بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
31.
FUTUWWAH
Allah
swt. berfirman :
“Sesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Qs. Al-Kahfi :13).
Rasulullah
saw. bersabda :
“Allah
swt. memberikan perhatian kepada seorang hamba selama hamba itu memperhatikan
kebutuhan saudaranya yang Muslim.”
(Hr.
Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit).
Menurut
Syeikh ad-Daqqaq : “Futuwwah pada prinsipnya adalah kepedulian secara terus
menerus yang dilakukans eorang hamba kepada orang lain.”
Syeikh
berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat Futuwwah. Kecuali hanya ada pada
diri Rasulullah saw. saja, sebab pada hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan
: “Nafsi.... nafsii... (aku hanya mengurus diriku, aku hanya mengurus diriku),
sementara Rasulullah saw. akan mengatakan : “Ummati .... Ummati.... (ummatku
... ummatku...)”
Al Junayd
mengatakan : “Futuwwah dapat ditemukan di Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan
kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail
menegaskan : “Futuwwah berarti memafkan kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan
pula : “Futuwwah berarti seseorang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dan
orang lain.”
Abu Bakr
al-Warraq menegaskan : “Orang yang bersifat Futuwwah adalah mereka yang tidak
punya musuh.”
Muhammad
bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Futuwwah berarti engkau adalah musuh bagi
dirimu sendiri, demi Tuhanmu.”
Dikatakan
: “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy mengatakan : “Ashabul Kahfi (Mereka
meninggalkan keluarganya, menuju kepada Tuhannya. Mereka kontra duniawinya,
sehingga mereka dipuji karena meninggalkan duniawi demi Allah swt. Karenanya,
mereka menentang arus kebiasaan, dan lelap di gua selama 309 tahun, sama sekali
tidak ada perubahan fisiknya). Mereka disebut fityah karena mereka beriman
kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan
: “Manusia yang futuwwah adalah orang yang menghancurkan berhala, sebab
Allah swt. berfirman : “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela
berhala-berhala ini, yang bernama Ibrahim: (Qs. Al-Anbiya :60) dan : “Maka
Ibrahm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong (Qs. Al-Anbiya :58).
Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan
hawa nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits
al-Muhasiby berkata : “Futuwwah menuntut agar engkau berlaku adil kepada orang
lain, tapi juga mau diadili oleh orang lain.”
Amr bin Utsman
al-Makky mengatakan :”Futuwwah adalah memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya, “Futuwwah artinya engkau
tidak membenci orang miskin tapi juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr
Abadzy berkomentar : “Muru’ah merupakan bagian dari futuwwah. Ia berarti
berpaling dari dunia dan akhirat, dengan bangga menjauhi kedunya.”
Muhammad
bin Ali at-Tirmidzi mengatakan : “Futuwwah berarti bahwa ha-hal yang langgeng
maupun yang musnah sama saja bagi diri Anda.”
Ahmad bin
Hanbal ditanya : “Apakah futuwwah itu?” dan beliau menjawab : “Futuwwah artinya
meninggalkan apa yang engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan
kepada salah seorang Sufi : “Apakah futuwwah itu?” Ia menjawab : “Futuwwah
artinya engkau tidak membedakan makan bersama dengan seorang wali ataukah
seorang kafir.”
Saya
mendengar salah seorang ulama mengabarkan : “Sorang Majusi mengundang Ibrahim
as. Makan. Ibrahim menjawab : “Aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat,
yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar jawaban demikian, si orang Majusi
itu lalu pergi. Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepada Ibrahim : “Selama
lima puluh tahun Kami telah memberinya makan sekalipun ia kafir. Apa salahnya
jika engkau meneriema seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya
mengganti agama? Ibrahimm lalu mengejar si orang Majusi itu sampai tersusul,
lalu minta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya mengapa meminta
maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi, dan orang Majusi
itu pun akhirnya msuk Islam.
Al-Junayd
mengatakan : “Futuwwah artinya menahan diri dari menyakiti hati orang dan
menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin
Abdullah menjelaskan : “Futuwwah artinya mengikuti sunnah.”
Dikatakan
: “Futuwwah artinya setia dan menjaga ketetapan Allah.”
Dikatakan
juga : “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang engkau lakukan tanpa melihat
dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan
: “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling manakala seorang yang membutuhkan
datang mendekatimu.”
Ada yang
berpendapat : “Futuwwah artinya engkau tidak menutup diri dari orang yang
mencarimu.”
Pendapat
lain : “Futuwwah artinya engkau tidak menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan
tidak mencari-cari alasan (jika diminta).”
Dikatakan
: “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan menyembunyikan cobaan.”
Yang lain
berkata : “Futuwwah artinya bahwa jika engkau mengundang sepuluh orang tamu,
maka engkau tidak akan terpengaruh jika yang datang sembilan atau pun sebelas
orang.”
Dikatakan
: “Futuwwah artinya meninggalkan segala bentuk perbedaan.”
Ahmad bin
Khadhrawaih berkata kepada isterinya : “Aku ingin mengadakan pesta dengan
mengundang seorang luntang-lantung yang terkenal di daerahnya dengan sebutan
‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya berkeberatan, ‘Itu tidak benar, mengundang
seorang preman muda datang ke rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti
dilaksanakan!.” Istrinya berkata : “Jika demikian, maka smbelihlah kambing,
sapi dan keledai, dan lemparkan saja dagingnya dari pintu orang itu ke pintu
rumahmu!.” Ahmad bertanya : “Aku mengerti apa yang engkau maksudkan dengan
kambing dan sapi, tapi apa maksudmu dengan menyembelih keledai?” Istrinya
menjawab : “Engkau mengundang seorang preman muda ke rumah kita, maka paling
tidak, lebih baik engkau membuat pesta bagi anjing-anjing di tempat ini.
Dalam
suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan yang dihadiri oleh beberapa
orang Sufi, termsuk seorang Syeikh dari Syiraz. Ketika acara penyimakan
(ceramah) dimulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz bertanya kepada tuan
rumah : “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan rumah menjawab : “Aku tidak tahu.
Aku telah ebrtindak cermat dan memastikan semua makanan, kecuali terung.”
Keesokan paginya mereka pergi mencari tahu tentang terung itu kepada
pedagang sayuran, yang mengatakan kepada meraka : “Aku tidak punya sayuran.
Maka aku lalu mencurinya dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Merka lalu
membawa si pedagang ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si pemilik kebun
berkata dengan heran : “Anda bersussah paya mendatangiku hanya untuk urusan
seribu biji terung?” Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini,
ditambah dua ekor sapi, seekor keledai dan bajak, agar ia tidak perlu mencuri
terung lagi.”
Dikatakan,
bahwa seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat
adanya cacar pada tubuh istrinya itu. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak
: “Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin wanita itu pun
lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah dua puluh tahun berselang wanita itu
meninggal. Laki-laki itu mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi, ia menjelaskan, : “Aku sesungguhnya tidak
pernah buta. Aku berpura-pura buta agar istriku tidak merasa malu.” Seseorang
berkata kepadanya : “Engkau telah melampaui semua orang dalam hal futuwwah!.”
Dzun Nuun
al-Mishry mengajarkan : “Orang yang menginginkan perllaku yang utama hendaklah
mencontoh para pemikul air dari Baghdad!>” Seseorang bertanya kepadanya :
“Bagaimana mereka itu?” Ia menjawab : “Ketika aku dibawa ke hadapan khalifah
atas tuduhan sebagai zindiq, aku melihat seorang pemikul air yag memakai
sorban, berpakaian kain Mesir yang bagus, memebawa kendi-kendi tanah liat yang
bagus. Aku berkata kepada seseorang : Ini pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata
kepadaku : “Bukan, ini adalah pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil
sebuah cangkir, minum darinya dan menyuruh sahabt-sahabtku : Berilah ia satu
dinar!” Pembawa air itu menolaknya seraya berkata : “Anda adalah seorang
tahanan. Bukanlah sikap futuwwah bila menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan
oeh sebagian teman-teman kami : “Tidak da tempat dalam futuwwah bagi tindakan
mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.” IA adalah seorang pemuda bernama
Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli sepotong jubah linen darinya. Ia
hanya memintaku membayar seharga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah
itu. Saya bertanya kepdanya : “Apakah Anda tidak mau mengambil sedikit
keuntungan?” Ia menjawab : “Tentang harga jubah itu, aku mau menerima
pembayaran Anda, tapi aku tidak mau membebankan kewajiban apa pun terhadap
Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada tepat dalam futuwwah
bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.”
Dikisahkan,
seorang laki-laki yang mengaku futuwwah datang dari Naisabur ke Nasa, dimana
seseorang mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang memiliki sifat
futuwwah. Ketika mereka selesai makan, seorang budak wanita datang untuk
menuangkan air guna membasuh tangan mereka. Laki-laki dari Naisabur itu menarik
tangannya dan berkata : “Berdasarkan aturan futuwwah, tidaklah diperbolehkan
seorang gadis menuangkan air untuk laki-laki.” Tetapi orang lainnya yang hadir
di sana berkata, : “Aku telah datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa
mengetahui apakah laki-laki atau wanita yang menuangkan air untuk membasuh
tangan kita?”
Manshur
al-Maghriby menuturkan : “Seseorang ingin menguji Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia
menjual kepada Nuh seorang budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dengan
pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah budak laki-laki. Budak itu mempunyai
wajah cantik yang bersinar cemerlang. Nuh membelinya dengan perkiraan bahwa
budak itu laki-laki. Budak itu tinggal bersamanya selama berbulan-bulan.
Seseorang bertanya kepadanya : “Apakah tuanmu tahu bahwa engkau adalah seorang
gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia belum pernah menyentuhku, karena mengira bahwa
aku laki-laki.”
Dikatakan,
seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk menyerahkan seorang budak
laki-laki miliknya kepada sultan, tapi ia menolak. Ia lalu dihukum dera seribu
kali, namun demikian masih tetap menolak menyerahkan budaknya. Malam itu udara
sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah bangun, ia pun segera mandi dengan
air yang sangat dingin. Seseorang mengatakan kepadanya : “Engkau mengambil
resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.” Dijawabnya : “Aku malu kepda
Alalh swt. karena aku rela menderita seribu kali pukulan cambuk demi
seorang makhluk, tapi tidak bersedia menahan dinginnya mandi demi
Dia.”
Sekelompok
ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal karena
futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Si
pelayan tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya hingga
berulang-ulang. Para tamu saling berpandangan seraya berkata : “Ini tidak
benar. Dalam aturan futuwwah, seseorang tidak boleh mempekerjakan perintahnya,
maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi dan sekali lagi.” Laki-laki itu
bertanya kepda pelayannya : “Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan
tilam itu?” Si pelayan menjawab : “Ada seekor semut pada tilma itu. Tidaklah
patut menurut futuwwah, membentangkan tilam uantuk para tamu yang ahli futuwwah
manakala ada semut di atasnnya, sebalikya, tidaklah benar pula mencampakkan
semut dari kain tilam itu. Jadi, saya meunggu sampai semut itu merayap
meninggalkan tilam.” Para tamu berkata kepaa pelayan itu : “Engkau telah
menunjukkan pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut dilayani para ahli
futuwwah.”
Suatu
ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di Madinah. Ia mengira kantong
berisi uangnya dicuri orang. Ia keluar, melihat Ja’far ash-Shadiq dan memegang
tangannya serta bertanya : “Apakah engkau yang mencuri kantongku?” Ja’far
bertanya : “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-lai itu menjawab : “Uang sebanyak
seribu dinar!” Ja’far lalu membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya
uang seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke penginapan dan menemukan
pundi-pundi yag dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun pergi menemui Ja’far
ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya serta mengembalikan uangnya. Tapi Ja’far
menolak mengambil uangnya kembali dan berkata : “Aku tidak pernah menuntut
kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu bertanya kepda seseorang yang
ada di tempat itu : “Siapa laki-laki itu?” Yang daitanya menjawab : “Ja’far
ash-Shadiq.”
Diriwayatkan
bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang
futuwwah. Kata Ja’far balik bertanya : “Apakah pendapatmu?” Syaqiq menjawab :
“Futuwwah, jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita
bersabar.” Ja’far berkata : “anjing-anjing kita di Madinah juga bersikap
begitu.” Syaqiq bertanya : “Wahai cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah
futuwwah itu dalam pandangan Anda?” Ja’far menjawab : “Futuwwah adalah, jika
kita diberi sesuatu, kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi,
kita bersyukur.”
Al-Murta’isy
mengabarkan : “Kami bersama Abu Hafs menjenguk seorang yang sedang sakit, dan
kami berangkat serombongan. Abu Hafs bertanya kepada si sakit : “Apakah engkau
ingin sembuh?” Ia menjawab : “Ya, Maka si sakit lalu bangkit dan berjalan
bersama kami, demi kami semua lalu jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang
lain.”
Kembali ke Bab
Tiga
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.