بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH
KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB 2.
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata
dalam bahasa tasawuf)
17.
TALWIN DAN
TAMKIN
Talwin merupakan sifat orang-orang
yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli hakikat.
Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah
pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap,
berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan
(tamakkun).
Senantiasa rasa
cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan jiwa,
di mana tempat menetap
Orang yang berada
di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti
telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia,
dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh
berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam
jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah
samapi.”
Mereka berharap
demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh
kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah
pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu
ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian
kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga
ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah
pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang
disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan
pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan
memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang
menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati
itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam
peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa
perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau tidak
karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.
Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena
kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan
kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain
kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu
mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para
Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu
(khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r.
Tirmidzi).
Kedua, sah berada
dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat
yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di
atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan
hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula,
mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya
pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r.
Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya
: “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun
dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa
dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut
pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang.
Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan,
Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit
nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut
proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap jiwa, dan
tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam
tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin.
Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih
tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun.
Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan
dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah
keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya
seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu,
tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang
ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun
pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu
semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku,
terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt.
berfirman :
“Dan kamu mengira
mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke
kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.