بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB IV.
KONDISI RUHANI
DAN KAROMAH
DATAR ISI
1. KARoMAH PARA WALI (A)
Munculnya karamah bagi para Wali adalah
sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya : “Bahwa munculnya karamah
tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak
menghilangkan dasar-dasar prinsipal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah
swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha
Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya
karamah tersebut.”
Munculnya karamah merupakan tanda dari
kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar,
maka kemunculan seperti karamah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang
menunjukkannya, bahwa definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas.
Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya
dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekluatif.
Pembedaan itu tidak bisa dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu
yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah.
Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri, sebgaimana kami
isyaratkan.
Karamah tersebut mengharuskan adanya
perbuatan yang kontra adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan
sifat-sifat kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.
Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan
aanya perbedaan antara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ishaq al-Isfirayainu
--- rahimahullah ta’ala – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran
para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi.
Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yag menunjukkan jatinya
sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memliki ilmu
pengetahuan.” Dia juga menegaskan : “Para Wali memiliki karamah, yang serupa
dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu’jizat bagi
para Nabi, itu tidak benar.”
Imam Abu Bakr bin Furak – rahimahullah –
berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang
mendapatkan mu’jizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu’jizat menunjukkan
kebenaran dalam ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian,
mu’jizat tersebut menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik.
Maka yang terakhir isi disebut karamah. Tidak disebut mukjizat, walau pun
karamah tersebut sejenis dengan mu’jizat. Namun ada perbedaan.
Di antara perbedaan-perbedan mu’jizat dan
karamah, bahwa mu’jizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara pada
Wali, harus menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi --- shalat dan salam
Allah semoga melimpah padanya – mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran
uacapannya. Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya, juga tidak
memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.
Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu
Bakr al-Asy’ary, berkata : “Mu’jizat itutentu bagi para Nabi, dan karamah
khusus bagi para Wali, sebagaimana mu’jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para
wali tidak ada mu’jizat. Sebab salah satu syarat dari mu’jizat adalah disertai
dengan dakwah kenabian yang didasarkan mu’jizat tersebut. Mu’jizat sendiri
tidak dikatakan sebagai mu’jizat dilihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi
mu’jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya.
Apabila salah satu syarat saja cacat, tidak
dikategorikan mu’jizat. Salah satu syarat mu’jizat adalah dakwah kenabian.
Sedangkan Wali tidak mendakwahkan kenabian. Dan yang muncul dari Wali tidak
disebut sebagai mu’jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang, kami yakini dan
kami patuhi. Syarat-syarat mu’jizat secara keseluruhan atau lebih, ada dalam
sayarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas. Sedangkan karamah adalah
suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru.
Sebab sesuatu yang bersifat qadim, tidak
dikhususkan pada seseorang. Sifat karamah adalah kontra terhadap adat kebiasaan.
Muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba sebagai keistimewaan dan
keuatamaan. Kadang-kadang gkaramah diperoleh melalui ikhtiar dan doanya,
kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidak bisa mendapatkan karamah. Kadang
pula muncul di luat ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu. Seorang Wali tidak
diperintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalau toh pun muncul semacam
itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu diperbolehkan.”
Ahli hakikat berbeda padang mengenai Wali :
apakah dia boleh mengetahui atau tidak, bahwa dirinya itu seorang wali?
Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata : “Tidak
boleh seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus
menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat
atas kebolehannya. Pandanganninilah yang kami pilih dan kami prioritaskan.
Tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali
harus mengetahui bahwa dirinya itu Wali.
Namun masing-masing di antara mereka boleh
mengenalnya sebagai wali, sebagaimana masing-masing diperbolehkan untuk tidak
mengenal mereka. Apabila sebagaian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa
salah seorang di antara ada yang Wali, maka pengetahuannya itu tergolong
sebagai karamah yang dimiliinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan
kenyataannya harus merata bagi semua Wali.
Bahkan kalau toh seorang Wali tidak mempunyai
karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda dengan
para Nabi, mereka wajib mempunyai mu’jizat. Sebab Nabi diutus untuk dakwah
kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak bisa
diketahui kecuali melalui mu’jizat. Sementara Wali tidak diwajibkan berdakwah
melalui karamahnya kepada makhluk.
Begitu pula tidak harus setiap Wali itu
mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat, membenarkan sabda
Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan dalam hadits, sebagai ahli surga.
Sedangkan pendapat mereka yang tidak
memperkenankan seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, dikhawatirkan ia harus
keluar dari rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya
perubahan akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa
takut dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt. justru
menambah dan meningkatkan banyak rasa takutnya.
Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang
bertumpu pada karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus
berupaya mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis
karamah, seperti : Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata
karena pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga
mereka lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.
Secara keseluruhan, bahwa kewenangan
munculnya karamah bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para
jumhur ahli ma’rifat juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadits dan
hikayat yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya
karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa diragukan.
Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayat dikenal banyak orang, apalagi
kisah-kisah mereka, sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.
Dalil-dalil atas semua itu ditegaskan oleh
Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika
mengatakan : “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip.” (Qs. An-naml :40). Padahal sahabat Sulaiman as. Ini bukan termasuk
seorang Nabi,
Sedang sebuah atsar datang dari
Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. ketika sedang berkhutbah Jum’at,
tiba-tiba berkata “ Wahai Sariyah! Tetap saja engkau di bukit itu!.” Umar meneriakan
suaranya itu dan didengar pula oleh Sariyah pada saat itu. Sehingga tentara
Islam menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah bukit pada saat itu pula.
Bila ditanyakan : “Bagaimana diperbolehkan
menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas
mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para
Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam-Nya?”
Jawabnya : “Karamah-karamah tersebut bertemu
dengan mu’jizat Nabi Kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar
Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara
ummatnya muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut.
Sebab kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul
dari pengikutnya. Sedangkan derajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi
– Alaihis salam – karena adanya ijma’ atas perkara tersebut.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya mengenai
masalah ini, jawabnya : “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi – semoga Allah
swt. melimpahkan salam keapda mereka – ibarat tempat air (geriba) yang di
dalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu,
sepadan dengan apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedangkan geribanya adalah
ibarat Nabi Kita Muhammad saw.
Kembali ke Daftar awal. +
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.