بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Kitab
" SURAT-SURAT SANG SUFI "
Muhammad Ibn ‘Abad
SURAT
KEENAM
Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjawab berbagai pertanyaan,
masing-masing judulnya diberikan di pinggir halaman (tetapi di sini disisipkan
dalam tanda kurung), karena topik-topik dibahas atas dasar kelompok masalah
Pertama, pertanyaan tentang haji dan syarat-syarat hukumnya yang berkaitan
dengan individu dan keadaan.
43.
Segenap puji bagi Allah semata.
(Prinsip-prinsip tentang menunaikan ibadah haji).
Sekarang ini, menunaikan haji menjadi semakin
diinginkan orang dan sangat dihaasratkan 9oleh mereka). Mereka lebih menyukai
kesukaran, kebutuhan dan perpisahan dari rumah, yang merupakan bagian dari
ibadah haji, ketimbang bersantai-santai, bersenang-senang, dan tinggal di
rumah. Sudah barang tentu, ada sebagian orang yang meninggalkan agama mereka
dan tidak mempunyai keinginan menunaikan ibadah haji. Dan ada sebagian orang
lainnya yang , setelah melaksanakan berbagai formalitas amal yang diniatkannya,
hanya mempunyai satu perhatian dan keinginan, yakni kembali ke negeri mereka
dan bergabung kembali bersama keluarga dan sahabat-sahabat mareka. Namun,
setelah mereka melakukan itu, mereka mengalami lagi kejemuan tinggal di rumah.
Mereka menjadi bosan sehingga mereka merindukan, bahkan lebih dari sebelumnya,
untuk berangkat menunaikan ibadah haji lagi. Ini semua adalah kecenderungan
mendasar dan alami manusia.
Manakala orang yagn pandai dan memiliki pemahaman
spiritual menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, dia mesti mengesampingkan
kebutuhan alaminya dan mengkritik secara spiritual kecenderungan manusiawinya.
Dia harus meminta nasihat kepada kalbunya dan bertindak sesuai dengan
syarat-syarat praktik keagamaan, sejauh kesemuanya itu terlihat jelas baginya.
Kalau tidak, dia mesti meminta nasihat kepada orang yang berkompeten dalam
masalah-masalah ini, bukannya mengikuti tingkah laku pribadi. Tanpa pengetahuan
dan pertimbangan spiritual, tindakannya bakal sia-sia dan dia akan berusaha dengan
sia-sia pula.
Syarat-syarat hukum ibadah haji sudah engkau
ketahui. Akrenanya, mari kita lihat persoalan itu dari sudut pandang yagn lebih
umum. Aku katakan bahwa ibadah haji itu ada tiga macam : ibadah haji yang
sepenuhnya terpuji, ibadah haji yang sepenuhnya berdosa, dan ibadah haji yang
sebagian terpuji, dan sebagian tercela.
Ibadah haji yang sepenuhnya terpuji adalah ibadah
hajinya seseorang yang berpengetahuan, yakni, dan bebas dari perintah jiwa
rendah (hawa nafsu). Orang seperti ini tidak dikuasai oleh kecenderungan
manusiawinya. Syarat-syarat praktik keagamaan dan cahaya keyakinan
mendorongnya. Ini adalah keadaan mulia, kedudukan sangat mulia yang bisa
sepenuhnya dipahami hanya oleh orang yang mengalaminya.
44.
Sebuah kisah menuturkan bagaimana salah seorang
ulama bercerita demikian : “Ketika aku sedang melakukan Thawwaf mengelilingi
Ka’bah, seorang tua datang menghampiriku dan bertanya tentang negeriku. Aku
ceritakan hal itu kepadanya, dan dia bertanya : “Berapa jauh dari sini ke
sana?” Aku menjawab : “Sekitar dua bulan.” Lalu dia berkata : “Engkau bisa
menunaikan ibadah haji ke Ka’bah inis etiap tahun!” Kemudian aku bertanya
kepadanya : “Dan berapa jauh negerimu?” Dia menjawab : “Ketika aku masih muda,
aku berangkat meninggalkan negeriku untuk mengadakan perjalanan selama lima
tahun.” Aku terheran-heran, lalu dia meneruskan kata-katanya :
Kunjungilah yang kaucintai meski
rumahnya
Jauh darimu dan tersembunyi.
Jangan biarkan jarak menghalangimu
Untuk mengunjungi-Nya,
Sebab pecinta selalu mengunjungi yang
Dicintainya.
Kisah lainnya menuturkan bagaimana suatu hari
Syaikh Abu Al-Hasan Al-Lakhmi sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya
membicarakan aspek-aspek hukum ibadah haji. Mereka berbicara panjang-lebar
tentang apakah syarat itu masih berlaku di zaman mereka. Sementara itu, seorang
miskin mendengarkan pembicaraan mereka di luar jamaah mereka. Setelah mereka
selesai, orang itu menjulurkan kepalanya ke jamaah itu dan berkata kepada
Syaikh :
Wahai Guruku,
Jika engkau tak berhasrat sedikit pun
Menumpahkan darahku,
Engkau hampir tak akan terlalu
memperhatikannya.
Karakteristik ibadah haji yang sepenuhnya tercela
sangat berbeda dari karakterisitik ibadah haji yang dilakukan dengan niat yang
bebas dari kemunafikan dan hasrat akan reputasi. Yang pertama didorong
semata-mata oleh tingakh laku sia-sia. Tapi keuda tipe pertama ibadah haji ini
jarang sekali terjadi, dan implikasi hukumnya pun jelas.
Ibadah hajinya seorang saleh yang mengerjakannya
karena keyakinan yang mengandung tujuan pribadi dan hawa nafsu, adalah berdosa
sebagian dan terpuji sebagian. Orang seperti ini tidak menyadari muslihat musuh
dan tipu daya jiwa rendah yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi. Motif
yang baik maupun yang buruk tampaknya sama-sama menonjol. Hanya saja, motivasi
dari jenis ibadah haji ini berbeda-beda dalam setiap individu dan berbagai
keadaan, dan ini perlu dijelaskan lagi.
Baik orang yagn sudah pernah menunaikan ibadah haji
maupun yagn belum pernah menunaikannya, bisa melaksanakan ibadah haji jenis
ini. Bagi orang yna gbelum pernah menunaikan ibadah haji, yang mampu memenuhi
kewajiban ini, dan yang memiliki cukup bekal dan tak ada halangan, maka
pejalanan ibadah hajinya itu hukumnya wajib dan terpuji. Setelah dia menunaikan
kewajibannya kepada orang tua, keluarga, dan pemberi pinjaman, menurut
aturan-aturan khusus para faqih, maka tak ada sesuatu pun yang mengahlangi
ibadah hajinya. Sebaliknya, jika orang takut akan tertimpa kematian, atau tidak
cukup memenuhi syarat, atau menghadapi berbagai hambatan, maka kewajiban tiu
pun berkurang. Hal serupa berlaku pada masyarakat, yakni umumnya kaum Muslim
yang hanya memperhatikan amal-amal lahiriah. Begitu pula, jika seseorang
mengabaikan berbagai tindak-keaptuhan dan amal saleh, yang bersifat pribadi
ataupun kemasyarakatan, melalaikan waktu-waktu shalat dan amal-amal sunnah
serta menolak melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain seperti
mengajar, belajar, atau berlaku baik kepada seorang Muslim bahkan ketika berada
di rumah, maka kewajiban itu pun berkurang pula. Sebaliknya, jika orang selama
melakukan perjalanan mengabaikan kewajiban tertentu atau melakukan sesuatu yang
terlarang, yang tidak akan dilakukan seandainya dia tinggal di rumah, maka
kewajiban itu pun berkurang. Dalam keadaan seperti itu, menunaikan ibadah haji
adalah berdosa. Kekuatan kecenderungan jiwa rendah (nafsu) akan mengakibatkan
timbulnya dosa dan hilangnya syarat niat saleh bagi ibadah haji.
Sekali pun orang yang menunaikan ibadah haji dengan
penuh perhatian melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dan
menghindari apa yagn dilarang, maka perjalanannya masih tercela, baik karena
kekuatan kecenderugnan pribadinya maupun akibat tiadanya niat yagn ssaleh
tersebut, atau karena dia tidak bisa merasa yakin akan keselamatannya.
Sebaliknya, perjalanannya bisa sangat terpuji hingga membantunya menunaikan
kewajiban ibadah haji dan menghindari berbuat salah asalkan fisiknya kuat,
punya banyak uang, dan bisa pergi lewat jalan yang lazim. Dalam hal itu, dia
mesti melaksanakan kewajibannya yagn sudah ditetapkan, dan menghindari
dosa-dosa sepnajang perjalanan. Jika masalah-masalah ini tidak ada ketika dia
hendak menunaikan ibadah haji, maka persoalannya lebih jelas lagi.
Dalam kaitan ini, ibadah haji akan diterima dengan
syarat-syarat berikut : apabila orang itu berasal dari golongan lebih terdidik,
atau termasuk di antara orang-orang yang lebih cenderung pada kegiatan-kegiatan
yang dibutuhkan dalam perjuangan melawan hawa nafsu, penyucian kalbu, sikap
waspada terhadsap pikiran-pikirannya, menjaga imajinasi sehat, selalu
memikirkan dan menyadari hal-hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mulia
dan kedudukan-kedudukan tinggi, dan memiliki tekad kuat dalam penyucian
batin dari dosa-dosa besar dalam kalbu yang memberontak. Terakhir, hal-hal
berikut ini harus dihilangkan : kesombongan, keangkuhan, iri hati, kedengkian,
kepura-puraan, kemunafikan, kebohongan dalam praktik agama, berburuk sangka
pada kaum Muslim, sangat cinta dunia, dan jenis-jenis ketololan lainnya. Jika
dalam hal ini ada kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan ibadah
haji, maka orang harus mempelajari prinsip-prinsip hukum yang berkaitan
dengannya, sejauh kemampuannya.
46.
Jika, sebaliknya, orang itu tidak memiliki tekad
kuat dalam penyucian dan pembersihan (kalbu) yang aku tenagh bicarakan, atau
memandang hal ini tidak penting bagi dirinya, dan jika dia tidak memiliki
kesehatan fisik yang baik serta keuangan yang cukup, maka dia berdosa bila
menunaikan ibadah haji, disebabkan oleh keterasingannya dan dasar-dasarnya,
belum lagi kebaikan-kebaikan dalam keadaan spiritual yang telah aku uraikan
sebagai syarat bagi ibadah haji, kecenderungan kuat hawa nafsu adalah halangan
lain. Andaikanlah, misalnya, orang mempunyai kekuatan fisik yang baik, bekal
yang diperlukan untuk mencegah kelelahan dan untuk memenuhi keinginannya.
Andaikan lagi bahwa keinginannya untuk melakukan perjalanan begitu kuat,
sehingga selallu menggelora, sekalipun terbuka kemungkinan untuk membebaskan
dirinya dari menunaikan ibadah haji dan memperoleh ganjaran yang sama dengan
cara menahan diri dari melakukan perjalanan. Dalam hal itu, akan lebih baik
baginya tidak jadi pergi, karena dua alasan : kekuatan kecenderugnan alaminya,
dan resiko kehilangan manfaat-manfaat yang akan diperolehnya kalau tetap
tinggal di rumah, mengingat dia tidak yakin bisa mencapinya dalam
perjalanannya, terutama karena tiadanya jalan yang aman.
Akan tetapi, bagaimana kalau orang hampir tak
mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan motifnya bepergian
semata-mata untuk memenuhi satu syarat? Jika ada kecenderungan dan keinginan
untuk menunaikan ibadah haji, maka kepergiannya untuk ibadah haji akan sangat
terpuji. Keinginannya memang lemah, tapi kuat harapannya untuk mencapai tujuan,
dengan kesehatan fisik dan bekal yang cukup kuat, khususnya jika dia harus
bergabung selama perjalanan itu dengan saudara-saudara yang saleh dan
sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan jika dia bisa melakukan perjalanan lewat
jalan yang lazim.
Semua yang telah aku bicarakan sejauh ini berlaku
pada orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji.
Sekarang perhatikan kasus seseorang yang sudah
menunaikan ibadah haji. Jika orang itu awam, yang sikapnya pada amal saleh dan
amal ibadah sama dengan sikap yang telah aku paparkan sebelumnya, maka ada
beberapa alasan mengapa kepergiannya menunaikan ibadah haji akan tercela.
Alasan-alasan itu mencakup kecenderungan hawa nafsunya, resiko tidak dapat
mencapai tujuan yang diharapkannya, dan ketidakpastiannya mengenai kesempurnaan
keinginannya dan mengenai keselamatannya dari berbagai bahaya yang mungkin
ditemuinya. Seandainya dia tetap di rumah, situasinya akan berbeda dari situasi
yang aku uraikan sebelumnya. Maka kepergiannya menunaikan ibadah haji
barangkali cenderung lebih tercela, karena kecenderungan hawa nafsunya itu kuat
dan dia akan menanggung resiko melemahkan kewajiban agamanya atau terjerumus ke
dalam dosa dalam perjalanannya. Akant etapi, mungkin saja perjalanannya patut
dipuji, lantaran keinginannya untuk turut serta dalam amal ibadah tertentu,
sekalipun kecenderungan ini tidak begitu dihargai. Di sini aku mengandaikan dia
terbebas dari berbagai halangan tersebut di atas; tetapi jika dia benar-benar
mengetahui tidak terbebas darinya, maka menunaikan ibadah haji pasti akan
berdosa, sebab tak ada sesuatu pun yang sama pentingnya dengan keterbebasan
itu.
Jika orang yang bersangkutan itu terdidik dalam
soal-soal agama, maka ibadah hajinya itu tercela bila mengakibatkan hilangnya
keadaan spiritual amat baik yang sudah diperolehnya, dan berkurangnya kata-kata
dan amal-amal yang menyertai keadaan itu. Ini semua membutuhkan kehampaan hati,
keikhlasan dan kesucian niat, yang gkesemuanya ini akan menurun kadarnya karena
aperjalanan panjang ini. Aku menganggap sifat-sifat yang baru saja kusebutkan
itu lebih penting ketimbang amalan-amalan sunnah yang dikerjakan dalam ibadah
haji, sebab yang pertama merupakan soal-soal dan amalan hakiki yang memperbaiki
amal ibadah seseorang. Kesemuanya itu penting bagi orang yang menempuh jalan
ketulusan dan mengakui Keesaaan Ilahi (Tawhid), dan menaikkan seseorang ke
keududukan orang-orang terpilih. Tak ada amalan-amalan sunnah dalam
ibadah yang bisa menyamai amalan-amalan kelbu ini, dan tak ada amal-amal saleh
bisa menggantikannya.
47.
Jika orang seperti ini menunaikan ibadah haji tanpa
ketulusan, maka dia lebih layak dicela ketimbang dipuji. Kecenderungan alami
terhadap ibadah haji, berikut pemenuhan kehendak hawa nafsu dan
tujuan-tujuannya, menunjukkan adanya ketidaktulusan. Dalam hal ini, hawa nafsu
ingin memenuhi tujuan-tujuannya melalui amal-amal ibadah yang dikerjakan orang
itu dalam perjalannya. Kesemuanya ini anatara meliputi : bertemu dengan ulama
dan orang yang terkenal kesalehannya, mengambil manfaat dari pengetahuan
mereka, memohon berkah dan doa dari mereka, melayani sahabat dan teman, mendapatkan
kebaikan dari upaya seseorang, mengamati suasana kota-kota dan gurun pasir yang
dilalui, mengerjakan banyak amal ritual dan dan kewajiban ibadah haji dengan
penuh kegembiraan. Niat sejati jenis ibadah haji tetap merupakan keinginan tak
tersembunyi untuk melihat negeri-negeri asing, mengalami hal-hal baru seperti
bertemu orang-orang alim dan hamba-hamba Allah, terbebas dari kesusahan di
rumah, dan terbebas dari kesibukan membosankan urusan duniawi. Tanda yang
menunjukkan seseorang terperdaya adalah bahwa dia merasa bisa melakukan banyak
amal saleh ini, dan yang juga lebih penting, walau pun tetap tinggal di rumah;
tetapi ketika dia berasa di rumah, dia tidak memperhatikannya dan sama sekali
tak tertarik lagi kepadanya.
Beginilah keadaan
orang yang , ketika dia berpikir untuk menunaikan ibadah haji, bertanya kepada
Bisyr ibn Al-Hafi. Abu Nashr Al-Tamar menuturkan bahwa ada seseorang datang
mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr Al-Harits, dengan mengatakan, “Aku
ingin sekali menunaikan ibadah haji. Karena itu, berilah aku petunjuk.” Bisyr
berkata, “Berapa banyak uang yang engkau miliki untuk bekalmu?” Orang itu
menjawab, “Seribu dirham.” “Dan apakah yang mendorongmu menunaikan ibadah
haji?” Bisyr bertanya. “Apakah itu untuk bersenang-senang, atau rindu kepada
Baytullah, atau keinginan beroleh ridha Allah?” “Keinginan beroleh ridha
Allah,” jawab irang itu. Bisyr kemudian bertanya, “Dan jika engkau bisa
memperoleh ridha Allah Swt. dengan tinggal di rumah dan membelanjakan seribu
dirham itu, dan engkau yakin bahwa ini akan mendatangkan ridha Allah, akankah
engkau melakukannya?” “Ya,” kata orang itu. “Kalau begitu, bagikan uang itu
kepada sepuluh orang,” kata Bisyr. “Maka orang beriman bisa menunaikan praktik
aamanya, dan orang miskin bisa berdikari, dan sang ayah bisa membuat
keluarganya sejahtera, dan pengasuh anak yatim bisa memberi anak asuhnya
kebahagiaan. Karena itu, jika Allah Yang Mahaesa memberi kalbumu kekuatan untuk
bersedekah, maka lakukanlah.
Sebab,
sungguh, tindakanmu memberikan kebahagiaan ke dalam kalbu orang Muslim,
tindakanmu menyirami kalbu orang yang mengeluh, dan tindakanmu meringankan
penderitaan orang miskin, dan tindakanmu menguatkan kembali keyakinan orang
yang lemah, semuanya itu jauh lebih baik ketimbang ribuan hujah Islam. Pergilah
dan bagikan uang itu seperti yang telah aku sarankan kepadamu. Kalau tidak,
katakan kepadaku apa yang sesungguhnya ada dalam kalbumu.” Orang itu pun
berkata, “Wahai Abu Nashr, perjalanan hajiku ini adalah puncak keinginan dalam
kalbuku.” Lalu Bisyr pun tersenyum, mendekatinya seraya berkata, “Kalau uang diperoleh lewat
praktik-praktik bisnis yang kotor dan belum jelas halal-haramnya, maka uang itu
bahkan mendorong hawa nafsu membayangkan keinginan untuk bersegera menjalankan
amal-amal yang secara lahiriah tampak saleh. Tapi, Allah Swt, telah bersumpah bahwa Dia hanya akan
menerima amal orang yang bertakwa kepada-Nya.” Ketika Bisyr mengatakan ini,
orang itu pun menangis.
Ambillah kasus seseorang yang mapan dalam
keadaan-keadaan spiritual yang telah aku sebutkan dan berupaya sepenuhnya
memupuknya sambil tetap tinggal di rumah. Andaikan dia ingin menguji
kesetiaannya pada keadaan-keadaan itu, dengan cara menanggung perasaan
keberpisahan dari hal-hal yang lazim dan diandalkan di negerinya, memutuskan
untuk berjuang melawan jiwa rendahnya dengan cara demikian. Ibadah haji yang
dilakukannya adalah terpuji. Meski perjuangan itu dilakukan seraya tetap
memikirkan hal tersebut. Yang demikian itu tetap menjadi salah satu kebisaan
musafir-musafir yang terpisah sendirian. Bahkan, aku memandang kecederungan
jiwa rendah kepada penunaian ibadah haji itu sebagai berdosa dalam kebanyak
hal. Alasanku adalah adanya prinsip yang mengatakan kecenderungan jiwa rendah
pada amal-amal ibadah yang secara fisik sulit dikerjakan, adalah berdosa.
(Jawaban atas pertanyaan kedua : tentang bagaimana jiwa rendah atau
hawa nafsu bisa cenderung pada apa yang menimbulkan kesulitan)
Seseorang yang mendengar ini mungkin merasa heran
dan bertanya, “Bagaimana mungkin jiwa rendah bisa cenderung kepada apa yang
menimbulkan kesulitan bila hal itu bukan perhatian utamanya?” Orang yang
mengajukan keberatan itu tidak menyadari, bahwa jiwa rendah kadang-kadang
mencari tujuan yang bisa dicapai hanya dengan meninggalkan kesenangannya.
Seseorang melihat, misalnya, orang-orang begitu diharu-biru oleh kecintaan akan
kemasyhuran serta kekayaan dan begitu tekun memenuhi keinginan mereka akan
hal-hal itu, sampai-sampai mereka mau menanggung resiko menentang bahaya,
terjun ke dalam laut dan menerjunkan diri ke dalam segala bahaya. Harapan untuk
mencapai keinginan itu mendorong mereka merasa senang dan gembira berada dalam
kesulitan seperti ini. Biarpun begitu, yagn mereka peroleh bukanlah yang mereka
harapkan. Pertanyaan ini memiliki dua segi. Bedanya, tujuan-tujuan yang baru
saja kusebutkan sudah lumrah dan diketahui oleh hampir semua orang. Cara-cara
mencapai semuanya itu jelas dan tak samar barang sedikit pun. Sebaliknya, orang
–orang saleh yang keadaan spiritualnya tinggi melampaui orang-orang Muslim
umumnya, mengabdikan diri pada tujuan-tujuan lain yagn telah aku bicarakan.
Teapi, lantaran kebodohan sajalah jiwa rendah melaksanakan tugas-tugas sulit
untuk mencapai hasil yang kecil, kendatipun seseorang siap berperang, difitnah,
dan beradu kekuatan fisik agar setelah dia mati, beroleh pujian atas keberanian
dan ketabahannya. Inilah benar-beanr kebodohan, sebab apa guna dan manfaat
hal-hal itu bagi jiwa rendah setelah kematian?
Tujuan seperti ini dikejar-kejar tanpa adanya
konsep atau maksud dan tanpa kepuasan pada akhirnya, seperti dikatakan ‘Ali ibn
Hazm dalam “Kitab Pemerintahan”. Yang lebih bodohd ari mereka ini adalah
orang-orang yang pernah aku jumpai, yang tidak tahu mengapa mereka mengorbankan
dirinya. Kadang-kadang Zayd menyerang ‘Amr, kadang-kadang ‘Amr menyerang
Zayd, bahkan mungkin pada hari yang sama. Mereka berani menempuh resiko
kematian sia-sia. Mereka terbunuh demi neraka atau melarikan diri membawa
kehinaan. Rasulullah saw. memberikan peringatan tentang orang-orang seperti ini
ketika beliau bersabda : “Akan tiba masanya ketika orang yang membunuh tidak
tahu mengapa dia membunuh, pun tidak pula orang yang terbunuh tidak tahu
mengapa dia dibunuh.”
49.
Nah, masalah bisa disamakan dengan situasi di mana
kecendrungan alami jiwa rendah memaksa sebagian orang menjadi sangat asyik
dengan amal ibadah dan memberlakukan praktik-praktik pengingkaran diri dalam
kadar yang tinggi atas diri mereka sendiri. Mereka melemparkan jiwa rendah ke
dalam situasi berbahaya, dan mendorong jiwa rendah melaksanakan ekwajiban-kewajiban
berdasar atas anggapan bahwa hal ini bakal mempercepat kemajuan mereka menuju
keadaan spiritual orang-orang besar. Mereka membayangkan bahwa dengan
kecenderungan berlebih-lebihan ini, mereka bisa menukar kepicikan mereka dengan
pengetahuan tentang kesempuranaan. Mereka tinggalkan tujuan-tujuan duniawi
tertentu, sembari berharap mendukung ketulusan maksud-maksud jiwa rendah
mereka, dengan mengklaim bahwa mreka mengikuti kewajiban-kewajiban agama. Jauh
sebelumnya, mereka mempersembahkan amal dan waktu ibadah ini, membaktikan
banyak waktu kepadanya, dan tak dapat mengendalikan tujuan-tujuan mereka, yaitu
terperosok ke dalam hal-hal lebih tercela ketimbang yang gmereka tuju dan
inginkan sebelumnya. Jika maksud-maksud jiwa rendah telah dianggap benar, maka
tindakannya sama sekali bukan suat pelanggaran; dan jiwa rendah akan memahami
bahwa hanya ketaatan kepada agama kaum monoteis sejati sajalah yang
bisamengakhirinya. Aku bersumpah demi hidupku, bahwa dewasa ini seseorang yang
taat kepada agama itu dan mengikuti jalannya, akan anehnya mengalami derita tak
terperikan dan mereguk minuman yang mencekik leher seakant ak seorang pun bisa
meminumnya. Karena itu, apahala yang diterimanya akan banyak, dan jerih
payahnya pun bermanfaat, sebab prinsip logisnya adalah bahwa segala sesuatu
yang membebani jiwa rendah, sesungguhnya adalah baik.
(Jawaban atas pertanyaan ketiga : tentang segi positif
kesulitan-kesulitan yang menimpa jiwa rendah).
Baiklah kuterangkan. Allah Swt. telah mewajibkan
hamba-hambanya untuk beribadah kepada-Nya. Dia telah memberi tahu kita, bahwa
Dia menciptakan mereka persis untuk tujuan itu. Dia berfirman : “Aku ciptakan
jin dan manusia hanyalah agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. 51:56). Ibadah
adalah salah satu karakterirstik paling luhur dan agung. Dengan ibadah Dia
menggambarkan nabi-nabi dan Rasul-Nya. Ibadah adalah salah satu gelar termulia.
Yang dengannya Dia menemai mereka, khususnya nabi kita, Muhammad saw.
Itulah sebabnya beliau mencapai kedudukan sangat tinggi dan menduduki posisi
termulia dan bakal muncul di alam semesta pada Hati Kiamat bersama semua nabi
dan rasul di bawah panji-panji beliau.
Salah satu pernyataan paling ringkas dan paling
fasih tentang topik ini adalah ucapan seseorang, “Ibadah adalah visi spiritual
tentang Keilahian.” Ungkapan ini meringkaskan makna apenghambaan menurut kaum
sufi. Hal itu berhubungan dengan kedudukan mengerjakan amal saleh yang
disebutkan dalam haids Jibril a.s. Dikatakan bahwa : “Ibadah berarti menjadi
hamba-Nya dalam setiap keadaan, seolah-olah Dia adalah Tuanmu dalam setiap
keadaan.” Juga dikatakan :
“Ibadah mempunyai empat karakteristik : Memenuhi janji, melaksanakan hukum,
merasa senang dengan kondisi aktualnya, dan bersabar di saat kehilangan.”
Maksud ungkapan ini dan lainnya yang serua adalah bahwa ibadah merupakan sifat
yagn inheren dalam diri sang hamba, yang mendorongnya untuk mematuhi
perintah-perintah Ilahi, menghindari apa yang dilarang, dan pasrah kepada
Ketentuan-ketentuan Ilahi. Penghambaan
dimulai dengan kedudukan kepasrahan, dan diakhiri dengan kedudukan berbuat amal
saleh.
Hanya “jiwa rendah yang menyruh pada kejahatan”
(Qs. 12:53), sajalah yang bisa menyelewengkan sang hamba dari memenuhi ibadah
yang sesuai dengan kedudukannya ini. Karena itu, satu-satunya cara untuk
memenuhi ibadah yang sesuai dengan perintah-perintah Ilahi adalah berjuang
melawan jiwa rendah di sepanjang jalan sahabat kaum sufi yang terpilih ini.
Allah Swt. berfirman : “Dan orang yang berjihad demi Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka Jalan-Jalan Kami.” (Qs. 29:69). Dan juga,
“Sungguh, surga adalah tempat tinggal bagi orang yang menahan diri dari hawa
anfsunya.” (Qs. 79:40-41). Dan menurut sabda Nabi, “Musuh terbesarmu adalah
jiwa rendah (hawa nafsu) yang ada di antara kedua sisimu.” Allah Swt. memerintahkan
kepada Dawud a.s. untuk mengatakan : “Jiwa rendahmu adalah musuh; sungguh tak
ada lagi di seluruh kerajaan ini yang suka menentangku.”
50.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu malam aku bangun untuk
shalat malam, tapi aku tak bisa juga dipejamkan. Kemudian aku duduk, kubuka
pintu, lalu pergi keluar. Di sana kulihat seseorang berpakaian wol tengah
berbaring di jalan. Ketika dia melihatku, dia mengangkat kepalanya dan berkata,
“Wahai Abu Al Qasim, cepatlah kemari!” ‘Baik, Tuan, jawabku. Lalu dia berkata,
‘Aku memohon kepada Sang Pembangkit Kalbu agar membangkitkan kalbumu.’ ‘Dia
baru saja melakukannya,’ jawabku. ‘Apa yang engkau perlukan?’ Orang itu lalu
bertanya kepadaku, ‘Kapan penyakit jiwa rendah menjadi obat buat dirinya
sendiri?’ Aku menjawab, ‘Ketika jiwa rendah bertentangan dengan keinginannya,
maka penyakitnya itu sendiri menjadi obatnya.’ Orang itu termenung sesaat,
kemudian berkata, ‘Seandainya aku memberikan jawaban itu tujuh kali kepadamu,
engkau pasti akan menolaknya. Tapi kini engkau telah mendengarnya dari
Al-Junayd, maka engkau pun mendengarkannya.’ Lalu orang itu berpaling dariku,
aku tidak mengenalnya.”
Renungkanlah kisah luar
biasa ini. Ada kisah-kisah lain tak terhitung jumlahnya yang memiliki maksud
serupa. Dalam kaitan dengan berbagai cobaan yang digunakan Allah Swt. untuk
menguji beberapa hamba-Nya inilah, manfaat-manfaat pengingkaran diri dan
latihan-latihan (Spiritual) seperti itu bisa membuahkan hasil, sebab cobaan itu
menyebabkan sang hamba menahan keinginan dan membenci hawa nafsunya. Dia
beroleh menfaat dari menanggung cobaan dengan penuh kesabaran, serta
memperlihatkan sifat-sifat yang diperjuangkan sang hamba : rendah hati,
kepasrahan yang bersifat meniadakan diri dari pengakuan akan kefakirannya.
Orang yang mengalami berbagai cobaan, menjadi contoh dan teladan. Karena alasan
itulah, para nabi menjadi teladan kita, sesuai dengan firman Allah Swt, “Karena
itu bersabar lah, seperti rasul-rasul berhati teguh telah bersabar.” (Qs.
46:35). Sungguh, mereka terbiasa mendapat penderitaan dan kesulitan – Ayub a.s.
misalnya. Mereka dipotong dengan gunting dan gergaji menjadi dua, dan semua itu
ada tujuh puluh nabi. Lantas, mengatakan bahwa segala sesuatu yang membebani
jiwa rendah adalah baik, berarti mengatakan bahwa setiap cobaan adalah karunia.
(Jawaban atas pertanyaan keempat : Uraian tentang
soal-soal ringan yang terpuji)
Orang mungkin bertanya, apakah kalau setiap
aktivitas yagn kurang bertumpu pada jiwa rendah atau yang menyebabkannya
bertindak secara tepat melalui rahmat dan harapan,adalah suatu keburukan dan
penyebab kesusahan. Haruskah orang meminta beban dan kesengsaraan dan
mencarinya secara aktif, karena semuanya itu sesungguhnya adalah karunia yang
baik, ataukah cara seperti ini dianjurkan?
Untuk pertanyaan eprtama, aku menjawab tidak, sebab
orang bisa menemukan segala macam amal saleh yang mudah bagi jiwa maupun yang
terpuji, dan menemukan berbagai karunia yang menyenangkan, sepenuhnya positif,d
an tidak mengandung keburukan. Aku mengacu kepada jenis keringanan yang dialami
sebagian orang dalam berbagai tindakan, seperti memutuskan diri dari kesibukan
duniawi, beristirahat menenangkan perhatian kalbu, atau bersyukur atas karunia
yang melebihi harapan dan yang menyenangkan. Beberapa sumber keringanan,
misalnya, adalah membahagiaan orang yang bersedih hati, memberi makan orang
yang lapar, memberi pakaian orang-orang yang telanajang, memberi minum
orang-orang yang gkehausan, melindungi anak-anak yatim, membantah agama lain,
dan sebagainya. Karena itu, mengalami keringanan dan kebahagiaan rahmat berkat
amal-amal seperti ini, merupakan sarana untuk mematuhi dan menyembah Allah.
Inilah berbagai rahmat yang diberikan kepada orang-orang yang memberi makan,
minum, pakain, perlindungan, memberi tumpangan, atau menikahkan. Akan tetapi,
seperti akan aku jelaskan, adalah patut dipujikan kalau merasa senang dengan
amal-amal penuh rahmat ini saja, lantaran semuanya itu merupakan peringatan
keras terhadap kecenderungan alami seseorang, dan bukan lantaran semuanya itu
berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan kotor seseorang.
(Jawaban atas pertanyaan kelima : Tentang menahan
diri dari menginginkan dan meminta bagian kesulitan).
Selama tidak melanggar larangan agama,
diperbolehkan menginginkan dan meminta cobaan; teatapi, tidak diperbolehkan
maakala agama melarangnya. Menurut sebuah hadis sahih dari Abu Hurayrah,
Rasulullah saw. bersabda : “Janganlah engkau menginginkan bertemu dengan musuh;
tetapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah!” dan menurut sebuah hadis
dari ‘Abd Allah ibn Abi Awfa, Rasulullah sawb bersabda, “Wahai manusia! Janglah
emnginginkan bertemu dengan musuh; mintalah kesejahteraan dan kebaikan dari
Allah. Tapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah, dan ketahuilah bahwa
surga itu berada di bawah bayangan pedang.” Anas ibn Malik juga meriwayatkan
sebuah hadis sahih bahwa Rasulullah saw. mengunjungi seorang Muslim yagn sudah
sangat lemah dan rentan sehingga tampak seperti seekor ayam. Rasulullah Saw.
bertanya kepadanya : “Sudahkah engkau berdoa untuk sesuatu, atau memohon
sesuatu kepada Allah?” Dia menjawab : “ “Ya, Aku telah berdoa, “Ya Allah,
jangan Kau hukum aku di akhirat nanti. Sebaliknya, segerakan hukuman-Mu untukku
di dunia ini.” Maka Rasulullah saw. berkata, “Mahasuci Allah! Itu di luar
kemampuanmu, engkau tak bakal sanggup menanggungnya! Mengapa engkau tidak
berdoa, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat dan
lindungilah kami dari siksa neraka?” (Qs. 2 : 201). Anas mengatakan, orang itu
lalu berdoa seeprti itu, dan dia pun sembuh.”
Variasi lain dari hadis itu berbunyi : “Kita tidak
sanggup menanggung hukuman dari Alalh.” Rasulullah saw. tidak pernah berhenti
berdoa meminta rahmat yang banyak dan keterbebasan dari berbagai cobaan.
Riwayat-riwayat yang bisa dipercaya menuturkan bahwa salah satu doa yagn paling
sering diucapkan Rasulullah saw. adalah, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di
dunia ini dan kebaikan di akhirat nanti dan lindungilah kami dari siksa
neraka.” Dan Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. biasa meminta perlindungan
dari keputusan merugikan, dari dikuasai oleh penderitaan, dari kegembiraan
musuh atas kemalangannya, dan dari kesusahan dalam kesengsaraan. Inilah hanya
sebagian kecil doa beliau untuk keselamtan. Di sebuah daerah di mana
orang-orang kafir telah menyakiti beliau, Nabi Saw. berkata, “Tetapi aku lebih
tertarik kepada kesejahteraan dan kebaikanmu.”
Himah ucapan-ucapan itu adalah begini : Cobaan
tidaklah diinginkan pada dirinya sendiri, tapi hanya jika kesemuanya itu
mengandung beberapa manfaat yang telah aku sebutkan, dan jika kesemuanya itu
meningkatkan pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang sabar dalam
menghadapinya. Bahkan tanpa memberikan berbagai cobaan ata membebani orang
dengan beberapa kesulitan, Allah Swt. memberikan kebaikan dan lebih banyak lagi
kepada siapa yang dipilih-Nya. Rasulullah Saw. diriwayatkan telah bersabda,
“Adalah hak prerrogatif (istimewa) Allah sajalah
untuk menahan kemurahan-Nya dari salah seorang di antaramu yagn adalah
hamba-hamba-Nya, sampai sang hamba itu meraih dan mendapatkannya.” Rasulullah
saw. juga bersabda : “Sesungguhnya Allah menjauhkan penyakit dari sebagian
hamba-Nya, di dunia ini. Dia berikan kepada mereka kesehatan dalam kehidupan,
kesehatan dalam kematian, dan kesehatan di surga, di mana di surga inilah Dia
memasukkan mereka.”
52.
Sag hamba mestilah meminta anugerah dari Tuannya
tanpa perantaraan berbagai cobaan dan kesulitan. Selanjutnya dia tidak boleh
bermaksud menginginkan untuk dirinya sendiri, atau memerlukan banyak sekali
kekuatan dan kesabaran yagn tak boleh diusik barang sedikit pun. Makhluk itu
lemah dan, kecuali dengan pertolongan dan bantuan Allah, tak mampu menahan dan
menangkis kekuatan sebuah atom yang bisa menguasainya. Kepercayaan pada
diri sendiri dalam hal ini adalah mustahil; bahkan mengharapkannya adalah
puncak kesombongan. Namun, seseorang harus merasa khawatir mengendalikan dan
mempercayai dirinya sendiri,d an dengan demikian binasa, seperti halnya
sebagian orang lainnya.
Ketika Al-Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, sakit
kerasa, dia sering berdoa, ‘YA Allah, jika yang demikian itu membuat-Mu ridha,
tambahlah penyakit ini. “ Maka Al-Ma’afiri menulis surat kepadanya dari wilayah
selatan Mesir. “Wahai Abu ‘Abd Allah, engkau bukan termasuk salah seorang dari
kami yang menderita berbagai cobaan dan kemudian memohon agar menajdi puas
dengan segala sesuatu sebagaimana mestinya\! Di atas segalanya, kita harus
meminta kebaikan dan kesehatan.” Al-Syafi’i membalas, “Aku memohon ampunan
Allah dan bertobat di ahdapan-Nya.” Setelah itu, dia biasa berdoa, “Ya Allah,
berilah aku rahmat-rahmat yagn aku inginkan.”
Kemudian ktia jumpai pernyataan luar biasan ini :
Aku menginginkan-Mu, tapi aku
menginginkan-Mu
Bukan demi pahala;
Tidak, aku menginginkan-Mu demi
hukuman abadi.
Telah kucapai setiap keinginanku.
Kecuali kebahagiaan ekstase dalam
kesengasaraan.
Dan ucapan Sumnun ini : “Engkaulah satu-satunya
keinginanku, karena itu, ujilah aku sekehendak-Mu.” Ketika Mu’adz ibn Jabal
akan meninggal dunia, dia berkata, “Tahanlah keinginanku dengan kekuatan-Mu,
dan aku akan memberi-Mu isyarat bahwa kalbuku mencintai-Mu.”
Semua pernyataan ini adalah akibat dari ekadaan spiritual luar biasa di
aman Pengausa Ekstase telah menguasai para pembicara tersebut.
53.
Demikianlah, para pecinta dalam maqam cinta dikalahkan
oleh Allah, entah melalui kehinaan atau melalui perasaan meluap-luap, sehingga
mereka berbicara tentang hal-hal yang mengejutkan begitu pertama kali di dengar
telinga. Sebagian dari apa yang mereka katakan tampak seperti kekafiran. Meski
begitu, mereka dibenarkan dalams egala sesuatu yang mereka katakan, dan aman
dalam kedudukan mulia. Seperti dikatakan Syibli, “Sang pencinta akan binasa
jika dia diam; sang sufi akan binasa jika dia tidak diam.” Diriwayatkan bahwa
ketika Sumnun mengucapkan bait yagn dikutip di atas, salah seorang sahabatnya
berkata kepada yagn lainnya, “Kemarin ketika aku berada di Rastaq, aku
mendengar susara Guru kita Sumnun ibn Hamzah tengah menyeruh Allah Swt. memohon
keapda-Nya agar disembuhkan.” Orang kedua berkata, “Aku juga mendengar hal itu
kemarin ketika aku sedang berada di tempat anu. Orang ketiga dan keempat
mengatakan hal serupa. Ucapan itut erdengar oleh Sumnun. Dia menderita penyakit
lemah, tapi da bersabar dan tidak cemas. Makanya, ketika dia mendengar bahwa
mereka mengatakan hal-hal ini ketika sesungguhnya dia tidak memohon dan tidak
mengatakan hal seperti itu, dia menyadari bahwa mereka berlaku sebagaimana
mestinya hamba-hamba dengan cara menyembunyikan keadaan spiritual. Kemudian,
dia berjalan-jalan mengelilingi tempat belajar mereka sembari berkata,
“Berdoalah untuk pamanmu, sang penipu ini.” Nah, Sumnun ini adalah salah
seorang pecinta, dan telah mengalami hal-hal menakjubkan dalam maqam cinta.
Karenanya, sang hamba harus memohon, menginginkan,
dan merasa puas dengan kesehatan yang baik. Sikap seperti ini merupakan bagian
dari perilaku orang yang benar. Manakala cobaan datang, orang harus bersabar,
pasrah, dan ridha dengan keputusan Allah, sambil menydari bahwa dirinya tengah
menempuh jalan orang-orang yagn disucikan oleh kesengsaraan.
Dari apa yang telah aku bicarakan hingga kini,
jelaslah bahwa penghambaan yang aku sebutkan tidaklah hanya terdiri atas
berbagai macam perjuangan dan penderitaan, dan bahwa titik tolaknya berada
dalam amal-amal jasmani dan kalbu. Jika sang pencari menemukan seorang
pembimbing spiritual yagn menuntunnya menuju jalan ibadah dan melindunginya
dari berbagai jebakan dan perangkapnya, seorang pembimbing yang memiliki
silsilah-silsilah mulia dan aspirasi tinggi, maka sang pencari itu meski ebrpegang
kuat-kuat pada kelim jubahnya, mengikuti jubahnya, mengikuti jejaknya, dan
meneladani kata dan tindakannya. Sang pencari mesti menyadari bahwa dirinya
telah menemukan belerang merah dan telah memperoleh kebahagiaan abadi lebih
besar.
(Jawaban atas pertanyaan keenam : Tentang
Kitab-kitab Tasawuf mana yang mesti dibaca, dan bagaimana cara mengamalkannya)
Jika seorang pencari tidak menemukan pembimbing
seperti ini, atau mengalami kesukaaran dalam melakukan yang demikian itu, maka
dia mesti berpedoman pada tulisan-tulisan para tokoh sufi, khususnya kitab
Al-Muhasibi, Al-Sulami, Al-Qusyayri, Abu Thalib Al-Makki, Abu Hamid Al-Ghazali,
dan ‘Awarif Al-Ma’arif-nya Al-Suhrawardi. Inilah sumber-sumber utama, tempat
orang mengambil nasihat dan memperoleh setiap jenis ilmu pengetahuan. Karena
alasan inilah, ucapan-ucapan para pemimpin sufi dikutip dalam ebrbagai surat
dan analogi, dan telah beredar luas di kalangan ulama. Ucapan-ucapan ini
dimaksudkan bagi sang pencar setelah dia memantapkan ketaatannya pada mazhab
Sunni dan bersandar pada otoritas mazhab ini dalam menerangkan praktik
agamanya. Dari mazhab ini sang pencari mesti memlilih Sunnah Nabi yang terbaik,
dengan ketulusan niat dan ketetapan hati kuat unutk mengerjakan amal baik.
Kemudian, dia mesti berjuang mewujudkan amal baik sepenuhnya dalam tindakan dan
perkataan, dengan memohon pertolongan dari Tuhannya dalam semua keadaan
spiritualnya. Setelah memiliki karakteristik ini dan mempelajari
tulisan-tulisan ini, dia bisa berharap akan sampai pada tujuan yang dicarinya
dan sampai pada pemahaman yang diinginkannya.
Dari karya-karya terkenal yang telah aku sebutkan
itu, aku mengetahui tak ada satu pun yang lebih bisa memuaskan dahaga,
mengobati penyakit, dan membimbing menuju Jalan kecuali karya Abu Thalib Al-Makki
dan Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka menulis dalam kedua kitab itu rahasia
pengetahuan dan keajaiban pemahaman yang bakal memberi kebahagiaan dan
memudahkan persoalan-persoalan. Misalnya, Al-Ghazali mengkategorikan, menyusun
dalam bab-bab, menerangkan, menjelaskan, menyaring dan memperbaiki, dan membuat
ikhtisar tentang segala sesuatu yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Dia
memberikan contoh, menghilangkan kekaburan, menjelaskan rahasisa-rahasisa
pelik, dengan menunjukkan arah menuju jalan perenungan dan pemahaman.
54.
Akan tetapi, kitabnya tidak memuat materi sulit
yagn berbeda dengan pandangan para teolog spekulatif. Sang pencari tidak
membutuhkan pengetahuan mendalam (makrifat) tentang ini, sebab semuanya itu
bukanlah fondasi penting bagid asar-dasar Jalan yang diikutinya. Hampir semua
materi itu terdapat dalam bagian “Kebaikan-kebaikan bermanfaat,” dalam bab-bab
tentang tobat,s yukur, Keesaan Allah, dan cinta. Uraian yang lebih mudah
dipahami tentang soal-soal ini bisa dijumpai dalam bagian-bagian lain kitab
itu. Manakala seseorang mempelajari kitab ini menemui salah satu bagian itu,
dia cukup hanya beralih ke bagian lain, dan memberi pengarang kitab itu manfaat
akan keraguan tentang apa yang tidak diketahui sang pencari. Dia mungkin juga
mengetahui hadis-hadis tertentu yang membahas soal-soal serupa, tapi tidak
ahrus menerima atau menolaknya. Dengan demikian, sang pencari akan
menggabungkan keuntungan-keuntungan membaca kitab itu dengan sikap berbeda
terhadap para ulama yang memahami hal-hal ini.
Kitab Abu Thalib dihargai,d an lebih disukai di
antara kitab-kitab lainnya, sebab cakupan bahasannya tak ada dalam kitab
lainnya. Aku belum mengetahui seorang pun yang mampu menghasilkan kitab-kitab
semisal itu. Di dalamnya dia mengemukakan ilmu tasawuf ilmiah yang tidak bsia
dijelaskan. Dia mampu menguak tabir rahasia yang tak seorang pun bisa
melakukannya. Kitabnya memadukan makna yang dalam dengan keindahan ekspresi dan
disuguhkan dengan cara yang menarik pendengaran dan yang terasa manis oleh
lidah. Dia menguraikan cabang-cabang dak akar-akar pengetahuan,d an menysunnya
menurut pertanyaan dan bab. Dalam hal ini, kitab itu, bagi tasawuf, sama dengan
kitab Al-Mudawwanah bagi ilmu hukum (fiqh) : Kitab ini menggantikan kitab-kitab
lainnya, dan ak ada satu pun yang mampu menggantikannya.
Karya ini memuat sejumlah pengetahuan rahasia yang
tidak bisa dipahami melalui analisis rasional, dan tidak sesuai dengan ilmu
hukum tradisional (fiqh), serta juga memuat beberapa hadis yang mengingkari
cara berpikir dan cara meraih kemajuan pengarangnya. Manakala pembaca menemui
ini, dia mesti siap menangguhkan keputusan tentangnya, seperti aku sebutkan
sebelumnya, dan hanya menempuh jalan lurus dengan harapan bahwa Allah, Yang
Menurunkan Wahyu, Yang Maha Mengetahui, bakal membukakan ini kepadanya.
Dan tulisan-tulisan yang telah aku sebutkan,
keduanya ini memuat banyak manfaat yang harus di dapatkan sang pencari, dan dia
tak akan bisa menemukan pengganti lain yang memadai. Dia mesti mencari
manfaat-manfaat itu dalam halaman-halamannya, dan mengambilnya dari
relung-relung rahasianya, serta meminta bantuan dengan cara berhubungan dan
bergaul dengan seseorang yagn mendukung cara berpikir yang sama dan bisa
menjadikan sang pencari berpartisipasi dalam meraih tujuannya dan objek keinginannya.
(Jawaban atas pertanyaan ketujuh : Tentang
menghindarnya sang pencari dari berhubungan dengan orang yang mungkin cenderung
merusak keadaan spiritualnya.)
Sang pencari harus menghindarkan diri dari
persahabatan, kesibukan, dan tindakan dua kelompok orang . kelompok mereka
mencakup orang-orang yang menggeluti ilmu-ilmu eksoteris, seperti kajian hukum
agama dan sebagainya. Pada umumnya, dia tidak akan menemukan kedamaian dalam
mempelajari ilmu-ilmu ini, dan mungkin juga terjatuh ke dalam berbagai jenis
dosa, baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Keterbebasan dari dosa cukup
jarang terjadi dalam keadaan bagaimana pun. Akan tetapi, di tengah-tengah
pengkajian tentang spekulasi-spekulasi hukum yang jernih dan kontroversi
akademis yang sembarangan, tidak ada yang dapat melindungi agar kalbu tidak
lalai. Sang penari akan menghabiskan kehidupannya dalam usaha sia-sia,
membuang-buang waktu dalam berbagai usaha tak membawa hasil. Begitu dia membuang-buang waktu
di tengah hiruk-pikuk soal baik buruk, maka hasil jerih payahnya bakal segera
lenyap tanpa bekas.
55.
Orang terbaik yang sekarang ini menggeluti kajian
ini adalah orang yang menggunakan kajian itu sebagai bangunan untuk mendidik
siapa saja yang membutuhkan keahlian mereka dalam memutuskan hukum yang
gmenjadi wewenang faqih. Akan tetapi, mereka mempertahankan kedudukan mereka
dengan penalaran yang tampaknya bagus. Misalnya, mungkin dikatakan, “Aku mengerjakan kewajiban
memberantas kejahilan dan kesesatan. Sejak dulu hingga sekarang orang terus
menerus bekerja keras melakukan kewajiban itu, dan sangat menghargai
pengkajian dan pencarian yang muhim, seperti halnya Malik dan ulama-ulama
lainnya. Aku tempuh jalan yang sama serta mengerjakan pekerjaan mereka. Dengan
begitu, bukankah aku ini tempat berlindung dari ketenggelaman dan sumber
petunjuk bagi orang-orang yang gmelakukan kesalahan, dari jalan yang
salah kembali ke jalan yang benar?”
Begitulah,
mereka dengan tabah berusaha membuktikan ketulusan amal mereka; begitulah, mereka mereka memberikan nasihat dan mencoba menjelaskan
duduk persoalan mereka. Tetapi, yang demikian itu adalah saran dan bisikan
setan untuk menyebarluaskan perselisihan dan kesesatan. Slah satu kesessatan
paling besar yagn dilakukan setan dengan retorika yang halus dan argumentasi
yang diputarbalikan ialah, agar orang melupakan jiwa rendahnya dan Tuhannya.
Setan mengendaliaknorang
itu dengan genggaman hawa nafsunya, sehingga membuatnya tuli dan buta. Dengan membuang rasa takut dan
kekhawatirannya, orang itu pun dikuasai kelalaian dan sifat tak berperasaan.
Lalu dia bersahabat dengan orang hina, menimbulkan berbagai tindakan kejahatan.
Hambatan-hambatan ini bertambah banyak dalam diri
seseorang, sebanding dengan ketenggelamannya dalam kajian hukum, sehingga
semakin sulit bagi dirinya untuk bebas dan melepaskan diri darinya. Semakin
maju seseorang dalam belajarnya karena motif-motif yagn serakah, maka semakin
bertambah kejahilan dan kelemahannya. Dia laksana orang yang membangun sebuah
benteng dapi meluluh-lantakkan sebuah kota. Penilaian tinggi atas jiwa
rendah adalah indikatornya, dan juga kekagumannya pada intelegensi dan
intuisinya, keangkuhannya, dan penolakannya untuk menerima saran dan nasigat
spiritual. Karena kalbunya tidak penuh perhatian, dan telinganya tidak menyimak
baik-baik, dia menolak itu dari orang yang mengemukakannya. Dia lecehkan
sahabat-sahabat dan rekan-rekannya dalam belajar. Dia jatuh ke dalam dosa
paling besar, karena melontarkan fitnahan sewaktu mereka tidak ada. Orang yang
telah mengalami cara kerja mereka dan menyaksikan tindakan-tindakan mereka,
akan merasa yakin tentang kebenaran dari apa yang telah aku katakan tentang
orang-orang ini. Jalan
mereka nyata-nyata tidak sama dengan jalan leluhur kita yang saleh dalam agama,
yang jalannya adalah persaudaraan, kekeluargaan, dan saling keterbukaan.
Nah, jika orang melarang seperti ini menyadari
kelalaian dan kesombongannya, menyadari keburukan amalnya berikut akibatnya,
dan menginsafi keinginannya untuk bertobat, perubahan dalam kalbu, serta
keadilan yang ditandai oleh nilai-nilai luhur, maka dia juga akan mengetahui
bahwa kesengsaraan yang dideritanya berakar kuat dalam kecenderungannya, dan
bahwa kegelapannya memadamkan cahaya pengetahuan spiritual. Jika dia adalah
sejenis orang yang sebelumnya penuh perhatian dan terbimbing secara benar di
jalan kewaspadaan, maka dia akan memperhatikan prospek perjuangannya melawan
hawa nafsunya dengan kecemasan luar biasa; tapi dia akan terus mencampakkan
sifat-sifatnya yang penuh dosa, sekalipun dalam keadaan sangat sulit tak terperikan.
Jika, sebaliknya, orang itu memiliki penilaian yang merugikan sehingga Allah
menjadikan pengetahuannya serba-salah, maka kebutaannya bakal semakin
bertambah. Dia tetap menjadi budak hawa nafsunya, dan menderita kekalahan dalam
urusan-urusan agama dan dunia. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
56.
Seseorang yang kalbunya menderita karena berbagai
argumen yang tampaknya baik seperti itu – sedangkan menyerah kepada kesalahan
itu adalah musuh paling buruk – cukup hanya membandingkan, dengan pandangan
mata kejujuran yang mantap, keadaan spiritual orang-orang yagn telah aku
uraikan dengan keadaan spiritual pemimpin agama yang telah aku sebutkan.
Kemudian, dia akan melihat sendiri jurang gperbedaan antara kedua kondisi
tersebut, dan akan berkata : “Sungguh berbeda!” Itu karena pemimpin agama
membangun jalan hidupnya di atas fondasi ketakwaan kepada Allah, kesalehan,
ketulusan kalbu, dan keterbukaan. Yang demikian itu pada gilirannya menyebabkan
ketajaman pandangan dan kesucian wujud batiniahnya. Pemimpin agama itu
meemahami kebenaran-kebenaran, yang tersembunyi maupun yang tampak, dan
ilmu-ilmu dunia dan akhirat nanti, dan beroleh pertolongan di saat-saat mereka
masih hidup dan di saat mereka berada bersama saudara-saudara mereka, dan
bantuan serta persahabatan itu membuat benar segenap persoalan mereka dalam
cara-cara yang tidak dialami oleh orang lain. Kita mengetahui kesemuanya ini,
tentang keadaan spiritaul para pemimpin itu, berkat pengisahan terus-menerus
riwayat-riwayat dari mereka mengenai soal itu.
Kedua, sang pencari harus menghidnari
sufi-sufi eksentrik yang tidak mau terikat oleh hukum dan yant idak disiplin
dalam segi formal praktik keagamaan. Sang pencari harus menghindari mereka,
bahkan sewaktu dia menjauhkan diri dari ahli-ahli hukum *fiqih), dan
lebih-lebih, karena orang-orang gitu sangat banya merugikan. Keadaan spiritual
mereka sesuai dengan hasrat jiwa rendah, sebab mereka mengklaim telah meraih
kedudukan mulia dan terbebas dari kerja fisik. Yang demikian itu bertentangan
dengan pandangan kaum sufi sejati, dan berarti meninggalkan kecintaan padan
Jalan. Guru Abu Al-Qasim Al-Qusyayri, semoga Allah merahmatinya, mengatakan,
“Guru-guru spiritual sufi sepakat sepenuhnya, bahwa Hukum Wahyu mesti dijunjung
dan dihargai tinggi-tinggi. Mereka secara khusus mengikuti Jalan
latihan-latihan spiritual, dan berhati- hati dalam mengikuti Sunnah Nabi tanpa
melanggar satu pun kewajiban praktik keagamaan. Mereka sepakat, bahwa seseorang
yang tak mampu melakukan latihan-latihan spiritual dan pengingkaran diri, serta
tidak membangun kehidupannya di atas fondasi pengabdian dan ketakwaan, berarti
tidak memperhatikan Allah Swt. dan terpedaya bahkan ketika dia berdoa
kepada-Nya. Orang seperti ini menghancurkan dirinya sendiri, dan menyebabkan
kematian orang lain yagn sudah tertipu oleh pembicaraannya yang sia-sia.”
Al-Junayd mengatakan, “Kami tidak belajar tasawuf
dari kabar angin, tapi melalui lapar, meninggalkan dunia ini, dan melepaskan
diri dari segala yang akrab bagi kami dan menyenangkan kami.” Katanya juga,
“Sungguh orang yang bersatu erat dengan Allah bertindak karena Allah dan
kembali kepada-Nya lewat tindakan itu. Kalaulah kiranya aku hidup seribu
tahaun, amal kebaikanku tak bakal berkurang seberat atom pun, kecuali bila Dia
mencegahku dari mengerjakan amal itu.” Seseorang melihat Junayd membawa tasbih
dan berkata keapdanya, “Meski engkau terkemuka, engkau masih memainkan tasbih
itu?” Dia menjawab, “Aku tak bakal menyimpang dari jalan yang telah menuntun
diriku menuju Tuhanku.” Dia biasa ke tokonya setiap hari menurunkan tirai, dan
shalat dua ratus rakaat sebelum pulang ke rumah.
Ruwaym berkata, “Tasawuf adalah pengorbanan jiwa,
jika engkau bisa menajdi sufi meski harus demikian, maka lakukanlah; jika
tidak, maka janganlah ikut-ikutan.” Dia juga mengatakan, “Sekalipun seluruh
dunia bersedia menerima formalisme, dan kaum sufi memuaskan perhatian kepada
kebenaran-kebenaran abadi, maka tidaklah begitu berbahaya kalau engkau duduk di
antara segala macam orang, ketimbang bergaul dengan kaum sufi. Kebanyakan orang
menuntut jiwa mereka lewat kebenaran-kebenaran ibadah dan ketulusan. Karena
itu,
manakala seseorang bergaul
dengan kaum sufi dan berdebat dengan mereka tentang sesuatu yang mereka itu
miliki pengetahuan lebih tinggi mengenai hal itu, maka Allah akan menghilangkan
cahaya keimanan dari kalbu orang itu.
Yusuf ibn Al-Husayn Al-Razi berkata, “Manakala kau
melihat seorang pencari bergelimangan dalam kemewahan, aku tidak tahu apa yang
bakal terjadi atas dirinya.” Dia menulis kepada Al-Junayd, “Semoga Allah tidak
membuatmu menikmati makanan jiwa rendah, sebab sekali engkau menikmatinya,
engkau tidak bakal pernah lagi merasakan kebaikan.” Ibn Khafif berkata,
“Keinginan menimbulkan kesulitan, dan kegelisahan pun tetap ada : Dan
yang lebih membahayakan sang pencari adalah menangguhkan hukuman atas
jiwa rendah dengan berbagai dalih.” Al-Hushri berkata, “Orang mengatakan bahwa
Al-Hushri tidak menganjurkan amalan-amalan sunnah. Sungguh, aku mewajibakan
diriku untuk melakukan shalat sendirian Sunnah) seolah-olah aku mempunyai
kekuatan anak muda dan seolah-olah aku akan dihukum apabila tidak melakukan
satu sujud pun!.”
Jauhkan dirimu dari menfitnah dan bertengkar.
Singkapkanlah hijab Hukum Wahyu. Adapun orang-orang eksentrik, mereka itu telah
berbuat keliru, dan menghindari mereka itu sangatlah dianjurkan. Abu Yazid al-Bisthami
mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang yang melakukan berbagai keajaiban,
sekalipun mampu terbang di udara, janganlah mudah terpesona. Telitilah apakah
dia hidup sesuai dengan perintah dan larangan, menghormati hukum, dan
berperilaku sesuai dengan Hukum Wahyu.”
Dan Abu Al-Husayn Al-Nuri mengatakan, “Jika engkau
meliaht seeseorang berdoa di hadapan Allah dalam keadaan yang menjauhkan
dirinya dari Hukum Wahyu yang sudah diketahui, janganlah mendekatinya!.”
Seseorang berkata kepada Abu ‘Ali Al-Rudzbari tentang orang yang mendengarkan
musik, dan berkata, “Bagiku, ini diperbolehkan, sebab aku telah sampai pada
tataran di mana tak ada lagi pada diriku jejak keadaan spiritual yang
bertentangan.” Abu ‘Ali menjawab, “Sungguh dia benar-benar telahs ampai di
neraka.” Seseorang ebrkata keapda Al-Nashrabadzi, “”Bagaimana tentang seseorang
yang duduk menemani wanita dan berkata, “Di mata mereka, aku tak bisa
diganggu-gugat?” Dia menjawab, “Selama manusia masih ada, perintah dan larangan
masiha da, maka boleh dan tidak bleh pun akan tetap berlaku atas dirinya. Orang
yang mengaku tak bisa diganggu-gugat secara hukum berada dalam kesesatan.”
Abu Bakr Al-Zaqqaq mengatakan, “Aku mengembara di
padang pasir Israel selama lima belas hari. Ketika aku menemukan sebuah jalan,
seorang prajurit menangkapku dan memberiku minum segelas air. Dan kalbuku pun
kembali keras selama tiga puluh tahun.” Abu Hafs Al-Haddad mengatakan,
“Seseorang yang tidak menimbang amal dan keadaan spiritualnya setiap waktu
dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, dan tidak menghitung dosanya, tidaklah bisa
digolongkan sebagai manusia.” Seseorang bertanya kepada Isma’il ibn Nujayd
tentang tasawuf. Lalu dia berkata, “Tasawuf adalah kesabaran dalam menanggung
beban perintah dan larangan.” Dan Abu Al-Abbas Al-Dinawari mengatakan, “Mereka
telah meruntuhkan pilar-pilar tasawuf dan menghancurkan Jalannya, serta telah
mengubah makna-makna spiritualnya dengan termonologi yang mereka ciptakan
sendiri : Mereka menyebut makanan sebagai pertumbuhan, kelakuan tak baik
sebagai ketulusan, meninggalkan kebenaran sebagai keeksentrikan, menyukai
hal-hal tercela sebagai kebaikan, mengumbar hawa nafsu sebagai godaan, kembali
ke dunia ini sebagai kedatangan, akhlak yang buruk sebagai kesewenang-wenangan,
kekikiran sebagai ketabahan, bertanya sebagai bekerja, kata-kata kotor sevagai
celaan! Akan tetapi, ini bukanlah Jalan kaum Sufi.” Dan masih banyak lagi
riwayat serta kisah lain seperti ini tentang kaum tasawuf.
(Jawaban atas pertanyaan kedelapan : Menguraikan
moderasi tasawuf dalam mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis)
Jika sang pencari ingin mempelajari ilmu tafsir
Al-Qur’an dan ilmu hadis, itu sungguh baik dan mulia, sebab di dalam Al-Qur’an
dan hadis terletak kebenaran-kebenaran agama dan kedudukan orang beriman.
Mereka temukan dalam kedua sumber itu tempat penyeberangan, tempat merenung,
tujuan pencarian, obat penyembuh penyakit, pertahanan terhadap musuh, dan
kendali hawa nafsu mereka. Dalam hal ini, kedua sumber ini berbeda dari ilmu
hukum (fiqh), sekalipun fiqih berasal dari dan berpijak di atasnya. Aku sudah
berbicara tentang godaan-godaan yang menyertai studi fiqih. Seseorang cukup
hanya mengambil dari fiqih apa yang dibutuhkannya bagi ibadah dan amal-amal
lahiriahnya, dan mengesampingkan sisanya.
(Jawaban atas pertanyaan kesembilan : Uraian
tentang keadaan spiritual luhur dan mulia yang harus dicapai oleh sang pencari)
Tidak ada persoalan tentang bagaimana sang pencari
mesti berperilaku secara batiniah maupun lahiriah, baik dalam keadan spiritual,
yang melalui keadaan ini dia beroleh kemajuan, mauun dalam amal-amal ikhlas
yang ada hubungannya dengan kekayaan atau kefakiran, sehat atau sakit, ketaatan
atau keingkaran, ingat atau lupanya.
Yang aku
maksud dengan ingat adalah kesaksian dan kehadiran kalbu, dan lupa adalah
keterhijaban dan ketidakhadiran kalbu. Kedua-duanya selalu ada di jalan yang
dilaluinya. Dan ketika sampai, sang pencari harus bersikap waspada terhadap
ini, sebab kewaspadaan adalah salah satu pilar atau fondasi paling kokoh.
Inilah salah satu sifat yang paling mulia dalam diri sang hamba, dan sebagian
mencakup pengetahuan yang jelas tentang Keesaan Allah (Tawhid). Melalui ingat
lan waspada, sang pencari akan menahan diri dari terburu-buru bertindak berdasarkan
harapan dan kegelisahan yang muncul dari dalam dirinya, dan aakn terbebaskan
dari perbudakan dosa dan dari keletihan dalam bertindak.
Kekayaan, kesehatan, ketaatan, dan ingat memiliki
nilai dan martabat yang sangat tinggi. Perilaku batiniah seseorang dalam
kaitannya dengan ini, berupa pengetahuan mendalamnya tentang keagungan,
kebesaran, kemuliaan, dan kemahakuasaan Tuhannya. Pengetahuan mendalam tentang
firman Allah Swt. ini akan membuahkan itu : “Mereka tidak mampu mengukur
kekuasaan penuh Allah.” (Qs. 6 : 92). Untuk memperoleh pengetahuan mendalam
tentang kehinaan, kerendahan, ketercelaan, dan kelemahan jiwa rendah, cukuplah
sudah memperoleh pengetahuan mendalam tentang kalam Allah Swt. berikut ini :
“Bukankah telah datang atas manusia satu masa ketika dia belum merupakan
sesuatu yang dapat disebut?” (Qs. 76 : 1). Setelah menguasai kedua aspek
pengetahuan mendalam ini, seseorang memahami dengan pasti bahwa dia sama sekali
tidak bisa beroleh manfaat dari karunia-karunia yang telah kusebutkan. Dia menyadari
bahwa, kecuali karunia dan kemurahan Allah, semuanya itu amat sedikit; dan,
jika Allah menimpakan kepadanya segala macam kesulitan dan cobaan melalui
berbagai bencana sangat mengerikan, dan menempatkan dalam keadaan yang
menyebabkan dirinya menyimpang dari agamanya dan meninggalkannya karena urusan
duniawi, itu karena dia memang patut menerimanya. Dia yakin benar akan semuanya
itu. Karenanya, orang harus bergembira dan bersyukur kepada Tuhannya. Dengan
cara begitu, dia tak akan berusaha demi apa yang berada lebih rendah yang
berada di bawah harkat-martabatnya dan terhidnar dari keadaan spiritual yang
dia sebelumnya telah tertipu.
Kekayaan dan kesehatan mengharuskan agar dalam
perilaku lahiriahnya, dan memanfaatkan kedua karunia ini untuk memathui Allah
Swt. bukan untuk membangkang. Karena itu, ketaatan meliputi ketulusan,
peningkatan, dan kecurigaan atas jiwa rendah. Kemudian, orang pun bisa yakin
bahwa perilakunya adalah benar, dan berharap hal itu akan diterima. Makna ingat
adalah bahwa pengembangan tak akan menuntun ke perilaku tak baik, bahwa
kontraksi tidak akan mencegah melakukan amal-amal yang wajib atau yang
dipandangnya terpuji, dan bahwa orang itu memperhatikan perilakunya
terus-menerus dan tidak membebaskan dirinya dari kewajiban.
Kefakiran dan
penderitaan berkaitan dengan kerendahan dan kelemahan. Perilaku batiniah yang
berhubungan dengannya terbentuk karena pengetahuan mendalam bahwa dengan
kedua hal ini Allah menuntun orang di jalan para nabi terkasih dan wali-Nya,
dan bahwa Allah memandang orang itu pantas mendekati-Nya dan menerima penyucian
dari-Nya. Dengan cara begini, Allah mengajari orang itu bahwa salah satu
kemungkinan paling besar baginya adalah diuji amal keagamaannya dan kehidupan
sehari-harinya.
Karenanya,
patutlah seorang hamba berbahagia dengan keridhaan-Nya, karena telah menguji
dirinya dan menjadikan dirinya salah seorang sahabat dekat-Nya, dan dengan
bersyukur kepada Allah yang telah menetapkan atasnya takdir yang begitu
menggembirakan sebagai tanda kebaikan dan perhatian Allah kepadanya. Yang
demikian itu mencegah agar tidak hanyut dalam penderitaan dan cobaan, serta
agar tidak berduka dan mengeluh.
59.
Ada sebuah kisah
tentang bagaimana seorang sultan menangkap sahabat seorang wali. Wali itu
menulis surat kepada sahabatnya dan berkata, “Bersyukurlah kepada Allah.” Sang
sahabat heran, dan membalas surat itu dan berkata, “Aku bersyukur kepada
Allah.” Kemudian, seorang penganut agama Magi dibawa masuk. Dia sakit perut dan
terbelenggu. Salah satu kaki si penganut agama Magi itu dibelenggu dengan salah
satu kaki sang sahabat itu. Nah, sang penganut agama Magi ini bangun beberapa
kali semalaman, dan sahabat itu pun mesti bangun juga. Ini terus terjadi sampai
sahabat itu kelelahan. Lalu sahabat itu menulis surat kepada sang wali, yang
kemudian menjawab. “Bersyukurlah kepada Allah.” Sahabat itu membalas surat itu
lagi dan bertanya, “Berapa lama lagi engkau menyuruhku begini?” Kesengsaraan
apa lagi yang lebih besar ketimbang ini?” Sang wali menjawab, “Apa yang akan
engkau lakukan bila sabuk di pinggangnya diikatkan ke pinggangmu, seperti
belenggu di kakinya itu dibelenggukan ke kakimu?”
Seseorang berkata kepada Sahl ibn ‘Abd Allah,
“Seorang pencuri membongar lalu masuk ke rumahku, dan mengambil harta milikku!”
Sahl menjawab, “Bersyukurlah keapda Allah. Sebab bila pencuri itu masuk ke
kalbumu maksudku setan dan mengambil pengakuanmu akan Keesaan Allah (Syahadat),
apa yang akan engkau lakukan?”
Seorang guru spiritual sedang berjalan di sebuah
jalan. Tiba-tiba seember abu ditumpahkan di atas kepalanya. Dia lalu bersujud
syukur kepada Alalh Swt. Seseorang berkomentar tentang hal itu kepadanya. Lalu
dia berkata, “Aku mengharapkan api neraka dituangkan ke atas diriku. Beruntung
benar bahwa yang ditumpahkan itu hanyalah abu!”
Perilaku lahiriah dalam kefakiran dan penderitaan
mestilah berupa kesabaran sempurna, memohon kepada Allah agar menghilangkan
penderitaan itu, mencari pertolongan dari apa yagn secara lahiriah dituntut
oleh hukum pengobatan medis, serta menjauhkan diri dari sumber penderitaan dan
bahaya. Jika pengetahuan mendalam (makrifat) seseorang begitu tinggi, sehingga
dia bisa menghilangkannya tanpa bantuan obat ini dalam keadaan tertentu, maka
itu pun bisa diterima. Dikatakan bahwa lidah pemula selamanya berteriak meminta
pertolongan, sementara lidah orang yang mulia spiritualnya hanya diam saja.
Seseorang bertanya kepada Al-Wasithi apakah dia berseru keras
dalam berdoa. Dia menjawab, “Aku takut menyeru Allah, kalau-kalau nanti
dikatakan kepadaku, “Jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang telah Aku
sediakan bagimu, itu karena engkau meragukan-Ku. Dan jika engkau meminta
kepada-Ku sesuatu yang Aku tak mau memberikannya, engkau akan makin kecewa
dengan-Ku. Tetapi jika engkau benar-benar puas, Aku akan memberimu apa yang
telah Aku simpan untukmu dari keabadian.”
Sebuah kisah menuturkan bagaimana ‘Abd Allah ibn
Munazil berkata, “Aku tidak meminta sesuatu kepada Allah selama lima puluh
tahun, dan aku tak ingin orang lain berdoa untukku.” Dia menyebut doa yang
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, bukan doa sebenarnya;
sebab doa terbaik yang dimaksudkan untuk memberikan bukti tentang penghambaan
seseorang kepadas Allah, berikut doa untuk orang lain yang berkeluh kesah,
adalah kewajiban-kewajiban agama yagn ditetapkan atas ulama dan juga orang
awam. Jenis doa terakhir ini sama sekali tidak bertentangan dengan kedudukan
mulia orang-orang yang tinggi spiritualnya. Sesungguhnyalah, bagi mereka doa
itu adalah penyebab pertumbuhan spiritual mereka, kecuali bagi orang yang
benar-benar tenggelam dalam keadaan spiritual tertentu yang sama sekali tak
bisa diuraikan.
Sebaliknya, jika orang merasa begitu yakin,
sehingga dia meninggalkan kehidupan biasa dan perawatan medis, yang sangat
baik; maka itulah yang dilakukan oleh para pemimpin spiritual. Seseorang berkata, “Sekelompok
orang mengunjungi Al-Junayd dan berkata, ‘Kami mencari rezeki.’ Dia menjawab,
‘Jika kalian tahu di mana rezeki itu berada, carilah.’ Lalu mereka berkata,
‘Kami meminta itu keapda Allah.’ Junayd berkata, ‘Jika kalian yakin bahwa Allah
telah melupakan kalian, maka ingatlah Dia.’ Maka mereka berkata, “Kalau begitu,
kami akan pulang dan bertawakal kepada Allah.’ Junayd menjawab, ‘Godaan adalah
keraguan.’ Lantas, apa itu tipu daya?’ mereka bertanya. Dia menjawab, ‘Meninggalkan
tipu daya itu sendiri.”/
Abu Hamzah berkata, “Aku merasa malu di ahdapan
Allah, karena aku pergi ke padang pasir dalam keadaan puas. Aku menyatakan
bahwa aku bertawakal kepada-Nya, tapi sebenarnya dengan membawa bekal malam itu
aku pergi keluar dalam keadaan sudah puas!” Seseorang berkata kepada Habib
Al’Ajami, “Engkau telah meninggalkan perdaganganmu.” Dia menajwab, “Tapi aku
telah menemukan keamanan hakiki.” Ketika Abu Bakr Al-Shiddiq sakit, seseorang
bertanya kepadanya, “Maukah kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang
tabib telah memeriksaku dan berkata bahwa aku sendiri yagn menyebabkan apa yagn
aku inginkan.” Dan seseorang berkata kepada Abu Al-Darda, “Tidak bolehkan kami
panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah menjadikanku sakit.”
Seseorang berkata kepada Sahl, “Kapan keyakinan seseorang itu bisa kuat?” Dia
menjawab, “Ketika dia ditimpa penyakit fisik dan ketika berkurangnya harta
kekayaan, tapi tidak mengalami kebingungan spiritual, dan terus memperhatikan
Allah Swt agar melindungi dirinya.”
60.
Perilaku batiniah yagn berkaitan dengan keingkaran
dan kelupaan terbentuk berdasarkan pengetahuan bahwa kedua hal itu ada dalam
keputusan dan ketenetuan Allah, dan pengetahuan mendalam bahwa ada rahmat
karunia dalam kehampaan diri sang hamba, dalam dosanya, dan dalam
keterkuasainya dia oleh bujukan-bujukan kelalaian dan kebingungan. Semuanya ini
terjadi karena Allah ingin memberinya pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat
mulia-Nya dan pengalaman tentang sifat-sifat suci-Nya, termasuk keagungan-Nya,
keadilan-Nya dalam menghilangkan berbagai rintangan, kepemilikan-Nya, karunia
ampunan-Nya, dan penerima tobat hamba-Nya. Ini sungguh mengagumkan, tapi tidak
mengherankan; sebab, seperti dikatakan sebuah hadis, “Jika kamu tidak berbuat
dosa, Allah tidak akan membimbingmu.” Hadis lainnya mengatakan, “Jika kamu
tidak pernah berbuat dosa, aku takut kamu terjatuh ke dalam sesuatu yang lebih
hebat – keajaiban dari segala keajaiban!”
Ibrahim ibn Adham
menuturkan, “Pada suatu malam, di sat turun hujan lebat, aku melakukan Thawaf
mengelilingi Ka’bah. Lintasan thawaf kosong, dan aku pun senang. Ketika
telah menyelesaikan kewajiban itu, aku berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dari
tidak mematuhi-Mu?” Lalu terdengar suara berkata kepadaku, “Wahai Abu Ibrahim,
engkau memohon kepada-Ku agar melindungimu, dan begitu pula halnya semua
hamba-Ku. Tapi jika Aku melindungi mereka, lantas kepada siapa lagi Aku
bersifat Pemurah dan Pemaaf?”.
Orang menemukan dalam keadaan ingkar dan lalai
suatu pertumbuhan yang tidak ditemukan dalam keadaan patuh dan ingat. Itulah
yang dimaksud ucapan anonim ini, “Ada banyak dosa yang membukakan bagi sang pendosa jalan ke surga.”
Sang pendosa mempunyai pengalaman tentang kebaikan Allah, sekalipun dirinya
tercela. Penyesalannya atas kemungkinan hilangnya peruntungan-abadi dan
kebahagiaan-langgengnya, mengalihkan perhatiannya dari dosa waktu itu. Salah
seorang sufi mengatakan, “Orang yang memiliki pemahaman hakiki tentang Allah
Swt adalah orang yang merendahkan kesulitan masa kini dalam berbagai kebaikan
yang mengalir kepadanya dari Allah, yang menenggelamkan dosa-dosa jiwa
rendahnya dalam kemurahan Allah kepada dirinya.” Karena itu, ingatlah nikmat
Allah, agar kamu beroleh kejayaan.” (Qs. 7 : 69).
Hanya orang yang kalbunya hidup dengan keimanan dan
keyakinan saja yang bisa mengalami pengukuhan dan pertumbuhan melalui berbagai
perilaku batiniah dan pengetahuan spiritual ini. Petunjuk tentang itu adalah
bahwa perbuatan lahiriah dan perilaku fisik seseorang, yang sebentar lagi
akan kubciarakan, terbebas dari berbagai kelemahan. Kemajuan yang diraihnya
tidak membuatnya hangat-hangat kuku dalam menjalankan kewajiban agamanya.
Sebaliknya, dia meliaptgandakan kehatia-hatiannya dalam berbuat dan sangat
gembira dengan hasilnya. Karena itu, orang seperti ini beroleh kekuatan melalui
kesaksamaan, dan tumbuh karena mengingat kebaikan-kebaikan dan pengetahuan
Ilahi ini. Akan tetapi, ada beberapa jenis orang yang bagi mereka memikirkan
dan merenungkan masalah-masalah ini bisa sangat berbahaya, dan mereka tidak
boleh melakukannya. Mereka mesti membatasi perhatian mereka hanya pada perilaku
lahiriah mereka saja, termasuk hal-hal seperti memulai tobat, meretas
cengkeraman kemaksiatan; penuh perhatian pada rasa takut, penyesalan, dan air
mata; lari menuju kerinduan dan doa; waspada penuh hati-hati terhadap
masalah-masalah krusial seperti ingat dan hadirnya relung kalbu.
61.
Dalam semua keadaan spiritual ini, perilaku
lahiriah sang pencari didasarkan pada memperehatikan setiap situasi seraya
mengingat situasi tersebut, dan dia harus juga menggunakan doa-doa yang tepat.
Dengan cara begini, seseorang senantiasa menghidupkan kehadiran dan
perhatiannya, sehingga ini menjadi kebiasaan perilakunya. Begitu sang hamba
memperhatikan syarat-syrat ini, dan sepenuhnya menguasai pengetahuan paling
penting ini, maka dia akan siap menuju kedudukan syukur, dan berhak beroleh
ingat yang main kuat yang dijanjikan sebagai bagian dari kedudukan itu. Tak ada
pertumbuhan lebih mulia selain mencapai dan beroleh kemajuan dalam keadaan
spiritual ini. Sang hamba terhindar dari nasib tak diinginkan, dan memperoleh
kekayaan tak ternilai harganya dalam kehidupannya, dengan mencapai tujuannya
sewat jalan pintas. Setiap fajar dan dalam setiap waktu shalat sendirian, dia
berikan kepada Zat yagn disembahnya apa yang menjadi hak-Nya. Hamba seperti ini
beroleh bantuan dalam hak-hak istimewa khusus yang diperuntukkan baginya oleh
Sang Pemberi segala karunia.
(Jawaban atas pertanyaan
kesepuluh : Menyebutkan bagaimana seseorang mesti bertindak dalam mengkaji
spekulasi teologis pada Ulama)
Sang pencari mesti berusaha berperilaku pantas
terhadap semua orang terdidik atau saleh. Dia tidak boleh menentang mereka atau
mencari-cari kesalahan atas apa yang mereka lakukan, kecuali bila apa yang
mereka ajarkan ietu bertentangan dengan Hukum Wahyu. Dia tidak boleh berburuk
sangka keapda mereka, kecuali bila dia benar-benar yakin tentang
persoalannya. Manakala dia memperhatikan sesuatu yang dikatakan oleh salah
seorang rekan sezamannya atau oleh yang lainnya, atau menyadari sesuatu yagn
telah mereka lakukan, dia mesti mendudukannya pada kupasan kritis Kitab Allah
dan Sunnah Nabi, pada penafsiran harfiah maupun spiritualnya. Jika tindakan itu
sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut, maka hal itu tak jadi masalah. Jika
tidak, dia mesti mencari penafsiran yang absah. Jika dia mendapatkannya, maka
hal itu amat baik; jika tidak, dia harus menangguhkan keputusan tentang masalah
itu. Hanya saja, jika dia kemudian bermaksud mengemukakan pandangan yang
bertentangan, dia wajib mengesampingkannya dan tak usah memperhatikannya lagi.
Semuanya ini berlaku hanya jika masalah hukum menjadi perhatian langsung dan
krusial baginya. Jika masalah itu tidak menjadi perhatiannya, maka dia tidak
boleh terlibat dalam pembuktian dan kontra-pembuktian demi menunjukkan
kesahihan atau ketidaksahihan masalah itu. Sang pencari harus berperilaku
seperti Rasulullah saw.
ketika beliau bersabda, “Bagian penting dari Islam seseorang adalah
meninggalkan apa yang bukan menjadi urusannya.”
Hendaknya sang pencari berhati-hati mengenai
perilakunya terhadap kaum elit dan masyarakat umum dalam segenap urusannya,
sebagaimana telah kujelaskan. Setelah dia menjadi cakap dalam segala yang telah
kubicarakan, maka sang pencari akan beroleh, dengan izin Allah, kekuatan batin
yang bakal menuntunnya ke latihan-latihan spiritual dan ke kedudukan dan
keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dia akan mengenal rahasias-rahasia hukum,
ketika cahaya keyakinan terbit dalam kalbunya dan ketika dia beroleh makrifat
tentang berbagai tipu daya dan khayalan dalam pengetahuan maupun tindakan. Dia
akan dapat membedakan antara kebenaran dan hal-hal yang remeh. Dia hanya akan
memikirkan apa yang membuat Tuhannya ridha, dan dia hanya akan menginginkan apa
yang diharapkannya bakal membuatnya sejahtera dan mendekatkannya pada Allah.
Dia akan merasakan nikmatnya iman dan keyakinan. Dan bertakwa kepada Allah akan
sangat mudah baginya. Kenikmatan berada dalam kedudukan ini luar biasa, dan
berbeda dari berbagai kenikmatan mengagumkan yang telah aku bicarakan
sebelumnya. Inilah salah satu cara Allah Swt menyegarkan sebagian hamaba-Nya,
sebagai kebikan dan ungkapan kelembutan kepada mereka.
62.
Akan tetapi, keringanan bukanlah sifat yang inheren
dalam kedudukan penghambaan. Sesungguhnya, beban beberapa hamba menjadi
berlipat ganda. Kontraksi, menguasai mereka, dan mereka berdiri di hadapan
Allah sebagai orang-orang yang telah pasrah menerima beban yang telah Dia
pikulkan atas diri mereka. Keadaan spiritual mereka lebih sempurna ketimbang keadaan
spiritual orang lain; sebab, dalam sikap dan kewaspadaan yang benar mereka
beroleh kemajuan. Mereka aman dari berbagai bahaya yang mengharu-biru orang
lain. Al-Wasithi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Waspadalah terhadap
rasa senang dengan karunia, sebab orang-orang yang suci mengetahui bahwa hal
itu adalah penyembunyian.”
Dia juga mengatakan, “Berhati-hatilah : Manisnya amal saleh seringkali
menyembunyikan racun yang mematikan.”
Alasan untuk itu adalah, karena hal ini
membangkitkan jiwa rendah dan menyebabkan jiwa rendah percaya pada, dan
menyesuaikan diri dengan, apa yang tampak jelas baginya. Yang demikian itu
hanya menyebabkan kelalaian dalam masalah-masalah terlarang, sebab jiwa rnedah
semakin menjadi-jadi, yang ruang lingkupnya tidak bisa dijangkau, dan yang
bahaya-bahayanya tidak bisa dipahami. Inilah, sebagaimana diketahui benar oleh
Allah Swt, yang disebut-sebut oleh Al-Junayd ketika dia berkata, “Jika seseorang mengabdikan diri
kepada Allah selama seribu tahun, dan kemudian tiba-tiba berpaling dari-Nya,
maka yang hilang darinya lebih ketimbang apa yang diperolehnya.” Dengan
kata lain, orang itu merasa puas dengan kedudukannya di hadapan Allah,
dan terpalingkan dari Tuhannya.
Seorang pembimbing spiritual berkata tentang
kepuasan dan keamanan. “Aku takut kalau-kalau manisnya keduanya itu bisa
memalingkanku dari Allah Swt.” Dan guru Abu Al-Qasim mengatakan, “Merasa dekat itu menabiri
kedekatan, dan barang siapa bersumpah dengan jiwa rendahnya, berarti dia telah
ditipu jiwa rendahnya.” Ada juga yang mengatakan dalam hubungan
ini, “Semoga Allah menjauhkanmu dari-Nya,” yakni jauh dari mengalami kedekatan
dengan-Nya. Sungguh,
usaha-usaha untuk mengetahui kedekatan dengan-Nya mengandung tanda-tanda tipu
daya. Sebab Allah Swt berada di luar segala kedekatan. Dan berada dalam
kehadiran Kebenaran Mistik hanya menimbulkan kebingungan dan kemusnahan.
Berkenaan dengan ini, seseorang mengatakan :
Keterujianku oleh-Mu adalah bahwa aku
tidak peduli akan keterujianku itu;
Kedekatan-Mu adalah seperti kejauhan-Mu,
lantas kapan aku akan terbebaskan?
Guru Abu ‘Ali Al-Daqqaq melantunkan banyak puisi
seperti ini :
Kasih sayang-Mu berupa meninggalkan,
dan cintamu berupa kebencian;
Kedekatan-Mu adalah kejauhan, dan
kedamaian-Mu adalah perang.
Abu Al-Husayn Al-Nuri berkata ketika bertemu salah
seorang sahabat Abu Hamzah, “Engkau adalah salahs eorang sahabat Abu Hamzah,
yang banyak berbicara tentang kedekatan. Manakala engkau bertemu dengannya,
katakan padanya bahwa Abu Al-Husayn Al-Nuri menyampaikan salam dan mengatakan,
‘Menurut kami, dekatnya kedekatan adalah jauhnya kejahuan.”
Mengembangkan sepenuhnya apa yang telah aku
bicarakan, akan memakan waktu lama, dan memerlukan penyingkapan rahasia-rahasia
yang kita tidak berwenang menyingkapkannya. Begitu sang pencari sampai pada hal
ini, kalbunya dipenuhi oleh cahaya cemerlang dan pengetahuan-pengetahuan
menakjubkan, sehingga dia dapat melihat sebagian dari kebesaran dan keagungan
Tuhannya yagn tak terlukiskan serta sebagian keajaiban dunia kekuasaan dan
hikmah-Nya.
(Jawaban atas pertanyaan
kesebelas : Merujuk ke surat lain)
63.
Aku telah mengatakan segala yang harus kukatakan
tentang muslihat Tuhan, suatu soal yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Thalib
dalam bab Takut. Aku tidak akan menjelaskan lebih jauh lagi, selain apa yang
telah kubicarakan tentang hal itu dalam surat pertama. Puaslah dengan hal itu,
dan renungkan uraian tentang soal itu. Pelajarilah dengan cermat, sebab ia
disusun secara teratur, dikemukakan dengan argumen sangat teliti, dan sangat
terpadu. Aku menawarkan surat ini sebagai jalan bagi sang pencari menuju
kedudukan (maqam) Keesaan Tuhan (Tawhid). Telah kusimpulkan soal ini, sehingga
bisa diungkap dengan kata-kata, dan telah kuringkaskan semua pengetahuan dan
jenis perilaku, yang uraian penuhnya memerlukan ebrjilid-jilid buku. Surat ini
memuat jawaban pernuh atas semua pertanyaanmu, terlepas dari
pertanyaan-pertanyaan yang aku tak berkewajiban menjawabnya. Itulah yang aku
maksudkan di sini.
Karena itu, aku memohon kepada Allah Swt, agar
memberi kita keberhasilan dalam amal-amal kita sesuai dengan pengetahuan kita.
Semoga Dia tidak memandang amal-amal kita sebagai kutukan atau laknat atas diri
kita. Berdoalah untukku serta untuk semua sahabat kita yang membaca surat ini.
Akhirnya tidak ada kekuatan dan pertolongan kecuali dari Allah, Mahakuasa,
Mahaagung. Dia-lah sebaik-baik pelindung kita. Dan semoga Allah melimpahkan
shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad saw., keluarga, dan para
Sahabatnya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.