بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Kaum Sufi
Sebagaimana yang disampaikan Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang
ulama sufi abad ke-4 hijriyah,
“Kaum Sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai
kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya
setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada
mereka.
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan
mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya.
Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan berkeliling bersama
Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia;
melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam)
musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban
Allah) dengan
“penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk
“tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka
saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan
kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa
perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah
dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah)
dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat
apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang dikehendakiNya; tidak
ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk
yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan
siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak
dari Allah.”
Sumber: “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul
Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”,
sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani,
Jakarta
Berikut catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Syaikh Ibnu
Athaillah.
*****awal kutipan *****
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang
asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf
(bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid
Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada
manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia
menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan
shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan
wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan
fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk
menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka
mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena
malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka
berikan untuk diri mereka sendiri.
***** akhir kutipan ******
Sufi adalah mereka yang menjalankan tasawuf dalam Islam. Jalan
menelusuri jalan (tharikat) yang telah dilalui oleh Rasulullah, dimulai dengan
beliau berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts
(perenungan/kontemplas diri) di gua hira. Kemudian beliau menerima wahyuNya
tentang perkara syariat , syarat untuk menjadi hamba Allah yang berisikan
perintahNya dan laranganNya , kemudian setelah syarat dipenuhi/dijalankan maka
dilakukanlah perjalanan diri melalui maqom-maqom hakikat hingga sampai (wushul)
kepada Allah Azza wa Jalla, hingga menjadi muslim yang berakhlakul
karimah , muslim yang Ihsan atau muslim yang berma’rifat, muslim yang
menyaksikan Allah Azza wa Jalla.
Cara menaapai akhlakul karimah adalah dengan membersihkan hati (tazkiyatun
nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI)
kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya
beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb (berma’rifat). Para
Ulama Sufi menyebutnya maqom musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan
bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada
Tuhan selain Allah”. Mereka juga telah mencapai kasyaf (mukasyafah), terbukanya
hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi
kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib.
Terhalang manusia melihat Rabb adalah karena dosa. Setiap dosa merupakan
bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati
ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat
Allah. Manusia ketika di dunia tidak ada satupun yag luput dari dosa kecuali
yang dikehendaki Allah. Mereka yang dikehendaki Allah itulah yang dapat melihat
Rabb.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang
bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada
negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk
orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama
Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau
melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah
melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab:
“Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh
Iman.”
Imam Al Qusyairi mengatakan bahwa, “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu
yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya
menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan, “Sesungguhnya yang terhalang adalah anda,
hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga
terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah,
maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri
anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah
sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta
memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan“.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka
dengan DiriNya. Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi
putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa
Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka
hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara
baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi
kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total
dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai /
berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan
noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin
sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat
berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat
Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya. Allah Ta’ala
menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena
amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang
telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga
nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau
tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib,
padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan
petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.