59.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KELUrUhAN
(FANA) DAN KEBAKAAN
Keluruhan
adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga
para Sufi itu tidak mengalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan
membedakan; dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada
sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka Amir ibn Abdillah berkata : “Aku tidak
peduli apakah aku melihat seorang perempuan atau sebuah tembok.” Lalu Tuhan
sendiri mengawasinya, dan mengawasinya sedemikian rupa sehingga dia
melaksanakan tugas-tugasnya dmei Tuhan dan menuruti segala kehendak-Nya; dia
sepenuhnya terjaga dalam memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh
dari segala minat pribadi serta penentangan terhadap Tuhan, sehingga dia sama
sekali tidak bermaksud menetang-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan
perlindungan Tuhan (“ishmah) dan pada hal inilah hadits yang termasyhur itu
mengacu : “Aku menjadi telinga dan mata
baginya.”
Kebakaan,
yang mengikuti keluruhan, mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari
sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu
yag menjadi milik Tuhan,.
Salah seorang tokoh Besar Sufi berkata : “Kebakaan
adalah keadaan para Nabi.” Mereka berpakaian secarik GOA (Sakinah) dan apa –pun
yang mendatangi mereka tidak akan mencegah mereka melaksanakan tugas-tugas
mereka terhadap Tuhan, dan untuk menerima karunia-karunia-Nya; sebab, “Tangan
Allah-lah yang selalu terbuka; Dia memberi karunia menurut cara yang Dia
kehendaki.”
Kalau
seseorang itu baka, maka, segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja, dan
semua yang diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya, dengan Tuhan; dia luruh dari
yang tidak selaras dan tetap tinggal pada yang selaras. Nah, kenyataan bahwa
“segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja” tidak mengisyaratkan bahwa
yang tidak selaras itu menjadi selaras baginya, atau bahwa larangan menjadi
sama dengan perintah baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang
terjadi padanya, terjadi sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak
ada sesuatu pun yang tidak menyenangkan Tuhan.
Apa yang dilakukannya, dilakukannya demi
Tuhan, bukan demi kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di dunia
nanti. Inilah yang dimaksudkan oleh ungkapan Sufi “Dia luruh dari gelarnya
sendiri dan tinggal dalam gelar Tuhan,” sebab apa yang dilakukan oleh Tuhan,
Dia lakukan demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tidak mencari
keuntungan dari situ ataupun menghindari bahaya. === Tuhan jauh dari semua
itu== tapi semata-mata untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang
lain. Sama halnya, para Sufi yang baka dikarenakan Tuhan, dan luruh dari
dirinya, melakukan apa yang dilakukannya bukan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi atau untuk menghindari kerugian;
Seluruh
perasaan pribadi dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi telah hilang
dari dirinya.
Nah, ini
hanya mengacu pada maksud dan tujuan; jangan ditafsikan bahwa hal ini
mengisyaratkan bahwa para Sufi itu tidak mengalami kesenangan sama sekali dalam melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan,
maka dia tidak mengharapkan adanya pahala ataupun takut akana danya hukuman.
Adalah benar bahwa dua perasaan ini, pengharapan dan ketakutan, terus menerus
ada dalam dirinya; tapi dia mengharapkan pahala dari Tuhan hanya agar selaras
dengan Tuhan, sebab Tuhan menghendaki itu bagi dirinya, dan telah
memerintahkannya untuk meminta itu darinya, dan dengan demikian dia tidak
bertindak demi kesenangan sendiri, sama halnya, dia takut akan hukuman Tuhan
karena dia menghormati Tuhan dan ingin selaras dengan-Nya. Dan Tuhan membuat
makhluk-makhluk-Nya merasa takut.
Maka
dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain, bukan demi
kesenangannya sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya dipahami; “Orang
yang beriman itu makan untuk memenuhi selera keluarganya.” Salah seorang tokoh Sufi menggubah baris-baris
syair berikut ini :
Dari ranti diri dan kedirian yang
mencekik
Tuhan membebaskannya; dan
kemudian
Memakaiakan lagi padanya lempung
yang lember,
Sehingga rahasia-rahasia Tuhan
bisa terlihat,
Maka bentuk dari bentuk harus
ditarik.
Pada fajar mempesona dari wahyu.
Kehendak Tuhan yang gpasti dan
Mahakuasa
Akan mengisi setiap hati dengan
kegairahan
Arti yang
menyeluruh dari keluruhan dan kebakaan adalah bahwa para Sufi itu meluruh dari
perasaan-perasaannya sendiri, dan tinggal di dalam perasaan-perasaanmilik yang
lain.
Juga ada
jenis lain dari keluruhan, yang merupakan keluruhan kesadaran akan
ketidakselarasan (dengan Tuhan) dan dari semua perbuatan yang secara sengaja
ditujukan pada ketidak-selarasan, dan untuk baka secara selaras dengan (Tuhan),
dengan senagaja dan sungguh-sungguh mengarahkan tujuannya pada keadaan itu
dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini ada juga keluruhan dari penghormatan
terhadap sesuatu selain Tuhan dan baka untuk menghormati Tuhan.
Arti yang
terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan mengenai Abu Hazim. Dia
berkata : “Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah impian, dan yang ada
sekarang merupakan harapan yang sia-sia dan angan-angan.
Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti
ditakuti? Jika dia dipatuhi, dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak
dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian.” Dia berkata begitu seolah-olah
dunia dan setan itu tidak ada baginya.
Keluruhan perasaan-perasaan pribadi
terlukis dalam cerita Abdullah ibn Mas’ud, yang berkata : “Aku sebelumnya tidak
tahu bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang menghendaki dunia, hingga
Tuhan berkata, Di antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula
yang menginginkan kebahagiaan akhirat.”
Dia telah
luruh meninggalkan segala hasrat untuk dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga
kata-kata Haritsah : “Aku brpaling dari dunia ini, dan seolah-olah aku melihat
Singgasana Tuhan tampil.” Dia telah luruh meninggalkan yang sementara menuju
yang kekal, dan dari semuanya yang lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya
dengan cerita Abdullah ibn Umar. Seserang menyalaminya pada waktu dia sedang
mengelilingi Ka’bah , dan dia tidak menyahutsalam orang itu. Orang itu
mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya; dan Abdullah berkata : “Kami
melihat Tuhan di temept itu.” Sama halnya juga dengan kata-kata Amir ibn ‘Abd
al-Qays “ Aku lebih suka ditembus pucuk lembing berkali-kali, daripada
mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu sebutkan.” Yaitu, pada saat dia
sedang beroda.
Di
ceritakan bahwa Al Hasan berkata : “Orang yang sama dengan dia, tidak dipilih
Tuhan di antara kita.” Adalagi suatu keluruhan yang lebih jauh, yang berarti
tidak sadar sama sekali akan hal-hal luaran sebagai yang terjadi pada Musa,
ketika Tuhan menurunkan Wahyu di bukit : “Musa pun tersungkur pingsan.” Dan
pada keadaan yang berikutnya, Dia yang membuatnya tidak sadar, tidak juga
memberi ketenangan kepadanya mengenai hal itu.
Abu Sa’id
al-Kharraz berkata : “Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari
hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan. Maka
akan turun untuknya sebuah wahyu dari kekuatan Tuhan yang memperlihatkan
kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan meninggalkannya demi penghormatannya
kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah wahyu dari Tuhan yang memperlihatkan
kepadanya keluruhan hasratnya kepada penglihatan akan Tuhan; dan yang tinggal
adalah penglihatan akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan, Tuhan yang Esa dan
Kekal hanya sendiri di dalam keesaanya; dan dengan Tuhan tidak ada kefanaan atau
kebakaan untuk yang lain selain Tuhan.” Kata-kata “Luruhnya dia meninggalkan
hasratnya akan dunia ini” mengandung arti pencarian akan benda-benda material,
dan “dunia nanti” berarti pencarian pahala. “Hasrat akan Tuhan”-nya baka, sebab
itulah keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya dengan-Nya.
Lalu
datang kepadanya penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan mendekat atau merasa
senang dengan yang seperti dia, maka dia memandang rendah dirinya sendiri dan
menghormati Tuhan. Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan yang di dalamnya hak
Tuhan sepenuhnya menelan dirinya, dan membuatnya tidak sadar akan penglihatan
akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan keluruhan hasartanya. Kemudian
tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan untuk dirinya; sedang
apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan dirinya. Maka jadilah
dia seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum Tuhan memunculkan
dirinya dan ketika sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan, datang tanpa
adanya tindakan dari dirinya.
Keluruhan
bisa juga diungkapkan dengan cara yang lain; yakni menjauh dari sifat-sifat
manusia dalam (menanggung) beban menakutkan sifat-sifat Tuhan, sehingga
sifat-sifat manusai, yaitu kebodohan dan ketidak adilan, hilang, seperti firman
Tuhan : “Lalu amanat itu diterima oleh manusia, Dengan demikian, manusia itu
sangat zalim dan bodoh.” Sifat-sifat itu juga termasuk tiak tahu bersyukur,
tidak kenal terimakasih dan setiap sifat yang patutu disalahkan; dan semua ini
hilang, dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan menang atas kebodohan manusia,
keadilan Tuhan atas ketidak adilan manusia, teima kasih Tuhan atas kekufuran
manusia, dan seterusnya, Abul Qasim Faris berkata : “Keluruhan adalah keadaan
seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi menyaksikannya sebagai
disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap,” Dia juga berkata :
“Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tapi tafsirkan
bahwa sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa
sakit,” Kesenangan ini, yang muncul pada diri Sufi dalam keadaan kejiwaannya,
adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat wanita Yusuf; “Mereka mengiris
jarao-jari mereka sendiri.” Sebab sifat-sifat mereka sendiri telah lenyap
dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika melihat Yusuf, dan
Yusuf membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka derita dikarenakan
jari-jari mereka yang teriris. Dalam masalah ini, salah seorang dari
tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini :
Kala wanita-wanita Mesir itu
mengiris tangan mereka
Dikarenakan ketampanan rupa
seseorang,
Mereka tahu mengenai pesona, yang
menahan
Semua kejutan, dan tak merasa
marah.
Pupuslah sudah sifat manusia
mereka,
Kesenangan dan ketidaksenangan,
Hapuslah sudah semua kebiasaan
Mereka tidak mengacuhkan tapak
tangan yang berdarah
Tapi dia, sang istri pangeran
Tiada mengiris tangannya, tak
membiarkannya berdarah;
Sebab Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,
Dan Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.
Syair berikut ini juga melukiskan
keadaan keluruhan :
Maka kami mengingat ---- nama
kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi
cahaya bersinar,
Udara gaib terhirup, dan Tuhan
dekat.
Lalu hilang lenyaplah kedirian,
dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang
dengan kabar jelas
Bersaksi ata Dzat-Nya dan dengan
itu di kenal
Beberapa
tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan ini sebagai suatu keadaan tunggal, lepas
dari kenyataan bahwa berbagai istilah diterapkan untuk keadaan-keadaan itu.
Maka
mereka menyetarakan keluruhan dengan keberkesinambungan, pemusatan dan
pemisahan, dan begitu juga kehadiran dengan ketidakhadiran, kemabukan dengan
kewarasan. Sebab Sufi itu pergi meninggalkan apa yang menjadi milik Tuhan;
sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang menjadi milik Tuhan, dan
dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi miliknya. Ketika dia pergi,
dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia tidak menyaksikan sendiri,
Begitu pula kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia tinggal bersama Tuhan, Yang
memusatkannya pada Diri-Nya sendiri; dia pergi meninggalkan sesuatu yang selain
Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu. Dia tak hadir dan mabuk, sebab
kemampuan membedakan itu – yang telah kami jelaskan dalam hubungannya dengan
kesenangan dan kesakitan – hilang, dan dalam hal ini, segala sesuatu menjadi
satu baginya. Dia tidak menyaksikan gejala ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya
memerintahkannya agar bertindak selaras dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa
terjadi dalam hubungannya dengan dua hal; dan kalau segala hal telah menjadi
satu saja maka pembedaan itu habislah.
Kelompok
yang lain menjelaskan keluruhan sebagai berikut : “Para Sufi itu dijauhkan dari setiap jejak pribadi (rasm) dan dari
semua jejak semacam itu tanpa dirinya (marsum), sehingga selama masa (waqt)
gaibnya dia tinggal tanpa kebakaan sepanjang yang bisa dipahaminya, tanpa pergi
meninggalkan sepanjang dia sadar, dan tanpa masa sepanjang dia memahami; tapi
penciptanyalah yang tahu mengenai ketetapan tinggalnya dan kepergiannya, dan
Dia menjaganya dari setiap tindakan yang patut di cela.
Mereka
berselisih paham mengenai masalah apakah para Sufi yang telah luruh, akan
pernah kembali lagi pada sifat-sifatnya. Sebagian mengatakan bahwa para Sufi
itu pasti kembali dan bahwa keadaan keluruhan itu tidak tetap; sebab, jika tidak
begitu, maka anggota-anggota tubuh pra Sufi itu akan kehilangan manfaatnya
untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan, dan jelas tidak akan mampu melakukan
sesuatu pun dalam hubungannya denga kehidupannya di dunia ini, begitu juga di
dunia nanti. Dalam hubungan ini, Abu’l Abbas ibn Atha telah menulis sebuah buku
yang berjudul “Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat. Tapi tokoh-tokoh besar
Sufi, dan mereka yang memiliki pengalaman-pengalamana yang bernar, di antaranya
al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak beranggapan bahwa para Sufi itu tidak
kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah keluruhannya itu. Mereka mendebat
dengan mengatakan bahwa keluruhan itu merupakan suatu karunia dan pemberian
Tuhan bagi Sufi itu, suatu tanda kesukaan khusus, bukan suatu kondisi yang
dicari, itu merupakan suatu yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang
telah dipilih-Nya dan ditunjuk-Nya sendiri. Oleh karena itu, jika Dia
mengenbalikan Sufi itu pada sifatnya sendiri, Dia akan mengambil lagi apa yang
telah diberikan-Nya, dan menjemput kembali apa yang telah diserahkan-Nya, dan
ini tidak cocok dengan sifat Tuhan; atau jika hal itu dianggap sebagai akibat
dari suatu perubahan pikiran, maka itu merupakan sifat oarng yang mencari
pengetahuan lebih banyak, dan ini disangkal dalam hubungannya dengan Tuhan;
atau jika ini ditafsirkan sebagai suatu tipuan atau kecohan, maka Tuhan tidak
bisa dikatakan sebagai tukang tipu, dan Dia tidak pernah mengecoh orang-prang
beriman, Dia hanya mengecoh orang-orang munafik dan orang-orang gkafir.
Keluruhan bukan merupakan suatu keadaan yang bisa dicapai dengan kebaikan
pribadi, dan bahwa kebalikannya harus juga dicari secara demikian.
Jika
disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan berpaling dari iman, yang merupakan
taraf tertinggi, sebab dengan itu semua keadaan telah dapat dicapai, inilah
jawaban kami. Iman yang dirinya seseorang itu kebali adalah iman yang telah
didapatkannya lewat pengakuan lidah dan perbuatan anggota-anggota tubuhnya;
iman yang semacam itu tidak bercampur dalam hatinya yang sesungguhnya, baik
sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun suatu kepercayaan yang benar. Dia
hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa yang diakuinya; seperti yang
dituturkan dalam hadits : “Malaikat (kematian) akan datang kepada seseorang ketika
dia telah berada dalam kubur, dan akan bertanya : “Apakah yang kamu katakan
mengenai orang ini? Dia akan menjawab : “Aku mendengar orang ini mengatakan
sesuatu dan karena itu aku mengatakannya.”
Orang
yang semacam itu adalah seorang peragu, dan tidak memiliki kepastian.
Atau,
kalau tidak, maka dia mengakui dengan lidahnya, tapi mengingkari dengan
diam-diam pengakuannya itu; maka orang munafik itu mengakui dengan lidahnya,
sedang hatinya mengingkari pengakuannya itu, dan diam-diamm menentangnya.
Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya, dan
tidak mengingkari pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam hatinya,
tapi apa yang diakuinya itu tidak ada kebenarannya, baik lewat pemikiran maupun
lewat ilham; dia belum mendapatkan pembuktiannya lewat ilu sehingga dia memiliki bukti-bukti
kebernarnnya, dan dia belum merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa
yang akan bisa menghilangkan keraguannya.
Seperti apa pun masalahnya, kedukaan merupakan
bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya; keraguan timbul dalam
dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun oleh
pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada
kebalikannya. Sedangkan mengenai orang yang yang diberi bagian yang lebih baik
dari Tuhan, tidak ada keraguan dalam dirinya, dan semua sangkalan
meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah didapatkannya dari
pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal, yang
menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan akibat
pendebatan itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang dengan
bukti-bukti yang juga benar, dan dengan begitu maka tidak ada keraguan pada
dirinya sama sekali.
Juga, karena dia telah mendapatkan iman yang benar, dan
Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi dirinya segala pikiran
jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat yang
mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga dia
tidak lagi harus menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan aman,
meskipun dia mungkin tidak memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan untuk
bedebat dengan pendebat itu, atau untuk menghalau pikirannya sendiri; atau
kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah ditegaskan dengan
penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan
kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga
sesuatu yang (secara normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia
berkata bahwa dia berpaling dari dunia yang terlihat ini, dan yang tidak
terlihat menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat – maka
Al-Darani berkata : “Mata hati mereka terbuka dan mata kepala mereka tertutup.”
Kalau
pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan jalan ini maka dia tak akan kembali
dari akhirat ke dunia kini, atau meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk
sesuatu yang lebih buruk. Ini semua merupakan sarana-sarana yang digunakan oleh
Tuhan untuk melindungi, dan itu merupakan suatu bukti janji-Nya : “Tuhan
memberi jawaban yang pasti kepada yang beriman, baik dalam kehidupan di dunia
kini maupun di dunia nanti.” Oleh karena itu, ditegaskanlah bahwa orang yang
sungguh-sungguh beriman itu tidak dapat digoyahkan dari imannya, sebab iman itu
merupakan karunia, pemberian dan tana kesukaan yang istimewa dari Tuhan untuk
dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan mengambil kembali apa yang telah Dia
berikan, atau menjemput kembali apa yang telah Dia anugerahkan.
Nah, iman
yang sesungguhnya itu, dan iman yang semata-mata merupakan formalitas saja,
masing-masing memiliki ketrampilan yang sama, tapi sifat-sifat keduanya yang
sebenarnya berbeda, sebaliknya keluruhan itu, dan semua keadaan istimewa
lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi sifat-sifat yang sebenarnya sama.
Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat kebaikan pribadi, melainkan sebagai
tanda keridhaan (Tuhan).
Oleh karena itu, tidak masuk akal-lah kalau orang
mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang telah pergi, kembali lagi kepada
sifat-sifatnya sendiri. Jika seseorang penganut pendapat ini, sedangka dia
telah menegaskan bahwa Tuhan memilih dan menunjuk sendiri Sufi itu, dan sesudah
itu mengembalikannya lagi pada keadaannya yang semula, maka berarti dia
menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang sesungguhnya tidak Dia pilih, dan
menunjuk apa yang sesungguhnya tidak Dia tunjuk.
Hal ini, jelas tidak masuk
akal; sama tidak masuk akalnya kalau dikatakan bahwa hal itu mungkin saja,
dengan maksud untuk meltih Sufi itu dan menjaganya dari godaan, sebab Tuhan
tidak menjaga apa yang telah diberikan-Nya kepada hamba-Nya dengan maksud untuk
mengambilnya lagi, atau mengembalikan orang itu dari keadaan yang lebih tinggi
ke keadaan yang lebih rendah. Ini terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat
yang semacam itu, seperti yang sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil
bagi Tuhan menjaga para Nabi agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya
taraf para Nabi tersebut ke taraf para wali atau bahkan ke taraf yang lebih
rendah lagi, dan itu tidakm masuk akal. Kebaikan Tuhan dalam menjaga para
Nabi-nya dari berbuat dosa, dan menjaga orang-orang suci-Nya dari godaan,
terlalu banyak untuk di hitung atau diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu
besar untuk dibatasi menjadi satu atau dua tindakan saja.
Jika
suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa kasus orang yang kepadanya telah
dibawakan tanda-tanda Tuhan, “dan kemudian berpantang mempercayainya.” Dipakai
menyangkal pendapat ini, maka sangkalan itu tidak sah. Orang yang “berpantang
mempercayainya” itu sama sekali tidak pernah merasakan keadaan kejiwaan atau
mengalami keadaan itu, dan dia tidak pernah terpilih atau ditunjuk (oleh
Tuhan); sebaliknya, dia dibawa pelan-pelan menuju kehancuran, sebab dia kena
tipu dan kena kecoh. Secara lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang
terpilih, tapi dalam kenyataannya dia
adalah orang yang ditolak’ secara lahiriah dia terhiasi dengan
kesibukan-kesibukan yang berharga dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta
dan kesadarannya terselubungi. Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan
itu, atau merasakan senangnya iman, dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan
cara merasakan ehadiran Dia (Syuhud);
begitulah yang dimaksud oleh Tuhan ketika Dia berfirman : “Dan dialah salah
seorang dari yang terperdaya.” Demikian juga berfirman semnegani iblis : “Dan
dia termasuk yang kafir.”
AL-Junaid berkata : “Iblis tidak pernah bisa merenung
kalau dia masih ingkar.” Abu Sulaiman
berrkata : “Seseorang itu tidak akan kembali, kecuali dia yang dalam
perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka tidak akan pernah
kembali.”
Sufi yang
telah luruh dijaga dalam melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang
dilukiskan dalam kisah berikut ini. Seseorang berkata kepada Al-Junaid : “Abu’l
Husain al-Nuri terlah berdiri selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa
makan, minum, atau tidur, dan setiap saat dia berkata. “Tuhan, Tuhan.” Dan dia
bersembahyang pada waktu-waktu yang tepat.” Lalu seseorang yang berdiri di
sampingnya berkata : “Dia waras.” Al-Juanid berkata : “Tidak! Orang yang
mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan dalam ekstase mereka.”
Nah, jika
Sufi yang telah luruh itu tidak kembali kepada sifata-sifat yag manapun, maka
dia tidak akan kembali kepada sifat-sifatnya sendiri, melainkan ditempatkan
dalam keadaan yang di sana dia tetap tinggal bersama siffat-sifat Tuhan. Orang
yang luruh itu tidak hilang akal, atau gila; tidak pula sifat-sifat
kemanusiaannya lenyap, sehingga dia akan menjadi malaikat atau hantu; dia hanya
luruh dari perasaan-perasaannya sendiri, sebagai yang telah kami jelaskan
sebelumnya.
Orang
yang luruh itu bisa jadi seperti salah satu dari dua jenis yang ada. Dia
mungkin seperti orang yang tidak bisa dianggap sebagi seorang pemimpin atau
teladan; keluruhannya bisa jadi berarti mangkir dari sifat-sifatnya sendiri, sehingga dia tampak
benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia tidak bisa lagi membedakan apa yang
bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi mencari kesenangannya
sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk melaksanakan tugas-tugasnya
kepada Tuhan. Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak yang termasuk umat
(Muhammad), yaitu Hilal si orang Habsyi,
budak Al-Mughirah ibn Syu’bah yang hidup pada masa Nabi, dan yang disebut-sebut
oleh Nabi secara istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup pada masa Umar ibn
al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya) di hadapan Umar dan
Ali; dan banyak yang lain-lainnya lagi. Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa
jadi seorang pemimpin yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri
kepadanya; orang semacam itu ditunjuk untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi
kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam keadaan-keadaan, dan dia mengatur
urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifat-sifatnya sendiri, dengan
cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Seseorang
bertanya kepada Al-Junaid : “Apakah firasat (firasah) itu?” Dia menjawab :
“Firasat adalah hilangnya kecermatan.” Yang lain berkata : “Apakah orang yang
memiliki firasat mendapatkan sifat itu pada saat hinggapnya kecermatan itu
saja, atau dia memilikinya selamanya? Dia menjawab : “Selamanya. Itu merupakan
suatu pemberian (Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus.” Dengan
begitu Al-Junaid mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.
Jika
seseorang mengikuti dengan sekssama kitab-kitab Sufi, dan mengerti
acuan-acuannya, dia akan tahu bahwa doktrin mereka adalah seperti ayng kami
tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan masalah-masalah serupa ini oleh
orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau dituliskan; tapi doktrin itu
mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar mengenai teka-teki doktrin itu
dan dari tanggapan yang benar berkenaan dengan isyarat-isyarat doktrin itu.
Tuhanlah yang paling tahu.