tahu tidak ada pelarangan ikhtilat dalam Al Qur’an dan
Hadits. Istilah ikhtilat adalah perkara baru (muhdats). Hal yang telarang
adalah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita yang bukan mahramnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“
Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita
(yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.”
“
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
sekali-kali dia bersendirian dengan seorang wanita yang tidak bersama
mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.”
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan
seorang wanita, kecuali bersama mahramnya.”
Artinya jika bersama mahramnya maka seorang lelaki boleh berikhtilat
(bertemu / bercampur baur) dengan seorang wanita yang bukan
mahramnya namun wajib menjaga pandangannya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
(QS An Nuur [24]:31)
“
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“.
(QS An Nuur [24]:30)
Cara menjaga pandangan adalah dengan bersikap ihsan yakni selalu
menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh) atau selalu yakin bahwa dalam
pengawasan Allah Azza wa Jalla sehingga menghindarkan dirinya dari perbuatan
yang dibenciNya, menghindarkan dirinya dari perbuatan maksiat, menghindarkan
dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat),
maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.
(HR Muslim 11).
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim
yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar
dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya
menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpesan kepada Ali r.a. yang
artinya, “
Hai Ali, jangan sampai pandangan yang satu mengikuti
pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya
tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Telah menceritakan kepadaku
Mahmud bin Ghailan telah menceritakan
kepada kami
Abdurrazaq telah memberitakan kepada kami
Ma’mar
dari
Ibnu Thawus dari
ayahnya dari
Ibnu ‘Abbas
mengatakan, belum pernah kulihat sesuatu yang lebih mirip dengan dosa-dosa
kecil daripada apa yang dikatakan oleh
Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam; Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari
zina, ia pasti melakukan hal itu dengan tidak dipungkiri lagi, zina mata adalah
memandang, zina lisan adalah bicara, jiwa mengkhayal dan kemaluan yang akan
membenarkan itu atau mendustakannya (HR Bukhari 6122, 5744)
Telah menceritakan kepada kami
Ishaq bin Manshur telah mengabarkan
kepada kami
Abu Hisyam Al Makhzumi telah menceritakan kepada kami
Wuhaib
telah menceritakan kepada kami
Suhail bin Abu Shalih dari
bapaknya
Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “
Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya
yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat,
zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua
tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah
berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau
ditolak oleh kemaluan.” (HR Muslim 4802)
Dari ketiga hadits di atas dapat kita ketahui bahwa kemungkinan besar akan
terjadi seorang pria bertemu dan melihat, mendengar suara dan berbicara ,
bersentuhan tangan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya namun jangan
mengarah mendekati zina.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “
Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.” (QS Al Israa [17]:32)
Sebagian orang mengada-ada larangan berikhtilat secara keseluruhan walaupun
tanpa terjadi khalwat berdalilkan
Firman Allah ta’ala yang artinya
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan,
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian
itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu , dan Allah tidak malu yang
benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak
boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar
di sisi Allah“. (QS. Al-Ahzab : 53)
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah
yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: “pakailah
tabir”. Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: “Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu
buta!” Maka jawab Nabi: “Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu
berdua melihatnya?”
Kewajiban di balik tabir hanyalah berlaku pada istri-istri Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami
Sa’id bin Abu Maryam telah
mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Ja’far bin Abu Katsir ia berkata;
telah mengabarkan kepadaku
Humaid bahwa dia mendengar
Anas
radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetap
bersama Shafiyyah binti Huyyay selama tiga hari di jalan antara Khaibar dan
Madinah, beliau dibuatkan tenda bersama Shafiyyah. Kemudian aku mengundang kaum
Muslimin untuk menghadiri walimah (resepsi perkawinan) beliau. Saat itu tidak
ada roti dan tidak pula daging. Ketika itu beliau memerintahkan Bilal untuk
menghamparkan hamparan yang terbuat dari kulit, setelah itu kurma, susu kering
dan minyak samin diletakkan di atas hamparan tersebut. Lalu kaum Muslimin sama
berkata; Dia salah seorang dari ummahatul muslimin ataukah sahaya beliau?.
Sebagian mereka menjawab; Jika beliau menghijabnya berarti termasuk salah
seorang dari ummahatul muslimin, jika beliau tidak menghijabnya berarti hanya
seorang sahaya beliau. Ketika berangkat pulang, beliau menempatkan Shafiyyah
dibelakang beliau dan menyelimutinya dengan hijab. (HR Bukhari 3891)
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad Telah menceritakan kepada
kami
Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami
Khalid
bin Dzakwan ia berkata;
Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran
berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk saat aku
membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku,
sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul
rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat
perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah
kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka
beliau bersabda: “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin
kamu katakan.” (HR Bukhari 4750)
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Bukair berkata, telah
menceritakan kepada kami
Al Laits dari
‘Uqail dari
Ibnu
Syihab dari
‘Urwah dari
‘Aisyah, bahwa Abu Bakar?
radliallahu ‘anhu pernah masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina
(Tasyriq). Saat itu ada dua budak yang sedang bermain rebana, sementara Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menutupi wajahnya dengan kain. Kemudian Abu Bakar
melarang dan menghardik kedua sahaya itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam melepas kain yang menutupi wajahnya seraya bersabda: “Biarkanlah wahai
Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya ‘Ied.” Hari-hari itu adalah hari-hari
Mina (Tasyriq).” ‘Aisyah berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menutupi aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak
Habasyah yang sedang bermain di dalam masjid. Tiba-tiba ‘Umar menghentikan
mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Biarkanlah mereka
dengan jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan.” (HR Bukhari 934)
Hal yang perlu kita ingat selalu tidak boleh kita mengada-ada larangan yang
tidak dilarangNya , mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang
tidak diwajibkanNya karena perkara dosa, perkara kewajiban jika
ditinggalkan berdosa, perkara larangan dan pengharaman jika
dilanggar/dikerjakan berdosa hanyalah berasal dari Allah ta’ala.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “
di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran,
sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits
riwayat Ath-Thabarani)
Perbuatan mengada-ada seperti itulah yang disebut dengan perkara baru
(bid’ah) dalam “urusan agama” atau dibeberapa hadits disebut dengan “urusan
kami” yakni urusan yang merupakan hak Allah ta’ala mensyariatkan atau
menetapkannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah
diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa
yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “
Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan
Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan
Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah
telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak
lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan
oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “
Apa-apa yang Allah
halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam
kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka,
terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap
segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali
Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya.
Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “
Tidak
tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari
neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al
Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“
mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“
menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman
(dikerjakan berdosa)
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]:3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “
Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang
haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di
syariatkan-Nya.”
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala
laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya,
selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “
dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS
Maryam [19]:64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ
الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ
يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِه
“
Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum
muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya
tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut
diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim
4349, 4350)
Jadi bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) adalah bid’ah dalam urusan
yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya atau
bid’ah dalam perkara syariat yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya
atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang
tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “
Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang
tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan
atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf
[7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “
Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan
padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku
ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah
syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,
dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta
mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak
turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “
Mereka menjadikan para rahib dan pendeta
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para
rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan
pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”
mereka (para
rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian
itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
mutiarazuhud
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.