Sebagian guru Sufi
mengatakan: Saya pernah berkata kepada Ruwaim —rahimahullah—, “Berilah saya
suatu wasiat (pesan).” Ia pun memberikan wasiat, “Wahai anakku, tidak ada cara
lain kecuali hanya dengan mengorbankan jiwa (ruh), jika engkau mampu
melakukannya, maka silakan. Tapi jika tidak, maka jangan sekali-kali
rnenyibukkan diri dengan ketidak benaran tasawuf.”
Suatu ketika teman-temanYusuf bin al-Husain berkumpul di kediaman Yusuf
—rahimahullah— kemudian mereka berkata kepadanya, “Berilah kami suatu wasiat.”
Maka Yusuf berpesan, “Ikutilah semua apa yang kalian lihat dari perbuatan saya
kecuali dua perkara: Janganlah kalian berhutang kepada Allah dan jangan
berteman dengan orang yang congkak.”
Dikatakan kepada Sari as-Saqathi —rahimahullah—: “Berilah kami wasiat.” Maka ia
berwasiat, “Janganlah kalian berhutang kepada Allah Swt. dan jangan melihat
wajah pemuda yang belum tumbuh jenggotnya.”
Ada seseorang berkata kepada Abu Bakar al-Barizi, “Berilah aku wasiat.” Maka ia
berwasiat, “Waspadalah terhadap kesukaan Anda, kebiasaan dan kecenderungan Anda
pada hal-hal yang enak.”
Abu al-Abbas bin ‘Atha’ —rahimahullah— berkata dalam sebagian wasiatnya kepada
teman-temannya, “Hati-hatilah, jangan sampai kesedihan kalian hanya karena apa
yang tampak pada kalian. Kalian hendaknya mengikuti apa yang dikehendaki Allah
Swt., dan bukan pada apa yang kalian inginkan.”
Dari Ja’far al-Khuldi —rahimahullah— yang berkata: Suatu ketika al-Junaid
memberi wasiat kepada seseorang, dan berkata, “Dahulukan dirimu daripada
keinginanmu. Dan jangan mendahulukan keinginanmu kemudian baru dirimu, maka
akibatnya adalah pemborosan waktu.”
Saya menemukan dalam kitab yang ditulis Abu Said al-Kharraz —rahimahullah— ia
memberi wasiat kepada seorang murid atau sahabatnya, “Saudaraku, pergaulilah
sahabat Anda dengan tulus ikhlas, bergaullah dengan para pemburu dunia sekadar
pergaulan. saksikan mereka dengan lahiriah Anda, tapi berbedalah dengan mereka
dalam tindakan Anda dan jangan melecehkan agama Anda, menangislah bila mereka
tertawa, bersedihlah di kala mereka bersenang-senang, bersungguh-sungguhlah
ketika mereka santai, laparlah saat mereka kenyang, ingatlah akhirat ketika
mereka ingat dunia, dan bersabarlah untuk mengurangi pembicaraan, pandangan,
gerak, makan, minum dan pakaian hingga Allah Swt. menempatkan Anda di surga
Firdaus dengan rahmat-Nya sesuai dengan yang Dia kehendaki.”
Abu Said al-Kharraz juga memberi wasiat kepada sebagian sahabatnya, “Wahai
seorang murid, jagalah wasiatku ini dan senanglah dengan pahala Allah. Sebab
kejelekan hanya akan kembali pada diri (nafsu) Anda, lalu Anda memperbaikinya
dengan berbuat ketaatan. Anda menjauhi dan mematikannya dengan menentang
keinginannya, ‘menyembelihnya’ dengan memutuskan harapan terhadap apa yang
selain Allah, membunuhnya dengan perasaan malu kepada Allah Azza wajalla, dan
Allah-lah yang mencukupi Anda, bersegeralah dalam melakukan segala kebaikan,
dan ketika Anda berbuat dalam segala tingkatan spiritual, hati Anda merasa
takut bila apa yang Anda lakukan tidak diterima-Nya. Inilah hakikat penerimaan,
keikhlasan dan kejujuran hingga akhirnya Anda bisa bersih, murni dan kembali
kepada Allah Swt. Sementara itu Allah Swt. melakukan apa saja yang Dia inginkan
dan memberi pijakan dengan apa yang Dia kehendaki.”
Sebuah wasiat yang pernah disampaikan Dzun-Nun kepada thagian sahabatnya,
dimana ia mengatakan, “Saudaraku, perlu Anda ketahui, bahwa tiada kemuliaan
yang mengungguli Islam, tiada kehormatan yang lebih terhormat daripada
ketakwaan, tiada akal yang lebih terpelihara daripada sikap wara’, tiada
penolong (pemberi syafaat) yang lebih bisa menyelamatkan daripada tobat, tiada
pakaian yang lebih agung daripada ampunan (atlat), tiada pelindung yang lebih
kokoh daripada keselamatan, tiada gudang simpanan harta yang lebih mencukupi
daripada merasa puas dengan apa yang ada (qana‘ah) dan tiada harta yang lebih
bisa menghilangkan kerniskinan daripada rela dengan apa saja yang bisa
mengganjal rasa lapar. Barangsiapa merasa cukup dengan bekal rezeki sekadar
mencukupi kebutuhannya maka ia benar-benar telah mengatur ketenangan hidup.
Sementara itu banyak keinginan merupakan kunci kelelahan dan kendaraan
kesengsaraan, ketamakan adalah faktor pendorong untuk membabi buta dalam
melakukan dosa, sedangkan kerakusan adalah yang mengumpulkan segala kejelekan
dan aib. Sudah cukup banyak ketarnakan yang bohong, cita-cita yang tak tercapai
dan harapan yang hanya mengakibatkan nasib buruk dan usaha mencari keuntungan
yang hanya berakhir pada kerugian.”
Sementara itu, al-Junaid pernah berwasiat kepada sebagian sahabatnya, “Saya
berwasiat kepada Anda untuk tidak melirik pada kondisi yang telah berlalu
ketika tiba kondisi yang ada sekarang.” Al-Junaid berkata: Saya pernah berkata
kepada Abu Abdillah al-Khayyath ad-Dinawari, “Berilah aku wasiat.” Lalu ia
berkata, “Saya berwasiat kepada Anda dengan suatu sifat tertentu dimana saya
tahu, bahwa sifat itu tidak akan disertai oleh cacat yang lain.” Lalu saya
bertanya. “Sifat apakah itu?” Ia menjawab, ‘Anda menuturkan kebaikan saudara
Anda ketika ia tidak hadir dan mendoakan untuk keselamatannya.”
Diceritakan dan Abu Bakar al-Warraq —rahimahullah— yang mengatakan, “Saya
menjual kemuliaan karena menginginkan kemuliaan dan membeli kehinaan karena
takut hina. Inilah balasan bagi orang yang melanggar wasiat Allah Swt.”
Ada seseorang datang ke Dzun-Nun al-Mishri —rahimahullah— lalu ia berkata,
“Berilah aku wasiat.” Maka Dzun-Nun berwasiat kepadanya, “Saya berpesan kepada
Anda, bila Anda dibantu dalam kekuatan ilmu gaib dengan tauhid yang benar, maka
sebenarnya itu telah ada sebelum Anda diciptakan, sejak zaman Nabi Adam a.s.
hingga sekarang ini, yaitu doa para nabi dan rasul. Maka itu lebih baik bagi
Anda, jika Anda tidak demikian, lalu bagaimana panggilan dapat menyelamatkan
orang-orang yang tenggelam?”
Saya mendengar Abu Muhammad al-Mahiab bin Ahmad bin Marzuq al-Mishri berkata:
Ketika kematian siap menjemputAbu Muhammad al-Murta’isy, ia sempat berwasiat kepadaku
agar aku melunasi hutangnya sebanyak delapan belas dirham. Setelah jenazahnya
dikebumikan, maka pakaian yang biasa ia pakai dihargai delapan belas dirham,
aku pun menjualnya dengan harga delapan belas dirham. Sehingga klop untuk
melunasi hutangnya. Saat itu beberapa guru Sufi berkumpul kemudian mengambil
kantong yang biasa digunakan menyimpan barang dagangan al-Murta’isy, di mana
dalam kantong tersebut berisi gamis. Kemudian masing-masing mengambil potongan
kain itu lalu mereka pergi.”
Ada seseorang datang kepada Ibrahim bin Syaiban —rahimahullah— lalu ia berkata,
“Berilah aku wasiat.” Ibrahim pun memberinya wasiat, “Ingatlah kepada Allah
Swt. dan jangan sekali-kali melupakan-Nya, jika Anda tidak bisa melakukan hal
itu maka jangan lupa akan kematian.”
Dikatakan kepada sebagian guru Sufi, “Berilah aku wasiat.” Maka ia memberi
wasiat, “Hapuslah nama Anda dari daftar nama para qari’ (orang yang bisa
membaca al-Qur’an dengan baik).”
Sementara itu Abu Bakar al-Wasithi pernah diminta untuk memberi wasiat, lalu ia
berwasiat, “Hitunglah nafas dan waktu Anda. Wassalam.”
Dan yang lain juga berwasiat, “Meminimalkan kepentingan, merendah dan menyusul
Allah Azza wajalla.”
Dzun-Nun al-Mishri —rahimahullah— berkata: Ketika aku berjalan di gunung
al-Muqthim tiba-tiba seseorang berada di depan pintu gua, lalu ia berkata,
“Mahasuci Tuhan Yang telah mengosongkan hatiku dari perasaan putus asa dan
mengisinya dengan harapan. Putus asa dari-Nya telah memisahkanku denganNya,
sedangkan harapan kepada-Nya telah mengantarkanku kepada-Nya, maka aku selalu
berharap kepada-Nya.” Ternyata orang tersebut telah banyak sengsara dalam
beribadah dan banyak ‘terlukai’ oleh zuhud. Kemudian aku mendekatinya, tapi ia
keburu pergi meninggalkanku. Lalu aku membuntutinya dan berkata kepadanya,
“Berilah aku wasiat.” Ia pun memberi wasiat, “Ingatlah, janganlah Anda putus
harapan kepada Allah walau sekejap mata, kumpulkan antara kenikmatan dan
sengsara, sambunglah hubungan antara Anda dengan Allah, tentu Anda akan melihat
kebahagiaan di saat orang-orang yang tidak benar merasakan kekecewaan.”
Kemudian aku berkata lagi, “Tolong tambahkan lagi.” Ia menjawab, “Cukup, dan
cukup untuk Anda.”
Seseorang berkata kepada Dzun-Nun, “Bekalilah aku suatu kalimat.” Kemudian ia
berkata, “Janganlah Anda mengutamakan keraguan daripada keyakinan, jangan rela
terhadap diri Anda tanpa adanya ketenangan, dan jika Anda tertimpa musibah maka
terimalah dengan kesabaran yang tulus, sandarkan harapan Anda kepada Tuhan Yang
Mahaabadi lagi Mahatahu, tentu Anda akan menemukan harapan yang besar, gunakan
kesempatan untuk berhubungan dengan Allah Swt., karena sesungguhnya Allah
memiliki hamba-hamba yang apabila mereka mencintai-Nya maka merasa terhibur,
dan ma’rifat dengan-Nya lalu mereka banyak berharap kepada-Nya atas ma’rifatnya,
bermunajat kepada-Nya pada tingkat ‘ainul-yaqin, sehingga mata hatinya tinggi
menuju Dzat Yang Mahaagung, Mulia Kekuasaan-Nya, lalu mereka disirami dari
manisnya bermunajat kepada-Nya, disuapi dari lezatnya keikhlasan.
Tangis mereka akan menggema di sekitar Arasy dan rintihan doa mereka berdesing
di pintu-pintu langit, karena cepat terkabulkannya doa mereka.”
Al-Junaid dalam beberapa wasiatnya mengatakan, “Saudaraku, beramallah, dan
bersegeralah sebelum kematian segera menjemput Anda, cepat-cepatlah sebelum ia
lebih cepat memanggilmu. Sementara itu, Allah Swt. telah memberi Anda nasihat
dan kejadian-kejadian teman-teman Anda yang telah mendahului Anda,
sahabat-sahabat Anda yang sudah dihijrahkan dari alam dunia menuju ke alam
baka, maka pelajaran itulah bagian Anda yang masih tersisa dan yang sangat
bermanfaat bagi Anda. Bila tidak demikian, maka celakalah Anda. Inilah nasihat
dan wasiatku kepada Anda, terimalah mudah-mudahan Anda bisa memuji masalahnya
dengan menerima nasihat itu, dan beruntung bila Anda mengamalkannya. Wassalam.”
Demikianlah sekilas wasiat kaum Sufi dan berbagai kekhususan tujuan mereka
dalam berwasiat. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.